Anda di halaman 1dari 17

“Emosi Sehat Wanita Lanjut Usia”

(Dr. Susanna Kathryn M.Th, S. Si)

I. Pendahuluan

Menjadi tua adalah fase kehidupan yang pasti akan dialami oleh setiap manusia, dan
tidak dapat dihindari. Banyak kaum wanita menjadikan masa tua sebagai sebuah momok
yang sangat menakutkan. Ketakutan ini berawal dari pemikiran bahwa dirinya akan menjadi
tidak sehat, tidak bugar, tidak cantik lagi,bahkan tidak berguna. Bagi sebagian wanita, fase
kehidupan ini sangat tidak menyenangkan dan menyakitkan. Padahal, masa lanjut
usiamerupakan salah satu fase kehidupan yang akan tetap dilaluioleh setiap wanita,sama
halnya dengan fase-fase kehidupan sebelumnya, yaitu pada masa anak-anak dan remaja, masa
menikah dan bereproduksi, dan lain sebagainya.
Menurut badan kesehatan dunia,“WHO” (World Health Organization), masa lanjut
usia adalah suatu periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan
fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Ada beberapa
pendapat mengenai usia di masa lanjut usia ini yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun
dan 70 tahun.Usia tua atau sering disebut “senescence”, adalah suatu periode dari rentang
kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh, biasanya dimulai
pada usia yang berbeda untuk individu yang berbeda (Papalia, 2001).
Data dari BKKBN bahwa di Indonesia
sendiri saat ini masuk ke dalam negara
berstruktur penduduk tua (ageing
population) karena memiliki proporsi lanjut
usia(berusia 60 tahun keatas) yang besar (> 7%).
Hal tersebut dapat ditunjukkan dari data Susenas
bahwa pada tahun 2015terdapat Lansia sebanyak
21,5 juta jiwa atau sekitar 8,43% dari seluruh
penduduk Indonesia. Dari data penduduk tersebut menunjukkan populasi lansia cenderung
meningkat setiap tahunnya, sehingga akan diikuti pula meningkatnya masalah lansia.
Selanjutnya, menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2014, lansia masih
aktif bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebesar 47,48%, namun
di sisi lain diketahui semakin bertambah tua umurnya, maka lansia yang mengalami
kemunduran fungsi organ akan semakin banyak. Angka kesakitan lansia tahun 2014 sebesar
25,05% berarti bahwa sekitar satu dari empat lansia pernah mengalami sakit dalam satu bulan
1
terakhir. Hal tersebut menyebabkan lansia rawan terhadap serangan berbagai penyakit
(BKKBN, 2017 – www.bkkbn.go.id ).
Walau tidak selalu sama, ketika memasuki usia lanjut mereka dapat mengalami
beberapa penyakit kronis yang disebabkan oleh beberapa kemungkinan yang terjadi
sebelumnya seperti, ditinggalkan pasangan, pemberhentian aktifitas atau kerja,serta tantangan
untuk mengalihkan energi dan kemampuan ke peran baru dalam keluarga, pekerjaan dan
hubungan intim (Wolman, 1982). Inilah kekuatiran-kekuatiran yang dirasakan oleh para
wanita di lanjut usianya, yangjika tidak teratasi akan berdampak negatif bagi kesehatan
emosionalnya.
Senada dengan pernyataan Wolman, dalam buku “Bunga Rampai Psikologi
Perkembangan Pribadi dari Bayi Sampai Lanjut Usia” (2001), dikemukan bahwaaspek
emosional yang terganggu seperti kecemasan dan stress berat secara tidak langsung dapat
mengganggu kesehatan fisik yang akan berakibat buruk terhadap stabilitas emosi.
Pada wanita lanjut usia, permasalahan psikologis terutama akan muncul bila mereka
tidak berhasil menemukan solusi terbaik bagi masalah yang timbul akibat proses menua. Rasa
tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidak-ikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit
yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan
perasaan/emosiyang tidak nyamandan harus dihadapi.Sedangkan depresi, post powers
syndrome danthe empty nest adalah permasalahan yang makin memberatkan kehidupan
wanita lansia.
Direktur dari Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan RI, dr. Eka Viora SP. KJ
mengatakan bahwa :
Pada abad ke-21 ini, tantangan khusus bidang kesehatan lansia adalah dengan timbulnya masalah
degeneratif dan “penyakit tidak menular” (PTM) seperti diabetes, hipertensi, dan gangguan-
gangguan kesehatan jiwa yaitu depresi, demensia, gangguan cemas, sulit tidur. Penyakit-penyakit
tersebut dapat menimbulkan permasalahan jika tidak segera diatasi atau tidak dilakukan
pencegahan, karenaakan menjadi penyakit yang bersifat kronis dan multi patologis. Dengan
demikian, perhatian semua negara terhadap masalah kelanjut-usiaan ini harus terus diantisipasi,
karena akan ada ketergantungan biaya yang sangat besar. Biasanya, penyakitlansia adalah seputar
gangguan penglihatan, gangguan pendengeran, nafsu makan, dan sulit tidur.Di Indonesia, apabila
permasalahan lansia ini tidak ada aksi atau kesadaran dari semua stakeholder bukan hanya di
bidang kesehatan tapi juga termasuk layanan sosial dan sebagainya, maka akan menimbulkan
ancaman “triple burden”, yaitu jumlah kelahiran bayi yang masih tinggi, masih dominannya
penduduk muda, dan jumlah lansia yang terus meningkat .(www.depkes.go.id, 2013)

Dengan demikian adalah sangat penting agar perubahan-perubahan dari fase


kehidupan wanitamenuju masa lanjut usiaharussegera diantisipasi dan di-edukasi sejak dini
sebagai sebuah bagian dari masa hidupnya, sehingga baik kesehatan emosi dan fisik dapat
tetap terpelihara dengan baik.

