Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Kybernan, Vol. 3, No.

1, Maret 2012

Pengembangan Iklim Investasi Daerah

Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir

Abstract

The dynamics of regional economy development that all this time is moved by
domestic consumption needs to be pushed by investment and export. For that
reason, conducive investment climate is needed. It is a climate that
encourages someone to do investment with cost and risk as low as possible
and produces high and long term profit. There are some factors which
influence the investment, namely politic and social stability, base
infrastructure condition, financing sector, labor market, regulation, taxation,
bureaucracy, corruption, consistency and policy assurance.

Keywords: Economy development, regional investment, regulation

A. Pengantar
Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sampai tahun 2010 masih
tinggi dan diperkirakan tahun 2012 terus meningkat. Tingginya tingkat
pengangguran ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang belum dapat menciptakan lapangan kerja baru. Hal ini
mengakibatkan upaya menciptakan kesempatan kerja seluas-luasnya
tidak sepenuhnya dapat dicapai. Jika pada tahun 2009 pengangguran
terbuka berjumlah 10,3 juta orang atau 9,9% dari jumlah angkatan kerja,
maka pada tahun 2011 jumlahnya telah menjadi 10,9 juta orang atau
10,3% dari jumlah angkatan kerja. Pengangguran terbuka di Indonesia
juga masih diwarnai oleh besarnya kelompok usia muda dan
berpendidikan sangat rendah. Pada tahun 2011 pengangguran terbuka
pada kelompok usia muda (15-24 tahun) berjumlah 6,6 juta orang atau

10
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah

60,8% dari jumlah pengangguran terbuka. Tingkat pendidikan yang


ditamatkan oleh sebagian besar pengangguran terbuka hanya sekolah
menengah pertama ke bawah, yaitu 6,2 juta orang atau 54,7%
pengangguran terbuka.
Sebagian besar pengangguran terbuka berada di daerah perkotaan
yaitu sebesar 5,9 juta orang atau sekitar 54,2%. Namun demikian, terdapat
kecenderungan meningkatnya jumlah pengangguran terbuka di daerah
perdesaan selama kurun waktu 3 tahun terakhir ini. Jika pada tahun 2003
jumlah pengangguran terbuka di daerah pedesaan sebesar 4,6 juta orang,
pada tahun 2005 menjadi 4,9 juta orang. Dari jumlah keseluruhan
pengangguran terbuka, sekitar 5,5 juta orang atau 50,5%-nya berada di
pulau Jawa. Kondisi ini juga perlu mendapatkan perhatian yang serius
mengingat daya dukung perekonomian dan sumber daya alam juga
semakin terbatas di pulau Jawa.
Sampai awal tahun 2011, jumlah angkatan kerja adalah sebanyak
105,8 juta orang atau naik sekitar 1,8 juta dibandingkan dengan tahun
2010. Namun, lapangan kerja baru yang tercipta hanya sebesar 1,2 juta.
Dari jumlah tersebut, hanya 200 ribu tenaga kerja baru yang diserap oleh
kegiatan ekonomi formal, sementara sisanya yang sebesar 1 juta tenaga
kerja diserap oleh kegiatan ekonomi informal. Pekerja pada kegiatan
ekonomi informal mengalami kenaikan dari sebesar 63,2% dari seluruh
angkatan kerja pada tahun 2009 menjadi 63,9% atau 60,6 juta orang pada
tahun 2011. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang
memiliki perlindungan sosial yang baik (pekerjaan formal) terus
menurun dan digantikan oleh pekerjaan yang kurang produktif
(pekerjaan informal) dan tanpa perlindungan sosial.
Sebagian besar pekerja Indonesia bekerja di kegiatan usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) yang menyerap sebanyak lebih dari 99,5%
dari jumlah tenaga kerja, dengan tingkat produktivitas tenaga kerja yang
jauh lebih rendah dibanding produktivitas usaha besar. Lebih jauh lagi,
masih banyak pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu atau
yang sering disebut setengah pengangguran. Pekerja setengah
pengangguran ini mencapai 35 juta pekerja atau 37,2% dari jumlah
angkatan kerja dan mereka ini kebanyakan bekerja di lapangan pekerjaan
informal dengan produktivitas rendah. Selain itu, karena lebih dari 50,0%
dari angkatan kerja yang ada hanya lulusan sekolah dasar atau sekolah
dasar ke bawah, pekerjaan yang digelutinya menjadi kurang produktif.

