Anda di halaman 1dari 9

BAB 1 – ANAK BUANGAN

Sudah empat hari ini Indira tak makan, jatah makan hanya diberikan sebungkus tiwul pembelian
uangnya sendiri akibat ulahnya yang membuang buku tulis milik Ayahnya berisi catatan keuangan
bulanan. Meski perbuatan Indira dikatakan tak sengaja tetapi sulit ditoleransi bagi ayah Indira.

Indira sejak dulu sudah menjadi bulan-bulanan hangat sang ayahanda apabila, emosi
menerjangnya. Ayah Indira sangat membenci putri tunggalnya sendiri sejak kepergian sang Ibunda
meski sudah 8 tahun berlalu. Artinya bertahun-tahun hidup Indira selalu bersama dengan memakan
hati akibat emosional sang ayah.

Malam itu Indira, dikurung usai 4 hari tak menikmati makan seperti biasa. Indira dikurung di
dalam Gudang yang pengap, tak ada pentilasi udara, terkadang tikus dan kecoa berlalu lalang
menghiasi dinding lantai yang kotor, bau apek Ruangan menyebabkan nafas mereka kesulitan.

Tak lama sang Ayah mendederkan sebuah pintunya, “Indira...Indira...” teriak amarah sang
Ayah dari balik pintu. Indira tak ingin membukannya, andai Indira membukanya maka habis sudah
riwayatnya. Semua memang salah, Indira membiarkan suara auman ganas sang ayah terus
mengantuinya, dia membukanya pasti sang ayah akan menyekap dia di kamar mandi. Sungguh nahas
sekali nasib sang indira.

“Indira...buka pintunya!” teriak sang ayahanda.

Indira tak menggubris ucapan sang ayah dia terus menutup kupingnya, menekuk kakinya,
dan terdiam duduk di pojok Ruangan yang pengap tak berudara.

“Indira buka pintunya, atau Ayah tendang pintunya!” suara semakin keras membuat Indira
semakin ketakutan.

“Cepat,...Bapak hitung sampai tiga, gak dibuka. Bapak Akan menendang kuat pintu ini!”
ancaman keras dari ayahnya.

Mau tak mau Indira bangkit dari duduknya, dia berjalan membuka pintunya. Perlahan-lahan,
berjalan dan membuka pintunya. Tampak di depan Indira, sang Ayah berdiri. Parasnya penuh emosi
kemarahan, Ayah langsung menyodorkan putri semata wayangnya menuju kamar mandi.

Disitulah kepala Indira dimasukkan kedalam bak mandi, beberapa kali sang Ayah
mengguyurkan wajahnya ke kepala, sungguh terlalu hanya karena salah membuang buku, kini dia
harus menerima hukuman yang berat bagaikan tahanan.

Dalam hati indira menangisi bahwa, “Apa salahku sehingga sang Ayah membenciku?Aku
adalah puteri satu-satunya Ayah, Akulah calon kebanggan Ayah, namun mengapa Ayah terus
mengabrukan diri Aku ini?” tanya Indira dalam hati.

“Ayo sini cepat!” Ayah menariki baju milik Indira, semua badan basah kuyup tak tersisa
sedikitpun badan Indira yang kering, bergelimpangan air membasuhi badannya. Tapi entah
mengapa, Indira tak mengungkapkan sedikitpun perasaan sedihnya kepada kebengisan sang
ayahanda.
Usai membasuhi semua badannya, barulah Ayahanda mendorong puteri semata wayang itu
terjatuh, dengan punggung menatap tembok. Semua badan terasa sakit, Indira kini baru menangis
hebat, dan Ayah malah membiarkan Indira menangis di dalam kamar mandi di malam itu.

Ayah keluar Kamar Mandi berjalan menuju Ruang Tamu, disana dia langsung mengambil
sebatang rokok yang dia taruh diatas meja dan mengisapnya, barulah dia keluar Rumah
meninggalkan Indira di dalam Kamar dengan tubuh basah kuyup.

