Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ANALISIS KASUS ADRs

Nama : Lisa Sophianingsih


NIM : 20720002

Kasus 2:
Seorang pasien laki-laki usia 48 tahun dilaporkan mengalami efek samping obat Stevens Johnson
Syndrome berupa erupsi makulopapular, erosi di mukosa mulut dan demam setelah menerima
pengobatan Nevirapine kaptab 200 mg, kombinasi Lamivudine 150 mg + Zidovudine 300 mg
kaptab dan Kotrimoksazole selama 2 bulan untuk pengobatan HIV/AIDS. Obat yang dicurigai
sebagai penyebab ESO adalah Nevirapine dan Kotrimoksazole. Setelah pemberian obat
dihentikan dan diberikan shake lotion, borax gliserin serta injeksi metilprednisolon untuk
mengatasi efek samping obat, kondisi pasien membaik, meskipun belum sempurna. Pasien
tersebut mempunyai riwayat alergi. Hasil evaluasi Tim Pengkaji MESO menyimpulkan
hubungan kausal antara obat yang dicurigai dengan manifestasi ESO adalah possible.

Nama Obat Indikasi Adverse Effects Mekanisme kerja


Nevirapine 200 Pengobatan - Stevens-Johnson Non-Nucleoside Reverse
mg infeksi HIV-1 syndrome Transcriptase Inhibitor
dalam kombinasi - Reaksi alergi termasuk (NNRTI), aktivitas
dengan anafilaksis, angioderma, menyerang HIV-1 dengan
antiretroviral lain erupsi bulosa, stomatitis berikatan pada reverse
ulsertaif, sindrom transcriptase, dan dengan
hipersensitivitas dan memblok aksi dari RNA dan
reaksi hipersensitivitas DNA dependent DNA
dengan ruam terkait polymerase termasuk
dengan temuan replikasi HIV-1
konstitusional

Lamivudine 150 Infeksi HIV Batuk, diare, fatigue dan - Nucleoside Reverse
mg malaise, demam, sakit kepala, Transcriptase Inhibitor
nyeri otot, nausea, nervous (NRTI), mengikuti
system neuropathy fosforilasi, menghambat
HIV reverse transcriptase
dengan penghentian rantai
DNA virus, analog sitosin
- Biasanya dikombinasikan
dengan Zidovudine
- Mutasi codon yang
diinduksi Zidovudine
menyebabkan sensitivitas
virus terhadap obat
Zidovudine 300 Pengobatan Jaringan kulit dan subkutan: - Inhibisi thymidine kinase
mg infeksi HIV merubah pigmen kulit dan - Nucleoside Reverse
kuku, pruritus, Stevens- Transcriptase Inhibitor
Johnson syndrome, toxic (NRTI)
epidermal necrolysis,
sweating, urticarial.
Kotrimoksazol Merupakan salah Stevens Johnson Syndrome, Memblokir 2 langkah
(Kombinasi satu jenis immune hypersensitivity berturut-turut dalam
Sulfametoksazol antibiotik reaction, ruam, peripheral biosintesis asam nukleat dan
dan Trimetoprim) golongan sulfa neuritis, hyperkalemia. protein yang penting bagi
yang banyak bakteri.
penggunaannya
dalam kasus HIV
adalah sebagai
pencegahan
terhadap infeksi
penyerta
mengingat daya
tahan tubuh yang
rendah pada
penderita HIV.
Methylprednisolon Kondisi alergi, Sakit kepala, urticarial, acne, - Glukokortikoid poten
pneumocystis adrenal suppression, delirium, dengan aktivitas
(carinii) jiroveci dll. mineralokortikoid minimal
Pneumonia pada atau tidak ada sama sekali.
pasien HIV/AIDS
(off label)
Sumber: Medscape

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit yang


disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini menyebabkan
kerusakan atau penurunan pada sistem kekebalan tubuh manusia (Thorp, 2008). Virus ini
ditemukan dalam 2 bentuk utama yaitu HIV-1, yang paling umum di seluruh dunia, dan HIV-2,
yang paling umum di Afrika Barat (Dykeet al, 2006).
Kombinasi antiretroviral merupakan dasar pelaksanaan pemberian terapi antiretroviral
terhadap pasien HIV/AIDS, karena dapat mengurangi resistensi, menekan replikasi HIV secara
efektif sehingga penularan, infeksi oportunistik, dan komplikasi lainnya dapat dihindari serta
meningkatkan kualitas dan harapan hidup dari pasien HIV/AIDS. Terapi secara dini dapat
melindungi sistem kekebalan tubuh dari kerusakan oleh virus HIV (Montessori et al, 2004).
Sumber: Clinical Guidelines: Antiretroviral Therapy, WHO, 2003.

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya. Untuk pasien
HIV/AIDS yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3
maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksazol (1 x 960 mg sebagai pencegahan Infeksi
Oportunistik) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan
pasien untuk minum obat, dan 2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih
antara kotrimoksazol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek
samping yang sama dengan efek samping kotrimoksazol.
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer
dan profilaksis sekunder.
 Profilaksis primeradalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi
yang belum pernah diderita.
 Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk
mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan kotrimoksazol
dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut
dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis
carinii pneumonia (sekarang disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian
kotrimoksazol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan
Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (PPK).
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dan tidak tepat dosis, dapat menggagalkan terapi
pengobatan yang sedang dilakukan. Efek dari interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai
dari yang ringan seperti penurunan absorpsi obat atau penundaan absorpsi hingga meningkatkan
efek toksik obat lainnya. Selain itu dapat menimbulkan bahaya seperti efek toksik, alergi, atau
biologis (Anwar, 2016). Efek samping yang disebabkan oleh antibiotik dapat diklasifikasikan
sebagai efek secara langsung dan tidak langsung. Hipersensitivitas dan toksisitas termasuk dalam
efek samping antibiotik secara langsung. Sedangkan efek samping tidak langsung yaitu efek
pada flora normal dan lingkungan (Dhakal dkk, 2018).
Hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan
biasanya menimbulkan kelainan Stevens Johnson Syndrome. Stevens Johnson Syndrome (SJS)
adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi, sindrom tersebut mengancam
kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas dan
memisahkan dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang
memengaruhi kulit dan selaput lendir (Fitriany dan Alratisda, 2019).
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi
kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Patogenesisnya
belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi hipersensitif
tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan enzim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal
ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam
pembuluh darah atau jaringan. Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini
mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringanatau
kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan
sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut. Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi
pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. Pada beberapa kasus
yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks
imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier
yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau
metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel
atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan
kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan
jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan
jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik
juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi seperti
kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi,
kegagalan fungsi imun, dan infeksi.

Anda mungkin juga menyukai