Anda di halaman 1dari 25

BAB 1 – MISTERI

Jordi baru saja menyelesaikan wisudanya 4 hari lalu, dan kini


dia menganggur. Sembari menganggur Jordi menghabiskan
waktunya untuk mencari kerja sebagai seorang freelancer, Jordi
menawarkan kerja sebagai seorang penulis lepas, satu sisi juga
karena menulis adalah hobinya sejak SMA disisi lain dia hanya ingin
mengasah bakatnya sebagai seorang penulis lepas, atau seorang
write freelance.

Jordi sudah 4 hari berdiam di Rumah usai Ibunda bernama


Mama Fenny menyarankan dia istirahat satu bulan. Tetapi bagi Jordi,
Jordi sangat bangga bekerja sebagai freelancer untuk kali ini.
Pandangan terus mengarah ke Laptop dari pagi hingga petang, satu
kali Mama Fenny menyindir Jordi yang sudah lama bertengkar
dengan ayahandanya sendiri bernama Pak Sento.

Jordi sangat marah jika Mama Fenny bilang terkait Pak Sento,
pak Sento adalah ayahanda dari Jordi sendiri, tetapi Jordi sangat
membencinya sejak Jordi meminta membelikan sepeda tetapi Pak
Sento tidak memberikannya dua belas tahun lalu, namun sayangnya
Pak Sento lebih membelikan anak orang sepeda yang jauh lebih
mahal, dan tertangkap basah oleh Jordi sendiri.

Barulah setelah itu Pak Sento malu, dan melarikan diri ke Kota.
Meninggalkan Jordi, dan Mama Fenny di Rumah berdua. Mereka
jalani bersama-sama mulai dari bekerja sebagai penjahit, pengrajin,
hingga penjual nasi di pagi hari.

“Jordi tak akan sudi lagi bertemu dengan ayah!” ucap Jordi di
depan Mama sambil mengetik tugasnya di laptop.

“Mau bagaimana pun juga itu tetap ayahmu nak!” jawab Mama
“Mama tidak tahu apa yang Jordi rasakan, disaat Jordi dulu
minta sepeda tetapi bapak tidak belikan!” Jordi marah kepada
mama.

“Ya mama juga merasakan apa yang mama rasakan, bapakmu


memang keterlaluan tapi mau bagaimana lagi ayahmu memang
ayahmu? Dan kamu tak bisa membantahnya!” nasihat Mama Fenny.

“Sudahlah Ma, Jordi tak mau mendengar lagi omongan tentang


Ayah, Jodi mau keluar dulu!” Jordi segera keluar mematikan
laptopnya, dan berjalan keluar Rumah. Andai saja Mama tak
membicarakan tentang Pak Sento mungkin Jordi masih bisa sabar.

Jordi segera ke kamar mandi, dan mandi setelah dua hari tak
mandi, barulah dia menyiapkan pakaian yang rapih. Mungkin dia
ingin bertemu seseorang tapi dia beralasan jengkel dengan topik
pembicaraan Mamanya.

Usai mandi Jordi, segera menyiapkan pakaiannya sebuah kemeja


berwarna keabu-abu dia genakan dengan kaos oblong berwarna
putih di dalamnya, celana jeans levis yang dia genakan hasil
pembelian dia sendiri berkat usaha membantu Mama Fenny
mempromosikan jahitannya.

Semua sudah berpakaian rapih dan sopan bagai konglomerat


muda, Jordi segera meninggalkan Rumah tanpa speatah kata di
mulutnya, menunjukkan seakan-akan Jordi sangat emosi dengan
sikap Mama Fenny yang mengungkit-ungkit masa lalunya.

“Jordi, kamu mau kemana nak?” tanya Mama

“Mau menenangkan diri, Mama mengungkit-ngungkit masa


lalu.” Celutuk Jordi sambil menyalakan mesin motornya.
Mesin motor Jordi nyalakan, dan segera menancap gas
motornya. Barulah Jordi meninggalkan tempat tinggalnya menuju
kota. Entah kemana tak ada agenda dengan wanita apalagi dengan
siapa, Jordi terus berjalan menunggaki motornya.

Entah kemana Jordi akan berjalan, motor terus ia kemudikan.


Tak ada wanita yang akrab dengannya, tak ada juga sahabat yang
dekat dengannya. Jordi memang anak Rumahan, yang tak kenal siapa
dan siapa, yang Jordi kenal hanyalah sahabat dekat sejak SMA
bernama Rubin.

“Oh, ya Rubin. Apa Aku ke Rumah Rubin saja?” ide Jordi muncul
dari kepala, langsung dia tancap motornya menuju Rumah Rubin.
Rumah Rubin memang di dalam Gang, sangat menuai sensasi
pedesaan, Rumahnya yang berhadapan langsung dengan hamparan
Sawah yang luas. Bagi Jordi, Rumah itu memang enak dihuni, damai,
dingin, dan bersahaja.