Sungguh perasaan ini sangatlah menyakitkan, hati terbakar, badan terasa dingin, dada terasa
sesak, semua dirasakan oleh Indira. Ingin bunuh diri namun ingat akan dosa, maka tak pantas bagi
Indira mencoba bunuh diri.

Indira melepas pakaiannya di kamar, beberapa tetes air terkuyup membasahi lantai, kamar
itu adalah kamar milik Indira sendiri. Dulu, indira suka tidur bareng Mama. Namun, sejak Mama
pergi, Indira selalu tertidur sendiri tanpa ada gerangan yang menemani.

Kini, sepertinya Indira terkena demam, tiba-tiba badannya panas usai diguyur air habis-
habisan oleh Ayahnya, dan suhu tubuh langsung memanas bagaikan api yang membakar dalam
tubuhnya, ditambah lagi perut Indira malam ini lagi kosong. Maka tidurlah adalah solusi Indira agar
tak merasakan semua penderitaan yang dia alami saat ini.

Indira tertidur lelap, sedang Ayah pergi mabuk-mabuk bersama wanita di kawasan prositusi
tertutup di sepanjang jalan kota. Inilah rutinitas sehari-hari Ayah Indira, Indira tak berani menegur
ayahnya sendiri meski hal itu memang tak pantas, namun amukan Ayah Indira penyebab Indira
merasa kian tersakiti.

Keesokan harinya, Indira terbangun dari tidurnya. Sinar mentari menyinari kamar Indira,
namun untuk kali ini, entah mengapa semangat Indira kian memudar, perasaannya sedih, galau,
resah, dan stress melebur jadi satu di dalam insan hatinya. Indira terbangun menggigil dengan
memeluk erat tubuhnya sendiri, walaupun cuaca hari iitu sedang panas, namun tubuh Indira tetap
ikutan panas. Hatinya bergoncang deras, merasakan pahitnya penyakit demam. Semalam tak ada
sesuap nasi masuk ke dalam mulutnya, tekanan hidup yang berat, hingga guyuran air dingin yang
deras membuat dirinya terkena demam parah.

Indira mencoba turun dari atas ranjangnya berjalan menuju Ruang Keluarga, mungkinkah
ada sebuah obat yang mampu menahan reda rasa sakitnya. Indira terus mencari kesana kemari,
perut yang terus berkeroncong, dan tubuh yang terus menggigil merasakan perihnya sakit untuk kali
ini, usai 2 tahun kurang Indira aman dari demam.

Tiba-tiba suara motor vixion massuk ke dalam Rumah, tertancap keras dentuman hingga
mendekati tembok Ruang tamu bagian depan. Seorang pria dengan jaket kulit berwarna hitam dan
kacamata hitam turun dari motornya. Awalnya Indira kira dia merupakan preman jalang yang ingin
menguntit Indira, tetapi itulah Ayah Indira yang menghabiskan larut malamnya dengan sekumpulan
wanita bayaran yang siap menjual kemaluannya hanya demi sesuap nasi. Inilah kebiasaan Ayah
Indira, berangkat malam pulang pagi menyiksa anak adalah rutinitasnya,

“Indira.” Teriak Ayah setengah sadar.


“Ya pak.” Indira berjalan kearah Ayahnya

“Buatkan ayah kopi sekarang juga!” perintah Ayah.

“Baik yah!” Indira segera berlari menuju dapur membuatkan sebuah kopi hitam kesukaan
Ayahnya.

Ayah Indira langsung tertidur di atas sofa Ruang tamu dengan mulut bau alkohol, Ayah Indira
memang pecandu Alkohol berat, sejak kepergian istrinya, Ayah Indira lebih banyak melampiaskan
semua emosinya, dimulai minum alkohol, rokok keras, seks bebas, hingga narkoba. Sungguh inilah
yang menguji bagi Indira.

