Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fithri Nur Rahma

NIM : P3.73.24.1.18.020
Tingkat 4 Semester 7

Kasus 1
Jane adalah seorang perawat terdaftar negara bagian berusia 29 tahun yang anak keduanya telah
lahir tiga bulan sebelumnya. Kehamilannya telah direncanakan dan normal, dan dia melahirkan
tanpa komplikasi. Dia sangat terpukul saat mengetahui bahwa bayinya mengalami dislokasi
pinggul bawaan bilateral, seperti yang dialami putri pertamanya, dua tahun sebelumnya. Jane
merasa malu dan malu memiliki bayi dengan belat yang tidak praktis, dan merasa bahwa dia tidak
bisa 'mendekati' dia.
Dia menangis, sengsara, mudah tersinggung dan marah, dan merasa bahwa dia tidak dapat
mengatasi pekerjaan rumah tangga dengan baik. Suaminya pada awalnya membantu, tetapi telah
kembali ke pekerjaan baru yang mengharuskannya sering bepergian ke luar negeri. Ibunya tinggal
dekat, dan mengunjungi setiap hari, tetapi agak dominan dan mengganggu, sering mengkritik Jane
karena memiliki rumah yang berantakan, dan karena mudah marah dengan anak sulungnya.
Jane adalah anak tunggal, dan menggambarkan masa kanak-kanak kelas menengah yang cukup
bahagia, meskipun dia merasa bahwa keluarganya terlalu memperhatikan prestasi dan penampilan.
Dia cukup memberontak di masa remajanya, berprestasi buruk di sekolah, dan pergi tanpa
kualifikasi karena dia hamil pada usia 16 tahun, tepat sebelum dia lulus ujian. Jane sangat
menangis ketika menjelaskan bagaimana orang tuanya bersikeras untuk melakukan pemutusan
hubungan kerja, membuat semua pengaturan untuknya, dan tidak memberinya pilihan. Dia merasa
kesal dengan keadaan prosedur yang sebenarnya, dan sedih karena tidak ada yang memberitahunya
jenis kelamin bayinya, atau menjelaskan tentang metode pembuangannya. Jane memahami
pelatihan keperawatannya di kemudian hari sebagai upaya untuk menyelesaikan rasa bersalahnya
karena 'menghancurkan kehidupan' dengan terlibat dalam merawat orang lain.
Jane menunjukkan beberapa faktor predisposisi untuk PND:
a. ibu yang terlalu mengontrol dan mengganggu
b. dukungan yang tidak memadai dari suaminya
c. kesedihan yang belum terselesaikan sebelumnya tentang pemutusan hubungan kerja
d. distress pada kelainan kongenital bayi
e. merasa bahwa anak yang 'hilang' akan menjadi sempurna
f. merasa bahwa dislokasi panggul bawaan pada kedua anak merupakan 'hukuman' untuk
penghentian kehamilan sebelumnya
g. merasa bahwa dia telah 'menggagalkan' desakan keluarganya pada standar pencapaian yang
tinggi. Jane membuat pemulihan yang baik setelah beberapa sesi konseling.

Penatalaksaan
Secara umum, dalam menatalaksanaan ibu dengan depresi postpartum diberikan dengan
farmakologis, psikoterapi, hormonal therapy, dan prophylactic treatment.1
a. farmakologis: Pasien yang telah didiagnosis dengan gangguan depresi postpartum,
diberikan pengobatan dengan antidepressant. Pemberian selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRIs) seharusnya diberikan pada karena golongan obat tersebut mempunyai
resiko efek toksik yang rendah. SSRis bisa membantu pasien yang tidak mempunyai respon
bagus terhadap tricyclic antidepressant, golongan antidepressant lainnya dan cenderung
ditoleransi lebih baik dengan dosis yang rendah
b. psikoterapi: Pada studi yang melibatkan 120 ibu melahirkan, interpersonal psikoterapi,
dengan pengobatan 12 sesi yang terfokus pada perubahan peran dan pentingnya suatu
hubungan sangat efektif untuk meredakan gejala depresi dan meningkatkan fungsi
psikososial. Sebuah grup berdasarkan intervensi pada psikotherapi interpersonal diberikan
selama kehamilan mencegah terjadinya depresi postpartum. Bagaimanapun, psikoterapi
sebagai tambahan dikombinasikan dengan fluoxetine tidkak meningkatkan pengobatan
daripada dengan fluoxetine saja
c. hormonal therapy: Estradiol telah dievaluasi sebagai pengobatan untuk depresi postpartum.
Pada studi yang membandingkan transdermal estradiol dengan plasebo, grup yang diobati
dengan estradiol mempunyai penurunan skor depresi yang signifikan selama bulan
pertama.
d. prophylactic treatment: Pasien yang mengalami riwayat depresi setelah kehamilannya
dapat beresiko menjadi depresi postparrtum setelah melahirkan. Terapi preventif setelah
melahirkan harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat depresi sebelumnya. Obat
yang direspon pasien sebelumnya dengan selective-serotonin-reuptake ( SSRIs ) inhibitor
adalah pilihan rasional, tricyclic antidepressant ( TCAs ) tidak dapat melindungi
sebagaimana dibandingkan dengan plasebo. Minimal, penanganan depresi postpartum
termasuk pengawasan untuk terjadinya kekambuhan, dengan sebuah rencana intervensi
cepat jika ada indikasi.