11
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012

Hal ini berakibat pada rendahnya pendapatan riil mereka sehingga


kurang memberikan pendapatan yang dapat menyokong kebutuhan
dasar minimalnya.
Masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri juga masih
mewarnai kondisi ketenagakerjaan Indonesia, khususnya terkait dengan
penyelenggaraan, penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
Berbagai kebijakan permasalahan pengiriman TKI masih perlu terus
diperbaiki dan disempurnakan agar TKI dapat bekerja dengan baik,
terlindungi hak asasinya, dan bisa menikmati hasil jerih payahnya secara
penuh. Di samping itu, keselamatan TKI yang bekerja di luar negeri
belum mendapat perlindungan secara optimal. Sejauh ini masalah yang
dihadapi adalah minimnya perlindungan hukum, sejak rekrutmen, ketika
bekerja di luar negeri, dan sekembalinya ke tanah air. Bahkan terjadi
banyak kasus pemulangan TKI secara paksa karena mereka tidak
memiliki dokumen lengkap.
Permasalahan lain yang berkaitan dalam kerangka hubungan
industrial adalah masih besarnya potensi perbedaan pendapat serta
perselisihan antara pemberi kerja dan penerima kerja. Perselisihan
hubungan industrial yang mengakibatkan pertentangan antara pemberi
kerja dengan penerima kerja, yang antara lain berupa perselisihan
mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan,
kecenderungannya semakin meningkat. Selain masalah hubungan
industrial, kualitas dan kompetensi tenaga kerja juga masih perlu
mendapat perhatian agar tenaga kerja Indonesia mampu bersaing.
Lembaga pelatihan kerja yang dikelola Pemerintah (Balai Latihan
Kerja/BLK) yang semestinya dapat menghasilkan tenaga kerja yang
berkualitas juga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara
optimal. Sebagian BLK yang dikelola oleh pemerintah daerah
(provinsi/kabupaten/kota) sudah dialihfungsikan untuk keperluan lain
yang tidak terkait dengan pelatihan kerja. Sebagian BLK lainnya
kondisinya sudah tidak layak, seperti peralatan pelatihan yang tidak
dapat dioperasionalkan dan tertinggal teknologinya, serta sarana
pendukung lainnya yang sangat minim. Di samping itu, belum adanya
Kerangka Kualifikasi Nasional Bidang Pendidikan dan Pelatihan
mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara sertifikasi kompetensi
tenaga kerja kedua bidang tersebut.