2
II. Pengertian Emosi
Emosi dalam amus Oxford adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam
waktu singkat (Joyce M Hawkins, 2000).Sedangkan Daniel Goleman seorang pakar
kecerdasan emosional memaknai emosi dengan kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan,
nafsu setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap (Daniel Goleman, 1996).Dan pada
kesempatan yang lain, Daniel Goleman dan Roger F menyebutkan emosi adalah sebuah
respon dari kondisi yang dialami individu yang dikuti dengan perubahan pikiran dari kondisi
tersebut, perubahan psikis dan keinginan untuk melakukan sesuatu yang didapat dari kondisi
tersebut (H.M Arifin, 1976).29
Pengertian lain menyebutkan emosi adalah suatu konsep yang sangat majemuk
sehingga tidak dapat satu pun definisi yang diterima secara universal. Emosi sebagai reaksi
penilaian (positif atau negatif) yang kompleks dari sistem saraf seseorang terhadap
rangsangan dari luar atau dari dalam diri sendiri (Sarlito W. Sarwono, 2010).30 Dalam arti
sederhananya, emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan ataufeeling, misalnya
pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidak-nikmatan, marah, takut bahagia,
sedih dan jijik (Abu Ahmadi, 2002).31 Kemudian secara lebih luas, J. Bruono mendefinisikan
emosi ke dalam dua sudut pandang yaitu : a) secara fisiologi, emosi adalah proses jasmani
karena perasaan meluap danb)secara psikologis, emosi merupakan reaksi yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan (Al-Atapung, 2000).32
Emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu dan cenderung
terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah atau menyingkirkan terhadap situasi
tersebut. Serupa dengan yang dikatakan oleh William Kames dalam Wegde, bahwaemosi
adalah kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila seseorang berhadapan dengan
objek tertentu dalam lingkungannya (Carole Wade&Carol Tavris, 90).33 Dan pakar lainnya
menyebutkan bahwa guratan ekspresi yang terlihat pada raut wajah seseorang adalah bagian
dari emosi (Triantoro Safaria, Nofrans Eka Saputra, 2009).35
Dari definisi-definisi tersebut diatas, jelas bahwa emosi tidak selalu negatif.Emosi
adalah bagaikan bumbu kepada kehidupan, tanpa emosi hidup ini terasa kering dan
gersang.Namun dalam menjalani kehidupan, para lansia perlu memperhatikan hal
pengendalian emosi, baik yang positif maupun negatif. Dari pemaparan di atas, emosi tidak
selalu berbentukkepada sesuatu yangburuk, bahkanemosi juga dapat berdampak positif bagi
para wanita lansia, yaitu sepertimenghilangkan stress dengan meluapkannya pada kegiatan
yang positif; berusaha menjadi orang yang selalu berfikir positif; dan kenali diri sendiri agar
terhindar dari emosi yang berlebihan yang berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain.
3
III. Bentuk-bentuk Emosi
Bentuk–Bentuk emosi menurut Daniel Goleman dalam bukunya “Emotional
Intellengence” mengelompokkan emosi dalam beberapa golongan yaitu: amarah, kesedihan,
rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan juga malu. Emosi ini bisa muncul sebagai
emosi positif yaitu: senang, bahagia, cinta, waspada, ingin tahu; dan juga emosi negative,
yaitu: sedih, takut, marah, benci, dengki, cemas (Daniel Coleman, 1996).36
Sedangkan menurut M. Darwis Hude,bentuk-bentukemosidapat dibedakan menjadi
dua, yaitu sebagai berikut:37
1) Emosi Positif
Emosi positif adalah emosi yang menyenangkan dan diinginkan oleh setiap orang.Emosi
positif yang kerap dialami oleh manusia.Yang termasuk didalam emosi positif yaitu:
cinta,gembira, bahagia dan perasaan senang yang berkelebihan dan tidak beralasan
2) Emosi Negatif
Emosi negatif sejatinya tak pernah dikendalikan oleh manusia, sehingga selalu
diusahakan untuk dihindari, kendati tak mudah diwujudkan. Emosi negatif yang kerap
menghantui manusia, antara lain:
 Kecemasan
Pada dasarnya, kecemasan selalu membawa akibat yang tidak baik bagi kesehatan
mental seseorang. Orangyang selalu dihinggapi kecemasan dipastikan akan terus-
menerus tertekan dan jatuh dari ketenangan.
 Fobia
Fobia sebenarnya merupakan ketakutan aneh yang masih disadari oleh pengidapnya,
namun tidakmampudijelaskan atau diatasinya.
 Marah dan Benci
Emosi marah adalah emosi yang paling sering muncul dalam kehidupan sehari-hari
karena masyarakat umumnya mengidentikkan istilah emosi dengan marah.Emosi lain
yang berdekatan dengan marah adalah benci, kedua emosi ini dapat muncul
beriringan, atau bersifat kasual. Kebencian bias disulut oleh kemarahan atau
sebaliknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa beberapa dari bentuk-bentuk emosi adalah
emosi positif dan emosinegatif (M. Darwis Hude, Majalah Siantar, 2016).