Namun sayang di hari itu, semua pintu Rumah tertutup rapat.


Tak ada satupun manusia di dalam Rumah itu, Sepertinya juga Rubin
memang sedang tak di Rumah. Namun, untuk apa ada handphone
apabila tak digunakan? Jordi segera mengusap layar handphonenya
dan menelpon Rubin, Jordi ingat apabila tidak ada Rubin di Rumah
sebaiknya ditelepon saja.

“Hallo, Rubin!” panggil Jordi

“Iya, Di. Ada apa? Ada yang bisa gue bantu?” canda Rubin.

“Kamu bercanda saja, Aku mau tahu kamu sekarang dimana?”


tanya Jordi.

“Aku lagi di Warung Kopi Satron, sini saja Jordi!” tawaran Jordi.
“Oke Aku kesana, sekarang juga!” jawab Jordi kebetulan Jordi
sendiri suka nongkrong bersama Rubin disana.

Kebetulan warung kopi Satron adalah langganan mereka sejak


dulu. Warung Kopi Satron juga tak jauh dari kediaman Rubin hanya
berjarak 2 km saja tiba di warung kopi itu.

Tampak Warung Kopi Satron memang sangatlah sepi, memang


satu sisi juga memiliki tempat yang bagus bernuansa instagramble,
tetapi sayangnya tempat itu memanglah sepi. Memang sepi, dan
sangat disukai Jordi dan Rubin mengopi bersama.

Rubin menggunakan baju kaos oblong dengan celana tanggung


dia genakan, seakan-akan Rubin dibilang menganggur, memang
menganggur. Rubin tak memiliki pekerjaan selain duduk diam
mencari pekerjaan lainnya.

“Hey, bro kemana saja kamu?” sapaan Rubin menepuk tangan


Jordi.

“Aku masih menganggur Bro, paling-paling Aku kerja sebagai


freelancer!” jawab Jordi sambil mengalimi tangan Rubin.

“Bin, Aku terus terang ya! Aku butuh pekerjaan yang pasti
sudah digaji! Aku bekerja begini memang lelah tapi penghasilan Aku
memang belum pasti!” curhat Jordi.

“Kamu mau bekerja? Aku punya kerjaan!” jawab Rubin.

“Halah. Orang kamu sendiri menganggur kok. Bagaimana Aku


mau dapat kerja denganmu!” celutuk Jordi.

“Memang aku sekarang lagi menganggur, tapi Aku dapat


pekerjaan kok, Aku Cuma butuh berapa orang untuk kerja ikut Aku!”
sambar Rubin.
“Kerja apa?” tanya Jordi

“Kerja karyawan, tapi bukan disini. Di Kota, kamu mau ikut gak,
penghasilan juga tinggi kok! Untuk segala jurusan dan kelulusan.”
Jelasan singkat Rubin.

“Karyawan dimana?” tanya Jordi.

“Perusahaan properti, tetapi untuk kamu yang lulusan S1


mungkin akan ditempatkan di bagian Staff perusahaan atau
Supervisor.” Jawab Rubin.

“Kamu terus bagian apa?” Jordi masih penasaran

“Aku modal Sarjana SMA jadi Aku Cuma menjadi bagian


Mandor proyek saja.” Jawab Rubin sambil mengisap rokok di
mulutnya.

Jordi menenangkan pikiran, “kalau kerja di Kota memang gaji


besar, tapi kebutuhan juga besar juga disana!” singkat Jordi.

“Memang besar, tapi untukmu yang masih jomblo sih memang


murah!” terang Rubin.

Jordi tertawa sambil bilang “Astaga.”

“Bagaimana mau gak? Gratis kok pendaftaran, Cuma butuh


uang bekal saja minimal 1 juta untuk hidup di Kota.” Sambung Rubin.

“Okelah, nanti Aku pikirkan lagi. Mudah-mudahan sanggup!”


tanggapan Jordi.

“Hemm...” Rubin berdiam diri menyibukkan dengan mengambil


segelas kopi yang Rubin pesan.

“Cewek kota memang cantik-cantik!” sambungan dari Rubin.


“Hah? Masa? Orang kamu sendiri saja belum pernah ke Kota
kok, sudah tahu segala.” Lanjut Jordi.

Rubin tertawa terbahak-bahak.


BAB 2 – PAMIT
Jordi duduk termenung di kamarnya pada malam itu. Dia tak
merasakan indahnya berkumpul bersama sahabat-sahabat, belum
lagi beberapa waktu kemudian akan pergi ke Kota besar. Berulang
kali Mama mengetuk pintu namun sayang tak ada satu pun tanda
Jordi akan menggubrisnya.

“Jor..Jord... Jordi, buka pintunya!” teriak Mama

Jordi bangkit dan membukakan pintunya dengan gelagat


malas, Jordi tak menginginkan buka pintu. Namun, akhirnya dia
membuka pintunya juga.

“Ada apa ma?” Jordi membuka pintunya.