“Ini pak!” Indira berjalan kearah Ayahnya dengan membawa secangkir kopi hitam
kesukaannya.

“Ya taruh di meja!” Ayah Indira menunjuk kearah Meja depannya.

Indira menaruh secangkir kopi itu perlahan-lahan diatas meja, tapi sesuatu terjadi dan tak
memuaskan di hati sehingga membuat Indira merasa sakit lagi, apa yang terjadi memang sungguh di
luar nalar Indira sebelumnya.

Ayah Indira langsung menendang secangkir kopi itu kearah baju Indira, sontak seluruh baju
Indira yang baru diganti semalam basah kuyup dengan hitamnya serbuk dan air kopi di baju, wajah
pun ikut dipenuhi bintik-bintik cairan kopi hitam. Ekspresi Indira kini berubah, seakan-akan sudah
dipermainkan oleh Ayahnya sendiri.

“Maksud Ayah apa?” kini Indira berteriak setengah mati memberanikan diri melawan
Ayahnya tak peduli risiko yang akan diterima di kemudian hari.

Mendengar amukan dari Indira, barulah disini Ayah Indira bangkit dari dudukannya, situasi
semakin panas.

BAB 2 – AYAH YANG MESUM

“Maafkan Ayah, Ayah sudah jahat sama kamu!” Kini nada Ayah melembut, Ayah berjalan langsung
mendekati arah Indira. Dan Indira sendiri bingung mengapa tiba-tiba Ayah melembut tak
terbayangkan.

“Sini Ayah bersihkan!” Ayah memegang baju Indira, Indira semakin bingung. Apa maksud
dan tujuan Ayah membantu Indira, sekarang ini. Sebelumnya terlihat dirinya sangat marah
kepadanya namun entah kenapa kini terlihat lebih tenang. Dan semua itu ternyata ada maksudnya.

Ayah melepaskan semua pakaian Indira, dan keebtulan pakaian Indira, kebetulan Indira
sendiri tak memakai Bra, Indira langsung cemas, di dorong habis-habis oleh Ayahnya hingga terjatuh.
Celana pun dibuka, tak tahan melihat kondisi ini akhirnya, Indira berteriak “tidakk...Ayah kurang
ajar.” Sehingga Ayahnya menghentikan sentuhan kearah tubuh putrinya.
Tapi ekspresinya berubah, Ayah langsung mengangkat kuat puterinya dan membawa lagi ke
kamar mandi, kedua kalinya Indira diguyur habis-habisan oleh Ayahnya sendiri. Ayah Indira tampak
marah, usai putri semata wayangnya membentak Ayahnya sendiri. Baru kali ini Indira berani
melawan amukan Ayahnya, meski diujung tanduk Indira akan mendapat jeratan yang lebih kejam
dari sebelumnya.

“Byur byur...byur...” tubuh indira tersiram Air deras dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Semua basah kuyup untuk kedua kalinya usai semalam mendapat siraman air, kini untuk kedua
kalinya siraman itu membasahi semua tubuhnya.

“Ayah, cukup.” Indira berteriak kencang, hingga akhirnya memutuskan untuk mengakhiri
siraman dengan Indira.

Ayah kemudian menyeret tubuhnya lagi bergerak menuju kamarnya. Semua badan dipenuhi
basahnya air deras, padahal di pagi itu juga Indira dinyatakan demam tinggi. Ditambah lagi, kini
seorang ayah mengguyurnya, sakitnya Indira semakin parah.

Indira menangis kuat di pagi itu, Ayahnya mengunci dia dibalik pintu, dan turun lagi ke lantai
dasar hingga tak tahu harus berbuat apa Indira sekarang.

“Permisi...” suara teriakan ketukan pintu dari luar berniat masuk ke dalam Ruangan.

“Masuk!” teriak ganas Ayah Indira.

