Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KAJIAN DAN ANALISIS MASALAH ATAU KEBUTUHAN DAN

RENCANA ASUHAN PADA MASA KEHAMILAN


DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH PERINATAL
MENTAL HEALTH
Dosen Pembimbing : Dr.Indra Supradewi, M.Kes

Disusun oleh :

Amalia Dwi Trisna P3.73.24.1.18.006


Ananda Putri Setiawan P3.73.24.1.18.007
Hetty Herawati P3.73.24.1.18.024
Indi Yulia Safitri P3.73.24.1.18.025
Ninda Salsabila P3.73.24.1.18.031
Nurul Izzah P3.73.24.1.18.032

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN

JURUSAN KEBIDANAN

POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III

2021
BAB I
PENDAHULUAN

Faktor terpenting dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi dimulai pada masa
kehamilan. Angka kematian ibu biasanya disebabkan oleh lebih banyaknya stress, nutrisi rendah,
dan kurangnya supervisi medis diantara wanita berkulit hitam. Tenaga medis harus
meningkatkan usaha mereka untuk memberikan perawatan awal dan berkelanjutan sepanjang
masa kehamilan. Angka kematian ini dalam penelitian terutama ditunjukkan sebanding
dengan tingkat depresi akibat stress pada ibu hamil. Terjadinya gejala depresi selama periode
perinatal dapat mudah dikenali. Estimasi prevalensi adalah 7,4% -20% antenatal dan sampai
19,2% pada tiga bulan pertama setelah melahirkan. Depresi antenatal dikaitkan dengan gizi
buruk, penyalahgunaan alkohol dan substansi, pelayanan kesehatan yang buruk, kesehatan diri
yang buruk, dan bayi yang sakit. Depresi postnatal memiliki dampak berarti pada ibu dan
pasangannya, keluarga, interaksi ibu dengan bayi dan emosional jangka panjang dan
perkembangan kognitif bayi

Kehamilan seharusnya menjadi saat-saat yang paling membahagiakan bagi seorang Ibu.
Namun terkadang, sebagai seorang calon Ibu (apalagi karena baru pertama kali menghadapi
kehamilan) ada saja rasa kekhawatiran yang berlebihan sehubungan dengan semakin dekatnya
proses kelahiran. Sekitar 10-20% wanita berusaha untuk melawan gejala depresi dan seperempat
sampai setengahnya terkena depresi yang berat. Pada suatu studi terhadap 360 ibu hamil, maka
10% dari mereka mengalami depresi saat kehamilan dan hanya 6,8% yang mengalami depresi
pasca kehamilan.

Masalah kesehatan jiwa yang dialami ibu hamil merupakan masalah yang belum dapat
teratasi dengan baik di negara dengan pendapatan rendah. Prevalensi kesehatan jiwa prenatal
berkisar 10% - 15% tergantung tempat, metode penelitian dan alat ukur yang digunakan.
Masalah mental merupakan suatu penyakit umum yang sering dijumpai pada saat kehamilan.
Banyak wanita hamil yang mengalami masalah mental yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.
Karena kemungkinan mereka takut akan efek teratogen obat terhadap perkembangan janin yang
dikandung. Masalah jiwa yang biasanya sering terjadi yaitu masalah kecemasan dan gangguan
mood. (Esthini dan Maryani, 2017)
Sejumlah perubahan fisik dan psikologis yang terjadi selama kehamilan dapat
merangsang perkembangan masalah psikologis seperti kecemasan dan depresi. Jika tenaga
kesehatan dapat mengenali gejalanya, maka dapat dicegah dengan memasukkan pasien ke unit
antenatal untuk mempermudah manajemen depresi antenatal dan gangguan kecemasan.

Kecemasan atau anxiety adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya
bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi
ancaman dari perubahan dan pengalaman dari sesuatu yang baru yang belum pernah dicoba
(Kaplan & Sadock, 2010). Kecemasan selama kehamilan adalah masalah kesehatan masyarakat
yang utama karena prevalensinya tinggi. World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa gangguan depresi dan anxiety akan menjadi penyebab utama beban penyakit global pada
tahun 2020.

Ketidakstabilan emosi ibu hamil mempengaruhi tingkat kecemasan ibu hamil.


Kecemasan ibu hamil dipengaruhi oleh oleh faktor instrinsik dan ekstrinsik. Dijelaskan oleh
Kuncoro (dalam Puspitasari, dkk, 2010) bahwa faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi
kecemasan antara lain keadaan pribadi individu, tingkat pendidikan, pengalaman yang tidak
menyenangkan, dan faktor ekstrinsik yaitu dukungan sosial yang dapat diperoleh dari lingkungan
keluarga atau lingkungan tempat tinggal individu.

Wanita yang sedang hamil mungkin akan mengalami kecemasan tentang berbagai
masalah dari satu trimester ke trimester berikutnya. Selama kehamilan khususnya pada
kehamilan pertama atau biasanya disebut dengan primigravida. Seorang ibu primigravida
mengingat kembali tentang masa awal perkembangannya sendiri. Saat kehamilan memasuki
trimester ketiga menjelang persalinan kecemasan berhubungan dengan kelahiran bayi. Dengan
lahirnya seorang bayi, maka orang tua harus dapat mempersiapkan diri dan dapat melakukan
perawatan pasca kelahiran. Pada umumnya primigravida akan cenderung lebih cemas
dibandingkan multigravida.
BAB II

LANDASAN TEORI

Masalah Psikologis Pada Kehamilan

Kehamilan merupakan waktu transisi, yakni suatu masa antara kehidupan sebelum
memiliki anak yang sekarang berada dalam kandungan dan kehidupan nanti setelah anak tersebut
lahir. Perubahan status yang radikal ini dipertimbangkan sebagai suatu krisis disertai periode
tertentu untuk menjalani proses persiapan psikologis yang secara normal sudah ada selama
kehamilan dan mengalami puncaknya pada saat bayi lahir. Secara umum, semua emosi yang
dirasakan oleh wanita hamil cukup labil. Ia dapat memiliki reaksi yang ekstrem dan suasana
hatinya kerap berubah dengan cepat. Reaksi emosional dan persepsi mengenai kehidupan juga
dapat mengalami perubahan. Ia menjadi sangat sensitif dan cenderung bereaksi berlebihan.
Seorang wanita hamil akan lebih terbuka terhadap dirinya sendiri dan suka berbagi pengalaman
kepada orang lain (Kurniawan dkk, 2000).

Kehamilan disamping memberi kebahagiaan yang luar biasa, juga sangat menekan jiwa
sebagian besar wanita. Pada beberapa wanita dengan perasaan ambivalen mengenai kehamilan,
stres mungkin meningkat. Respon terhadap stres mungkin dapa terlihat bervariasi yang tampak
atau tidak tampak. Sebagai contoh, sebagian besar wanita mengkhawatirkan apakah bayinya
normal. Pada mereka yang memiliki janin dengan resiko tinggi untuk kelainan bawaan, stres
dapat meningkat. Selama kehamilan dan terutama mendekati akhir kehamilan, harus dibuat
rencana untuk perawatan anak dan perubahan gaya hidup yang akan terjadi setelah kelahiran.
Pada sejumlah wanita, takut terhadap nyeri melahirkan sangat menekan jiwa. Wanita dengan
komplikasi kehamilan 2 kali cenderung memiliki ketakutan terhadap kelemahan bayi mereka
atau menjadi depresi (Kurniawan dkk, 2000).

Depresi dalam kehamilan memberikan dampak buruk kepada ibu dan janin mulai dari
masa kehamilan hingga postpartum, serta dampak buruk terhadap keluarga. Dampak depresi
terhadap kehamilan antara lain; mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin, risiko
perdarahan pada masa kehamilan, risiko terjadinya aborsi, kelahiran premature, dan berat badan
lahir rendah, serta meningkatkan produksi neuraladrenalin, serotonin, dan gotamin (Kusuma,
2019).