“Tolong kamu antarkan Baju ini ke Mama Steve, dia tadi siang
sudah minta mama untuk antarkan bajunya sekarang, tapi
berhubung tadi siang kamu keluar jadinya Mama menunggu kamu
dulu!!” ucap Mama.

Jordi dalam hati berkata, “Hah, kenapa harus tunggu aku sih,
orang Rumah Steve saja tak jauh diri, kenapa harus aku yang antar?”

“Jor, apa kamu berniat?” tanya Mama,

Jordi melamun langsung menanggapi omongan Mama, “Oh, Ya


Jordi antarkan sekarang!” Mama tersenyum

Rumah Steve tak jauh dari Rumah Jordi hanya berjarak


beberapa meter saja, tak perlu menunggaki motor atau sepeda,
cukup berjalan kaki dia bisa sampai ke Rumah Steve. Sebetulnya Jordi
tak suka dengan Steve, satu sisi Steve memang dikenal seorang
selalu memutar balikkan fakta, cerewet, dan kemal (kepo maksimal)
alasan inilah yang membuat Jordi kurang suka dengan sikap Steven
yang kurang asyik baginya.

Tapi Jordi tetap memaksakan bisa ke Rumah Steve. Lampu


Rumah sudah redup dalam Rumah, sepertinya semua sudah apda
tertidur lelap.

“Steve...Steve.,...” berulangkali Jordi memanggil namanya dari


pagar.

“Ahh..sepeertinya sudah tidur, apa besok pagi saja!” Steve


membalikkan badannya kembali ke Rumah.

“Ehh..Jordi?” Steve memanggil nama Jordi dari balik Jendela,


Jordi langsung membalikkan badannya.

“ada apa?” Steve keluar Ruangan.

“Ini bajumu! Tadi Mamaku menitipkan padaku!” Jordi


menyerahkan sebuah kresek hitam berisikan baju milik jordi.

“Oh terima kasih, kebetulan Mamamu sudah bayar tadi!”


ungkap Steve. Jordi sedikit kebingungan.

“Hah?masa?” Jordi penasaran

“Iya, Mamamu sudah bayar.”

“Okelah kalau begitu.” Jordi sedikit kecewa, sepertinya Jordi tak


jadi dapat cuan dari mamanya, dia hanya ditugaskan mengantarkan
pesanan Steve ke Rumah saja. Sepulangnya Jordi tampak terlihat
kesal.

Jordi sepanjang jalan menggerutu, hingga dia masuk lagi


kedalam Rumah, melintasi Mama yang sedang terduduk dengan
jahitannya, kemudian ingin menanyakan kemakah cuan untuk Jordi,
namun terasa berat hati hingga akhirnya, mau tak mau terpaksa
Jordi bertanya.

“Ma, adakah cuan untuk Jordi?”

“Hah?cuan? bukankah kamu ikhlas membawanya?” tanya


Mama balik.

“Maaf, Ma.” Jordi menahan ucapannya, barulah dia terdiam.

“kenapa? mau cuan?” tawar Mama.

“Oh tidak jadi.” Jordi menggoyangkan telapak tangannya,


barulah dia berjalan ke Kamar.

Tapi belum sampai dua tiga tangga, Jordi membalikkan


badannya lagi kearah Ruang Tamu dimana Mama duduk.

“Ada lagi nak?” tanya Mama.

“Sepertinya, Jordi mau merantau!” ungkap Jordi berat.

“Merantau? Terus yang jaga Mamamu, siapa?” tanya Mama.

Jordi terdiam kecut, merundukkan kepala.

“Untuk apa kamu merantau?” tanya Mama lagi.

“Aku hanya ingin tahu kota saja!” ungkap jujur Jordi.

Kemudian karena tak dapat izin dari Mama, akhirnya Jordi


kembali ke Rumah. Wajahnya memelas, pikirannya terus bertarung
di dalam satu kepala.

“Kamu boleh merantau, asal kamu...” ucap Mama dari


belakang

Jordi menegakkan kepalanya, membalikkan badannya kearah Mama,


“Asal apa tadi amanah mama?”
“jangan melupakan Mamamu!” pesan Mama

Jordi berlari kencang kearah Mamanya, dan memeluk erat


Mamanya. “Terima kasih Ma, telah mengizinkan Jordi ke Kota.”

“By the way, kamu ke Kota mau apa?” tanya Mama.

“Terus terang kemarin temanku menawarkan kerja di Kota, dan


itu sistemnya proyek, dan Aku mau ikut!” ungkap Jordi.

“Baiklah, kalau begitu. Tapi, harapan Mama jangan pernah


melupakan keluarga dalam bentuk apapun!”

“Itu sudah pasti, Ma. Aku pasti akan menghubungi Mama


sesibuk apapun hari-hariku.”

Jordi memandangkan wajahnya pada Mama. “Besok atau lusa


kalau Jordi sudah sukses Jordi akan membawa Mama ke Kota!”