12
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah

Kondisi ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan


akan masih memiliki kecenderungan yang sama dengan kondisi pada
tahun 2009. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang cukup
tinggi mengakibatkan meningkatnya biaya produksi perusahaan-
perusahaan pemberi pekerjaan. Hal ini selain meningkatkan tekanan
biaya hidup kepada masyarakat, juga mempengaruhi kemampuan
perusahaan untuk tetap bertahan menjalankan usahanya. Untuk
mengefisienkan usahanya, perusahaan pun melakukan pembatasan
pekerjaan sampai pada keputusan yang tidak banyak disukai, yaitu
pemutusan hubungan kerja (PHK). Gejala PHK ini perlu menjadi
perhatian utama pemerintah karena hal ini dapat memperbesar angka
pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat. Tekanan biaya
hidup pekerja yang semakin tinggi juga menimbulkan tuntutan akan
kenaikan upah minimum yang proses penetapannya sejauh ini masih
mempunyai banyak kelemahan. Selanjutnya, upah pekerja formal yang
semakin meningkat akibat kenaikan upah minimum tidak diimbangi
dengan meningkatnya upah pekerja informal. Kenaikan upah pekerja
formal ini dan membesarnya lapangan kerja informal telah menyebabkan
jurang perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal dan
informal. Selain itu, adanya kecenderungan peningkatan upah pekerja
formal di industri besar tanpa mempertimbangkan produktivitas akan
berakibat pada penurunan daya saing.
Dengan kondisi seperti ini, tantangan yang dihadapi dalam
mengatasi permasalahan ketenagakerjaan adalah:
1) Menciptakan lapangan pekerjaan formal atau modern yang seluas-
luasnya. Tantangan ini tidak mudah karena iklim ketenagakerjaan
yang kurang kondusif, dan hal ini terkait dengan peraturan-
peraturan ketenagakerjaan yang masih perlu disempurnakan.
2) Memberikan dukungan yang diperlukan agar pekerja dapat
berpindah dari pekerjaan dengan produktivitas rendah ke pekerjaan
dengan produktivitas tinggi. Dukungan ini sangat diperlukan agar
pekerja informal secara bertahap dapat bergeser ke lapangan kerja
formal. Tantangan ini diikuti dengan pentingnya pemberdayaan
UMKM yang banyak menyerap tenaga kerja informal. Masalah
kekakuan kebijakan ketenagakerjaan yang menimbulkan ekonomi
biaya tinggi, perubahan pola hubungan industrial antara
Pemerintah, pekerja dan pemberi kerja, serta pengurusan TKI masih

13
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012

menjadi tantangan utama yang harus dihadapi. Tingkat pendidikan,


keterampilan/keahlian, dan kompetensi tenaga kerja juga masih
harus ditingkatkan untuk mempersiapkan tenaga kerja Indonesia
agar dapat berkiprah dalam persaingan global.

B. Kondisi Investasi di Indonesia


Investasi berarti pembelian (dan berarti juga produksi) dari
kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan
untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Investasi juga
adalah suatu komponen dari Pendapatan Daerah yang dinyatakan
dengan Produk Domestik Regional Bruto( PDRB) dengan rumus PDRB =
C + I + G + (X-M).
Investasi terkait dengan fungsi pendapatan dan tingkat bunga,
dilihat dengan kaitannya I = (Y,i). Suatu pertambahan pada pendapatan
akan mendorong investasi yang lebih besar, dimana tingkat bunga yang
lebih tinggi akan menurunkan minat untuk investasi sebagaimana hal
tersebut akan lebih mahal dibandingkan dengan meminjam uang.
Walaupun jika suatu perusahaan lain memilih untuk menggunakan
dananya sendiri untuk investasi, tingkat bunga menunjukkan suatu biaya
kesempatan dari investasi dana tersebut daripada meminjamkan untuk
mendapatkan bunga.
Ekonomi Wilayah akan terus mengalami perkembangan dan
dinamika, Dinamika ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan baik
kabupaten maupun propinsi. Dinamika ini sangat terkait dengan iklim
investasi yang baik. Iklim investasi yang kondusif adalah iklim yang
mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan risiko
serendah mungkin, dan menghasilkan keuntungan jangka panjang yang
tinggi.
Setelah krisis 1998 jumlah proyek baru PMA (Penanaman Modal
Asing), paling tidak berdasarkan data persetujuan dari BKPM (Badan
Koordinasi dan Penanaman Modal), sempat mengalami peningkatan.
Namun setelah tahun 2000, jumlahnya menurun dan cenderung akan
berkurang terus. Satu hal yang menarik dari data BKPM tersebut adalah
bahwa sejak krisis, jumlah proyek baru PMA rata-rata per tahunnya lebih
besar daripada jumlah proyek baru PMDN (Penanaman Modal Dalam
Negeri). Ini menandakan bahwa bagi perkembangan investasi
langsung/jangka panjang di dalam negeri, khususnya dalam periode