Dialah Pak Teddy, seorang kepala mucikari di lokalisasi tempat langganan Ayah Indira. Ayah
Indira keheranan ada apa Pak Teddy kemari.

“permisi, pak. “

“Ehh..Teddy. Masuk.”

“Baik pak.” Pak Teddy berjalan masuk ke dalam ruangan.

“Bagaimana kabarnya?”

“Baik, bahkan baik sekali!” ucap Pak Teddy.

“Ada apa kemari?”

“Jadi begni, beberapa waktu lalu. Polisi sempat menggrebek lokalisasi, dan beberapa cewek
jalang berhasil di tangkap. Nah, sekarang kita kehilangan beberapa pelacur di dalamnya. Apa Bapak
berminat menyumbangkan putrinya ke lokalisasi?” tanya Pak Teddy.

Ayah indira terdiam, berparas kecut seketika. “Maksudmu apa? Kamu mau jadikan anak saya
pelacur, gitu?” Ayah Teddy kini mengerutkan dahi.

“Iya, kenapa memang?” jawab Pak Teddy tanpa pikir lebar panjang.

Ayah Indira kemudian tersenyum kecut, tapi dia akhirnya mempersilahkan putrinya di bawa
ke kamp lokalisasi untuk meladeni cowok, namun risikonya Ayah Indira harus jarang ke Lokaliasasi
agar tak diketahui ayahnya.
“Boleh, silahkan saja ambil anak saya!” Ayah indira mempersilahkan.

“Baiklah, kapan bisa bawa kesana?”

“By the way, mau beli berapa anak saya? Kok mau gratis saja?”

“Tenang untuk urusan gaji, 60% persen untuk lokalisasi, dan 40% untuk bapak.” Jelas Pak
Teddy.

“Berarti anak saya tidak dapat cuan?” lanjut Ayah Indira.

“Yaps betul. Kan cuan anak bapak sudah jadi satu dengan bapak.”

Ayah indira tersenyum kecut.

“Kapan mau bawa anak bapak kemari?” tanya Pak Teddy lanjut.

“diusahakan secepatnya!” pungkas Ayah Indira.

Pak Teddy kemudian berdiri menyalimi Ayah indira. Segera beranjak hengkang dari kursi
Ruang tamunya hanya memiliki keputusan cepat tanpa panjang lebar. Pak Teddy segera pergi dari
Rumah, dan Ayah Indira bergegas cepat menuju lantai atas.

“Indira...Indira...bukan pintunya!” bentak Ayah Indira.

Indira perlahan-lahan membuka pintunya, kini tubuhnya sudah bersih, raut wajahnya polos
tak ada ekspresi melihat wajah Ayahnya yang bergelagak setengah bahagia.

“Ada apa yah?”

“Eh..barusan Ayah dapat lowongan kerja buat kamu, harus ikut!”

“Lowongan apa, yah?” Indira penasaran.

“Pokoknya nanti malam ikut Ayah saja.”

Indira bahagia, dan masuk lagi ke dalam kamarnya, tertidur diatas ranjang sambil mengusap
ponselnya, kepalanya terbayang dia sudah mendapatkan pekerjaan dari Ayahnya, rasanya hati ingin
menunjukkan kepada teman-teman kalau dia sudah kerja sekarang.

Hingga malam pun tiba, Indira dengan cepat mencari Ayahnya yang tengah duduk di Ruang
Tamu. Indira perlahan tapi pasti menuruni anak tangga, melihat dari kursi bawah Ayah Indira sedang
asyik mengisap rokok dengna celana jenas sobek bagai preman, belum lagi Jaket ala Dylan
membuatnya terasa ditakuti banyak orang.

“Sudah siap?” tanya Ayah

“Sudah.” Indira tersenyum di wajah ayahnya.