Mama mengusap kepala Jordi, “tak perlu nak, Mama sudah


bahagia tinggal di kampung ini. Dan, Mama akan terus disini hingga
akhir hayat.”

Wajah Jordi tampak pias, “Baiklah kalau itu kemauan Mama,


Aku jalankan tapi kalau Mama butuh sesuatu. Jangan pernah lupa
dengan Jordi!”

Mama tersenyum lebar di pipinya.

Keesokan harinya, Jordi mengonfirmasi pada Arif, salah satu


sahabatnya yang akan membawa dia Ke Kota. Jordi mengayuhkan
sepedanya, berangkat menuju Rumah Arif. Seperti biasa, Jordi harus
menunggaki sepedanya terbilang cukup jauh. Panasnya pagi hari.
Tampak Arif sedang berdiri tepat di depan Rumahnya, segera
melambaikan tangan pada Jordi.

“Rif,” Jordi memarkirkan sepedanya di teras Rumah Arif.


“Hay, Jord. Bagaiamana sudah bilang ibumu?”

“Apa?”

“Ya elah, masa lupa. Kamu kan mau ke Kota nanti!”

“Lho kapan?”

“Schendule nya sih hari minggu, tapi Aku kemarin complain


kalau jadwal itu terbilang terlalu cepet, kita belum siapkan uang,
bekal, tiket pesawat, sampai yang lainnya. Jadi jumat depan kita
jalan.” Ungkap Arif.

“Oh terus sekarang untuk apa Aku kemari?”

“Hahah...duduk sini saja dulu, kenapa kok harus hanya tanya


saja?” Arif menyuruh Jordi untuk duduk di dalam Ruangannya.

Jordi duduk di Ruang Tamu dengan kursi busa, dan aquarium


berisi beberapa ikan cupang hias, dan tarung terlihat di langsung
tepat di samping kursi itu.

“Jor..mau minum apa?” tanya Arif.

“Ehh...Aku tak butuh minum.”

‘sudahlah, ini Rumahmu sendiri, pesan saja minum! Air putih


kah?”

“Oh ya sudah!”

Arif dengan celana pendek dan kaos oblong menuju Dapur


Rumah mereka. Jordi menatap penuh kearah Aquarium berisi
beberapa ekor ikan cupang. Kemudian dia melihat beberapa tropi
milik Arif yang sengaja dia pamer di Ruang Tamu, kalau dia adalah
legenda dari Ikan cupang. Dia sering ikut berbagai turnament ikan
cupang tingkat daerah hingga nasional.
Sungguh bagi Jordi permainan itu begitu memalukan tapi Jordi
terus menantap kalau Arif memang berbakat melatih ikannya
sehingga menjadi juara. Semua ini memotivasikan Jordi untuk bisa
menyusul Arif di kemudian hari.

“Hanya mau Air putih saja?” tanyanyaan Arif, Jordi langsung


kaget.

“Hehehe kaget ya?”

Arif menaruh segelas air minumnya di meja, dan dia duduk di


depan Jordi yang sedang asyik melihat Cupang.

“Suka cupang?ambil saja! Aku punya banyak.”

“Gak ah, Aku gak suka cupang!” tanggapan Jordi.

“Kamu memang berbanding terbalik dengan ayahmu.”


Ungkapan Arif, membuat Jordi langsung melototkan mata kaget
dengna ucapan Arif.

“Hah?” ekspresi Jordi kaget.

“Ayahmu, dulu suka ikan cupang. Bahkan beberapa ikan ini


adalah hasil peranakan dari cupang peemberian Ayahmu pada
Ayahku.”

Ungkapan Jordi kini semakin kecut dengan ucapan Arif, dia tak
ingin mengingatkan Ayahnya lagi, namun Arif tak sadar sehingga
membuat dirinya kini jadi jatuh perasaan dengan ucapan Arif. Jordi
sangat sensitif apabila sesuatu membahas ayahnya.
BAB 3 – SESUNGGUHNYA.
“Kenapa kamu, Jor? tiba-tiba menangis gak jelas?” Arif penasaran
melihat Jordi yang menangis di depannya.

“Jangan pernah bahas tentang ayahku lagi!” jawab Jordi. Arif


langsung menajamkan mata kepada Jordi.

“kenapa kau membenci ayahmu sendiri?” balas Arif

“Tak tahu, pokoknya Aku tak mampu menjabarkan semua isi


dalam pikiranku. Tapi jangan pernah bahas tentang ayahku lagi.”
Ungkap Jordi. Dan, Arif kian mencemas.

“terus Aku harus berbuat apa kalau seperti ini?”

“jangan pernah membahas tentang Ayahku lagi selamanya!”


nada Jordi mengeras. Arif memalingkan wajahnya mencari topik
bahasan bicara lainnya yang tentu agak sedikit berbeda dari
sebelumnya.

“oh ya apa perlu kita persiapkan rencana keberangkatan kita


sekarang juga?”

