Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN ST ELEVATION

MYOCARDIAL INFARCTION

Oleh :
EKA APRIL ZULIANA
202191038

PROGRAM STUDI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAITURAHIM


JAMBI
TAHUN 2021
A. Definisi ST elevation myocardial infarction (STEMI)
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung
secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner akibat proses degeneratif
maupun akibat banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan enzim
jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh
darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar
terhenti, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan akhirnya mati
(Khair, 2018).
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu bentuk
sindroma koroner akut (SKA) yang merupakan satu subset akut dari penyakit jantung
koroner (PJK) (Firdaus I, 2014). SKA secara klinis mencakup angina tidak stabil,
infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan infark miokard akut
dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha R, 2018). Sindrom koroner akut
tersebut akan menyebabkan perubahan gambaran EKG dari bentuk normalnya.
Gambar 1. Gambaran Normal EKG dan Sistem Elektrisitas yang Terjadi

Sedangkan perbedaan gambaran EKG normal dengan beberapa kelainan SKA


adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Perbedaan Gambaran EKG Normal Dengan Beberapa Kelainan
SKA

Lokasi infark miokard akut dapat diketahui berdasarkan kerusakan pada lokasi
gambaran EKG seperti yang tertera pada tabel berikut:

No Lokasi Gambaran EKG


1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
V3
3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
V6 dan I dan aVL
4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-
V6 dan inversi gelombang T/elevasi
ST/gelombang Q di I dan aVL
5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
III, dan aVF
7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
III, aVF, V1-V3
8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen
ST depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-
V2
9 RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-
V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark
inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.
Tabel 1. Lokasi Infark Miokard berdasarkan Gambaran EKG (Ramrakha,
2006)
Gambar 3. Lokasi Infark Miokard berdasarkan Gambaran EKG
Sedangkan gambaran Miokard infark inferior dengan STEMI:

Gambar 4. Gambaran Miokard Infark Inferior dengan STEMI

Tipe ini merupakan tipe serangan jantung yang paling berat dan bersifat gawat
darurat karena pada kelainan ini terjadi sumbatan total secara tiba-tiba dari pembuluh
darah koroner yang memberikan supply darah untuk otot-otot jantung. Karena tidak
mendapatkan supply darah dimana membawa oksigen dan nutrisi yang penting untuk
kelangsungan hidupnya, otot-otot jantung dapat mengalami kematian dan kerusakan.
Kematian otot jantung akan terus berkembang dan dalam 1 hari akan mencapai
seluruh ketebalan dinding jantung.

Gambar 5. Perluasan Kematian Otot Jantung


Gambar 6. Onset dan Perkembangan Kematian Otot Jantung dari Hari ke Hari

Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi


segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis
kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usia≥40 tahun, STEMI
ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi
pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2011). ST elevasi terjadi dalam
beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu (Antman,
2015).

B. Etiologi ST elevation myocardial infarction (STEMI)


STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi,
obesitas dan hiperlipidemia.
a. Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar
50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di
Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan
dengan rokok (Ramrakha, 2016). Menurut Ismail (2014), penggunaan tembakau
berhubungan dengan kejadian miokard infark akut prematur di daerah Asia
Selatan.
b. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah
sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari
ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri
hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis
terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya
kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya
kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006).
c. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar
25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan
peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >
25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah
obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga
berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida,
penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi
insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2016).
d. Hiperlipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol Education
Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit
jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT)
memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas
akibat infark miokard (Brown, 2016).

C. Patofisiologi ST elevation myocardial infarction (STEMI)


STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba
setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami
atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang
secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular. Kerusakan ini difasilitasi
oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada
sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic
mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut terekspos dalam darah dan
kondisi yang mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus). Mural thrombus
(thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada tempat rupturnya
plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner. Setelah platelet monolayer terbentuk pada
tempat terjadinya ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
menyebabkan aktivasi platelet. Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2
(vasokonstriktor local yang kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut.
Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis
meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika
reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk
protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang
dapat berikatan dengan dua plateet secara simultan, menghasilkan ikatan silang
patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor
jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya pada area rupturnya plak. Aktivasi
faktor VII dan X menyebabkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner seringkali
mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat platelet dan benang-
benang fibrin.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner,
abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama
inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner
tergantung pada
1. daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
2. apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
3. durasi oklusi koroner
4. kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang
terkena
5. kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara
tiba-tiba
6. faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
7. keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner
epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.
D. Web Of Coustion
E. Manifestasi Klinis ST elevation myocardial infarction (STEMI)
Secara umum, manifestasi klinis pasien dengan STEMI meliputi:
1. Nyeri
a. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus menerus tidak
mereda,biasanya diatas regiosternal bawah dan abdomen bagian atas dan
merupakan gejala utama
b. Keparahan dapat meningkat sampai nyeri tidak tertahan lagi dan menetap
c. Nyeri mulai secara spontan dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau
nitrogliseria (NTG)
d. Nyeri dapat menjalar ke rahang dan leher
e. Nyeri pada penderita diabetes tidak akan hebat,itu dikarenakan adanya
neuropati yang ada pada penderita DM yang mengganggu neuroreseptor.
(Khair, 2011)