14
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah

pasca krisis, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN. Namun
demikian, dilihat dari nilai netonya (arus investasi masuk – arus keluar),
gambarannya setelah krisis lebih memprihatinkan; walaupun pada tahun
2002 dan 2004 sempat kembali positif . Lebih banyaknya arus PMA keluar
daripada masuk mencerminkan buruknya iklim investasi di Indonesia.
Terutama perusahaan-perusahaan asing di industri-industri yang sifat
produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu,
dan lainnya, yakni yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam
atau bahan baku lokal di Indonesia akan dengan mudahnya pindah ke
negara-negara tetangga jika melakukan produksi di dalam negeri sudah
tidak lagi menguntungkan.
Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi
jika dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain.
Misalnya dalam kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara yang
mengalami arus PMA negatif sejak krisis ekonomi 1998; walaupun nilai
negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000. Hal ini ada kaitannya
dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada periode 1998-
1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk menanam
modal mereka di Indonesia.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi
mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu
yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk
melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang. Lebih
konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim
yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko
serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka
panjang setinggi mungkin, di sisi lain (Stern, 2002). Sebagai contoh,
beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India, sebagai hasil
dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 80-an dan 90-an
yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka
investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB)
meningkat hampir 200 persen.
Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya
iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya
menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi,
kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan
dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja

15
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012

(termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam


waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk
korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas
biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai
dari tanah sampai kontrak. Masalah Freeport dan lamanya pemerintah
mengambil keputusan dalam kasus Exxon di Cepu baru-baru ini juga
sangat mempengaruhi iklim berinvestasi jangka panjang di Indonesia.
Hal yang menarik adalah menyangkut prosedur perijinan investasi
Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Dibandingkan dengan
negara-negara lain di kawasan ASEAN, perijinan untuk memulai suatu
usaha di Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama dengan 12
prosedur yang harus dilalui dengan waktu yang dibutuhkan selama 151
hari (sekitar 5 bulan) dan biaya yang diperlukan sebesar 131 persen dari
per capita income (sekitar US$ 1.163). Sementara itu untuk memulai usaha
di Malaysia hanya melalui 9 prosedur dengan waktu yang dibutuhkan
hanya 30 hari dan biaya yang diperlukan hanya sekitar 25 persen dari per
capita income (sekitar US$ 945).
Adapun untuk memulai usaha di Filipina dan Thailand hanya
membutuhkan waktu masing-masing selama 50 hari dan 33 hari dengan
biaya masing-masing sebesar 20 persen (sekitar US$ 216) dan 7 persen
(sekitar US$ 160) dari per capita income. Prosedur yang panjang dan
berbelit tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga
menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik
untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan nasional
seperti dalam bentuk penciptaan lapangan kerja.
Di dalam suatu laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi (World
Bank, 2009), diantara faktor-faktor tersebut, stabilitas ekonomi makro,
tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan
empat faktor terpenting. Walaupun sedikit berbeda dalam peringkat
kendala investasi antar negara, hasil survei Bank Dunia tersebut
didukung oleh hasil survei tahunan mengenai daya saing negara yang
dilakukan oleh The World Economic Forum (WEF) yang hasilnya
ditunjukkan di dalam laporan tahunannya, The Global Competitiveness
Report. Berdasarkan persentase dari responden, ternyata tiga faktor
penghambat bisnis yang mendapatkan peringkat paling atas adalah

16
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah

berturut-turut birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang buruk, dan


regulasi perpajakan.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Iklim Investasi