Jordi kini merubah perasaannya dia jadi lebih tenang dan diam,
tersenyum di bibirnya, “boleh silahkan!” jawab Jordi.

“Oke, kalau begitu!’ tanggap Arif.

Arif menghela nafas memulai topik pembicaraan rencana


keberangkatan mereka ke Kota. Persiapan ke Kota memang butuh
bekal yang cukup, uang, hingga mental yang cukup. Arif menyeruput
kopinya dan mengunyah beberapa biskuit yang disediakan olehnya.

“Kita butuh persediaan bekal yang cukup!” tegas Jordi.


Arif menaruh segelas kopinya, mulutnya terbuka dan
mengatakan “bukan Cuma bekal saja. Tapi mental yang kuat itulah
yang harus disiapkan!” tegas Arif.

Jordi tertawa ringan di mulutnya, dan mengambil secangkir air


putih yang dia minta pada Arif tadi.

“Mau dapat jodoh dari kota?” Arif menyindir Jordi.

Jordi hanya tertawa kecut lagi, di bibirnya hanya tertampak gigi


seri yang utuh menanggapi ucapan Arif. “Kalau dapat jodoh sih, oke
saja!”. Barulah disini Arif tertawa.

“Kita rencana mau tinggal di Kost, atau di Hotel?” tanya Arif.

“Ya, di Kost lah. Masa mau tinggal di Kolong jembatan.” Canda


Jordi, Arif tertawa.

“Hahaha....Apa kamu tahu biaya tinggal di Kost?”

“Tak tahu, tapi setahuku semua tergantung kebutuhan saja!”


jawab Jordi.

“Mungkin ada yang harian atau bulanan?”

“Ya pastilah, semua tergantung kebutuhan.”

“Cari yang murah saja!” perintah Jordi.

“baiklah.” Mereka melanjutkan perbincangan hangatnya di


pagi hari, sambil beberapa hari menyeruput kopi dan minuman
mereka. Barulah mereka pulang jam dua belas siang dikala mentari
berada di tengah angkasa dan menyinari kepala mereka. Jordi sudah
memahami semua rencana mereka kalau berangkat ke Kota adalah
hari Jumat depan. Artinya persiapan harus lebih cepat dari
sebelumnya.
Dan, Tak terasa hari jumat akhirnya tiba. Sebuah koper dan tas
ransel sengaja di letakkan di depan pintu depan Rumah pagi itu.
Cuaca sedang cerah, dan sepeda motor pun sedang dipanaskan di
teras Rumah. Seorang pria dengan seragam kemeja dilapisi jaket
kulit berwarna hitam. Hampir delapan belas kali dirinya mengelilingi
Rumah itu keluar masuk dengan tujuan tak jelas.

Dari kejauhan semerbak bau parfumnya sangat menyengat


hingga ketulang-tulang, langkah kakinya bagai kuda terus terdengar
di kuping Mama Fenny kalau hari itu masih menunjukkan pukul lima
pagi, dan langit masih gelap.

Jordi harus segera cepat ke Bandara sebelum pesawat beranjak


dari bandara pada pukul setengah tujuh kurang. Belum lagi dia harus
ke Rumah Arif dulu teman seperjuangannya di Kota kelak hari nanti.
Matanya tertuju kearah jarum jam dinding yang berjarak satu meter
lebih di Ruang keluarga, waktu menunjukkan jam lima seperampat
lebih dua puluh.

“Oh my God. Positif telat begini Aku!” Jordi berbicara pada


dirinya sendiri.

“Lho bukannya....”balas Mama berjalan kearah Jordi.

“Bukan begitu Ma, Aku harus ke Rumah Jordi dulu.”

Jordi segera mengambil salah satu koper dan ranselnya,


kemudian dia gendong sambil berjalan lagi kearah Mama Fenny
yang kian paruh baya tua sepuh melihat putranya sudah beranjak
dewasa.

“Ma, Jordi janji. Baik sukses atau tidak, Jordi akan terus
menghubungi Mama! Jordi akan terus menjadi anak yang selalu
teladan dan baik bagi Mama.” Jordi menggenggam erat kedua bahu
Mama Fenny.
Mama Fenny kian tersenyum lebar, tangan kanannya
melepaskan pegangan bahu pada putranya. “kamu memang anak
baik, silahkan hubungi Mama tapi jangan sering-sering ya! Karena,
Kamu dan Mama juga punya kesibukan masing-masing.”

Jordi tiba-tiba memeluk Mama Fenny kuat. “Aku tak akan lupa
dengan apa ucapan Mama! Jordi akan makan jika mama suruh
makan, Jordi akan tidur jika Mama suruh tidur, Jordi juga akan
bekerja jika Mama suruh kerja.”

Mama hanya tersenyum ikhlas pada Puteranya.

“kalau begitu, Jordi berangkat dulu. Hari sudah semakin siang,


takut ketinggalan jam perjalanan.” Jordi bangkit dari duduknya,

“hati-hati Nak, semoga kamu sukses.”