Menurut Perry, Hockenberry, Lowdermilk dan Wilson (2010); Godmand, Parshad dan
Kurkarni (2010), faktor yang mempengaruhi depresi dalam kehamilan adalah faktor fisik, faktor
biologis, faktor psikologis dan faktor psikososial. Faktor fisik/biologis berupa gangguan mood
pada masa kehamilan melibatkan patologi sistem limbik, ganglia basalis, hypothalamus dan
faktor hormonal. Penyakit ibu saat seperti hipertensi, hepatitis, HIB, DMG dan lain-lain. Faktor
psikologis yang berkontribusi terhadap kejadian depresi dalam kehamilan adalah wanita dengan
tingkat ketergantungan tinggi biasanya cenderung memiliki harga diri yang rendah, tidak asertif
dan menggunakan ruminative coping. Beberapa pakar mengatakan seseorang merasa tertekan
akan cenderung fokus pada tekanan yang merasa rasakan dan secara pasif merenung daripada
mengalihkannya atau melakukan aktivitas untuk merubah situasi buruk tersebut. Cenderung
berpikir irasional yaitu pemikiran yang salah dalam berpikir seperti menyalahkan diri sendiri atas
ketidak beruntungan. Hal ii dapat menyebabkan pesimisme dan apatis pada ibu hamil. Faktor
psikososial berupa kegagalan dalam perkawinan, kurangnya dukungan dari pasangan dan orang
terdekat lainnya, hubungan yang buruk dengan suami dan mertua, kekerasan dalam rumah
tangga, riwayat gangguan afektif seperti riwayat depresi pada kehamilan sebelumnya, riwayat
depresi dalam keluarga, gangguan mood saat menstruasi. Faktor lainnya yang dapat menjadi
pencetus depresi dalam kehamilan adalah faktor sosial ekonomi berupa gaya hidup misalnya
penggunaan zat-zat yang berbahaya terhadap kehamilan seperti rokok, obat-obatan, alkohol,
narkotika. Faktor demografi seperti usia ibu, pendidikan, pekerjaan, paritas, budaya atau norma
yang berlaku (Kusuma, 2019).

Menurut Riley (2016), Kehamilan mengakibatkan perubahan secara fisik, fisiologis, dan
emosional. Setiap individu memiliki respon yang berbeda-beda mengenai kehamilannya,
sehingga bidan harus responsive terhadap kondisi fisik maupun psikis pada ibu hamil. Joan
Raphael-Leff mengidentifikasi 3 kelompok permasalahan dalam kehamilan, yaitu:

1. Konflik, dimana kehamilan terjadi dengan tidak direncanakan, di waktu yang tidak tepat,
atau suatu kesalahan. Hal ini dapat berakibat dari adanya hubungan sementara/tidak
Bahagia, atau bahkan terkadang hasil dari suatu pemerkosaan atau incest. Kehamilan yang
tidak diharapkan ini akan membuat Ibu merasa menyesal dan tidak bahagia menjalani
kehamilannya.
2. Situasi yang rumit, terjadi saat faktor sosial ekonomi menjadi masalah dalam kehamilan. Ibu
yang memiliki penyakit dalam atau karena kehamilannya menimbulkan kecemasan dan
ketakutan selama menjalani fase tersebut. Permasalahan rumah tangga, keuangan, kurangnya
dukungan sekitar, merupakan situasi rumit yang akan meningkatkan kecemasan Ibu hamil.
3. Sensitif, perkataan dan perilaku orang lain terhadap perempuan hamil dapat memiliki
pengaruh besar terhadap persepsi perempuan dalam menjalani kehamilannya sendiri.

FAKTOR MASALAH PSIKOLOGIS PADA KEHAMILAN

Masa kehamilan adalah masa bertemunya dua buah sel dalam tubuh manusia yaitu
sperma dan ovum. Pada saat ibu hamil terjadi perubahaan adaptasi psikologi dalam kehamilan
yaitu adaptasi individu dan keluarga terhadap kehamilan (Armyati, 2020). Kehamilan seharusnya
merupakan kondisi yang menyenangkan, karena tidak semua wanita yang sudah menikah bisa
hamil dan melahirkan. Namun pada sebagian wanita, justru menjadi suatu beban fisik maupun
psikologis. Salah satu gangguan psikologis yang banyak dialami ibu hamil adalah depresi.
Depresi dalam kehamilan adalah gangguan moody yang dirasakan oleh ibu hamil dengan
gejala berupa perasaan sedih, lebih sensitif sehingga mudah tersinggung bahkan sampai
menangis,, gelisah, tidak mempunyai harapan terhadap masa depan, gangguan tidur berupa
mimpi buruk atau insomnia, penurunan nafsu makan, penurunan libido, gangguan interaksi
sosial, mudah lelah sehingga mengalami gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari,
gangguan mengingat atau susah berkonsentrasi, bahkan beberapa ibu mengalami halusinasi
sehingga berisiko mencederai diri sendiri dan orang lain disekitarnya.
Menurut Riley (2016), reaksi seorang wanita terhadap kehamilannya bervariasi
dipengaruhi lingkungan sosial budayanya. Misalnya, status kehamilan dalam masyarakat berbeda
di beberapa kelompok etnis dan agama, dan juga akan berbeda dengan waktu, ukuran keluarga
yang ada, dan bahkan mungkin jenis kelamin anak-anak yang ada. Dukungan dari pasangan telah
terbukti dalam banyak penelitian menjadi faktor penting dalam kesehatan emosional selama
kehamilan. Mereka yang mengalami depresi biasanya mengatakan mereka memiliki masalah
hubungan, pemenuhan kebutuhan dalam kehamilan, dan masalah ekonomi. Selain itu juga,
wanita saat ini lebih sensitif terhadap peristiwa kehidupan yang merugikan seperti masalah
kesehatan, kehilangan, krisis atau kesulitan rumah tangga. Kecemasan dalam kehamilan akan
meningkat jika ada jika ada riwayat keluarga trauma atau kelainan sebelumnya, atau jika ada
keraguan tentang hasil tes prediktif antenatal. Kekhawatiran tentang ukuran bayi data melahirkan
, pendarahan vagina yang terus-menerus, atau tekanan darah yang meningkat akan
mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan menyebabkan kecemasan, menyalahkan diri sendiri
dan bahkan kebencian terhadap janin.
Selain itu, wanita yang sering meragukan kemampuan mereka untuk menangani tuntutan
kehamilan dan menjadi orang tua menunjukkan gejala depresi yang paling parah dalam
kehamilan. Namun, ini mungkin terjadi karena efek pascapersalinan, karena wanita tersebut
'beradaptasi' dengan perannya sebagai seorang ibu. Faktor kepribadian juga berkontribusi
termasuk ketergantungan yang berlebihan pada pasangan atau orang tua, dan kepribadian yang
terlalu sensitif, cemas atau pesimis. Depresi dapat menyertai semua gejala fisik ringan kehamilan
yang menjadi penyebab penurunan suasana hati, seperti mual, mulas, varises dan sakit punggung.
Menurut Kusuma (2019), faktor yang mempengaruhi depresi dalam kehamilan adalah
faktor fisik (biologis), faktor psikologis dan faktor psikososial. Faktor fisik/biologis berupa
gangguan mood pada masa kehamilan melibatkan patologi sistem limbik, ganglia basalis,
hypothalamus dan faktor hormonal, penyakit ibu saat seperti hipertensi, hepatitis, HIV, DMG
dan lain-lain. Faktor psikologis yang berkontribusi terhadap kejadian depresi dalam kehamilan
adalah wanita dengan tingkat ketergangtungan tinggi biasanya cenderung memiliki harga diri
yang rendah, tidak asertif dan menggunakan ruminative coping. Seseorang merasa tertekan akan
cenderung fokus pada tekanan yang mereka rasakan dan secara pasif merenung daripada
mengalihkannya atau melakukan aktivitas untuk merubah situasi buruk tersebut. Cenderung
berfikir irasional yaitu pemikiran yang salah dalam berpikir seperti menyalahkan diri sendiri atas
ketidak beruntungan. Hal ini dapat menyebabkan pesimisme dan apatis pada ibu hamil.
Faktor psikososial berupa kegagalan dalam perkawinan, kurangnya dukungan dari
pasangan dan orang terdekat lainnya, hubungan yang buruk dengan suami dan mertua,
kekerasan dalam rumah tangga, riwayat gangguan afektif seperti riwayat depresi pada
kehamilan sebelumnya, riwayat depresi dalam keluarga, gangguan mood saat menstruasi.
Selain itu faktor lainnya yang dapat menjadi pencetus depresi dalam kehamilan adalah faktor
sosial ekonomi berupa gaya hidup misalnya penggunaan zat-zat yang berbahaya terhadap
kehamilan seperti rokok, obat-obatan, alkohol, narkotika. Faktor demografi seperti usia ibu,
pendidikan, pekerjaan, paritas, budaya atau norma yang berlaku.