4
IV. Faktor-Faktor Yang MempengaruhiEmosi
Emosi pada setiap individu termasuk keapda para lansia, dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain: 38
1) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan tempat Lansia berada termasuk
lingkungankeluarga, panti dan masyarakat, keharmonisan keluarga, kenyamanan disekitar
tempat tinggal dan kondisi masyarakat yang kondusif akan sangat mempengaruhi
perkembangan emosi.
2) Faktor Pengalaman
Pengalaman yang dialami oleh Lansia selama hidupnya akan mempengaruhi emosinya.
Pengalaman selama hidupnya dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan akan
menjadi referensi bagi Lansia dalam menampilkan emosinya.38
3) Faktor Peran Sosial
Lansia wanitacenderung memiliki emosionalitas yang lebih tinggi daripada lansia pria
karena lansia wanita memiliki kondisi emosi yang didasarkan pada peransosial yang
diberikan oleh masyarakat sepertiharusmengontrol perilaku agresif dan asertifnyaHal ini
menyebabkantimbulnya kecemasan dalam dirinya.Secara otomatisperbedaan emosional
antara pria dan wanita berbeda (Hasanat M, 1994).39Eliot M. Benner dan Peter
Saloveymengatakan bahwa lansia wanita lebih sering berusaha mencari dukungan sosial
untuk menghadapistresssedangkan lansia prialebih memilih melakukan aktifitas fisik
untuk mengurangistress (Eliot M. Benner dan Peter Salovey, 1997). 40

V. Kemampuan Wanita Lansia MengendalikanEmosi


Elizabet B Hurlock mengatakan bahwadalam pengendalian emosi sangat erat
kaitannya dengan kondisi emosional seseorang. Seorang lansia yang pandai dalam mengelola
emosi, dapat mengendalikan diri dengan baik, mereka akan mampu mengekspresikanemosi
yang dimilikinya secara baik, tepat dan benar. Berbeda dengan lansia yang tidak dapat
mengendalikan emosi, mereka akancenderung mengekspresikan perasaan secara berlebihan
(Elizabet B Hurlock, 376).
Jadi pernyataan di atas, maka maksud dari pengendalian emosi adalah menahan,
mengontrol luapan perasaan baik senang maupun sedih yang muncul dalam waktu yang
singkat.Oleh sebab itu, wanita lansia dinilai sangat penting untuk dapat menjaga dan
mengendalikan emosinya guna memperoleh kebahagian dimasa tuanya.

5
Masalah yang biasa dihadapi wanita Lansia adalah ketidak-mampuan untuk
mengendalikan emosinya. Misalnya:1.) ketika apa yang diinginkan tidaksesuai dengan
kemauannya seperti, kekecewaan terhadap keluarga karena dianggap tidak mampu lagi
mengelola hartanya karena keterbatasan fisik dan psikis sehinggaseluruh hartanya sekarang
dikendalikan anak dan menantunya, 2.)emosi meningkat karena keinginan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari namunkondisi fisik sudah tidak mampu, 3.) terlalu mengkuatirkan
bahkan hingga stress melihat kesehatannya yang labil,4.) dikarenakan kemampuan alat
indranya yang menurun sehingga tidak mampuberfungsi dengan baik dan menimbulkan
emosi bagi dirinya sendiri dan juga dengan orang-orang terdekatnya.
Menurut hasil penelitian dari Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Badan
kependuduan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Jakarta tahun 2012 mengenai pembinaan
mental emosional bagi Lansia menyatakan bahwa pada umumnya perasaan para lansia tetap
berfungsi dengan baik danjika ada yang mengalami penurunan sering kali pada aspek
biologisnya sebagai akibat dari penurunan fungsi organ tubuh (BKKBN, 2012).
Sedangkan faktor psikologisnyapun sangat berperan dalam kehidupan perkembangan
wanita lansia.Para lansia terutama pada kaum wanita, seringkali menunjukkan emosi yang
kurang stabil dan hal ini dapat ditangkap sebagai tanda bahwa terdapat masalah dalam
pengendalian emosinya sehingga perlu dikonsultasikan.
Holloway B.W menjelaskan bahwa pengendalian emosi khususnya emosi marah
adalah suatu tindakan untuk mengatur pikiran, perasaan, nafsu amarah dengan cara yang tepat
dan positif serta dapat diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk
atau merugikan diri sendiri dan orang lain (Holloway, B.W, 2003).Sebagai contoh,
meluapkan amarah merupakan hal wajar, namun terkadangamarah yang terlalu meluap
menjadi tak terkendali.
Menurut penelitian yang telah dimuat dalam Journal of Experimental Social
Psychology,perasaan marah sebenarnya dikarenakan adanya pikiran negatif terhadap, suatu
hal dan pikiran itu terus berkelanjutan sehingga tidak bisa dikontrol lagi.Penelitian lainnya
yang dilakukan oleh Dominik Mischkowski, yaitu seorang mahasiswa psikologi sosial
setingkat Doktor di Ohio State University,menunjukkan bahwadengan mengambil langkah
untuk menjaga jarak dengan seseorang yang memicu kemarahan akan membantu wanita
lansia untuk dapat meredakan emosinya yang meluap seperti, kemarahan atau kesedihan yang
sedang dirasakan (Novi Ariani, 2016).

