PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini
memudahkan terjadinya trombo-emboli.3
Gejala klinik abses serebri berupa tanda-tanda infeksi yaitu demam, anoreksi
dan malaise, peninggian tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal sesuai
lokalisasi abses. Terapi abses serebri terdiri dari pemberian antibiotik dan
pembedahan. Tanpa pengobatan, prognosis abses serebri dapat menjadi jelek.
2
BAB II
ANATOMI OTAK
Anatomi otak adalah struktur yang kompleks dan rumit karena fungsi organ
yang menakjubkan ini berfungsi sebagai pusat kendali dengan menerima,
menafsirkan, serta untuk mengarahkan informasi sensorik di seluruh tubuh. Ada tiga
divisi utama otak, yaitu otak depan, otak tengah, dan otak belakang.
3
Sawar Darah Otak (Blood Brain Barrier)
Sawar darah otak memisahkan dua kompartemen utama dari susunan saraf,
yaitu otak dan likuor serebrospinalis, dari kompartemen ketiga yaitu darah. Tempat
-tempat rintangan itu adalah tapal batas antara darah dan kedua kompartemen susunan
saraf tersebut diatas yaitu pleksus koroideus, pembuluh darah serebral dan ruang
subarachnoid serta membrane araknoid yang menutupi ruang subaraknoid. Semua
tempat sawar dibentuk oleh sel-sel yang bersambung satu dengan yang lain dengan
tight junction, yang membatasi difus intraseluler. Sel- sel tersebut adalah endothelium
pembuluh darah, epithelium pleksus korioideus dan sel-sel membran araknoid serta
perineurium.
Sawar darah otak mengalami perubahan jika terjadi beberapa proses patologis,
seperti anoksia daniskemia, lesi destruktif dan proliferative, reaksi peradangan dan
imunologik, dan juga jika terdapat autoregulasi akibat sirkulasi serebral tang
terganggu.
Gambar 2.2 Mekanisme Imunologi Sawar
Tight junction dari endothelium pembuluh darah serebral biasanya mampu
menghalangu masuknya leukosit ataupun mikroorganisme pathogen ke susunan saraf
pusat. Tetapi pada proses radang dan imunologik, tight junction dapat menjadi bocor.
Leukosit polinuklearis terangsang oleh substansi – substansi yang dihasilkan dari sel-
sel yang sudah musnah sehingga ia dapat melintasi pembuluh darah, tanpa
menimbulkan kerusakan structural. Limfosit yang tergolong dalam T- sel ternyata
4
dapat juga menyebrangi endotheliaum tanpa menimbulkan kerusakan structural pada
pembuluh darah.
BAB III
3.1 Definisi
5
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai
serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi
oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan
protozoa.
3.2 Epidemiologi
Abses serebri dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering
terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses serebri yaitu, embolisasi
oleh penyakit jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi
fallot), meningitis, otitis media kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak
pada wajah ataupun scalp, status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas
ventrikuloperitonial. Patogenesis abses serebri tidak begitu dimengerti pada 10-15%
kasus.
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat
ini telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses serebri masih
tetap tinggi, yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang
dijumpai terutama di negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya sangat
tinggi, abses serebri termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan
masyarakat (life threatening infection).
Di Indonesia belum ada data pasti, namun Amerika Serikat dilaporkan sekitar
1500-2500 kasus abses serebri per tahun. Prevalensi diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000
orang/tahun. Jumlah penderita pria lebih banyak daripada wanita, yaitu dengan
perbandinagan 2-3:1.
Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson Cancer
Center Houston Texas) terhadap 9 penderita abses serebri yang diperolehnya selama
14 tahun (1989-2002), menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki > perempuan
dengan perbandingan 7:2, berusia sekitar 38-78 tahun dengan rate kematian 55%.
Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20 pasien abses
serebri yang terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr Soetomo
Surabaya, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana jumlah penderita abses
serebri pada laki-laki > perempuan dengan perbandingan 11:9, berusia sekitar 5
bulan-50 tahun dengan angka kematian 35% (dari 20 penderita, 7 meninggal). Dengan
6
perkembangan pelayanan vaksinasi, pengobatan pada infeksi pediatri, serta pandemic
AIDS, terjadi pergeseran prevalensi ke usia dekade 3-5 kehidupan.