Aspek negatif yang biasanya dapat dirasakan oleh perempuan dalam kehamilan antara
lain sebagai berikut :
1. Trimester pertama
Penolakan atau ambivalensi terhadap kehamilan, Persepsi janin sebagai 'invasif' dan tidak
diinginkan, Adopsi status 'tidak valid', Takut akan kelainan janin; rasa bersalah tentang
alkohol, merokok, Kecemasan tentang pengulangan keguguran, kematian perinatal, Bersalah
tentang pemutusan hubungan sebelumnya, Saingan dengan ibu sendiri.

2. Trimester kedua
Tidak suka berubah bentuk, terutama jika sebelumnya menderita anoreksia atau bulimia
Kesadaran masyarakat tentang aktivitas seksual Merasa kehilangan daya tarik; harga diri
rendah, kemungkinan sindrom kecemburuan yang tidak wajar, Penarikan keterikatan pada
janin jika terancam oleh komplikasi kehamilan, Kebencian pada pembatasan aktivitas dan
meninggalkan pekerjaan, Kesepian dalam situasi rumah; kecemburuan terhadap peran kerja
yang berkelanjutan dari pasangan dan kelompok sebaya.

3. Trimester ketiga
Kecemasan fobia tentang persalinan, nyeri, atau rumah sakit, Takut 'kehilangan kendali'
selama persalinan, Takut akan kelainan janin, lahir mati dan kematian neonatus, Keasyikan
dengan jenis kelamin bayi yang diinginkan, Mengurangi aktivitas seksual; takut kehilangan
pasangan, Kekhawatiran tentang kekambuhan depresi pascakelahiran, Kecemasan tentang
kapasitas mengasuh anak.

Masalah Psikologi dalam Kehamilan


Sebuah studi penelitian di klinik antenatal London dengan General Health Questionnaire
(GHQ) menunjukkan bahwa 16% wanita mengalami kasus depresi pada 12-14 minggu
kehamilan, dan bahwa tingkat keparahan depresi ini berhubungan dengan masalah psikologis
kehamilan sebelumnya, ataupun kecemasan terhadap peran barunya. Sebuah survei serupa di
Australia menemukan kasus adanya masalah psikologi kehamilan pada ibu yang lebih tinggi
(40%) pada 33-34 minggu .(Bauman et al, 2020)
Psikologis ibu hamil diartikan sebagai periode krisis, saat terjadinya gangguan dan
perubahan identitas peran. Definisi krisis merupakan ketidakseimbangan psikologi yang
disebabkan oleh situasi atau tahap perkembangan. Awal perubahan psikologi ibu hamil yaitu
periode syok, menyangkal, bingung, dan sikap menolak. Persepsi wanita bermacam-macam
ketika mengetahui dia hamil, seperti kehamilan suatu penyakit, kejelekan atau sebaliknya yang
memandang kehamilan sebagai masa kreatifitas dan pengabdian kepada keluarga.
Secara umum, semua emosi yang dirasakan oleh wanita hamil cukup labil. Ia dapat
memiliki reaksi yang ekstrem dan susana hatinya kerap berubah dengan cepat. Reaksi emosional
dan persepsi mengenai kehidupan juga dapat mengalami perubahan. Ia menjadi sangat sensitif
dan cenderung bereaksi berlebihan. Seorang wanita hamil akan lebih terbuka terhadap dirinya
sendiri dan suka berbagi pengalaman kepada orang lain. Ia merenungkan mimpi tidurnya, angan-
angannya, fantasinya, dan arti kata-katanya, objek, peristiwa, konsep abstrak, seperti kematian,
kehidupan, keberhasilan, dan kebahagiaan. (Lestari, 2021)
Pada beberapa wanita dengan perasaan ambivalen mengenai kehamilan, stres mungkin
meningkat. Respon terhadap stres mungkin dapa tterlihat bervariasi yang tampak atau tidak
tampak. Sebagai contoh, sebagian besar wanita mengkhawatirkan apakah bayinya normal. Pada
mereka yang memiliki janin dengan resiko tinggi untuk kelainan bawaan, stres meningkat.
Selama kehamilan dan terutama mendekati akhir kehamilan, harus dibuat rencana untuk
perawatan anak dan perubahan gaya hidup yang akan terjadi setelah kelahiran. Pada sejumlah
wanita, takut terhadap nyeri melahirkan sangat menekan jiwa. Pengalaman kehamilan mungkin
dapat diubah oleh komplikasi medis dan obstetrik yang dapat terjadi. Wanita dengan komplikasi
kehamilan adalah 2 kali cenderung memiliki ketakutan terhadap kelemahan bayi mereka atau
menjadi depresi
Masyarakat tampaknya berasumsi bahwa semua wanita akan merasa sama-sama bahagia
dan puas segera setelah kehamilan, tetapi bahkan ibu yang paling stabil dan dewasa pun akan
memiliki masa-masa keraguan diri dan gentar, dan akan membutuhkan dukungan untuk dirinya
sendiri untuk menghadapi tuntutan. peran baru dan asingnya. Beberapa tanggapan positif dan
negatif dianggap sama dan normal.
Trimester pertama

Trimester pertama sering dianggap sebagai periode penyesuaian terhadap kenyataan


bahwa ia sedang mengandung. Sebagian besar wanita merasa sedih dan ambivalen tentang
kenyataan bahwa ia hamil. Kurang lebih 80% wanita mengalami kekecewaan, penolakan,
kecamasan, defresi, dan kesedihan.

Trimester pertama sering menjadi waktu yang menyenangkan untuk melihat apakah
kehamilan akan dapat berkembang dengan baik. Berat badan sangat bermakna bagi wanita hamil
selama trimester pertama. Berat badan dapat menjadi salah satu uji realitas tentang keadaannya
karena tubuhnya menjadi bukti nyata bahwa dirinya hamil. Validasi kehamilan dilakukan
berulang-ulang saat wanita mulai memeriksa dengan cermat setiap perubahan tubuh, yang
merupakan bukti adanya kehamilan.Fokus wanita adalah pada dirinya sendiri yang akan
menimbulkan ambivalensi mengenai kehamilannya seiring usahanya menghadapi pengalaman
kehamilan yang buruk, yang pernah ia alami sebelumnya, efek kehamilan terhadap
kehidupannya kelak ( terutama jika ia memiliki karir), tanggung jawab yang baru atau tambahan
yang akan ditanggungnya, kecemasan yang akan berhubungan dengan kemampuannya untuk
menjadi seorang ibu. Namun perasaan ambivalin ini akan berakhir dengan sendiriny seiring
dengan ibu menerima kehamilannya.