Wanita yang mengalami depresi yang tidak diobati selama kehamilan memiliki risiko tujuh kali
lipat mengalami depresi postpartum dari wanita yang tidak memiliki gejala depresi antenatal; oleh
karena itu, pengobatan depresi antenatal penting untuk pencegahan depresi pascapersalinan.
Dalam satu penelitian observasional kecil yang melibatkan 78 wanita yang menerima diagnosis
depresi pada trimester pertama kehamilan, depresi pascapersalinan tidak terjadi pada semua wanita
yang mengalami depresi diobati dengan baik psikoterapi atau farmakoterapi, dibandingkan dengan
92% wanita dengan depresi yang tidak diobati. Intervensi suportif dan psikologis lebih efektif
ketika dilakukan setelah melahirkan dibandingkan saat mereka diinisiasi selama kehamilan Nutrisi
yang sehat, oalhraga teratur , dan tidur yang cukup juga dianjurkan, meskipun bukti untuk
mengurangi risiko depresi pascapersalinan atas faktor-faktor dasar ini masih terbatas.2
Tatalaksana dalam perawatan depresi postpartum bervariasi tergantung dengan tingkat keparahan
dari gejalanya, termasuk kemampuannya untuk merawat dan berinteraksi dengan bayu yang baru
lahir. Jika baru terjadi gejala ringan atau sedang maka dapat dikelola dalam perawatan primer
terdekat namun lebih baik jika langsung dirujuk ke bagian psikiatrik untuk mencegah komplikasi
yang lebih parah, terutama ketika ibu sudah memiliki pikiran untuk mencelakai atau
membahayakan diri sendiri dan orang lain. Namun dalam melakukan perawatan depresi
postpartum dapat terjadi beberapa kendala bagi sebagian orang, seperti masalah keuangan,
transportasi, dan penitipan anak. Untuk wanita dengan gejala ringan, intervensi psikososial yang
dapat diberikan contohnya ialah meningkatkan dukungan, seperti dukungan dari teman sebaya dan
konseling yang dilakukan oleh praktisi kesehatan yang professional. Intervensi tersebut
merupakan lini pertama dalam perawatan depresi postpartum.2

Adapun gejala-gejala dari Postnatal Depression ini dapat dilihat dari perilaku ibu sebagai berikut:
merasa sedih hampir setiap hari, minat dan rasa senang menurun, tidak pernah tertawa, berat badan
makin berkurang , tidak bisa berfikir dan konsentrasi, hampir setiap hari tidak bisa tidur, resah,
gelisah, menyalahkan diri sendiri, merasa berdosa, rasa tidak berguna, buah pikiran tentang
kematian, punya gagasan ingin bunuh diri.3
Untuk menghadapi hal ini, para penolong atau bidan khususnya, harus hati-hati sekali, pengawasan
harus ketat terhadap ibu-ibu ini, karena emosi ibu bisa saja berubah sewaktu-waktu. Berhubung
ibu dalam keadaan depresi, tidak mungkin kita memberikan bayi kepadanya, kecuali jika selalu
didampingi oleh bidan pada waktu memberikan ASI. Untuk pengasuhan bayi sampai ibu ini betul-
betul dinyatakan sembuh oleh dokter, sebaiknya diserahkan dulu kepada suami atau keluarga
terdekat, atau bisa juga di tempat khusus perawatan bayi.3
Pada waktu pelaksanaan konseling kepada ibuibu yang mengalami Postnatal Depression ada
baiknya para ibu-ibu tersebut diberitahu bahwa depresi itu biasa atau umum terjadi pada ibu-ibu
setelah melahirkan. Dalam konseling kita berusaha mencari tahu penyebab stressor yang jelas atau
spesifik, dan selanjutnya kita membantu para ibu-ibu tersebut untuk mengurangi atau
menghilangkan stressor yang dialami sebelumnya. Dengan demikian kita mengurangi apa yang
dirasakan ibu, misalnya rasa tidak berguna, rasa putus asa, rasa berdosa, rasa rendah diri, ingin
bunuh diri, dan lainlain. Dalam memberikan pelayanan kita harus selalu bersikap ramah, empati,
selalu di dekat ibu sehingga ibu tidak merasa dia dikucilkan, tidak kesepian, tidak takut, bisa
menenangkan ibu, dan mengatakan selalu siap membantu ibu bila diperlukan. Dengan demikian
ibu akan merasa tenang, aman, dan nyaman.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Esha Pradnyana, Wayan Westa NR. DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA DEPRESI
POSTPARTUM PADA PRIMIPARA. :1–16.
2. Sari RA. Literature Review: Depresi Postpartum. J Kesehat. 2020;11(1):167.
3. Suryati S. the Baby Blues and Postnatal Depression. J Kesehat Masy Andalas.
2008;2(2):191.

Anda mungkin juga menyukai