Gambar 7. Tanda dan Gejala STEMI


Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah
sternum,bisa menjalar ke dada kiri atau kanan,ke rahang,ke bahu kiri dan kanan dan
pada lengan.Penderita melukiskan seperti tertekan,terhimpit, diremas-remas atau
kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada. Rasa nyeri hebat sekali sehingga
penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Kulit terlihat pucat dan
berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin. Volume dan denyut nadi cepat,
namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi
dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama
beberapa jam atau beberapa hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah
kembali normal. Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang
melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar
pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot- otot jantung.
Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung
dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel
jantung (Antman, 2005).
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang
terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher,
rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA
sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun,
nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada
hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan
pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering
mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak
menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes
mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut (Robbins SL, Cotran RS,
Kumar V, 2007;Sudoyo AW dkk, 2010).
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien
dengan STEMI. Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang
biasa dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti ditusuk,
atau seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada
angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan
berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau
epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan. Penyebaran nyeri juga dapat terjadi
pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri sering disertai dengan
kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, et al., 2014).
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri. Pallor yang berhubungan dengan
keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering ditemukan pada pasien
dengan STEMI. Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30 menit dan
diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar pasien
menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama satu jam pertama
STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior memiliki manifestasi
hiperaktivitas sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi), dan 50%pasien
dengan infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi dan/atau
hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi. Tanda
fisik dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan intensitas bunyi
jantung pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga sering terjadi
penurunan volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya penurunan stroke
volume. Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin ditemukan selama satu
minggu post STEMI.

F. Prognosis ST elevation myocardial infarction (STEMI)


Pada saat melakukan diagnosis kasus sindrom koroneri akut, prognosis pasien
juga perlu dipertimbangkan. Saat ini, salah satu sistem skoring yang sering digunakan
adalah TIMI Score (Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI). Skor TIMI
berbeda antara kasus STEMI (ST-elevation myocardial infarction) dengan kasus
NSTEMI (non ST-elevation myocardial infarction). Pada kasus N- STEMI,
sebelumnya kita perlu perhatikan tanda dan gejala berupa: nyeri dada iskemi pada
saat istirahat dalam 24 jam terakhir, dengan disertai bukti penyakit jantung koroner
(dapat berupa deviasi segmen ST atau peningkatan penanda enzim jantung). Berikut
adalah beberapa metode untuk menentukan klasinfikasi dari IMA (Sudoyo, 2010):
a. Klasifikasi Killip: berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik
Tabel 2. Klasifikasi Killip
b. Klasifikasi Forrester: berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan
Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP)

Tabel 3. Klasifikasi Forrester


c. TIMI risk score: adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi fibrinolitik

Tabel 4. TIMI risk score


G. Komplikasi ST elevation myocardial infarction (STEMI)
1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi
infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilanganj aringan pada
zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi
infark.
2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda
klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3
dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal.
Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia,
dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
4. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena
pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
mengakibatkan kongesti vena sistemik.
5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang
massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan
akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan
manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner,
peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia
yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti
paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding
kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat berat.
Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang
berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh
jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak
dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia
berat.
7. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu
fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam
atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari
ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke
aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.

