Anda di halaman 1dari 5

BAB 1 – SIAL

Bibir kecoklatan gelap mengecup kening seorang wanita muda


yang belum dikaruniai anak. Sebagai pengantin baru, pria itu terus
mengelus rambut istrinya, dan sesekali memanjakan ingin
dipasangkan sepatunya. Sang istri tersenyum malu-malu usai
berulangkali suaminya kecup di bagian keningnya. Sesekali pria itu
meraba punggung istrinya, dan bertanya “kamu gak pakai Bra ya?”.

Sang Istri tersenyum malu-malu, ragu ingin menjawab apa


hanya angguk di raut wajahnya saja. Lalu, melanjutkan mengikat
sepatu suaminya sebelum berangkat kerja. “Sayang, nanti pulang
Aku bawakan roti john kesukaanmu!” rayuan suaminya.

“hehehhe...” istri pun hanya tertawa sungkan dengan ucapan


suaminya. Merasa diabaikan, pria itu mengangkat dan menekuk
tangan kirinya, menatap jam tangan berlian yang bosnya belikan
khusus untuknya.

Barulah, wanita muda itu berkata ketika suaminya


menyibukkan diri dengan jamnya. “Sayang, Jam dari Bos itu gak
kamu simpan saja?” tanyanya. “Gak Ah, gak terlihat keren Aku
nanti.” Balas pria itu menyombongkan diri.

Wanita itu bernama rampung Sinta Erwin Putri, dia biasa disapa
Sinta. Sedangkan, lelakinya bernama Robi Darmawan. Beberapa
bulan lalu mereka baru menyelesaikan pernikahan mereka di Hotel
Berbintang tiga. Meski banyak yang beranggapan, bahwa mereka
memanglah pasangan yang matrealistis. Namun, sesungguhnya itu
hanyalah wacana atau nyinyiran orang orang yang tak menyukainya.
Sesungguhnya, Sinta dan Robi memang hidup sederhana. Maka dari
itu, janganlah lihat sesuatu dari luar saja sedang dalam diabaikan.
“Pakai maskernya mas?” Sinta menggulungkan lengan baju
kemeja milik Robi. “Ya pastilah! Sejak pandemi seperti ini,
pemasukan perusahaan semakin sedikit. Beberapa waktu lalu, teman
ku ada yang dikeluarkan. Sekarang katanya, Pak Bos mau pecat lagi,
Hendri temanku.” Robi melototkan matanya membayangkan
sesuatu.

“Hahh? Jangan-jangan, besok kamu yang dikeluarkan?” Sinta


membentak nyolot, Robi tanpa pikir panjang lebar tinggi langsung
menampar kepala Sinta. Seketika itu pula, teriakan pecah dari mulut
Sinta. “Ahhh....”. Namun, Robi tersadar sikapnya dibilang terlalu
berlebihan. Sehingga kedua tangannya mengelus pipi istrinya dan
berkata “maafkan aku sayang.” Nadanya memrihatinkan.

Sinta membangkitkan kepalanya, “maafkan aku juga sayang,


seharusnya aku tidak bilang begitu sayang, aku sama saja
mendoakan yang tidak.” ungkap Sinta. “Ya sudah, Aku pamit dulu
berangkat, doakan mudah-mudahan Aku selalu bekerja disitu.” Robi
mengangkat Sinta dari tepukannya.

Robi berdiri tegap, berpenampilan gagah, postur dan fisik calon


taruna masih melekat di dalamnya. Sinta kembali merapikan
bajunya, yang agak lusuk di bagian dada. Sebagai balasan, Robi
merapikan rambut Sinta yang telah kumal akibat pukulannya belum
lama.

“Ya sudah, kalau aku minta kamu merapilkan, kapan aku jalan!”
Robi meraba pinggir kanan rambut Sinta. “Baiklah, kalau gitu hati-
hati.” Balas Sinta melembut. Robi memajukan mulutnya kearah
kening Sinta, suasana hati Sinta kemudian berubah, kaget dengan
tingkah suaminya yang akan mengecupkan keningnya.
Namun, dugaan salah. Robi menurunkan terus bibirnya dan
memancungkan mulutnya, kearah bibir Sinta. Mereka kemudian
bercumbu mesra saling menempelkan bibir di mulut.
“cuuppp..kecupp....” serasa nyaman Sinta merasakan wanginya
mulut sang suami. Kedua bibir mereka saling bertemu. Dengan suara
samar-samar, mulut Sinta berkata “kenapa, kenapa kamu tidak
mengecup keningku saja?”. Suara samar-samar Robi ikut menjawab,
“gak, jika kening tak membuatmu merasa puas, maka kuserang
bagian bibirmu!” Sinta memuramkan wajah, tapi nafasnya tak kuasa
menahan ciuman Robi.