Hasrat seksual pada trimester pertama sangat bervariasi antara wanita yang satu dan yang
lain. Meski beberapa wanita mengalami peningkatan hasrat seksual, tetapi secara umum
trimester pertama merupakan waktu terjadinya penurunan libido dan hal ini memerlukan
komunikasi yang jujur dan terbuka terhadap pasangan masing-masing

Trimester kedua

Trimester kedua sering dikenal sebagai periode kesehatan yang baik, yakni periode ketika
wanita merasa nyaman dan bebas dari segala ketidaknyamanan yang normal dialami saat hamil.
Trimester kedua sebenarnya terbagi atas dua fase: pra-quickening dan pasca-quickening.
Quickening menunjukkan kenyataan adanya kehidupan yang terpisah, yang menjadi dorongan
bagi wanita dalam melaksanakan tugas psikologis utamannya pada trimester kedua, yakni
mengembangkan identitas sebagai ibu bagi dirinya sendiri, yang berbeda dari ibunya.

Pada trimester kedua, mulai terjadi perubahan pada tubuh. Orang akan mengenali Anda
sedang hamil. Pada akhir trimester kedua, rahim akan membesar sekira 7,6 cm di atas pusar.
Pertambahan berat badan rata-rata 7,65-10,8 kg termasuk pertambahan berat dari trimester
pertama. Janin mulai aktif bergerak pada periode ini.

Trimester kedua relatif terbebas dari segala ketidaknyamanan fisik, dan ukuran perut
wanita belum menjadi masalah besar, lubrikasi vagina semakin banyak pada masa ini,
kecemasan, kekhawatiran dan masalah-masalah yang sebelumnya menimbulkan ambivalensi
pada wanita tersebut mereda, dan ia telah mengalami perubahan dari seorang yang mencari kasih
sayang dari ibunya menjadi seorang yang mencari kasih sayang dari pasangannya, dan semua
faktor ini turut mempengaruhi peningkatan libido dan kepuasan seksual.

Trimester ketiga

Trimester ketiga sering disebut periode penantian dengan penuh kewaspadaan. Pada
periode ini wanita mulai menyadari kehadiran bayi sebagai makhluk yang terpisah sehingga ia
menjadi tidak sabar menanti kehadiran sang bayi. Ada perasaan was-was mengingat bayi dapat
lahir kapanpun. Hal ini membuatnya berjaga-jaga sementara ia memperhatikan dan menunggu
tanda dan gejala persalinan muncul.

Sejumlah ketakutan muncul pada trimester ketiga. Wanita mungkin merasa cemas dengan
kehidupan bayi dan kehidupannya sendiri. Seperti: apakah nanti bayinya akan lahir abnormal,
terkait persalinan dan pelahiran (nyeri, kehilangan kendali, hal-hal lain yang tidak diketahui),
apakah ia akan menyadari bahwa ia akan bersalin, atau bayinya tidak mampu keluar karena
perutnya sudah luar biasa besar, atau apakah organ vitalnya akan mengalami cedera akibat
tendangan bayi. (Lestari, 2021)

Wanita akan kembali merasakan ketidaknyamanan fisik yang semakin kuat menjelang
akhir kehamilan. Ia akan merasa canggung, jelek, berantakan, dan memerlukan dukungan yang
sangat besar dan konsisten dari pasangannya. Pada pertengahan trimester ketiga, peningkatan
hasrat seksual yang terjadi pada trimester sebelumnya akan menghilang karena abdomennya
yang semakin besar menjadi halangan. Alternatif untuk mencapai kepuasan dapat membantu atau
dapat menimbulkan perasaan bersalah jika ia merasa tidak nyaman dengan cara-cara tersebut.
Berbagi perasaan secara jujur dengan pasangan dan konsultasi mereka dengan anda menjadi
sangat penting. (Howards et al, 2014)

SITUASI KHUSUS

1. Kehamilan Remaja

Masa remaja adalah masa peralihan dari usia kanak-kanak ke usia dewasa. Pada masa
tersebut terjadi pertumbuhan yang pesat termasuk fungsi reproduksi sehingga mempengaruhi
terjadinya perubahan-perubahan perkembangan baik fisik, mental maupun peran sosial. Masa
remaja seringkali disebut sebagai masa yang kritis sehingga jika pada masa ini tidak
mendapatkan bimbingan dan informasi yang tepat maka seringkali akan tibul masalah yang
berpengaruh terhadap masa depan remaja tersebut(Ginting & Wantonia, 2011).

Di Indonesia rata-rata kehamilan remaja terjadi pada usia 14-19 tahun. Salah satu penyebab
kematian ibu di Indonesia adalah kehamilan resiko tinggi di antaranya kehamilan remaja
(hamil usia <20 tahun)(Ginting & Wantonia, 2011). Sebanyak 10,3% kehamilan pada remaja
menyebabkan kematian secara tidak langsung. Organ reproduksi remaja yang belum matang
tidak siap mengalami kehamilan sehingga berdampak buruk terhadap ibu hamil sendiri
maupun janin yang dikandung. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012 mendapatkan rata-rata usia pernikahan pertama di perkotaan adalah 19 tahun dan di
pedesaan lebih rendah yaitu 17 tahun. Persentase perempuan usia 15 – 19 tahun yang sedang
hamil anak pertama adalah 2%. Kemudian, perempuan kelompok usia 15 – 19 tahun 2,8% di
antaranya telah hamil di usia 15 tahun dan kelompok usia 20 – 24 tahun didapatkan 24,2%
telah hamil pada usia 18 tahun. Jumlah kehamilan remaja di pedesaan lebih besar
dibandingkan dengan di daerah perkotaan (Ramadani et al., 2014). Hasil survey Badan Pusat
Statistik tahun 2012 mengungkapkan angka kehamilan remaja pada usia 15-19 tahun
mencapai 48 per 1000 kehamilan.
Dua puluh persen kehamilan pada remaja terjadi dalam 1 bulan setelah menjadi seksual aktif,
dan 50% kehamilan terjadi dalam 6 bulan dari pertama kali hubungan seksual dilakukan.
Studi besar di Amerika Serikat menunjukkan 55% kehamilan pada remaja berujung pada
proses persalinan dan sisanya melakukan aborsi/terminasi kehamilan. Sebagian besar remaja
putri berusia dibawah 18 tahun tidak melakukan pemeriksaan antenatal pada trimester 1, dan
2% hanya sekali melakukan antenatal care atau tidak sama sekali melakukan pemeriksaan
kehamilan (Riley, 2016).

Sebuah survey yang dilakukan pada 79 remaja hamil menyebutkan bahwa 22%
menginginkan terjadinya kehamilan, 35% tidak menginginkan kehamilan, dan sisanya
mengaku tidak terpikirkan akan hal tersebut. Sebagian besar remaja berusia 17 tahun tidak
terpikirkan terjadinya kehamilan sebagai akibat dari aktivitas seksual yang dilakukan.
Reamaj aktif seksual yang tidak menggunakan alat kontraspesi Sebagian dipengaruhi oleh
pandangan sosial dibandingkan pengetahuan yang kurang. Oleh karena itu, Pendidikan seks
dan penggunaan kontrasepsi saja tidak cukup untuk mencegah kehamilan remaja yang tidak
diinginkan. Konseling dan edukasi mengenai hubungan dan tanggung jawab juga penting dan
dapat dilakukan disekolah, organisasi/Lembaga remaja, dan fasilitas KesehatanBanyak faktor
yang menyebabkan terjadinya kehamilan di usia remaja (Riley, 2016). Gaya hidup dan
prilaku seks bebas mempercepat peningkatan kejadian kehamilan pada remaja. Faktor lain
adalah kurangnya informasi dan pengetahuan tentang Kesehatan reproduksi dan keluarga
berencana (KB). Faktor sosial budaya, ekonomi, dukungan keluarga serta peran petugas
Kesehatan juga berhubungan dengan kehamilan usia remaja (Amalia & Azinar, 2017).