6
VI. Masalah Umum Pada Wanita Lansia
Mari kita pelajari lebih dalam beberapa masalah umum yang seringkali dihadapi oleh
wanita lansia. Menurut Hurlock, ia menjelaskan beberapa kondisiunik bagi orang usia lanjut
termasuk kepada para wanita lansia(Hurlock,1980), antara lain adalah:
a. Keadaan fisik lemah dan tak berdaya, sehingga harus tergantung pada orang lain.
Ketika memasuki usia lanjut dan tidak lagi produktif, maka para wanita akan cenderung
terlihat lebih lemah fisiknya.Jika biasanya bernampilan rapi, energik dan lincah dalam
melakukan segala sesuatu, namun keadaaan ini dapat berubah sebaliknya di akhir masa
baktinya. Sebagai contoh: Seorang wanita karir yang telah memasuki pensiunnya, harus
sebijak mungkin menggunakan hari-hari dalam masa pensiunnya tersebut, sebab bila
tidak, maka ia dapat memiliki gangguan kesehatan emosional dan fisik yang serius
sehingga harus bergantung pada keluarganya.
b. Status ekonominya sangat terancam sehingga cukup beralasan untuk melakukan
berbagai perubahan besar pada pola hidupnya.
Dalam usianya yang sudah tidak produktif, otomatis perekonomian wanita lansia tidak
lagi stabil. Adalah sebuah tindakan yang bijak apabila ada keputusan-keputusan untuk
meminimalisir masalah yang dapat timbul seputar harta-benda yang dimiliki, gaya atau
pola hidup.
c. Menentukan kondisi hidup yang sesuai dengan perubahan status ekonomi dan kondisi
fisik.
Wanita lansia yang bijak akan membuat perencanaan yang matang untuk hari tuanya.
Dari jauh hari ia sudah merencanakan apa yang akan dilakukannya di masa lanjut
usianya, dengan sisa aset yang dimilikinya sehingga ia tidak akan bergantung kepada
orang lain, meskipun kepada anak-anak atau cucunya sendiri.
Beberapa wanita lansia memilih untuk menjual rumah besarnya, dan sebagian uang hasil
penjualan rumahnya itu ia bayarkan kepada panti jompo yang akan menampungnya
(karena ia tidak ingin bergantung pada anak-anaknya untuk mengurusi dirinya), sebagian
ia bagi-bagikan kepada anak-anaknya, dan sisanya ia sumbangkan kepada gereja.
d. Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang telah meninggal atau
pergi jauh atau cacat.
Meskipun ia telah kehilangan pasangan dan partner hidupmya, wanita lansia yang bijak
akan tetap berusaha memelihara kehidupan sosial di masa lanjut usianya.

7
Para wanita lansia dapat bergabung dengan komunitas-komunitas lansia untuk mengisi
kekosongan posisi pasangan hidupnya terdahulu. Hal ini sangat positif sehingga mereka
tidak akan merasa kesepian dan rendah diri.
e. Mengembangkan kegiatan baru untuk mengisi waktu luang yang semakin bertambah
Sejumlah wanita lansia mengisi hari-hari masa tuanya dengan hal-hal yang
menyenangkan dan menyehatkan.Ada yang bergabung dalam komunitas senam lansia,
kelompok pecinta seni atau kuliner, menjadi pengajar di komunitas-komunitas sosial,
kemanusiaan dan keagamaan, dll.
f. Belajar untuk memperlakukan anak yang sudah besar sebagai orang dewasa
Dapat mendidik dan memperlakukan anak sebagai manusia yang dewasa adalah salah
satu target pencapaian bagi para wanita lansia, dimana hal ini akan memudahkannya masa
tuanya. Ibu adalah pendidik anak yang tak kenal kata pensiun. Wanita lansia hendaknya
tetap memberi pembelajaran-pembelajaran hidup kepada anak-anaknya sampai mereka
mecapai kedewasaan yang matang, bukan dari segi usia saja, namun dewasa secara psikis
dan spiritual.
g. Mulai terlibat dalam kegiatan masyarakat yang secara khusus direncanakan untuk orang
dewasa
Ketika masih dalam masa paruh baya, seringkali wanita lansia tidak memiliki cukup
waktu untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungan sosialnya.Tetapi
ketika telah memasuki masa tidak produktif lagi, adalah sangat positif bila wanita lansia
dapat bergabung dengan komunitas-komunitas kemasyarakatan, sebagai salah satu
sumbangsih yang dapat disalurkan melalui pemikiran-pemikiran, pengalaman kerja dan
pengalaman hidup, dll.
h. Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang sesuai untuk orang yang berusia
lanjut dan memiliki kemauan untukmengganti kegiatan lama yang berat dengan kegiatan
yang lebih cocok.
Ketika semua hal yang positif telah dilakukan dalam mengisi fase hidupnya yang baru,
para wanita lansia lama-kelamaan akan mulai dapat menikmati dan mensyukuri hari-
harinya yang baru. Dalam tahap inilah wanita lansia mulai dapat mengendalikan dan
mengontrol emosinya dengan sehat.