Robi kemudian mengembalikan wajahnya, Sinta menarik nafas


dalam-dalam. “Kenapa kamu ngos-ngosan?apa kamu sakit?” Robi
keheranan. “ohh...gak kok, Aku mau bersihkan Rumah dulu!” Sinta
mengambil sapu tepat di pinggir Kursi di tempat dirinya duduk, dan
Robi berhengkang meninggalkan Rumah.

Hanya dengan bermodal motor vespa tua dengan warna biru


telur, yang dia warnai sendiri. Motor itu dia gunakan untuk pergi
kemanapun berbulan madu bersama istri tercintanya. Sinta berdiri di
depan pintu menanti kepergian sang suami, sekaligus menyaksikan
perjalanan suami dan sang motor vespa itu mencari harta untuk
sesuap nasi mereka berdua.

Sebagai Pengantin baru, Rumah minimalis sederhana, dengan


berkendara motor vespa satu unit di Teras Depan tanpa sebuah
mobil yang menjadi alat transport mereka. Awal menikah harus
diawali dengan susah senang bersama, sedang kesuksesan adalah
puncak dari susah senangnya bersama yang telah ditempuh.

Kantor Insan Permata Raya merupakan kantor yang bergerak


dibidang produk panganan olahan higenis dan bergizi tempat dimana
Robi Darmawan bekerja sebagai Marketing Ketua. Kantor itu tidak
memiliki cabang, tidak memiliki agen, sehingga sumber penghasilan
hanya bergantung dari satu perusahaan. Maka disaat pandemi
corona seperti ini, banyak karyawan yang diliburkan. Kesulitan
panganan, dan minimnya pemasukan akibat runtuhnya ekonomi
negara membuat hampir 50% karyawan telah diliburkan bekerja
untuk selamanya.

Robi masih bertahan sebab Robi merupakan jantung


perusahaan. Disaat perusahaan berada dalam iklim runtuh, maka
marketinglah yang harus kerja keras dalam mencari konsumen.
Tugas Robi sendiri dibagi menjadi dua, kerja indoor dan kerja
outdoor. Namun, sembilan puluh persen Andi kerja di dalam
ruangan, sedang turun lapangan apabila harus bertemu dengan
perusahaan untuk kerjasama, selebihnya dia lebih banyak memberi
arahan untuk para buruhnya.

Jarak kantor dan Rumah memang tidaklah jauh, hanya sekitar


15 menit dari Rumah menuju kearah area pertokoan di wilayah
Semarang Selatan, berbatasan dengan wilayah Kabupaten.
Kantornya memang hanya berukuran 800m, namun memiliki 4 lantai.
Lantai 1 sebagai lobi menyambut customer, Lantai 2 sebagai tempat
Robi bekerja sebagai marketing, Lantai 3 sebagai ruangan para
buruh, Lantai paling atas tempat para petinggi perusahaan.

Langit terang benderang, mentari menyinari kota di pagi hari,


namun semua berubah ketika Andi membuka pintu. Berpuluhan
karyawan, berdiri mengheningkan cipta. Namun, parasnya tanpa
rupawan dan kebahagiaan sama sekali, menangis di depan Robi yang
baru saja tiba di Kantor. Sisanya, yang masih sibuk bekerja terlihat
tak menyimpan ekspresi sama sekali.

“Selamat pagi....”Robi menekan tombol absen yang berada di


samping kanan Ruangan, tanpa ada yang menjawab sapaannya.
Wajahnya ia balikkan kearah karyawan yang masih bekerja disitu.
Semua tak sebanding dengan indahnya hari itu. Hari itu memang
indah, namun berbeda dengan suasana kantor yang terlihat banyak
pegawai murung, sedih, dan entah menyimpan duka mendalam,
yang sesungguhnya entah mengapa sehingga Robi ingin bertanya
pada mereka.

Salah satu bawahan kesayangan Robi ialah Rubin. Tepat dengan


sapu lantai yang sedang dia genggam, seluruh air mata terkucur
deras di wajahnya. Seketika Robi menghampirinya Rubin, seluruh air
mata Rubin terkucur deras. Ada apa sesungguhnya yang membuat
para karyawan menangis. Tapi Rubin membocorkan semua, “Tuan
muda, Robi yang ganteng. Perusahaan akan tutup selama entah
kapan?” Isak tangis Rubin pecah dibadan Robi sang seniornya.

Robi pun kaget bukan main, apa yang harus dilakukan sedang
pekerjaan inilah yang mampu mencukupi kebutuhannya. Air mata
Robi pun pecah bukan main, dia yang berbekal sarjana S-1 Marketing
merasa pusing dengan nasibnya kini harus menganggur lagi dalam
waktu yang lama. Covid ini memang membuat orang gila.

Tak lama, Pak Bos besar dengan masker hitam yang dia
genakan, datang mengubah suasana. Semua mata menatapnya, yang
jelas ucapan bos pasti adalah pengumuman. Seluruh hati semua
berdebar tegang, termasuk Robi.

Anda mungkin juga menyukai