Pernikahan secara mendadak atau married by accident sering terjadi pada remaja usia kurang
dari 20 tahun. Dalam menjalani kehamilannya, remaja memiliki banyak resiko yang mungkin
terjadi antara lain; secara fisik seperti anemia, keguguran, pre-eklamsi, persalinan operatif,
perdarahan postpartum, mudah terjadi infeksi, resiko prematuritas dan BBLR. Adapun resiko
secara psikologis adalah stress, depresi berat, berhenti dari pendidikannya, depresi
postpartum, merasa terasingkan dan rendah diri. Pada kehidupan sosial remaja yang
mengalami kehamilan akan gagal menikmati masa remajanya dan akan menerima sikap atau
ungkapan negative karena dianggap memalukan, timbulnya sikap penolakan dari sosial
sehingga posisi dan peran remaja tersebut tidak dianggap di masyarakat (Faridah Hanum,
2016).

Menurut penelitian yang dilakukan Hanum (2015), kebanyakan ibu remaja mengatakan
bahwa kehamilannya tidak direncanakan dan tidak ada kesiapan untuk menerima kenyataan
bahwa mereka hamil. Dua dari 3 informan dalam penelitian tersebut merasa terekan dengan
lingkungan sekitar. Perasaan tertekan, merasa sendiri, mindr, merasa terasing, malu karena
mendapat cercahan keluarga, teman dan lingkungan menyebabkan tingkatan stress pada masa
kehamilannya ini dapat mempengaruhi Kesehatan Ibu maupun janinya dan bahkan depresi
yang dialami dapat berlanjut. Kondisi psikologi seperti ini mengakibatkan remaja melalui
berbagai cara untuk dapat menyembunyikan kehamilannya atau berusaha menghentikan
kehamilan. Ditinjau dari segi psikologis, karena keterbatasan dan ketidakmatangan untuk
berumah tangga, anak perempuan yang terpaksa menjadi seorang istri di usia yang masih
sangat belia tidak memiliki posisi tawar-menawar yang kuat dengan suami sehingga sangat
rawan menjadi korban dan sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, beban
psikologis pada perempuan yang mengandung, melahirkan dan mengurus anak karena usia
mereka yang masih muda, atau belum dewasa berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan jiwa anak tersebut.

Dalam jurnal Ramdani dkk (2015), menyebutkan bahwa empat hal potensial dalam
mencegah kehamilan usia remaja adalah Pendidikan seks, komunikasi dengan orangtua,
penggunaan kontrasepsi, dan penerimaan layanyan Kesehatan reproduksi. Terdapat peran
dan posisi penting bagi tenaga Kesehatan untuk menurunkan angka kehamilan pada remaja
khususnya di Indonesia. Petugas Kesehatan selaku educator berperan dalam melaksanakan
bimbingan atau penyuluhan, Pendidikan pada klien, kelurga, masyarakat tentang
penanggulangan masalah Kesehatan khususnya yang berhubungan dengan Kesehatan
reproduksi termasuk kehamilan usia remaja. Selaku educator dan motivator, petugas
Kesehatan berkewajiban mendorong perilaku positif dalam Kesehatan, dilaksanakan secara
konsisten dan lebih berkembang. Untuk peran fasilitator, tenaga kesehatan harus mampu
menjembatani dengan baik antara pemenuhan kebutuhan keamanan klien dan keluarga
sehingga faktor risiko dalam tidak terpenuhinya kebutuhan keamanan dapat diatasi,
kemudian membantu keluarga dalam menghadapi kendala untuk meningkatkan derajat
kesehatan.

2. Older Mothers

Kehamilan yang terjadi pada ibu dengan usia tua (>35 tahun) secara luas dikelompokkan
menjadi mereka yang menunda kehamilan karena urusan karir, Perempuan yang memiliki
masalah dengan kesuburannya, dan kehamilan yang tidak direncanakan di usia tua.

Kehamilan pada kelompok usia akhir 30 tahunan dengan alasan karir pada umumnya
memiliki kesempatan untuk mendapatkan kehamilannya dengan peluang/ ‘kesempatan
terakhis’ untuk memiliki bayi atau tidak memiliki anak selamanya. Perempuan tersebut
mungkin merasakan perasaan ambivalen tentang kehamilan dan menyadari bahwa kehamilan
nya akan memiliki peningkatan resiko kelainan janin. Perasaan sedih atas kendali hidupnya
sejauh ini dengan seringkali adanya pandangan ideal tentang kehamilan, membuat
perempuan merasa harus sukses menjadi Ibu seperti sukses pada karirnya, namun
kehamilannya memiliki tingkatan resiko di usianya. Perempuan karir mungkin jarang
memiliki interaksi seperti yang dimiliki Ibu-ibu pada umumnya, dan memungkinkan hanya
dapat mengambil cuti hamil di akhir kehamilan. Transisi emosional dari perempuan karir
menjadi seorang Ibu bukanlah hal yang mudah. Dukungan sosial, memiliki kelompok
antenatal, dan provider yang bisa mengerti posisi dan kebutuhan adalah hal yang
diperlukamn bagi perempuan tersebut (Riley, 2016).

Wanita dengan riwayat infertilitas sebelumnya atau keguguran berulang mungkin melihat
dirinya sebagai 'kegagalan', menyalahkan dirinya sendiri dan tidak dapat percaya bahwa
kehamilan ini akan berhasil. Ada bukti awal bahwa ibu berusia di atas 35 tahun dan
mengharapkan bayi pertama mereka menunjukkan penurunan tingkat keterikatan pada janin.
Seorang ibu yang lebih tua mungkin akan mempertahankan ikatan untuk melindungi dirinya
dari kekecewaan lebih lanjut (Riley, 2016).

Ketika Ibu yang hamil usia tua dan anaknya sudah bertumbuh menjadi remaja, remaja
tersebut mungkin akan merasa malu dengan teman sebayanya dikarenakan Ibu nya lebih tua
jika dibandingkan dengan Ibu dari teman sebayanya, dan akan merasa malu mengetahui
bahwa ibu mereka masih aktif secara seksual di usia tuanya. Hubungan keluarga dan
komunikasi yang baik akan menyelesaikan masalah tersebut.

Hasil penelitian Puspitasari (2015) mengenai hubungan usia dengan kejadian hipertensi
dalam kehamilan menyebutkan bahwa hasil analisis hubungan antara usia dengan kejadian
HDK diperoleh bahwa ada sebanyak 15 dari 94 (16,0%) ibu dengan usia risiko tinggi yaitu
≥35 tahun yang mengalami HDK. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa hamil atau bersalin diusia lebih dari 35 tahun terjadi penurunan fungsi
organ reproduksi sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal. Dimana usia tua juga
berhubungan dengan teori iskemia implantasi plasenta, bahwa trofoblas diserap ke dalam
sirkulasi yang memicu peningkatan sensivitas terhadap angiotensin II, renin aldosteron
sehingga terjadi spasme pembuluh darah serta tahanan terhadap garam dan air yang
mengakibatkan hipertensi, bahkan edema (Puspitasari et al., 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2014) menyebutkan bahwa latar
belakang psikologis kecemasan ibu hamil usia 35 tahun ke atas adalah; bayangan ibu hamil
seputar persalinan, bayangan akan terjadinya keguguran, bayi cacat, bayi premature,
kehamilan kembar, kondisi Kesehatan ibu, pengambilan keputusan untuk mempunyai bayi
lagi, dan pengalaman pada kehamilan sebelumnya. Informasi yang tepat mengenai hal-hal
mengenai kondisi kehamilan di usia >35 tahun penting diketahui oleh calon ibu. Perempuan
hamil diusia >35 tahun mempersiapkan diri dengan baik secara fisik, psikis, dan ekonomi.
Selanjutnya pihak keluarga diharapkan mampu memberikan dukungan emosional. Bagi pihak
tenaga Kesehatan khususnya dokter dan bidan untuk lebih berperan dalam memberi
penjelasan atau informasi yang benar tentang hal-hal seputar persalinan proporsional, tidak
melebihkan dan juga tidak mengurangi informasi tersebut (Hidayati, 2014).