BAB IV
4.1 Etiologi
7
Sebagian besar abses serebri berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah,
sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).
Abses serebri dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi
paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektas, pneumonia), endokarditis bakterial
akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple,
lokasi pada substansi putih dan abu dari jaringan otak). Abses serebri yang
penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran darah yang
didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau cerebellum dan
batang otak.
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti
AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses serebri tidak diketahui.
Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas
wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka
tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi
timbulnya abses di lobus otak.
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde thrombophlebitis
melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya
biasanya tunggal, terletak superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya.
Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus
frontalis. Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau
temporalis. Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis.
Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada
telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan
kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum
timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke dalam
serebelum.
Bakteri penyebabnya antara lain, Streptococcus aureus, streptococci
(viridians, pneumococci, microaerophilic), bakteri anaerob (bakteri kokus gram
positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp,Prevotella spp, Actinomyces spp,
dan Clostridium spp), basil aerob gram-negatif (enteric rods,
Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter diversus, dan Haemophilus spp).
8
Infeksi parasit (Schistosomiasis, Amoeba) dan fungus (Actinomycosis, Candida
albicans) dapat pula menimbulkan abses, tetapi hal ini jarang terjadi.
2. Faktor kuman
Kuman tertentu cenderung neurotropik seperti yang membangkitkan meningitis
bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak bersangkut paut dengan
faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki virulensi yang rendah dapat
menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat ganggguan pada system
limfoid atau retikuloendotelial.
3. Faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke dalam
tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui air, atau udara.
BAB V
9
Abses serebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus
infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara
langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh
penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada
pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya
berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.
Pada tahap awal abses serebri terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan
otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak,
kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu
rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang
nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan
fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul
antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi
perubahan patologi abses serebri dalam 4 stadium yaitu :
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit,
limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada
hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada
tunika adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis
infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema
di sekita otak dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
10
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan
fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast
membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah
ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya
vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan substansi abu.
Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan
abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek
ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah
anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di
sekitar otak mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran
histologis sebagai berikut:
· Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
· Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
· Kapsul kolagen yang tebal.
· Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
· Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke
meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan abses serebri
yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan
abses serebri lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya
hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain barrier. Pada
toksemia dan septicemia, sawar darah otak terusak dan tidak lagi bertindak sebagai
sawar khusus. Infeksi jaringan otak jarang dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh
karena jaringan otak yang sehat cukup resisten terhadap infeksi. Kuman yang
dimasukkan ke dalam otak secara langsung pada binatang percobaan ternyata tidak
sangat besar atau sebelum inokulasi intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih
dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak sangat protektif, namun ia
menghambat penetrasi fagosit, antibody dan antibiotik. Jaringan otak tidak memiliki
fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik untuk
pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses infeksi di luar
BAB VI
12
Pada stadium awal gambaran klinik abses serebri tidak khas, terdapat gejala-
gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan
intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses
serebri gejala menjadi khas berupa trias abses serebri yang terdiri dari gejala infeksi
(demam, leukositosis), peninggian tekanan intracranial (sakit kepala, muntah
proyektil, papil edema) dan gejala neurologik fokal (kejang, paresis, ataksia, afaksia)
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala
neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai
kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya
terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel.
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan
mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan
hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat
terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi
terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses
serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan menyebabkan gangguan
koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang
sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.
BAB VII
DIAGNOSIS ABSES SEREBRI
13
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan
laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk
melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya.
Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang
mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga
dapat dipastikan diagnosisnya.
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status
mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis,
dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak,
ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju
endap darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan
gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan
sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang, kecuali bila
terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial,
dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan
pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama
penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan
perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan frekuensi 13 siklus/detik
pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik abses
serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini,
pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang
relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop
tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang
hipodens daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan
hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan
suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak
digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.
Gambar CT Scan Normal
14
Gambar CT- Scan Abses serebri
15
Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis,
hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini
dapat terlihat gambaran ring enhancement.