8
VII. Emosi Sehat Wanita Lansia
Sehat secara emosional meliputi keadasn seseorang secara umum dan secara
psikologis.Termasuk di dalamnya bagaimana perasaan kita terhadap diri sendiri, seberapa
besar kualitas hubungan kita dengan lingkungan dan kemampuan kita untuk mengendalikan
perasaan serta bagaimana sikapnya dalam menghadapi permsalahan hidup.
Seorang lansia yang sehat secara emosional bukan sekedar bebas dari masalah
kesehatan mental, namun lebih dari itu seorang yang sehat emosinya adalah seseorang yang
bebas dari depresi, rasa kuatir dan rasa tidak aman. Berikut ini Dr. Nannerl Hoetarjo, dr.SpM
dari Malang, menyebutkan ciri-ciri lansia yang sehat secara emosional, yaitu ;
 Merasa nyaman
 Mempunyai kehidupan yang riang, suka tersenyum
 Mempunyai kemampuan untuk mengendalikan stress
 Mempunyai tujuan yang jelas, baik dalam aktifitas keseharian maupun dalam hubungan
dengan sesama
 Suka belajar sesuatu yang baru dan mudah beradaptasi terhadap perubahan
 Seimbang dalam berisitirahat dan beraktifitas
 Mampu membangun dan mempertahankan hubungan dengan orang lain
 Mempunyai rasa percaya diri yang besar (htttps://nannerl43.wordpress.com)
Ciri-ciri emosi yang sehat diatas akan memampukan para wanita lansia untuk dapat
berpartisipasi secara optimal dalam kehidupannya pribadi dan dengan orang lain, serta
memberi dorongan yang kuat untuk dapat bertahan dalam menghadapi masalah-masalah
dalam kehidupannya.
Seorang wanita lansia yang sehat secara emosional tidak berarti bahwa ia tidak akan
lagi mengalami masalah-masalah yang sulit dalam kehidupannya, namun jika ia berusaha
menjaga kesehatan emosionalnya, ia akan mampu mengendalikan diri dan emosinya saat
berhadapan dengan si pemicu masalah, sehingga ia akan terlihat lebih santai, tetap focus dan
tetap positif.
Bagaimana supaya para wanita lansia dapat menjaga kesehatan emosinya?Seorang
ahli menyebutkan cara-cara agar wanita lansia dapat tetap sehat secara emosional, yaitu :
 Mengoptimalkan ke-lima Pancaindera

9
Wanita lansia dapat mencoba mendengarkan lagu-lagu yang lembut sambil beristirahat
(relaksasi), meletakkan bunga yang indah dan harum dalam ruangan-ruangan
dirumahnya, meminum sesuatu yang menghangatkan tubuh, memijat tangan dan kaki
sendiri, dan menyalakan minyak aromaterapi
 Menyibukkan Diri Dengan Pekerjaan Yang Kreatif
Wanita lansia disarankan untuk membuat kesibukan sebagai aktifitasnya sehari-hari, baik
di dalam rumah atau di luar rumah, seperti: melukis, berkebun, belajar alat musik atau
teknik vocal, menyulam, bergabung dalam komunitas dansa, dll
 Memelihara Hewan Piaraan
Adalah sangat baik bagi para wanita lansia untuk memelihara hewan piaraan di rumahnya
agar ia merasa memiliki teman hidup yang dapat menemaninya setiap saat dan tidak
kesepian
 Mengucap Syukur Senantiasa Atas kehidupan
Hendaknya para wanita lansia dapat menyisihkan waktunya untuk merasakan syukur dan
nikmat yang dikaruniakan Tuhan dalam hidup. Dengan banyak beribadah dan berdoa,
akan membuatnya merasa dekat dengan Tuhan sehingga kedamaian akan
memampukannya mengucap syukur atas kehidupan yang dimilikinya.
Don Cobert, M.D. juga menyebutkan beberapa cara agar wanita lansia dapat tetap
menjaga kesehatan emosinya, yaitu :
 Hidup Sehat
Setiap wanita lansia dianjurkan secara rutin memeriksakan diri untuk menjaga
kesehatannya, baik kesehatan emosi dan fisik. Berilah asupan yang cukup dan
menyehatkan untuk semua organ tubuh serta bebaskan diri dari emosional yang negatif,
yang dapat menyebabkan sakit fisik. Hal ini dikuatkan oleh hipotesis Dr. John Sarno yang
menjelaskan keterkaitan antara penyakit emosi dan fisik. Ia menyimpulkan bahwa sakit
punggung karena kejang dan penyakit punggung kronis seringkali merupakan akibat dari
ketegangan, stres, frustasi, kecemasan, kemarahan terpendam dan kekuatiran kronis. Ia
berteori bahwa ketegangan mempengaruhi sirkulasi darah ke otot-otot punggung. Para
penderita penyakit punggung, cenderung mengalami: 1) Sakit kepala akibat tegang, 2)
Sakit kepala akibat migrain, 3) Eksema, 4) Colitis (Radang usus besar), 5) Ulcers (Tukak
lambung, 6) Asma, 7) Demam hay, 8) Sering buang air kecil, dan 9) Sembelit.
Ketegangan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai otot-otot dan urat-
urat saraf punggung mengerut, sehingga mengurangi suplai darah dan oksigen ke

