Anda di halaman 1dari 6

BAB 1 – ADIK KAKAK

Hari ini di tanggal hari sabtu tanggal dua puluh Juli 2019. Suara
semerbak para calon sarjana bersorak gembira mengangkat
toganya ke langit, namun tak sampai ke Angkasa. Dengan gravitasi
bumi lagi, akhirnya toga itu jatuh ke tangan mereka masing-masing.
Udara pagi menjelang siang yang sejuk di suasana kampus ternama
di Kota Jogjakarta mereka menikmati indahnya acara kelulusan itu.

Sekelompok keluarga yang berjumlah satu orang ayah, satu


orang ibu, dan satu orang pria dengan seragam kemeja mereka
genakan berdiri di bawah pohon cemara yang rindang nan sejuk
bersama dengan satu orang wanita yang bukan siapa-siapa dari
mereka tapi adanya hubungan timbal balik rasa cinta sehingga bisa
dikatakan pacar. Inilah keluarga Pak Herman, seorang mantan kepala
Desa di salah satu Desa di wilayah Sleman yang rela ke Jogjakarta
demi melihat kelulusan salah satu puteranya, yang bernama Dave.
Kedua putera itu bernama Joni dan Dave, namun nama itu bukan
nama asli melainkan nama akrab atau sapaan mereka.

Nama mereka yang sesungguhnya adalah Johandi Suwitro


Utomo dan Dafin Verdian Herwanto. Namun mereka singkat
namanya menjadi Joni, dan Dave untuk mempermudah panggilan
terhadap orang lain. Joni berstatus jomblo sedangkan Dave sudah
memiliki kekasih hati yang bernama Agnesa.

Meski seorang kakak yang lebih tua, tetapi Joni lebih memilih
mengalah demi kepentingan adiknya, Dave. Seorang gadis yang
menghadiri kelulusan Dave tak lain adalah Agnesa, pujaan hatinya
Dave. Dia rela menunggu dengan waktu yang lama hanya demi
kekasih tercintanya bersama calon mertua dan iparnya.
Mereka menanti kedatangan sang adik dari Ruangan Acara
menuju ke Parkiran, disitulah di Parkiran raksasa tempat mereka
berpose bersama, disitulah para keluarga alumnus mengabadikan
sebuah moment yang tak lain adalah foto wisuda. Banyak orangtua
mahasiswa yang berdatangan kemari hanya sekedar mengambil
sebuah jepretan gambar, bersenang-senang dengan anaknya, dan
aktivitas lain.

Seorang pria dengan memegang toga berjalan kearah


keluarganya, disana seorang ayah, ibu, kakak, dan satu orang kekasih
hatinya tersenyum bahagia menanti kedatangan putra kecilnya yang
sudah lulus.

“Pak, Bu, Adek, yang. Selamat ya Aku sudah lulus.” Dave


mendekat dan memeluk ayahnya tercinta. Ibu, Joni, dan Agnesa
tersenyum di belakangnya, tak lama ibu langsung menyauti “jangan
lupa cari kerja ya nak setelah ini!”. Dave melepaskan pelukannya,
“iya bu, pasti habis ini Dave langsung cari kerja.” Satu keluarga itu
tersenyum.

Joni menepuk bahu adiknya bercanda, “heh, denger kata ibu!


Cari kerja bukan cari cewek!” sindirnya sambil melirik kearah Agnesa.
Agnesa hanya nyengir di bibirnya.

“Iya, iya ngomong saja iri jomblo wkwkwkk..” balas Dave


menyindir kakaknya yang masih jomblo. Joni pun terdiam cemberut,
sedang semua keluarga pada tertawa.

Kemudian komando dari kepala keluarga Pak Herman berbunyi,


“oke, sekarang karena kita lagi di Jogjakarta bagaimana kalau
misalnya kita jalan-jalan dulu mumpung masih disini!”

“setuju.” Ketiga suara keluarga, ibu, dan dua anaknya kompak


menjawab satu perintah ayahnya yang ingin buat senang anak-
anaknya. Lalu bagaimana dengan Agnesa? Apakah mau diangkat
keluarga juga. Dave menepuk bahu kekasihnya, dengan kata pelan-
pelan bilang, “ikut gak kamu jalan-jalan?”

Agnesa menyimpan rasa malu yang amat dalam ternyata,


Agnesa ingin berkata apa malu hati, ditambah lagi seluruh mata
memandang wajahnya inilah yang menambah rasa malunya kian
bertambah.

Hasil buah pemikiran Agnesa berkata, “gak usah, Aku pulang


saja!” tolak Agnes.

“Lho gak papa to, kita kan sudah seperti keluarga sendiri.” Dave
merasa berat hati dengan penolakan Agnesa.

“Bagaimana ya?” Agnesa masih menyimpan keraguan.

“Sudahlah..gak usah sungkan-sungkan, kita kan sudah


saudara.” Joni menyahut pertanyaan Agnesa.

Agnesa malah tambah bingung.