Gambaran CT-Scan :
Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis lebih kecil
dan kapsul terlihat lebih tebal.
16
BAB VIII
18
(Claforan) 50-100 IV
mg/KgBBt/Hari
Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,
50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,
35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,
2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,
15 mg/KgBB/Hari IV
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat
mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan
kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana
terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai
10 mg dexamethasone setiap 6 jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya
tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas
serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu
di tap-off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada
pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan
secara bedah pada abses serebri dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan,
yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis
atau dengan abses yang multipel.
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara
antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses
melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center tertentu
lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and
biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses batang otak dan
pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti:
small deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi
dalam mengurangi risiko kejang.
19
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi
mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik
oleh edema maupun abses itu sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses yang
cukup besar, tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal.
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses
berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang
berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan
dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses serebri jarang digunakan, karena
prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan
dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih
dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di
fosa posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi, seperti
mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan
drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap
penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya
terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari
kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya
abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging). 3
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami kejang
dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan
perkembangan klinis penderita selanjutnya.
20
BAB IX
Sebagai suatu lesi desak ruang (space-occupying lesion), abses serebri dapat
Oleh karena itu, diperlukan teknik diagnose yang menyeluruh agar terapi yang
Abscess Tumor
aspect
21
T1 Hyperintense rim
T2 Hypointense rim
Perfusion imaging dynamic Normal signal due to collagen Low signal due high
tumour
10.2 Komplikasi
adalah:
3. Edema otak
10.3 Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses serebri secara signifikan berkurang,
dengan perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotic yang tepat, serta
angka kematian, dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel, kesadaran koma
dan minimnya fasilitas CT-Scan. Angka harapan yang terjadi paling tidak 50% dari
22
penderita, termasuk hemiparesis, kejang, hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis
Dengan alat-alat canggih dewasa ini abses serebri pada stadium dini dapat lebih cepat
didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis abses serebri soliter lebih baik dan
mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat menetap pada 50% penderita.
BAB X
KESIMPULAN
Abses serebri adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir
diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus,
dan protozoa, dimana kasusnya jarang dijumpai tetapi angka kematiannya tinggi (rata-
rata 40%) sehingga tergolong kelompok penyakit “life threaqtening infection”.
Sebagian besar penderita abses serebri adalah laki-laki, dibandingkan perempuan
(3:1) yang berusia produktif (20-50) tahun.
Sebagian besar abses serebri berasal langsung dari penyebaran infeksi tengah,
sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries), dapat timbul akibat
penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru,
bronkiektase, pneumonia), endokarditis bacterial akut dan subakut dan pada penyakit
jantung bawaan Tetralogi Fallot ( abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu
dari jarinagn otak). Dapat juga timbul akibat trauma tembus pada kepala atau trauma
pasca operasi.,
23
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti
AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi. Steroid yang dapat
menurunkan system kekebalan tubuh.
Proses pembentukan abses serebri memakan waktu 2 minggu dan terdiri dari 4
tahap. Dengan semakin besarnya abses serebri gejala menjadi khas berupa trias abses
serebri yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intracranial, dan gejala
neurologic fokal. Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, rontgen, CT-Scan
dan pemeriksaan laboratorium.
Terapi definitive untuk abse melibatkan penatalaksanaan terhadap efek massa
(abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa, terapi antibiotic dan test sensitifitas
dari kultur material abses, terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi), pengobatan
terhadap infeksi primer, pencegahan kejang, dan neurorehabilitasi.
Prognosis dari abses serebri ini tergantung dari cepatnya diagnosis ditegakkan,
derajat perubahan patologis, soliter atau multiple, penegakan yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
2. Misbach, H Jusuf, dkk. Serebritis dan Abses Otak. Buku Pedoman SPM dan
SPO Neurologi “ PERDOSSI’’. hal 27-29. Jakarta: 2006.
24
6. Adams RD, Victor Maurice. Brain Abscess. In Principles of Neurology. 5th
ed. USA:McGraw-Hill Inc, 1993:612-616.
25