3. Gangguan pola makan (Anorexia, Bulimia)

Perempuan yang memiliki riwayat gangguan pola makan dan kemudian memulai sebuah
keluarga, banyak dari mereka akan khawatur tentang perubahan berat dan bentuk tubuh.
Banyak penderita anorexia memiliki kecemasan tentang peran orang dewasa dan khususnya
pada seksualitas. Konflik psikologis dianggap penting pada pasien dengan gangguan makan
mengenai seksuaitas pada orang dewasa, citra tubuh, otonomi diri, ketergantungan, dan
hubungan dengan sosial harus diperhatikan selama kehamilan. Hal ini menimbulkan
anggapan bahwa kehamilan sangat menegangkan bagi Wanita dengan gangguan makan dan
kemungkinan terjadinya gangguang emosional yang sulit, termasuk eksaserbasi anoreksia
dan bulimia, kemungkinan besar terjadi selama masa kehamilan atau nifas (Ante et al.,
2020).

Anorexia nervosa (AN) adalah gangguan pola makan dengan cara membuat dirinya merasa
tetap lapar (self-starvation). Biasanya terjadi pada remaja wanita yang tengan menginjak
bangku SMU (sekolah menengah umum). Adapun tujuan mereka membuat dirinya lapar
adalah agar mereka memiliki penampilan fisik yang ramping dan menarik perhatian lawan
jenisnya. Anoreksia nervosa yaitu sebuah gangguan makan yang ditandai dengan penolakan
untuk mempertahankan berat badan yang sehat dan rasa takut yang berlebihan terhadap
peningkatan berat badan akibat pencitraan diri yang menyimpang. Pencitraan diri pada
penderita AN dipengaruhi oleh bias kognitif (pola penyimpangan dalam menilai suatu
situasi) dan memengaruhi cara seseorang dalam berpikir serta mengevaluasi tubuh dan
makanannya. AN merupakan sebuah penyakit kompleks yang melibatkan komponen
psikologikal, sosiologikal, dan fisiologikal. Seseorang yang menderita AN disebut sebagai
anoreksik atau (lebih tidak umum) anorektik (Krisnani et al., 2018).

Bulimia nervosa adalah gangguan pola makan yang ditandai dengan usaha untuk
memuntahkan kembali secara terus-menerus apa yang telah dimakan sebelumnya. Bulimia
nervosa yaitu sebuah kelainan cara makan yang terlihat dari kebiasaan makan berlebihan
yang terjadi secara terus menerus, sering terjadi pada wanita.

Adapun faktor penyebab gangguan makan anoreksia dan bulimia sebagai berikut :

a. Faktor sosio-kultural
Tekanan yang berlebihan pada Wanita muda untuk mencapai standart kurus yang tidsk
realistis.
b. Faktor psikologis
Diet yang kaku atau sangat membatasi dapat mengakibatkan berkurangnya control yang
diikuti dengan pelanggaran dier dan menghasilkan makan berlebihan yang bersifat
bulimic, ketidak puasan pada tubuh memicu diet yang tidak sehat untuk mencapai berat
badan yang diinginkan, merasa kurang memiliki control atas berbagai aspek kehidupan
selain diet, kesulitan membangun identitas individual, dan kebutuhan psikologis untuk
kesempurnaan dan kecenderungan untuk berpikir secara dikotomis/hitam putih
c. Faktor keluarga
Adanya konflik, kurang kedekatan dan perhatian, serta gagal dalam membangun
kemandirian dan otonomi pada diri anak mereka.
d. Faktor bilogois
Ketidakseimbangan yang mungkin terjadi pada sistem neurotransmitter di otak yang
mengatur mood dan nafsu makan, dan kemungkinan pengaruh genetis.

Penderita anoreksia dapat mengendalikan diri dalam hal makan; sementara penderita bulimia
tidak. Depresi adalah karakteristik dari penderita bulimia. Bulimia menghasilkan
ketidakseimbangan lambung dan kimiawi dalam tubuh (Krisnani et al., 2018).

Perempuan hamil dengan anoreksia memiliki diet yang sangat ketat dan memiliki resiko
kekurangan gizi, berpotensi meningkatkan resiko komplikasi saat melahirkan. Penelitian
sebelumnya menemukan bahwa malnutrisi berhubungan dengan kelahiran premature, berat
badan lahir rendah, dan pertumbuhan janin terhambat. Dalam beberapa data, malnutrisi ekstrem
akibat kelaparan saat kehamilan dikaitkan dengan peningkatan resiko kematian neonatal. Selain
itu, anoreksia nervosa yang parah dapat menyebabkan aritmia jantung dan kelainan struktural,
ketidakseimbangan elektrolit, pansitopenia, dan steatosis hati, yang selanjutnya dapat
mempersulit kehamilan (Stewart et al., 1987).

Sebuah tindak lanjut dari wanita dengan anoreksia sebelumnya telah menunjukkan bahwa
mereka cenderung menginginkan anak daripada kelompok kontrol yang sebanding, dan mereka
menjalani kehamilan pertama di usia tua. Dua kali lebih banyak bayi berat lahir rendah lahir dari
ibu anoreksia, dan angka kematian perinatal meningkat enam kali lipat. Anehnya, tidak ada
perbedaan dalam proporsi ibu yang memilih untuk menyusui, atau dalam lamanya waktu
menyusui berlanjut, tetapi para penderita anoreksia sebelumnya melaporkan 28% anak-anak
memiliki 'masalah makan' (Riley, 2016).

Pasien bulimia melaporkan adanya kecemasan tentang kemungkinan kerusakan janin akibat
gangguan makan. Penelitian mengatakan kondisi tersebut dapat membaik selama kehamilan bagi
Sebagian besar ibu hamil dengan Riwayat gangguan makan, akan tetapi didapatkan Kembali
munculnya tingkat kecemasan/ depresi pada masa postpartum pada Sebagian besar pasien, dan
lebih dari setengah menyatakan kecemasan tentang bayi mereka akan kelebihan berat badan.

Dalam menangani permasalahan ini, tenaga Kesehatan harus memahami kondisi klien seperti
keadaan biologis, hubungan antara lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya. Tenaga
Kesehatan harus melibatkan penerimaan dari lingkungan merupakan Langkah awal
penyembuhan. Pada perempuan dengan gangguan pola makan sebaiknya terlebih dahulu
dilakukan proses penyembuhan dan pemulihan sebelum menginginkan kehamilan, karena
kehamilan dari ibu yang memiliki gangguang pola makan memiliki banyak dampak buruk untuk
janin yang dikandungnya. Tenaga Kesehatan khusunya bidan.dokter sebaiknya
mempertimbangkan Kesehatan fisik dan psikis perempuan sebelum dimulainya perencanaan
kehamilan. Selain itu dokter/bidan juga harus emmpertimbangkan kemungkinan gangguan
makan padaa perempuan yang gagal untuk mendapatkan berat badan yang sesuai selama
kehamilan atau yang menderita muntah yang tidak tertahankan (Ante et al., 2020).