Ayah Indira dan Indira segera menaiki motor ke arah tempat yang pengap, bau, sempit, dan
banyak warga kampung di dalamnya. Awalnya, Indira tampak bahagia. Namun semua berubah
penuh tanda tanya, ketika Indira melihat banyaknya pelacur berkelairan di sekitar tempat Indira dan
Ayahnya mematikan motor.

“Ayah, apa tidak salah tempat?” tanya Indira.

“Memang disini kerjamu!”

Indira langsung berparas kosong, namun dipikirannya masih ada tanda tanya yang belum
terjawab, untuk apa Indira dibawa kemari.

“Ayah, maksudnya ini apa yah?”

“Kamu disini mau dijadikan pelacur!” teriak Ayah indira.

Barulah Indira menyadari kalau Ayahnya mengingkan putrinya menjadi seorang pelacur.
Indira kemudian menaiki motornya lagi, rasa ingin melarikan diri dari Ayahnya, dia tak menyangka
kalau dirinya akan dijadikan pelacur oleh ayahnya sendiri.

Tapi, semua nahas. Kunci motor dibawa oleh Ayah Indira, dan Indira mau melarikan diri
bagaimana, sedang punggungnya sudah diseret untuk di taruh di dalam bordil bersama 4 psk dengan
hotpants yang dipakainya.

“Sudah, kamu bekerja disini sama mereka!” titah Ayah indira.

Indira menjerit tersedu, menangis dengan sikap ayahnya yang tega membuangnya ke dalam
bordil. Tak lama, tas ransel yang digendong oleh Ayah Indira dengan warna coklat tua dia lempar ke
lantai dimana Indira didorong.

“Ayah, tolong Aku!” Indira berlari.

Indira terus menjerit tangis di wajahnya, keempat mucikari memandang wajahnya terus
yang merah bagai darah. “sudah duduk disini, ganti pakaianmu, nanti kuajari caranya mendapat
cowok hidung belang!” ungkap Satu wanita disitu yang bernama Angel.

Indira terdiam tak menanggapi ucapan keempat wanita jalang itu, hanya anggukan di kepala
dengan paras polos yang bisa Indira rasakan.

“Ayo cepat sana ganti celana, sebelum dimarahin bu mucikari.”

Indira tak menanggapi ucapan semua mucikari. Masih bingung dengan situasi.

“Toilet dimana ya?” tanya Indira kepada semua mucikari disitu.

Semua langsung menunjukk kearah ruang kecil yang terletak di pojok Rumah bordil.
Ruangan itu sangat kecil, dan hanya mampu diisi satu orang, sempit, kumuh, bau pula. Indira segera
menggunakan baju kaos oblong dan hotpants.

BAB 3 – SENDA GURAU


Tepat jam dua belas malam, wanita dengan pakaian tanktop pink dan hotpants berjalan
menyusuri semua Bordil. Beberapa wanita langsung berdiri tegap, seketika wanita melintasi mereka.
Dialah Mucikari di lokalisasi itu, orangnya memang agak ketus, kejam, dan intoleran. Bahkan saat
melihat Indira sendiri, dia langsung sigap menghadang wajah Indira.

“siapa kamu?” tanya Mucikari itu.

“Aku??Aku Indira.”

“kenapa kamu disini? Kamu masih cantik.”

“Ayahku menaruhku disini.”

Muckari itu langsung memegang dagu Indira, detak jantung Indira berdegup kecang.
Kemudian, Mucikari itu melihat seluruh fisik Indira dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Kamu memang cantik sekali. Sepertinya ada anugrah di dalam lokalisasi ini.” Ungkap
Mucikari itu.

Kemudian, Mucikari itu menarrik tangan Indira entah kemana. Dan Indira pun kaget, dia
ingin membantah namun tak bisa karena genggaman tangan mucikari itu dibilang cukup kuat.

“Bu, saya mau dibawa kemana?” Indira kini terkesan panik.