Ada sejumlah faktor yang berpengaruh pada iklim investasi, yakni
stabilitas politik dan sosial, kondisi infrastruktur dasar, sektor
pembiayaan, pasar tenaga kerja, regulasi, perpajakan, birokrasi, korupsi,
konsistensi dan kepastian kebijakan. Bank Dunia Melaporkan tentang
iklim investasi (World Bank, 2009), diantara faktor-faktor tersebut,
stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian
kebijakan ekonomi merupakan empat faktor terpenting. The World
Economic Forum (WEF) yang hasilnya ditunjukkan di dalam laporan
tahunannya, The Global Competitiveness Report. berdasarkan persentase
dari responden, ternyata tiga faktor penghambat bisnis yang
mendapatkan peringkat paling atas adalah berturut-turut birokrasi yang
tidak efisien, infrastruktur yang buruk, dan regulasi perpajakan.
Faktor-Faktor yang berpengaruh pada investasi dari yang terkecil
paling atas sampai terbesar paling bawah, meliputi:
1. Inflasi
2. Etika dan Kinerja Tenaga Kerja yang Buruk
3. Pemerintahan yang tidak stabil
4. Kriminalitas
5. Regulasi valas
6. Akses ke keuangan
7. Tarif pajak
8. Regulasi tenaga kerja restriktif
9. Kebijakan tidak stabil
10. Kualitas SDM buruk
11. Korupsi
12. Regulasi perpajakan
13. Infrastruktur buruk
14. Birokrasi yang tidak efisien

D. Peningkatan Iklim Investasi di Daerah


Dinamika perkembangan ekonomi daerah yang selama ini banyak
digerakan oleh konsumsi domestik, perlu juga didorong oleh Investasi
dan Ekspor. Untuk itu, diperlukan iklim investasi yang kondusif

17
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012

(Kuncoro, 2004). Menurut Tambunan (2006), iklim investasi yang


kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi
dengan biaya dan risiko serendah mungkin, dan menghasilkan
keuntungan jangka panjang yang tinggi. Ada sejumlah faktor yang
berpengaruh pada iklim investasi, yakni stabilitas politik dan sosial,
kondisi infrastruktur dasar, sektor pembiayaan, pasar tenaga kerja,
regulasi, perpajakan, birokrasi, korupsi, konsistensi dan kepastian
kebijakan.
Potensi investasi di daerah adalah objek yang ditawarkan untuk
melakukan kerjasama dalam investasi bagi daerah. Objek investasi dan
ekonomi ini menjadi isi materi promosi investasi. Masing-masing daerah
harus memililiki objek investasi. Masing-masing Propinsi baik kabupaten
maupun kota dapat mengembangkan objek investasi sesuai dengan
potensi yang dimilikinya, yaitu meliputi:
(1) Kawasan industri
(2) Kawasan pengembangan ekonomi terpadu,
(3) Pengembangan sektor unggulan
(4) Sektor yang terkait dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Ekonomi Indonesia (MP3EI)

Untuk menjamin pengembangan iklim usaha dan investasi, maka


upaya yang dilakukan adalah melakukam minimalisir berbagai hambatan
yang terjadi. Meskipun demikian, rendahnya kinerja investasi masih
menghadapi beberapa permasalahan dan tantangan pokok, yaitu sebagai
berikut:
1) Prosedur perijinan yang terkait dengan investasi yang panjang,
dimana prosedur perijinan untuk memulai usaha di Indonesia
termasuk sangat lama di Asia yang mencakup 12 prosedur dengan
waktu sekitar 151 hari, sedangkan prosedur perijinan investasi di
RRC, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan
Vietnam berturut-turut hanya membutuhkan sekitar 40 hari, 20 hari,
30 hari, 50 hari, 8 hari, 33 hari, dan 56 hari;
2) Rendahnya kepastian hukum yang tercermin dari masih banyaknya
tumpang-tindih kebijakan antara pusat dan daerah dan antar sektor
serta belum diundangkannya RUU Penanaman Modal guna lebih
menjamin kepastian hukum di bidang investasi;

18
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah

3) Belum menariknya insentif bagi kegiatan investasi, dimana jika


dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk
tertinggal di dalam menyusun insentif investasi;
4) Rendahnya kualitas infrastruktur yang sebagian besar dalam
keadaan rusak akibat krisis;
5) Iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif bagi berkembangnya
investasi; walaupun telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan berkaitan dengan Investasi, antara lain:

KETENAGAKERJAAN
Pasal 10
(1) Perusahaan penanaman modal dalam
memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus
mengutamakan tenaga kerja warga negara
Indonesia.
(2) Perusahaan penanaman modal berhak
menggunakan tenaga ahli warga negara asing
untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Perusahaan penanaman modal wajib
meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga
negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

6) Kurangnya jaminan keamanan untuk melakukan kegiatan


investasi/usaha.