10
jaringan-jaringan yang mengakibatkan kejang yang menyakitkan, kekakuan otot,
kesemutan dan merosotnya kekuatan otot-otot seputar pundak, leher, lengan, kaki dan
pantat, dan lebih parahnya dapat menyebabkan peradangan jaringan disebabkan oleh
kerusakan di daerah yang terkena peradangan (fibromylgia, fibrositis, muofascitis, luka
akibat stresberulang, dll) yang disebut oleh Dr. Sarno sebagai penyakit “Tension Myositis
Syndrome” atau TMS (J. Sarno, 1998).
 Mengganti pemikiran yang rusak dengan kebenaran
Literatur psikologis dan psikiatris kadang-kadang menyebut pemikiran yang rusak dengan
sebutan “pembalikan psikologis”. Ini merupakan suatu kondisi dimana pasien ingin
sembuh namun dalam alam bawah sadarnya ia mengatakan tidak ingin sembuh, sehingga
mengeluarkan reaksi menolak pengobatan dengan berbagai cara. Hal ini banyak dialami
oleh pasien lansia ketika mengalami penyakit yang kronis, dimana mereka menganggap
kemungkinan untuk sembuh sangat tipis sehingga menolak pengobatan.
Contoh lain pemikiran yang rusak adalah adanya kepercayaan-kepercayaan salah tentang
kehidupan. Dr. James Durlacher menjelaskan, ketika seseorang mengalami stress, depresi,
marah, cemas atau merasa bersalah, maka ia akan cenderung menafsirkan pemikiran-
pemikiran yang salah, seperti: “tak ada yang benar dengan diriku”, “aku tak adapat
melakukan sesuatu yang benar”, “segala sesuatu yang kusentuh pasti gagal”, dll.
Beberapa psikolog dan psikiater menerapkan terapi kognitif untuk mengatasi hal ini,
dimana pasien belajar untuk mengubah cara berpikir dan cara menafsirkan peristiwa-
peristiwa dengan positif dan sebagian besar dari terapi itu melibatkan perubahan cara
seseorang dalam berbicara, misalnya, “aku mungkin melakukan kesalahan kali ini, tetapi
aku dapat melakukan banyak hal lainnya dengan lebih baik” atau, “Aku telah gagal
dalam hal ini, tetapi secara keseluruhan aku telah menikmati keberhasilan-keberhasilan
lainnya dalam hidupku” (James V. Durlacher, 1994).
Karena itu secara spiritual, Don Colbert menyarankan agar kita mengakui kepada Allah
segala kekurangan dan pemikiran-pemikiran yang merusak itu, agar Allah segera
memulihkan dan membebaskan kita. Satu hal yang ampuh adalah, bacalah ayat-ayat
Alkitab yang sangat berkuasa untuk mentransformasi pemikiran-pemikiran yang rusak itu
(Mazmur 103:2-4, Amsal 3:5-6, Filipi 4:9,13-14, 2 Korintus 2:14, 1 Petrus 4:12-13)
 Membersihkan diri dengan pengampunan
Orang-orang yang mau mengampuni, adalah orang-orang yang memutuskan untuk
mengakhiri kebencian dan keinginan untuk menghukum serta rela melepaskan semua

11
klaim untuk menjatuhkan hukuman atas suatu pelanggaran (Matius 18:21-22).
Pengampunan akan memampukan seseorang untuk melepaskan kemarahan, kebencian,
kepahitan, malu, kesedihan, penyesalan, rasa bersalah, dan emosi-emosi negatif lainnya
yang meracuni tubuh dan jiwanya. Sebuah proyek ilmiah yang diadakan di University of
Wisconsin, yang diberi nama “Penelitian Pengampunan” menunjukkan bahwa belajar
untuk mengampuni dapat menolong dan menhindari seseorang dari penyakit jantung pada
para lansia. Insiden penyakit jantung lebih tinggi dalam diri orang-orang yang tak mampu
mengampuni (W.Tiller, r. McCrary, M.Atkinson, 1986).
Memang mengampuni membutuhkan waktu dan proses, namun Don Colbert sekali lagi
memberi langkah-langkah agar kita mampu mengampuni satu sama lain, yaitu: 1) akuilah
bahwa kita terluka, 2) Terimalah pengampunan dari Allah, 3) Dengan terbuka, serahkan
orang-orang yang menyakiti anda ke dalam tangan Tuhan, 4) Mintalah Tuhan untuk
memberi kekuatan untuk dapat mengampuni, 5) Ucapkanlah kata-kata pengampunan.
Adapun peristiwa-peristiwa di Alkitab yang menjelaskan tentang hal pengampunan ada
dalam kisah Yusuf (Kejadian 37-45), perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15:11-32)
dan perumpamaan tentang seorang hamba yang berutang banyak (Matius 18:23-35).
Pengampunan akan menghalangi emosi-emosi yang meracuni dan mematikan.
 Terapi sukacita
Sukacita adalah emosi pribadi yang sangat dalam. Manifestasi eksternal dari sukacita
adalah mudah tersenyum serta memiliki kemampuan untuk tertawa lepas. Alkitab berkata,
“Hati yang gembira adalah obat yang manjur” (Amsal 17:22). Dr. Lee Berk dari Loma
Linda University Medical Center menuliskan manfaat tertawa bagi kesehatan dan
kesembuhan. Ia menyipulkan bahwa tertawa dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh
dan mengurangi hormon-hormon stress yang berbahaya dalam tubuh. Tertawa juga
berguna untuk menurunkan tekanan darah. Pada tahun 2000, suatu tim peneliti di
Universitas Maryland melaporkan bahwa orang-orang yang menggunakan humor dalam
pola bicaranya kemungkinan terkena serangan jantung lebih kecil daripada mereka yang
tidak menggunakan humor (.L.Berk, et al., 1989).
Tertawa diawali dengan senyuman. Ekspresi wajah berhubungan secara neurologis
dengan keadaan emosional. Bukan hanya tertawa dan tersenyum yang mencerminkan
keaadaan emosi seseorang, namun ekspresi ini dapat memicu suatu keaadan emosional.
Senyuman di wajah dapat menyebabkan suatu tanggapan di hati yang membawa sukacita