“ikut saya!” mucikari itu terus menyeret Indira masuk ke hadapan lelaki yang berdiri di
depan gerbang lokalisasi. Terdapat sekitar 7 lelaki berdiri disitu, pandangannya tajam kearah Indira.
Mereka semua bertubuh gempal, berbadan gemuk. Dan ada satu yang kurus tapi sepertinya yang
kurus itu bernafsu tinggi.

Indira tetatap kosong kearah 7 lelaki itu. “silahkan layani 7 lelaki ini!” teriak Mucikari itu.

Indira kaget bukan main, padahal baru malam ini dia ditaruh di panti, dan seakan-akan dia
harus kerja paksa seperti tawanan saja.

“Hay cantik, Aku mau dong dalamannya cantik.” Ucap satu lelaki berhidung belakang.

“oh tidak, Aku harus bagaimana?” ungkap Indira.

Tak lama Mucikari itu langsung memberikan satu ruangan khusus untuk mereka menikmati
bersama-sama. Dalam satu bordil berukuran agak besar, mungkin disitu balai pertemuan para PSK.
Mucikari itu mendorong Indira kedalam balai pertemuan itu tak jauh dari gapura depan lokalisasi.
Dan Indira terjatuh.

Semua lelaki hidung belang segera masuk. Indira berusaha melarikan diri tetapi semua pintu
sudah dikunci. Terus bagaimana sekarang?salah satunya adalah bersikap pasrah dengan keadaan.
Beberapa lelaki sudah menunjukkan gairah nafsunya pada Indira, dan wajah Indira tampak cemas
memelas. Harus berbuat apa selain diam? Sedangkan Ruangan sengaja di kunci oleh Mucikari yang
tak tahu pergi kemana.
Mata Indira sudah setengah mengatuk, dan jam menunjukkan jam satu malam, paras Indira
yang tak kuat lagi, akhirnya membiarkan beberapa lelaki disitu meraba badannya. Indira terlihat
bagai sapi kurban saja yang sebelum disembelih. Beberapa lelaki sudah siap melepaskan semua
pakaian Indira, tak ada kata lain yang mampu melindungi semua kekuatan Indira dalam
membentengi dirinya.

Dan, Indira tertidur disaat para lelaki mengganggunya.

Pagi hari pun tiba, Indira yang tertidur dengan badan tanpa busana sedikitpun dia kaget,
sedang semua lelaki sudah pergi. Indira terbangun diantara kaget, pusing, dan tak percaya. Kaget
melihat seluruh busanannya lepas dari badannya, pusing merasakan sedikit rasa mual di dalam
perutnya entah masuk angin atau ada masalah lain, dan tak percaya, apa yang sudah terjadi pada
dirinya semalaman.

Pintu ruangan sudah terbuka, beberapa wanita disitu tengah asyik memutarkan alunan lagu
dangdut dibalik speaker yang besar, dan ada beberapa perempuan jalang lain sibuk membeli sayur di
tukang sayur lewat langganan.

Indira segera menutup pintu dan memakai pakaiannya, semua tampak biasa-biasa saja,
hanya saja dia tak paham semalam usai menjadi bulan-bulanan lelaki hidung belang, apa yang dia
lakukan.

Indira membuka pintunya usai memakai baju dan celana tanpa pakaian dalam sedikitpun.
Dia berjalan kembali ke bordil tempat dia dilempar oleh Ayah kandungnya sendiri. Beberapa
perempuan jalang disitu, masih tengah asyik menyantap nasi goreng bungkusan pembelian mereka
sendiri.

“Indira, dari mana saja?” tanya salah satu PSK disitu.

“sini makan!” tawar salah satu PSK disitu.

“oh ya terima kasih.” Tanggap indira, dan duduk di sebelah beberapa wanita jalang itu.

“Kenapa? Kamu tampak pucat begitu?” salah satu psk bertanya pada Indira yang terlihat
melas dan pucat itu.

“Aku...Aku semalam di setubuhi tujuh lelaki sekaligus.” Ungkapnya.