“Amin.”

Jordi membalikkan badannya, dan berjalan menuju sepeda


motor miliknya yang terparkir di teras Rumah, bergerak menuju
Rumah Arif dulu sebagai rekan kerjanya kelak hari nanti.
Sebenarnya, bukan hanya Arif dan Jordi saja yang akan
diberangkatkan ke Kota, masih banyak pekerja lainnya yang akan
dikirim ke Kota, dan jumlahnya pun bisa saja mencapai puluhan.

Jordi tiba di pekarangan Rumah Arif. Semua pintu tampaknya


tak memberikan sinyalir kalau di dalamnya ada penghuni. Apakah
semua pada pergi?ataukah semua masih tidur? Padahal seharusnya
jam seperti ini sudah selayaknya Arif harus segera bangun dan
meluncur langsung ke Bandara untuk segera ke Kota.

Jordi menyalakan ponselnya, segera menelpon Arif.


Beruntunglah, tak perlu menunggu beberapa kali deringan, Arif
langsung mengangkatnya. Rezeki akhirnya tiba.
“Halo, ada apa Jor?”

“Kamu dimana, Aku sudah di depan Rumahmu kok kosong


seperti apa begitu?”

“Ohh...kamu telat, Aku sekarang sudah di Bandara, cepat


kemari!” adrenalin Jordi langsung meningkat, segera dia tancap gas
motor bergerak menuju Bandara yang dibilang memakan waktu
setengah jam dari kediaman Arif.

Tapi beruntungnya pagi itu, jalan legam sepi melompong,


sehingga memudahkan Jordi dapat menancapkan gas motor sekuat
tenaga. Dan tak terasa, yang seharusnya memakan waktu setengah
jam kini hanya memakan waktu sepuluh menit, berkat Jordi
menancap gas kuat dalam sepeda motornya.

Halaman bandara memanglah luas bahkan sangat luas, cuaca masih


dingin, nafas pun tersendat-sendat, Jordi memperkuat langkahnya
meski beratnya menggendong tas ransel dan menarik besarnya task
koper, miliknya sendiri berjalan masuk kedalam Ruangan.

Semua mata terpandang kearahnya, sangat beruntung sekali. Jordi


masih bisa melihat loket antri, artinya pesawat tujuan jordi belum
jalan. Dari kejauhan Jordi melhat pria dengan topi baseball tengah
asyik berbicara canda tawa, dari kejauhan. Sepertinya dialah Arif
bersama kawannya. Kebetulan kursi sampingnya kosong
melompong, menjadikan kesempatannya untuk duduk di samping.

“Hay Arif.” Jordi duduk di samping Arif.

‘Hay Jordi. Bagaimana kabarnya, sudah siapkah perjalanan?”

“pastilah.” Jordi melirik kepada pria sebelah Arif.

“by the way, Rif. Itu siapa ya?”


“Oh..kenalin dia, Dawis. Teman kita juga yang akan ke kota
nantinya.”

Jordi dan Dawis berjabat tangan tersenyum ramah,

“Jordi.”

“Dawis.”

“Senang bertemu denganmu.” Ungkap Jordi

“senang bertemu denganmu, juga.” Tanggapan Dawis.

Suara Bel berbunyi ke berangkatan menuju Kota Surabaya


segera tiba, semua sudah harus bersiap-siap. Jordi yang baru saja
selesai duduk kini sudah harus siap-siap. Bahkan tak hanya mereka
bertiga saja, semua yang duduk dalam satu jajaran bersama Arif,
dan kawan-kawan segera berdiri meninggalkan kursi tunggu. Kalau
perjalanan Akan segera dimulai. Beruntungnya, Jordi dapat bergerak
cepat, andai saja dia masih santai mungkin lain ceritanya.
BAB 4 – KE KOTA
Hari sudah pagi, meski langit masih gelap. Hawa yang dingin
berada di lapangan terbang yang luas seluas Gurun. Suara alunan
mesin pesawat cukup kencang mengelagarkan kuping calon
penumpang. Satu persatu langkah kaki, mereka menaiki tangga.
Jordi berjalan dibelakang Arif. Kursi soffa berwarna merah marun
mereka duduki bersama bersebelahan.

Seorang pramugari dengan rambut berkuncir kuda, alis pensil


yang tebal, memberikan arahan kepada Jordi dan Arif yang duduk
bersebelahan. Senyuman manis di bibirnya, membuat Jordi jatuh hati
pada pramugari itu, meski Arif berulang kali menyinggul sikut Jordi
agar tak berlebihan.

“kamu kok senyam senyum sendiri?” tanya Arif tersenyum


kecut di bibirnya.

Jordi mentolehkan pandangannya pada Arif. Semua yang ada di


hatinya terpincut ketika melihat wanita pramugari itu menyuruh
mereka menyimpan parasut keselamatan itu.

“Nanti saja di kota banyak kok wanita lebih cantik kayak dia!”
ungkap Arif.