“Sudahlah kita kan satu daerah, kalau satu pulang sendiri yang
satu juga pulang sendiri kan lucu. Mumpung ada mobil, kita balik ke
Sleman dan sebelumnya mampir dulu keliling Jogja.” Nasihat
Ayahanda Joni.

“Oke wes, Aku ikut saja.” Akhirnya, Agnesa menerima tawaran


keluarga Pak Herman.

“Tapi kira-kira aku diculik enggak?” Agnesa pura-pura bertanya


guyonan itu meski ada keraguan dalam bicaranya.

Semua mata kembali tertuju kearah Agnesa. “Ya enggaklah, kita


kan tetangga. Ngapain harus main culik-culik segala.” Sahut Dave.
Dan, akhirnya semua menaiki mobil Avanza milik keluarga Pak
Herman, berjalan mengelilingi Kota Jogjakarta adalah impian mereka.
Setiap liburan mereka yang tinggal di Sleman menghabiskan waktu
seharian penuh di Jogjakarta. Ada uang, atau dompet kosong tetap
liburan di Jogja adalah rutinitas mereka.

Pak Herman sebagai supir, sedang ibu Kartika atau lebih dikenal
Ibu Herman duduk di sampingnya. Joni dan Dave duduk di kursi
tengah, dan Agnesa di belakang sendiri. Demi mencegah perbuatan
mesum, maka Agnesa harus dipisah sendiri.

Sesekali, Joni mengorek kresek putih yang mereka bawa dari


Sleman. Kresek itu berisi jajanan yang mereka beli di Supermarket
sebelum berangkat ke Jogja. Joni menawarkan jajanannya ke Dave,
dan Agnesa. Bu Herman yang tengah menemani suami, tiba-tiba
menoleh kearah kedua puteranya di belakang.

“Bu bagi dong jajanannya.” Tangan Ibu menyalimi kearah Joni.

Joni yang malu karena lupa nawarin bapak ibunya, langsung


memberikan sebungkus jajan itu kearah kedua orangtuanya. Namun,
sayang Pak Herman menolak karena Pak Herman sibuk fokus ke
depan jalan.

Namun siapa sangka dibalik fokusnya Pak Herman ke jalan,


mulutnya masih mampu menasihati kedua anaknya, terutama Dave
yang masih memakai pakaian wisuda.

“Dave, cepat ganti pakaianmu. Sebentar lagi sampai!” gelagat


serius dari ayahandanya sambil menggoyangkan setir mobil miliknya.

“Oh..sudah mau sampai pak?” Dave menoleh dari balik jendela.


“kita sudah di Malioboro?” lanjutnya.
“Iya, Bapakkan dari dulu kalau ke Jogja harus ke Malioboro
dulu.” Celutuk Pak Herman, lalu Bu Herman malah mendorong
suaminya dan tertawa akibat candaan Pak Herman.

Pak Herman melepaskan sabuk pengamannya, kemudian


memberi perintah kepada seluruh keluarganya,”ayo turun sini saja.”
Menunjuk kearah parkiran mobil di samping Trotoar depan toko
batik Malioboro.

Dave merapikan pakaiannya sejenak, saat Joni dan mama


sudah turun. Agnesa masih menunggu Dave selesai merapikan
pakaiannya. Tak disangka, Agnesa menepuk bahu Dave saat Dave
melipat pakaian.

“Dave, Aku jadi gak enak nih...sama keluargamu!” curhat


Agnesa malu-malu.

“Kan sudah Saya bilang, kita kan sudah saudara. Kenapa kok
masih sungkan-sungkan segala?” jelas Dave dengan logat jawa
kejogjaan yang khas kental.

“Tapii....”Agnesa masih merengek dengan paras agak sedikit


kecut.

“Ya sudah ayo turun.” Dave turun dari mobil dan berjalan
kearah Pusat Keramaian. Agnesa masih menyimpan rasa tak enak
hati, meski ikut turun tetapi hati Agnesa tak ingin menyusahkan
keluarga Pak Herman walaupun dalam keseharian dia sudah
memahaminya kalau Pak Herman mantan kepala Desa dengan
sepuluh tanah.

Agnesa berjalan tertinggal dari mereka, sengaja Agnesa


lambatkan langkah kakinya. Karena tak mau kenapa tawar-menawar
hadiah dari Dave dan keluarganya, satu satu cara adalah tetap dia
dalam kesendirian.
Karena berjalan dengan penuh keraguan, Agnesa malah
apes. Dia menabraki tumpukan baju di dalam salah satu toko baju,
dan tumpah berceceran di lantai, seluruh karyawan dan karyawati
melihat ulah blunder dari Agnesa yang kaku bagai batang kayu.
Wajah Agnesa langsung memerah, dia langsung menggembungkan
pipinya, menutup mata, seluruh pikirannya bergoyang kesana-
kemari. Malu melihat tumpukkan pakaian jatuh karena ulahnya
sendiri, “ bagaimana ya kalau sampai keluarga Pak Herman tahu?”
Agnesa bertanya pada hati kecilnya.

Anda mungkin juga menyukai