“Hah? Perasaan dulu kita prospek tak sampai segitunya?”

‘Iya, apa bu mucikari tampak sentimen denganmu, Indira?”

“Aku gak tahu lagi, tapi tubuhku langsung serasa mulas usai disetubuhi tujuh lelaki
sekaligus.” Perasaan Indira.

“Mungkin karena kamu cantik, Dir?”

“Aku tak menyangka kalau Ayahku memperlakukanku seperti ini?” ungkap Indira.
Seorang psk itu kemudian merangkul pundak Indira, dan memeluk erat Indira. Dia menangis,
tak kuat melihat Indira yang cantik diperbudak oleh mucikari. “kamu gak cari kerja lain saja?” tanya
PSK yang memeluknya.

“Aku tak tahu Aku harus kerja apa?” jawab Indira.

Indira akhirnya menjalani satu hari di dalam bordil yang sempit pengap, dan sesekali musik
dangdut dan lokal terus beralunan di dalam lingkungan lokalisasi itu. Sorenya barulah Indira berjalan
kaki mengelilingi wilayah Lokalisasi, sungguh semua PSK disitu terlihat tampak diperlakukan seperti
halnya binatang, mereka siap melakukan apa saja asalkan dapat cuan, tapi belum lagi dia harus
membayar pajak kontrak bulanan plus tip untuk mucikari.

Artinya, setiap PSK mungkin hanya dapat 40-50% dari pemasukannya, selebihnya dikasih
kepada Mucikari dan pajak lokalisasi. Memang sangat menggenaskan, tapi mau bagaimana lagi,
besar gajinya tak sesuai dengan berapa pengorbanan mereka.

Melihat semua PSK disitu, tampak membuat Indira merasa sadar dibawah dirinya masih ada
yang lebih rendah lagi. Tapi, Indira berusaha tegar meski kehidupannya dinilai sangat tak layak.

Malam hari, beberapa PSK mungkin mendapatkan tugas dengan beberapa lelaki hidung
belang. Beruntungnya di malam kedua bagi Indira tak mendapatkan orderan, tapi Indira juga harus
berdiam di sebuah Ruangan kecil yang terletak di Taman lokalisasi, bersembunyi demi mencegah
ketahuan oleh mucikari. Indira berdiam disana, memojokkan badannya bersama salah satu PSK yang
sudah hampir 5 tahun menggeluti di dalam lingkungan lokalisasi.

Dia bernama Wendy. Indira menghabiskan semalam dengan curhat bersama Wendy
kebetulan Wendy tinggal disalah satu bordil bersebelahan dengan Indira, tapi tampak lebih pengap
dibanding milik Indira. Setiap bordil bisa diisi lima hingga tujuh wanita.

Wendy menceritakan semua pengalamannya selama menjadi seorang PSK. Ceritanya


memang membuat Indira harus mengeluarkan air mata deras, sebuah kisah kelam Wendy
membuatnya jadi termotivasi.

“Kedua orangtuaku pergi selamanya ketika Aku masih SD, dan Aku diasuh oleh bibiku yang
bengis. Karena Bibi memang bengis, Aku tak bisa lanjut SMP sehingga Aku harus menjadi SPG di
salah satu toko gerai Handphone. “ jelas Wendy.

“terus kelanjutannya, bagaimana?” Indira penasaran.

“lalu, karena Aku dibilang tak bisa membidik customer, maka bos ku membawaku ke sini.
Dan, Aku dipekerjakan disini hingga lima tahun sekarang.” Wendy menutup matanya menangis kuat.

“Astaga, yang sabar yah!” jawab Indira.

“Aku sudah menjalani lima tahun disini, dan Aku belum bisa keluar dari sini, karena siapa
yang ingin menyelamatkanku, dan jika Aku keluar, maka reputasiku akan jelek di mata orang.” Ucap
Wendy terus menangis.

Anda mungkin juga menyukai