Sementara itu, peranan perdagangan dalam negeri menjadi penting


dalam mendorong kelancaran arus barang dan jasa melalui peningkatan
efisiensi sistem distribusi nasional guna mendukung kelancaran barang
ekspor. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam peningkatan
perdagangan dalam negeri adalah:
1) Masih tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh dunia
usaha secara langsung menurunkan daya saing produk ekspor;

19
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012

2) Masih rendahnya penggunaan produk dalam negeri, baik oleh


industri maupun konsumen;
3) Belum optimalnya pemanfaatan mekanisme bursa berjangka komoditi
sebagai sarana hedging price discovery dan investasi;
4) Belum optimalnya pelaksanaan dan penerapan perlindungan
konsumen;
5) Maraknya ekses pelaksanaan otonomi daerah yang banyak
menghambat kelancaran distribusi barang dan jasa;
6) Keterbatasan dan rendahnya kualitas infrastruktur seperti jalan,
pelabuhan laut, pelabuhan udara, listrik dan jaringan komunikasi
merupakan faktor utama penyebab tingginya biaya ekspor; dan
7) Masih belum terintegrasinya sistem jaringan koleksi dan distribusi
nasional yang kurang mendukung peningkatan daya saing ekspor.
Penciptaan iklim persaingan usaha sehat dan peningkatan
perlindungan konsumen sangat penting untuk mendorong peningkatan
daya saing produk ekspor yang berbasis efisiensi dan kompetitif. Namun
demikian, permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi dalam
mewujudkan persaingan usaha yang sehat adalah:
1) Masih lemahnya tingkat kesadaran para pelaku usaha dalam
memahami nilai-nilai persaingan usaha yang sehat;
2) Proses peradilan dalam penegakkan persaingan usaha masih belum
berjalan secara optimal; dan
3) Masih adanya kelemahan substansi dalam materi hukum undang-
undang persaingan usaha (UU No. 5 Tahun 1999), termasuk masih
kurangnya harmonisasi dengan perangkat hukum lainnya. Sementara
itu, permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam perlindungan
konsumen adalah percepatan upaya penataan peraturan perundangan
untuk meningkatkan efektifitas implementasi penegakan
perlindungan konsumen.

E. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Peningkatan Investasi


Pembangunan Ekonomi Daerah adalah suatu proses yang
menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu
daerah dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem
kelembagaan.
Pemerintah daerah memiliki empat peran strategi dalam
pembangunan ekonomi daerah, yakni

20
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah

1) Peran sebagai entrepreneur, pemda bertanggung jawab menjalankan


bisnis (BUMD),
2) Peran koordinator, penetapan dalam kebijakan dan strategi
pembangunan, yang melibatkan masyarakat.
3) Peran fasilitator, pemerintah daerah mempercepat pembangunan
melalui perbaikan lingkungan (perilaku) dan
4) Peran stimulator, memberikan rangsangan pengembangan usaha
dan Investasi
Berdasarkan fungsi dan peranan di atas dalam pembangunan ekonomi
daerah maka pemerintah daerah memiliki beberapa strategi dalam
pengembangan ekonominya. Beberapa strategi dapat dilakukan melalui:
1) Pengembangan fisik/lokalitas, kawasan industri, kawasan investasi
lainnya.
2) Strategi pengembangan dunia usaha melalui upaya-upaya Kebijakan
yang merangsang usaha, melalui langkah langkah sebagai berikut:
a. Perbaikan kualitas lingkungan,
b. Pengembangan pusat informasi dan promosi,
c. Pusat pengembangan usaha kecil
d. Pusat penelitian produk daerah.
Berdasarkan strategi di atas, maka perlu dikembangakan informasi
dan promosi yang terkait dengan pengembangan usaha yang meliputi
peluang-peluang investasi dan pengembangan perkonomian wilayah.
Mekanisme pengaruh lingkungan dan investasi dapat terlihat pada
gambar di bawah ini.