Ibu Epilepsi

Seorang wanita dengan epilepsi yang merencanakan kehamilan harus mendapatkan


konseling pra-kehamilan . Pemberian suplemen asam folat sebelum kehamilan. Terdapat
peningkatan risiko epilepsi pada anak antara 3% dan 6%, tergantung pada sifat epilepsi ibu dan
tingkat ambang kejang. Sebagian besar obat antiepilepsi berpotensi teratogenik. Fenitoin,
misalnya, membawa peningkatan dua sampai tiga kali lipat dalam tingkat malformasi kongenital,
terutama celah bibir dan langit-langit, dan malformasi jantung. Cacat tabung saraf mungkin
berhubungan dengan valproat, dan retardasi pertumbuhan dengan carbamazepine. Ada
peningkatan angka kematian perinatal. Di hadapan hipertensi dan edema, penting untuk diingat
diagnosis banding eklampsia. Seorang wanita dengan epilepsi yang ingin hamilan idealnya
menggunakan obat dan diperiksa setiap bulan. Obat-obatan diekskresikan dalam ASI, tetapi
jarang menimbulkan masalah. Terlepas dari semua hal di atas, sebagian besar wanita epilepsi
mennginginkan kehamilan, persalinan, dan membesarkan keluarga dengan sangat bahagia dan
sukses.

Ibu yang Alkoholik


Konsumsi alkohol pada wanita muda yang subur telah meningkat selama beberapa tahun
terakhir, seperti juga insiden ketergantungan alkohol. Ada bahaya berat bagi janin dari konsumsi
alkohol berlebihan pada ibu pada awal kehamilan, dan bahkan mungkin pada periode pra-
konseptual. Gambaran lengkap sindrom alkohol janin, yang meliputi keterbelakangan
pertumbuhan sebelum dan sesudah kelahiran, kelainan bentuk wajah dan gangguan
perkembangan psikomotor, untungnya jarang terjadi, tetapi ada komplikasi yang lebih umum di
antara ibu yang minum alkohol dalam jumlah sedang. Sebuah penelitian di Swedia menunjukkan
bahwa wanita yang mengonsumsi alkohol ‘setidaknya 4-5 kali sebulan’ memiliki bayi yang kecil
untuk usia kehamilan, beratnya kurang, lebih pendek dan memiliki lingkar kepala lebih kecil
daripada kelompok kontrol yang sebanding. Insiden anomali kongenital juga meningkat, dan ada
kecenderungan tingkat kematian neonatal yang lebih tinggi, meskipun tidak ada kasus sindrom
alkohol janin yang sebenarnya. Hubungan saling percaya dengan staf klinik yang akan
mengungkapkan kebenaran dan memungkinkan intervensi yang sesuai. Sayangnya, meskipun
awalnya dapat meredakan kecemasan, itu adalah depresan otak, yang menyebabkan depresi dan
gangguan tidur, dan karenanya sering meningkatkan konsumsi. Pendamping ibu pengkonsumsi
alkohol perlu bersikap nyaman agar tidak menambah rasa bersalah dan kesusahan wanita itu,
pujian dan dorongan untuk usahanya akan lebih membantu. Konseling secara individual dan
dukungan praktis mungkin diperlukan.

Penatalaksanaan Penyalahgunaan Narkoba pada Kehamilan

Jumlah ibu hamil yang tergantungan pada obat-obatan narkotika telah meningkat selama
beberapa tahun terakhir dan menjadi masalah terutama dalam praktik di dalam kota. Para wanita
ini sering mengalami berbagai kesulitan sosial termasuk kemiskinan, akomodasi yang tidak
sesuai dan kurangnya dukungan sosial. Mereka berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi fisik,
komplikasi obstetrik, terutama solusio plasenta, lebih sering terjadi. Mereka mungkin juga
memiliki penyakit kejiwaan sebelumnya.

Pertemuan rutin antara konselor narkoba, dokter umum dan pekerja sosial akan
meminimalkan risiko manipulasi oleh klien. Salah satu cara untuk memastikan kehadiran di
klinik adalah dengan memberikan resep di klinik antenatal, bersama dengan tes urin rutin untuk
menyaring obat-obatan terlarang. Dosis yang dikurangi secara bertahap diberikan, mencoba
untuk menghentikan pengobatan sama sekali sebelum melahirkan. Tes HIV setelah konseling
yang sesuai dianjurkan. Bidan harus membiasakan diri dengan pedoman manajemen ibu hamil
HIV-positif. Tindak lanjut pada wanita yang kecanduan opiat pascapersalinan menunjukkan
bahwa hampir 50% melanjutkan kebiasaan narkoba mereka setelah melahirkan, dan mereka yang
melakukannya lebih mungkin menempatkan bayinya dalam perawatan orang lain.

IMPLICATIONS FOR ANTENATAL CARE

Setiap ibu memiliki gagasan yang sangat jelas tentang jenis perawatan bersalin yang mereka
inginkan. Sayangnya, banyak yang frustrasi dan tidak puas dengan perawatan yang mereka
terima. Proses yang lama dalam menunggu antrian di klinik antenatal atau rumah sakit
tampaknya menjadi normal. Konsultasi sering terburu-buru dan tidak bersifat pribadi. Dalam
setiap pertemuan nya untuk berkonsultasi, ibu hamil bisa saja menemui bidan atau dokter yang
berbeda-beda. Dan ibu hamil mengatakan bahwa perasaan nya seperti mengikuti system yang
ada, tidak sesuai dengan yang diinginkan nya. Sedangkan kebanyakan ibu hamil mengatakan
bahwa untuk pmeriksaan yang dilakukan di praktisi klinik itu jauh lebih dihargai. Ibu hamil
merasa lebih banyak waktu yang bisa digunakan dalam berkonsultasi, sehingga dalam menunggu
proses antrian panjang pun lebih diterima. Dalam konsultasinya, mereka diberi informasi yang
memadai dan terfasilitasi dengan baik. Maka dari itu diperlukan perubahan. Berikut hal-hal yang
harus diperhatikan selama proses antenatal care.