12
(R. Levenson, et al., 1996). Oleh sebab itu, para wanita lansia perlu melakukan terapi
tertawa ini.
 Rileksasi sebagai bentuk pemulihan kesehatan
Rileksasi telah menjadi suatu pemulihan kesehatan selama ribuan tahun. Hippocrates
menyarankan pijat pada abad keempat SM untuk menolong orang-orang menjadi lebih
rileks. Buku-buku kesehatan Cina yang ditulis lebih dari empat ribu ahun yang lalu berisi
informasi tentang pijat sebagai praktik kesehatan. Dr. Herbert Benson, seorang ahli
kardilogi dari Harvard, menggambarkan reaksi psikologis yang ia sebut dengan
“tanggapan rileksasi”. Ia menyebutkan rileksasi dapat dilakukan dengan latihan
pernafasan, meditasi, pijat, aerobik, terapi musik, terapi aroma, terapi humor, latihan
peregangan dan doa adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk merangsang sistem syaraf
parasimpatik yang bermanfaat untuk memulihkan kekuatan, pemudaan kembali, proses
regenerasi seluruh tubuh, membangun kekebalan tubuh, sistem pencernaan,
kardiovaskuler, serta sistem saraf lainnya dalam tubuh (H. Benson, et al., 1974).
Tubuh lansia yang sudah mulai menurun kesehatan fisiknya sangat memerlukan rileksasi,
sebab tubuh perlu berisitrahat dari segala kegiatan fisik sehari-hari sehingga terhindar dari
penyakit yang lebih serius. Ketika berileksasi, ingatlah ayat-ayat Alkitab yang dapat
menyegarkan pikiran untuk mendatangkan emosi positif (Mazmur 4:9; 127:2; Amsal
3:24)
 Memelihara hubungan kasih (Don Cobert, M.D, 2008)
Bertindak berdasarkan kasih itu memerlukan sebuah perjuangan. Kasih berarti memilih
untuk beralih dari diri sendiri kepada orang lain dan mengubah pola pikir kita yang
radikal akan dunia. Yang perlu diingat adalah dalam mengasihi tidak harus berarti
memikul kepedihan emosional atau penyakit yang berhubungan dengan stress.
Penderitaan fisik secara emosional dan yang berhubungan dengan stress berasal dari
kebencian. Orang-orang yang mengasihi dapat bertahan melalui masa sulit secara
finansial atau sosial. Otang yang hidup dalam kasih akan dianggap sebagai orang yang
memiliki kualitas hidup baik. Contoh tindakan kasih seperti memberi kata-kata yang
meneguhkan iman bagi orang lain, meluangkan waktu khusus bersama keluarga, memberi
hadiah kepada orang-orang yang dikasihi, melayani Tuhan dan sesama dengan segenap
hati, jiwa, dan kekuatan sampai akhir hayat, dll. Seperti yang dikatakan oleh Rasul
Paulus, “Dan kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan
dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami

13
juga yang mengasihi kamu. Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan
kudus, dihadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan
semua orang kudus-Nya” (I Tesalonika 3:12-13).

VIII. Membangun Kehidupan Spiritualitas di Masa Lanjut Usia


Membangun kehidupan spiritualitas kepada Tuhan juga merupakan sebuah benteng

yang ampuh untuk dapat menjaga emosi lansia agar tetap sehat di masa tua.Adalah sangat

penting untuk memelihara kehidupan spiritualitas dalam kehidupanlansia, sebagai cara

untukmengatasi gejolak-gejolak emosi di masa tua, dan hal ini berguna jugabagi wanita

lansia untuk memenuhi kebutuhannya akan Tuhan.

Terlibat dalam kegiatan spiritualitas dapat membuat wanita lansia merasa kuat dan

memiliki kedamaian batin. Tidak terpenuhinya intimacy yang akrab dengan orang lain

membuat lansia merasa kesepian, namun ini dapat diatasi dengan melakukan pendekatan

kepada Tuhan. Lansia yang merasa dekat dengan Tuhan, dapat menggantikan emosi-emosi

yang negatif seperti rasa kehilangan, kesepian, perasaaan tidak berharga, kemarahan, dll.

Spiritualitas tidak hanya memberikan individu suatu perasaan keterhubungan dengan

Tuhannya, tapi juga sebagai penghiburan diri yang mendatangkan perasaan-perasaan yang

positif. Lansia yang religious akan mampu mengatasi emosionalnya tetap stabil. Spiritualitas

tidak hanya memberikan individu suatu perasaan keterhubungan dengan Tuhan, namun juga

sebagai penghiburan diri yang mendatangkan emosi positif karena terhubung langsung

dengan perlindungan dan kekuatan yang tertinggi.