“Hehehe....kamu seperti yang tahu saja isi hatiku!” singgung


Jordi.

Arif membalikkan wajahnya, sibuk lagi memainkan ponselnya.

Seorang pramugari itu balik lagi, matanya tertuju kepada Arif


yang tengah asyik memainkan ponselnya, mengingat selama di
pesawat tidaklah boleh memainkan handphone. Pramugari itu
dengna tegas meminta Arif mematikan handphonenya, dan Jordi
tertawa tipis di mulutnya.
Barulah jam setengah tujuh pagi, pesawat mulai mengapung di
udara. Ini untuk pertama kalinya, Jordi dan Arif menaiki pesawat,
setidaknya ada kurang lebih 8 orang teman Arif di dalam pesawat
yang sama. Mereka berusaha menelan ludah mereka, nafas mereka
tersendat, dan nadi mereka bergerak cepat.

Pesawat pun menjauh dari Bandara, beruntungnya bagi Arif


yang duduk di samping jendela, melihat langsung tanah kelahiran
mereka, ditinggalkan. Jordi menolehkan wajahnya pada Arif.

“kenapa kamu? Rindu tanah kelahiran?”

“iya, rasanya dari lahir disini ingin meninggalkan kampung


halaman itu rasanya gimana?” curhat Arif.

Jordi menepuk bahu Arif. “yang sabar ya, kita jalani bersama
nanti di kota.”

Arif mengacungkan jempolnya di depan Jordi.

Pesawat perlahan tapi pasti meniggalkan Kampung.


Perjalanan memakan waktu 4 jam perjalanan, beberapa kali
perjalanan mereka tempuh dengan waktu yang tak cukup sebentar.
Hingga akhrinya tiba di Sidoarjo pada jam 11 pagi.

“Kita sudah sampai juga.” Arif merapikan tas dan barang


bawaannya. Jordi membopong lagi tas ransel kepunyaannya, mereka
keluar dari kursi mereka berjalan keluar Ruangan. Semua terasa lain,
di dalam ruangan cukup panas. Di luar terasa panas, serasa tubuh
mereka mengering. Dan, terasa lagi ketika mereka menuruni satu
persatu anak tangga melihat dari kejauhan sudut bandara juanda,
semua terasa panas, tanah datar dan matahari panas menyinari
kepala mereka.

“Jord, kita makan dulu di kantin!” pinta Arif.


“ohh...boleh. Sekarang?”

“ya sekaranglah, masa tahun depon?” beberapa teman Arif


langsung tertawa.

Karena cuaca sedang panas, terasa berjalan di atas hamparan


pasir di siang hari. Mereka memutuskan segera berlari ke kantin
bandara tak jauh dari lobi bandara.

Suasana bandara yang ramai, panas, padat, namun tampak


terlihat megah jika dibanding sebelumnya. Serasa suasana
panorama dalam diri mereka, melihat betapa megahnya bandara
Juanda untuk pertama kalinya. Rencana mereka awalnya memang
mencari kantin dulu. Sebelum memutuskan mencari kost-kostan
untuk pertama kali.

Jordi, Arif, Dawis, dan beberapa teman Arif lain, sibuk mencari
tempat makan yang pas untuk dompet mereka. Mengingat makanan
di bandara memang harganya mahal sekali. Astaga, Jordi, dan
kawan-kawan harus irit selama tinggal disini.

Okelah, mereka putuskan membeli nasi goreng mawut dan


makan bersama-sama di Restoran bandara. Fasilitas memanglah
oke, tetapi sayangnya harganya yang tinggi membuat beberapa kali
Arif meragukan pada Jordi.

“Jord, Aku tak menyangka. Makanan disini mahal semua!”

“ya namanya juga tempat rekreasi, pastilah mahal-mahal.”

Arif dan beberapa temannya tertawa.

Semua menyantap nikmatnya nasi goreng dan es teh duduk


bersama di meja panjang khusus untuk pelanggan jumlah banyak.
Sesekali, Arif menyenggol Jordi dengan betisnya.
“Hey, Jord. Biaya hidup di Kota itu memanglah mahal. Aku minta
kamu lebih baik, nanti cari kost-kostan yang murah saja Jord. Yang
penting kita bisa hidup.” Pinta Jordi.

“Hahah kamu kok takut banget!”

“bukan begitu.Memang seperti ini biaya hidup di kota.”

“ya sudah, terus kita harus tinggal dimana?” tanya Jordi.

“ya, bagaimana nanti saja. Kita cari yang biayanya murah-murah


begitu/” Arif mengunyah nasi di mulutnya.

“Okelah.” Lanjut mereka menikmati santapan pagi itu.

Jam dua belas siang barulah mereka meninggalkan area


bandara bergerak menuju kota. Karena jumlah mereka memang
banyak, sehingga Arif meminta mereka untuk berpencar saja.
Dikhawatirkan mereka kesulitan mencari kost yang jumlahnya
banyak.