1. Individually
Setiap kehamilan memiliki arti yang berbeda bagi setiap wanita dalam hidupnya.
Kahamilan dan kelahiran merupakan peristiwa besar dalam hidupnya, bukan hanya
sekedar prosedur medis. Selain befokus pada kesehatan fisik ibu, diperlukan juga
pemeriksaan tentang kesejahteraan emosional ibu. Pertanyaan tentang kesejahteraan
emosional ibu merupakan awal yang baik dalam proses antenatal care.
2. Flexibility of Care
Fleksabilitas waktu konsultasi juga akan sangat bermanfaat. Menyesuaikan dengan
kebutuhan wanita. Seperti missal wanita karir yang hanya memiliki waktu di malam hari
untuk berkonsultasi atau wanita yang memiliki anak kecil dan tidak memiliki pengasuh.
Banyak profesi lain yang sudah mempunyai pola seperti ini. Jika kita benar-benar
menghargai nilai positif dari antenatal care dan kita sangat peduli dengan kondisi wanita
sebagai ibu, itu akan menjadi sebuah pelayanan yang layak.
3. Continuity of Care
Wanita mengatakan betapa mereka menghargai berkesinambungannya asuhan yang
diberikan dokter-perawat-bidan, mereka dapat berkomunikasi dengan baik, tetapi hal ini
kurang mudah dalam beberapa instansi konsultan. Seperti tim persalinan akan berputar
bertukar peran dengan tim antenatal sehingga akan kesulitan dalam asuhan pascasalin.
Jadi mungkin akan lebih mudah bagi setiap wanita (ibu) jika dapat bertemu untuk
berkonsultasi dengan tenaga kesehatan yang sama. System seperti ini juga akan membuat
komunikasi yang lebih baik. Alternative lain adalah dengan dibentuknya sektorisasi
dengan tim yang lebih kecil.
4. Antenatal Education
Tujuan utama dibentuknya kelas antenatal care adalah untuk meningkatkan kepercayaan
diri seorang wanita selama proses kehamilan nya. Tetapi yang menjadi evaluasi dalam
setiap kelasnya adalah program yang memakan biaya dan waktu. Kelas leboh didominasi
oleh kalangan menengah ke atas dari pada wanita karir dan kalangan lainnya sehingga
menunjukkan tingkat drop out yang lebih besar.
Ini menunjukkan bahwa manfaat dari kelas antenatal adalah ketika para wanita memiliki
sikap positif terhadap perawatan/asuhan yang sudah diberikan. Sehingga pendekatan
primer sangat dibutuhkan untuk memberikan efek “knock on”. Studi lain menunjukkan
bahwa adanya peningkatan yang cukup besar dalam pengetahuan namun tidak ada
korelasi antara tingkat pengetahuan dan kepuasan dengan hasil; sikap yang
mencerminkan kepercayaan diri selama proses kehamilan. studi serupa menunjukkan
bahwa kepercayaan diri meningkat seiring berjalan nya waktu dan menurunnya
kecemasan. Namun perlu diketahui bahwa tidak ada satupun dari studi diatas yang
memiliki kelompok control, jadi tidak dapat disimpulkan terjadinya perubahan pada studi
diatas. Disisi lain, dari terbentuknya kelas antenatal care ada banyak manfaat yang di
dapatkan seperti adanya dukungan dari social dan hubungan pertemanan.
5. Dealing with Negatif Aspects
Seringkali wanita menyimpulkan bahwa program antenatal class ini tidak
diperuntukkan mengekspresikan perasaan negative seperti kecemasan tentang keadaan
bayi yang normal, kekhawatiran terhadap kehidupan bayinya, dan kesehatan fisik ibu
hamil itu sendiri. Mereka memiliki perasaan khawatir tentang perubahan yang akan
terjadi dan bahkan kekhawatiran tentang suami mereka yang akan berubah setelah
kelahiran anak. Mereka mempertanyakan kemampuan kapasitas mereka sebagai ibu dan
bertanya-tanya “apakah mereka benar-benar cukup dewasa untuk merawat anak? Apakah
jika mereka gagal dengan semua hal yang telah diajarkan, para bidan akan bereaksi tidak
sabar? Akankah mereka sendiri akan gagal dalam persalinan sehingga membutuhkan
pertolongan persalinan?’ Semua ini adalah ketakutan yang nyata dan dapat diterima,
bukan sebuah hal yang salah dan wajar terlintas pertanyaan seperti itu.
Mungkin menjadi ketakutan tersendiri bagi bidan atau petugas kesehatan lain nya,
ketika melihat permasalahan tersebut. Ini merupakan bentuk kepercayaan yang telah
tertanam dalam diri mereka terhadap klien. Namun para bidan dan tenaga kesehatan
lainnya perlu menjaga ke khawatiran mereka sebagai bentuk ke-profesionalan karena
dapat mengganggu proses antenatal care.
Banyak wanita yang mengeluh ketika di hampiri dengan masalah emosional
postpartum bahwa mereka tidak diberikan informasi yang cukup selama proses
kehamilan tentang resiko dan gejala depresi pascamelahirkan. Disisi lain bidan dan
tenaga kesehatan lainnya sudah menginformasikan namun ternyata banyak wanita yang
menyangkal informasi tersebut pada saat antenatal care karena menganggap ini sebuah
informasi yang bersifat negative.
Wanita membutuhkan asuhan untuk mampu mengemban peran baru yang akan
dihadapi. Jika keluarga terdekat atau bahkan suami tidak mampu memberikan support
dan asuhan yang baik, sebagai bidan dan tenaga professional harus bisa memberikan
support serta asuhan yang baik dalam kerangka antenatal care yang menyeluruh.
BAB III

PENUTUP

Banyak perhatian telah diberikan pada gangguan kesehatan mental perinatal dan postnatal
depresi khususnya, tetapi sampai saat ini hanya ada sedikit penelitian tentang efek dari periode
antenatal pada suasana hati ibu. Pitt (1968) adalah salah satu psikiater pertama yang mengenali
pentingnya depresi 'atipikal' setelah melahirkan, dan menganggap sebagai komplikasi umum dan
penting dari masa nifas yang memerlukan pemahaman yang lebih besar. Sejak itu, fokus
penelitian kesehatan mental ibu telah ditampilkan terutama pada periode pascakelahiran. Kondisi
itu diyakini kehamilan melindungi wanita dari perasaan putus asa dan putus asa; karena itu
meningkatkan kesehatan mental ibu selama kehamilan dapat berdiri sendiri sebagai hal yang sah
sasaran.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, E. H., & Azinar, M. (2017). Kehamilan Tidak Diinginkan Pada Remaja.
HIGEIA:Journal of Public Health Research and Development, 1(1), 1–7.

Ante, Z., Luu, T. M., Healy-Profitós, J., He, S., Taddeo, D., Lo, E., & Auger, N. (2020).
Pregnancy outcomes in women with anorexia nervosa. International Journal of Eating
Disorders, 53(5), 403–412. https://doi.org/10.1002/eat.23251

Armyati, Eky Oktaviana. 2020.Modul Praktikum Psikologi Kebidanan

Diana Riley. 2016. Perinatal Mental Health a sourcebook for health professionals.

Faridah Hanum, S. M. (2016). Dampak Psikologis Pada Kehamilan Remaja (Studi Ekplorasi Di
Desa Watutulis Prambon Sidoarjo). Midwiferia, 1(2), 93.
https://doi.org/10.21070/mid.v1i2.353

Ginting, F., & Wantonia, J. (2011). Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Remaja yang Hamil
Tentang Kehamilan Remaja di Manado. 47–59.

Hidayati, D. S. (2014). Latar Belakang Psikologis Kecemasan Ibu Hamil Usia 35 Tahun Ke
Atas. Lincolin Arsyad, 3(2), 1–46.
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/view/1268/1127

Kurniawan, E.S., Ratep, N., & Westa, W. 2000. Faktor Penyebab Depresi Pada Ibu Hamil
Selama Asuhan Antenatal Setiap Trimester. Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokkteran
Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Kusuma, Ratu. 2019. Karakteristik Ibu Yang Mengalami Depresi Dalam Kehamilan. Jurnal
Akademika Baiturrahim Jambi, 8(1), 99-106.

Kusuma, Ratu. 2019. Karakteristik Ibu Yang Mengalami Depresi Dalam Kehamilan. Jurnal
Akademika Baiturrahim Jambi, 8(1), 99-106.

Krisnani, H., Santoso, M. B., & Putri, D. (2018). Gangguan Makan Anorexia Nervosa Dan
Bulimia Nervosa Pada Remaja. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
4(3), 399. https://doi.org/10.24198/jppm.v4i3.18618

Puspitasari, D. R., Setyabudi, M. T., & Rohmani, A. (2015). Hubungan Usia, Graviditas dan
Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian Hipertensi Dalam Kehamilan. Jurnal Kedokteran
Muhammadiyah, 2(1), 29–33.

Ramadani, M., Gusta, D., Nursal, A., & Ramli, L. (2014). Roles of Health Workers and Families
in Teenage Pregnancy Roles of Health Worker and Family in Teenage Pregnancy. National
Public Health Journal, 10(94), 87–92.

Riley, D. (2016). Perinatal mental health. In Journal of Nervous and Mental Disease (Vol. 199,
Issue 8). https://doi.org/10.1097/NMD.0b013e318225f2f4

Stewart, D. E., Raskin, J., Garfinkel, P. E., MacDonald, O. L., & Robinson, G. E. (1987).
Anorexia nervosa, bulimia, and pregnancy. American Journal of Obstetrics and
Gynecology, 157(5), 1194–1198. https://doi.org/10.1016/S0002-9378(87)80293-4

Anda mungkin juga menyukai