H. Pemeriksaan Penunjang ST elevation myocardial infarction (STEMI)


Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat
dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks
nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
1. Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
a. Lead II, III, aVF : Infark inferior
b. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
c. Lead V2-V4 : Infark anterior
d. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
e. Lead I, aVL : Infark high lateral
f. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
g. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
h. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
2. Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot
jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan pelepasan protein
spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan
aliran darah dan limfatik local. Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah
perifer ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium
dari zona infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
a. cTnT dan cTnI
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI)
memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam
otot skeletal. Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative
assay untuk cTnT dan cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat spesifik.
Karena cTnT dan cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah individu
normal tetapi meningkat setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi dari nilai
normal, pengukuran cTnT dan cTnI dapat dijadikan sebagai pemeriksaan
diagnostic. Kadar cTnT dan cTnI mungkin tetap meningkat selama 7-10 hari
setelah STEMI.
b. CKMB
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya
kembali normal setelah 48-72 jam. Pengukuran penurunan total CK pada
STEMI memiliki spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat
pada penyakit otot skeletal, termasuk infark intramuscular. Pengukuran
isoenzim MB dari CK dinilai lebih spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB
tidak terdapat dalam jumlah yang signifikan pada jaringan ekstrakardiak.
Namun pada miokarditis, pembedahan kardiak mungkin didapatkan
peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.
3. Cardiac Imaging
a. Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional
echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun
STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari
iskemia berat akut dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan
karena keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic
STEMI, deteksi awal aka nada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding
dengan echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti
apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic
untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi prognosis, deteksi
penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan inhibitor
RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada ventrikel
kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel
kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan
kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
b. High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution
cardiac MRI.
c. Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
4. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi
Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan
leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali mencapai
12.000-15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat
dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak selama minggu pertama
dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2 minggu.

I. Penatalaksanaan ST elevation myocardial infarction (STEMI)


1. Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar tergantung
adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan
komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada
STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar
terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi
pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang
dicurigai STEMI :
2. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
a. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
b. Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih
c. Terapi REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang
dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
3. Hospital
a. Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal
infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan
STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama.
Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk
untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi
tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini
bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan kapiler
paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat
berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan
secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus
sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari.
b. Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien
hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam
pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ± 300
mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total.
Diet yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi
rendah natrium.
c. Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri
seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien
mengalami konstipasi
4. Farmakoterapi
a. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4
mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard
dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau
pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung, dapat
diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema paru. Terapi nitrat harus dihindarkan
pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai
menderita infark ventrikel kanan.
b. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan
dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis
total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin
adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi
pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri.
Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark
posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg
IV.
c. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya
aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
d. Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki
hubungan supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan ukuran
infark, dan menurunkan insiden ventricular aritmia.
e. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi
lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang
berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur
infuse (agen fibrinolitik).
5. Tindakan Operatif
a. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama
infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis
jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik (Sudoyo, 2010 & Fauci, et
al., 2010). PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama
pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurangkurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang
mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya
sarana, hanya di beberapa rumah sakit.
J. Asuhan Keperawtan ST elevation myocardial infarction (STEMI)
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
1) Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari,
insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
2) Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital
berubah pad aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung
koroner, masalah TD, DM.
Tanda:
1) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur
sampai duduk/berdiri
2) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
3) Bunyi jantung ekstra(S3/S4) mungkin menunjukkan gagal
jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel.
4) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
5) Friksi; dicurigai perikarditis.
6) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
7) Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal
jantung/ventrikel.
8) Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
c. Integritas ego
1) Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
2) Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah,
ketakutan dan mudah tersinggung.
d. Eliminasi
Gejala: Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari
(nokturia), diare/konstipasi.
e. Makanan/cairan
1) Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat
badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah,
pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah
diproses dan penggunaan diuretic.
2) Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites)
serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
f. Higiene
1) Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas
Perawatan diri.
2) Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
g. Neurosensori
3) Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
4) Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan
mudah tersinggung.
h. Nyeri/Kenyamanan
5) Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan
atas dan sakit pada otot.
6) Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit dan perilaku
melindungi diri.
i. Pernapasan
7) Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan
beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat
penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
8) Tanda :
1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori
pernpasan.
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk
terus menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
3) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
4) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
5) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6) Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
j. Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangankekuatan/tonus otot,
kulit lecet.
k. Interaksi sosial
Gejala: Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.
l. Pembelajaran/pengajaran
9) Gejala : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat
jantung, misalnya : penyekat saluran kalsium.
10) Tanda : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan.
m. Pemeriksaan Fisik
1) (B1) Breath
Pada Inspeksi pernapasan berapa kali dalam satu menit, apa ada
rektraksi otot – otot bantu pernapasan, pada Auskultasi adakah suara
nafas tambahan ronchi atau wheezing.
2) (B2) Blood
Perlu dilakukan apakah ada penurunan kadar Hb, Ht, dan leukosit,
ketidakstabilan tekanan darah, nadi, distensi vena jugularis, adanya
suara jantung P2, S3, S4 menunjukkan insufisiensi mitral akibat dilatasi
bilik kiri atau disfungsi otot papilaris.
3) (B3) Brain
Status mental dan emosi: Kaji apakah ada perubahan status mental
pada klien, disorientasi, kestabilan emosi.
Fungsi psikomotor: apakah pasien mengalami kelemahan pada
ekstremitas atas dan bawah.
Psikosensori: apakah penglihatan mengalami gangguan, reflek
pupil dan kesimetrisan.
4) (B4) Bladder
Kaji apakah terjadi nokturia (rasa ingin kencing di malam hari),
terjadi karena perfusi ginjal dan curah jantung akan membaik saat
istirahat. Kaji pula apakah perlu dilakukan pemasangan kateter terkait
dengan kelelahan yang dialami oleh klien ADHF.
5) (B5) Bowel
Biasanya tidak mengalami gangguan buang air besar.
6) (B6) Bone
Adanya keterbatasan aktivitas akibat nyeri yang timbul serta
kelelahan dan apakah mengalami gangguan ekstremitas atas maupun
ekstremitas bawah.
n. Riwayat psikologis.
Dalam hal ini yang perlu dikaji adalah tanggapan pasien mengenai
penyakitnya dan bagaimana hubungan pasien dengan orang lain serta
semangat dan keyakinan pasien untuk sembuh.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut baharudin (2015), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
pada pasien stemi adalah, sebagai berikut.
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi
arteri koroner
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik,
otot infark, kerusakan struktural
c. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan paru
tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru
akut
d. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah,
misalnya vasikonstriksi, hipovolemia, dan pembentukan troboemboli
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan
miokard, efek obat depresan jantung
f. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan kematian
g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kondisi dan prgnosis penyakit
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan


Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
D.0077 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Observasi:
diharapkan tingkat nyeri menurun  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Pengertian : Kriteria Hasil: kualitas, intensitas nyeri
Pengalaman sensorik atau Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik  Identifikasi skala nyeri
emosional yang berkaitan Memburuk Membaik
dengan kerusakan 1 Frekuensi nadi
jaringan aktual atau   1 2 3 4 5
fungsional, dengan onset 2 Pola nafas
mendadak atau lambat   1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
dan berintensitas ringan
Meningkat Menurun
hingga berat yang
3 Keluhan nyeri
berlangsung kurang dari 3   1 2 3 4 5
bulan. 4 Meringis
  1 2 3 4 5
5 Gelisah
1 2 3 4 5
6 Kesulitan tidur
1 2 3 4 5

Diagnosa Perencanaan Keperawatan


Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Penurunan Curah Curah Jantung Perawatan Jantung
Jantung Observasi:
D.0008 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam  Identifikasi tanda/gejala primer penurunan
diharapkan Ketidakadekuatan jantung memompa darah curah jantung
meningkat  Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan
Pengertian : Kriteria Hasil: curah jantung
Ketidakadekuatan Memburuk Cukup Sedang Cukup Menurun  Monitor tekanan darah
jantung memompa Memburu Menurun
darah untuk k
memenuhi kebutuhan 1 Tekanan Darah
metabolisme tubuh   1 2 3 4 5
2 CRT
  1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
Meningkat Menurun
3 Palpitasi
  1 2 3 4 5
4 Distensi Vena Jugularis
  1 2 3 4 5
5 Gambaran EKG Aritmia
1 2 3 4 5
6 Lelah
1 2 3 4 5

Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan


Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Pola nafas tidak efektif Pola Napas Pemantauan Respirasi
D.0005 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam inspirasi Observasi:
dan atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat  Monitor pola nafas, monitor saturasi oksigen
membaik .  Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
Pengertian : Kriteria Hasil: napas
Inspirasi dan/atau Menurun Cukup Sedang Cukup Meningka
ekspirisasi yang tidak Menurun Meningka t
memberikan ventilasi t
adekuat 1 Dipsnea
  1 2 3 4 5
 Monitor adanya sumbatan jalan nafas
Terapeutik
 Atur Interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Terapi Oksigen
Observasi:
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor tanda-tanda hipoventilasi
 Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
Terapeutik:
 Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea,
jika perlu
 Pertahankan kepatenan jalan napas
 Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
 Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di rumah
Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2 Penggunaan otot bantu napas
  1 2 3 4 5
Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik
Memburuk Membaik
3 Frekuensi napas
  1 2 3 4 5
4 Kedalaman napas
  1 2 3 4 5
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Perfusi Perifer Tidak Perfusi Perifer Perawatan Sirkulasi
Efektif Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Observasi:
D.0009 diharapkan perfusi perifer meningkat  Periksa sirkulasi perifer
Pengertian : Kriteria Hasil:  Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
Penurunan sirkulasi Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun  Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak
darah pada level Meningkat Menurun pada ekstremitas
kapiler yang dapat 1 Warna kulit pucat Terapeutik
mengganggu   1 2 3 4 5  Hindari pemasangan infus atau pengambilan
metabolisme tubuh 2 Edema perifer
darah di area keterbatasan perfusi
1 2 3 4 5
 Hindari pengukuran tekanan darah pada
3 Kelemahan otot
Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
Memburuk Membaik
4 Pengisian kapiler
1 2 3 4 5
5 Akral
1 2 3 4 5
 6 Turgor Kulit
1 2 3 4 5
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Intoleransi Toleransi Aktivitas Manajemen Energi
aktivitas Observasi:
D.0056 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam  Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
diharapkan toleransi aktivitas meningkat. mengakibatkan kelelahan
Pengertian : Kriteria Hasil:  Monitor pola dan jam tidur
Ketidakcukupan Menurun Cukup Sedang Cukup Meningka  Monitor kelelahan fisik dan emosional
energi untuk Menurun Meningka t
melakukan aktivitas t
sehari-hari 1 Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
  1 2 3 4 5
2 Kekuatan tubuh bagian atas dan bawah
  1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
Meningkat Menurun
3 Keluhan lelah
  1 2 3 4 5
4 Dispnea saat aktivitas
  1 2 3 4 5
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Ansietas Tingkat Ansietas Reduksi Ansietas
D.0080 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Observasi:
diharapkan tingkat ansietas menurun  Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
Pengertian : Kriteria Hasil:  Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
Kondisi emosi dan Memburuk Cukup Sedang Cukup Menurun  Monitor tanda-tanda ansietas
pengalaman subjektif Memburuk Menurun
individu terhadap objek 1 Konsentrasi
yang tidak jelas dan   1 2 3 4 5
spesifik akibat antisipasi 2 Pola tidur
bahaya yang   1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
memungkinkan individu
Meningkat Menurun
melakukan tindakan
3 Perilaku gelisah
untuk menghadapi   1 2 3 4 5
ancaman 4 Verbalisasi kebingungan
  1 2 3 4 5
5 Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi
1 2 3 4 5
6 Perilaku tegang
1 2 3 4 5
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Defisit Pengetahuan Tingkat Pengetahuan Edukasi Kesehatan
D.0111 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Observasi:
diharapkan tingkat pengetahuan membaik  Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
Pengertian : Kriteria Hasil: informasi
Ketiadaan atau kurangnya Menurun Cukup Sedang Cukup Meningka  Identifikasi faktor-faktor yang dapat
informasi kognitif yang Menurun Meningka t
berkaitan dengan topik t
tertentu 1 Perilaku sesuai anjuran
  1 2 3 4 5
2 Kemampuan menjelaskan pengetahuan suatu topik
  1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
Meningkat Menurun
3 Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi
  1 2 3 4 5
4 Persepsi yang keliru terhadap masalah
  1 2 3 4 5
5 Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat
1 2 3 4 5
6 Perilaku
1 2 3 4 5
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2014. Understanding Blood Pressure Readings.


[serial online] http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HighBlood
Pressure/AboutHighBloodPressure/Understanding-Blood-PressureRead-
ings_UCM_301764_Article.jsp
Baughman, D. C & Hackley, J. C. 2015. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku
dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.

Brunner dan Suddarth. 2012. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8. Jakarta:EGC.

Fathoni M. 2011. Penyakit Jantung Koroner. Surakarta : Universitas Sebelas


maret press.

Fauci, et al. 2010. 17th Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New
South Wales : McGraw

Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. 2015. ABC of heart failure Management:
digoxin and other inotropes, beta blockers, and antiarrhythmic and antithrombotic
treatment. BMJ

Gordon F. T. dan Douglas P.Z. 2014. What Causes Sudden Death in Heart
Failure. Circulation Research.

Herdman, T. Heather. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2015-2017. Jakarta: EGC
Ismir Fahri. 2010. Evaluasi Ekokardiografi pada Gagal Jantung
Distolik. Available from: http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=365
Karim S, Kabo P. 2016 . EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung
untuk Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit FK UI..

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2017. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc
Mansjoer, A., dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1.Jakarta: Media
Aesculapius.

Myrtha R. 2019. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA).
CDK
Patrick & Davey. 2017. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Price, S. & Wilson, L. 2015. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner dan Suddart, Volume 1. Edisi 8. Alih bahasa oleh Agung Waluyo, dkk.
Jakarta: EGC.

Sudoyo A. W. Setiyohadi B. Alwi I, dkk. 2018. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Tjay Tan Hoan dan Rahardja Kirana. 2017. Obat-Obat Penting: Jantung ed 6.
Jakarta: Gramedia

Anda mungkin juga menyukai