21
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012

Gambar 1
Sinergitas Lingkungan Luas dan Langsung Bagi Peningkatan Investasi
di Daerah

Pengembangan informasi ini perlu dikelola secara khusus baik


kelembagaan maupun content atau materi informasi yang terkait dengan
penyebaran informasi yang bersifat promotif bagi dunia investor dan
konsumen pada umumnya. Oleh sebab itu, diperlukan upaya standar
promosi daerah serta kelembagaanya sehingga informasi yang
disampaikan memiliki kesahihan kejelasan serta memiliki kepastian bagi
investor. Begitu juga kelembagaan dalam memberikan pelayanan dapat
memberikan kepuasan kepada cutomer. Untuk perlu disusun pedoman
pengembangan promosi investasi dan promosi ekonomi untuk
mendukung kinerja pemerintah daerah dalam upaya pengembangan
daerahnya, terutama dalam pembangunan perekonomiannya.

22
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah

Daftar Pusataka

Boender, Kees. 1990. In Search of Bonds in Rural Small-Scale Industry.


Makalah Symposium on Small Industries.YIIS-EUR, Cipanas 7-12
Juli 1990.
Brown, JAC. 1954. The Social Psychology of Industry. Great Britian: C.
Nicholas & Company Ltd.
Craib, Ian. 1992. Teori-Teori Sosial Modern; Dari Parsons Sampai
Habermas. Jakarta: Rajawali Pers.
Ediyono, Setijati H. 1999. Prinsip-Prinsip Lingkungan dalam
Pembangunan yang Berkelanjutan. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ife, Jim. 1995. Community Development; Creating Community
Alternatives-Vision, Analysis and Practic”. Australia: Longman.
Indonesia, Departemen Perindustrian. 1995. Lima Puluh Tahun
Pembangunan Industri Mengisi Kemerdekaan Republik Indonesia
(1945-1995). Jakarta.
Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat; Memadukan
Pertumbuhan dan pemerataan. Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Korten, David C. 1993. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan
Agenda Global Forum Pembangunan Berpusat-Rakyat. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sunar Harapan.
___________. 1992. Management Community; Asian Experience and
Perspektves. Kumarian Press.
Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisa Data
Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Parker, S.R. 1985. Sosiologi Industr”. Jakarta: Bina Aksara.
Poot, H., Kuyvenhoven dan Jaap Jansen. 2000. Industrilisation and Trade
in Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.
Rangkuti, Freddy. 1999. Analisis SWOT; Teknik Membedah Kasus.
Jakarta: Gramedia
Scheineder, EV. 1986. Sosiologi Industri. (Terjemahan Ginting). Jakarta:
Aksara Persada.
Sheldon E.B and W.E. Moore. 1968. Indicator of Social Change Concepts
and Measurements. New York: Russel Sage Foundation.

23
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012

Sjahrir dan Brown. 1992. Indonesian Financial and Trade Policy


Deregulation: Reform and Response, dalam Adrew J. MacIntyre
and Kanishaka Jayasuriya (eds). The Dynamic of Economic Policy
Reform in South-East Asia and South-West Pasific. Singapore:
Oxford University Press.
Suhandojo. 2002. “Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Kawasan
Tertentu: Sebuah Kajian Eksploratif”. Jakarta: Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Suryani, Nani. 2002. Pencemaran Lingkungan karena Limbah Industri.
Bandung: UNILA.
Todaro, Michael P. 2005. “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”.
Jakarta: Erlangga.
Yustika, Ahmad Erani. 2000. “Industrialisasi Pinggiran”.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yuwono S, Arief M, Simanjuntak PJ dan Sagir S. 1985. Produktifitas dan
Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Lembaga Sarana Informasi
Usaha dan Produktifitas.

24

Anda mungkin juga menyukai