Charles Spurgeon sebagaimana dikutip Donald Whitney mengatakan: “it must take
care above all that I cultivate communion with Christ, for though that can never be the basis
of my peace-mark that-yet it will be the channel of it.” Mendisiplinkan rohani adalah cara
membangun kedekatan dengan Tuhan. Ini merupakan sebuah contoh yang baik yang perlu
diteladani, seperti Kristus membangun relasi yang dekat dengan Bapa,dengan mendisiplinkan
rohaninya melalui doa, meditasi/kontemplasi, belajar dan merenungkan perkataan Firman
Tuhan dengan teratur (Donald Whitney, 1991).Ginger Gabriel mengatakan, “Being a woman

14
of God is about being more with God than you could ever hope to be without Him”.
Hendaknya setiap wanitanya Allah selalu memiliki pengharapan untuk dapat selalu bersama
dengan Tuhan daripada hidup tanpa bersamaNya (Ginger Gabriel, 1993).
Terkait dengan hal diatas, Joyce Meyer dalam bukunya, “Mengelola Emosi Anda”
menyebutkan sebuah cara untuk menjaga kesehatan emosional, yakni dengan “Menaati
Firman Tuhan” (Yak.1:22). Untuk menerima dari Allah apa yang telah Ia janjikan dalam
FirmanNya, kita harus menaati Firman itu, sehingga para lansia diharapkan dapat menjadi
pelaku-pelaku Firman Tuhan di masa tuanya.Ketika kita menjadi pelaku Firman, maka
sukacita, harapan dan kekuatan dari Roh Kudus akan membuat hidup menjadi bergairah dan
menghasilkan segala emosi yang positif (Joyce Meyer, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta. 2002), 101.

Ali Baziad, Menopause Dan Andropause, (Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, 2003).

Al-Atapung, Manusia dan Emosi, (Maumere: Sekolah tinggi Filsafat Katholik


Ledarero, 2000), 4418

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, (BKKBN), Media Pembelajaran ke


4, (Jakarta, 2012), 2.

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi, 2004), 209.

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1996),


45.

Dallas Willard. Spirit of the Discipline, (New York: Harper & Row Publishing,1988),
68.

Don Colbert, M.D, Deadly Emotions, (Jakarta: Imannuel, 2008)

Effendi, Nasrul, Drs., Kekeratan Kesehatan Masyarakat. (Jakarta: EGC, 1998)

Elizabeth, B. Hurlock, Pikologis Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 2002), 376.

Eliot M. Benner dan Peter Salovey, Emotion Regulation During Chilhood


Developmental, Intrpersonal and Individual Consideration, Emotioal Developmental and
Emotion Intelligence: Education Implication, (New York: Basic Books, 1997), 170

15
Endang Purwoastuti, Menopause Siapa Takut, (Yogyakarta: Kanisius, 2000

Fox-Spencer, Rebecca dan Pam Brown, Menopause, (Jakarta: Erlangga, 2007)


Ginger Gabriel, Being A Woman Of God, (Singapore: Campus Crusade Asia
Ltd.,1995), 118

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1268.

Hasanat N, Apakah Perempuan Lebih Depresif Daripada Laki-laki, (Yogyakarta:


Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1994), 47.

Hendrikson, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Emosi

H.M. Arifin, Psikologi Dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia,


(Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 228.

Ibid, 422.

Holloway, B. W, Stat Fact the Clinical Pocket Reference For urses. F.A
(Philadelphia: Davis Company, 2003)

H. Benson, et al., “The Relaxation Response,” Psychiatry, 37 (1974), 37-49

James V. Durlacher, Freedom from Fear Forever (Mesa, Ariz:Van Ness Publishing
Co., 1994), 83-84

Joyce Meyer, Managing Your Emotions, (Batam: Gospell Press, 2005)

Joyce M. Hawkins, Kamus Dwibahasa Oxford, (Jakarta: Erlangga, 2000), 228.

J. Sarno, The Mind-Body Prescription, (1, N-Warner Books, 1998)

Kasdu, Dini, Kiat Sehat dan Bahagia di Usia Menopause, (Jakarta: Puspaswara,
2000)

L. Berk, et al., “Nheuroendocrine and stress hormone changes during mirthful


laughter”, The American Journal of The Medical Science, 298, (1989), 390-6

Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk


Pendidikan Bidan. (Jakarta: IBG, 1998)

Manuaba, Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita Arcan, (Jakarta : IBG, 1999)

Notoatmodjo, S, Promosi Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007)

Novi Ariani, Pengendalian Diri, http://yohakimn.blogspot.com/, Di akses pada


Rabu 3 Agustus 2016, 17.19 WIB

Prawirohardjo, Sarwono, Ilmu Kandungan (Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 1999)

16
R. Levenson, et al., “Voluntary Facial Action Generates Emotion Specific Autonomic
Nervous System Activity,” Psychophysiology, 27 (1990), 363-384

Robbins, Stephen P, Judge, Timothy A, Perilaku Organisasi Buku 1, (Jakarta:


Salemba Empat, 2008), 56-66

Sarlito W Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo


Persada, 2010), 124-125.

Ibid, 77

Triantoro Safaria, Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi, (Jakarta: Bumi aksara,
2009), 12.19

Ibid., 310.

Wade, Carole, dan Tavris, Carol, Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 2007), 90.

W. Tiller, R. McCrary, M.Atkinson, “Toward Cardiac Coherence: A New


Noninvansive Measure of Autonamic System Order,” Alernative Therapies, 2 (1986), 5665

http://majalahsiantar.blog.spot.com/2013/10/22/faktor-faktor-yang-memepengaruhi-
emosi/-10, di akses pada tanggal 3 Agustus 2016 19.31 WIB 23,

17

Anda mungkin juga menyukai