Kini akhirnya mereka berpisah, tepat di depan Gapura masuk


Bandara. Arif, Jordi, dan Dawis berencana untuk tinggal di wilayah
pusat kota Surabaya, dan jaraknya memang tidaklah dekat. Rencana
mereka tinggal bersama.

Beberapa supir ojek duduk di bawah pohon, pandangannya


terus menatap arah mereka. Niat Jordi dari dalam hati, ingin naik
ojek namun entah tiba-tiba Arif menarik kerah baju Jordi. Spontan
Jordi melototkan mata kearah Arif.

“Ada apa Rif, kau menolakku?”

“Gak, Aku sarankan jalan kaki saja. Naik motor disini mahal, apalagi
kalau tahu kita perantauan, mungkin dia nanti kasih harga mahal.”
Arif memegang punggung Jordi.
“Astaga, kamu tak boleh bernegatif begitu! Lagian juga, kita tak tahu
mau tinggal dimana?” jawab Jordi melepaskan tangan Arif.

“Saranku kita cari kost-kostan yang dekat sini saja!” nasihat Arif

“Maksudmu dekat sini, ya berarti dekat stasiun begitu?”

“iya, kenapa memang?”

“Kukira kita akan ke tengah kota, tapi kan sesuai janji kita akan ke
tengah kota nanti!” ungkap Jordi

“iya, tapi berhubung hari semakin siang, Aku juga butuh istirahat,
untuk apa kita terus-menerus mencari suatu yang tak pasti!” bantah
Arif.

“Oke, kalau begitu. Apa perlu kita long march sejenak dari sini?”
tanya Jordi lagi.

“bolehlah, disini kan banyak kost-kostan!”

Akhirnya merekalah, Jordi, Arif, dan Sena mengadakan long march


kecil dari Stasiun mencari salah satu kost-kostan tak jauh dari situ.
Berjalan di trotoar yang becek, kumuh, sumpek, ramai, dan dipenuhi
kendaraan inilah keluhan anak rantauan yangg tinggal di Kota. Bagi
orang kota situasi seperti ini sudah biasa, hidup di Desa mencari
ketenangan ialah suatu hal yang selalu diinginkan, tetapi bagi orang
Desa hidup Kota memanglah indah untuk mereka mencari pekerjaan.

Terlihat wajah lesu, nan haus dari raut Jordi, Arif, dan Sena. Sesekali
mereka ingin membeli secangkir minuman per kepala untuk
menghilangkan rasa letih mereka dan haus, tapi mereka pun sampai
detik itu juga belum menemukan sedikitnya tempat untuk mereka
bersinggah. Tambah lagi, barang bawaan mereka tidaklah sedikit,
mereka harus menggendong sebuah tas yang dibilang tak seringan
yang dipikirkan.
Usai berjalan lebih dari 600 meter, dengan terik matahari
menyinari kepala mereka, akhirnya terlihat juga sebuah spanduk
raksasa tertulis “menerima kost bulanan.”,

“Arif, Sena. Sepertinya ada kost-kostan disini!” Jordi menunjuk


kearah sebuah spanduk berwarna kuning yang berdiri tegak di atas
sebuah gapura.

Arif dan Sena melihat tulisan itu, tulisan itu akhirnya membuat
kepala mereka haruss berpikir apakah mereka akan menginap disini,
sedangkan wujud Rumah dan bangunan saja mereka masih belum
tahu. Dan, ternyata kost-kostan itu berada di dalam gang. Satu-
satunya cara agar mengetahui keberadaannya aadalah masuk ke
dalam Gang.

Beruntungnya Gang itu merupakan Gang perumahan yang


muat dimasukkan lebih dari satu mobil, Gang itu merupakan Rumah
kelas menengah masyarakat Surabaya. Akhirnya karena sudah lelah,
mereka putuskan pasrah dengan memilih tempat itu. Berjalan tak
terlalu jauh, hanya sekitar 100 meter ke dalam Gang, terlihat
bangunan megah bagai bak istana.

Bangunan ini tak lain adalah kost-kostan yang dimaksud.


Dengan atap berelife bagai bangunan Eropa, dan sebuah lapangan
besar di dalamnya, terdapat air mancur di tengah bangunan seakan
menambah kesan kalau kost-kostan ini cukup eksulif di daerah itu.

Didalamnya pun tak sembarang orang, terdapat mahasiswa


kelas menengah dengan membawa mobil pribadi, sekaligus di
dalamnya terisi beberapa pegawai yang belum sempat mengontrak.
Adapula di dalam kost itu, campuran antara yang tua dan yang
muda. Mahasiswa, pekerja dengan jenis kelamin laki perempuan
dalam satu Kost-kost yang dibatasi dengan ketatnya pengawasan
oleh satpam.

Mereka putuskan untuk menginap di dalam kost-kostan itu


untuk sekian waktu yang cukup lama.

Anda mungkin juga menyukai