Disusun oleh :
Nama : Raka insyra
Nim : 20191512
Kelas : 2B Semester IV
Prodi : DIII keperawatan
Tahun 2021
Jl. Lingkar Raya Kudus-Pati Km. 5 Jepang, Mejobo,Kudus.
A. Pengertian
Definisi Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Diabetes mellitus klinis adalah sindroma gangguan metabolisme
dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau
berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya (M. Clevo Rendy dan Margareth Th, 2019).
B. Patofisiologi
Diabetes Mellitus Patofisiologi diabetes mellitus. (M. Clevo Rendy dan Margareth Th, 2019).
a.DM tipe I Pada diabetes tipe I
terdapat ketidakmampuan pankreas menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pankreas telah
dihancurkan dengan proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak
terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa (yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati
meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika
konsenterasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang
tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosaria). Ketika glukosa yang
berlebihan diekskresikan dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang
berlebihan, klien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga menganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat
badan. Klien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelemahan dan kelelahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan
glikogenelisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukosaneogenesis (pembentukan glukosa baru
dari asam-asam amino serta substansi lain), namun pada 14 penderita defisiensi insulin, proses ini akan
terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produksi
samping pemecahan lemak.
b. DM tipe II Pada diabetes tipe II
terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat
peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal
atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin yang
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis
diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.
C.Etiologi
Diabetes Mellitus Etiologi diabetes mellitus menurut M. Clevo Rendy dan Margareth Th, 2019 yaitu:
1) Diabetes mellitus tergantung insulin (DM tipe I)
1. Faktor genetik Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini
ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi oleh proses imun
lainnya. 8
2. Faktor imunologi Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan
respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
3. Faktor lingkungan Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta pankreas sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
dapat menimbulkan destruksi sel beta pankreas. Faktor lingkungan diyakini memicu perkembangan
DM tipe I. Pemicu tersebut dapat berupa infeksi virus (campak, rubela, atau koksakievirus B4) atau
bahkan kimia beracun, misalnya yang dijumpai di daging asap dan awetan. Akibat pajanan terhadap
virus atau bahan kimia, respon autoimun tidak normal terjadi ketika antibody merespon sel beta islet
normal seakan-akan zat asing sehingga akan menghancurkannya (Priscilla LeMone, dkk, 2016).
2) Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DM tipe II)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, faktor genetik diperkirakan memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Resistensi ini ditingkatkan oleh kegemukan, tidak
beraktivitas, penyakit, obat-obatan dan pertambahan usia. Pada kegemukan, insulin mengalami
penurunan kemampuan untuk mempengaruhi absorpsi dan metabolisme glukosa oleh hati, otot 9
rangka, dan jaringan adiposa. DM tipe II yang baru didiagnosis sudah mengalami komplikasi.
Menurut Priscilla LeMone, dkk, 2016 adapun faktor-faktor resiko DM tipe II yaitu:
1. Riwayat DM pada orang tua dan saudara kandung. Meski tidak ada kaitan HLA yang
terindentifikasi, anak dari penyandang DM tipe II memiliki peningkatan resiko dua hingga empat kali
menyandang DM tipe II dan 30% resiko mengalami, intoleransi aktivitas (ketidakmampuan
memetabolisme karbihodrat secara normal).
2. Kegemukan, didefinisikan kelebihan berat badan minimal 20% lebih dari berat badan yang
diharapkan atau memiliki indeks massa tubuh (IMT) minimal 27 kg/m. Kegemukan, khususnya
viseral (lemak abdomen ) dikaitkan dengan peningkatan resistensi insulin.
3. Tidak ada aktivitas fisik.
4. Ras/etnis.
5. Pada wanita, riwayat DM gestasional, sindrom ovarium polikistik atau melahirkan bayi dengan
berat lebih dari 4,5 kg. 6. Hipertensi (≥ 130/85 pada dewasa), kolesterol HDL ≥ 35 mg/dl
D. Pathway
sel
hiperglikemia
Ginjal
tak Intake glukosa Angiopati
mampu sel diabetik
memfiltr berkurang
makroangiop
asi mikroangiopa
ati
glukosa Pembentuka
glukosur Tergangguny ti Neuropati n protein
ia a aliran darah perifer terglikasi
ketoasidosis ke kaki
G3 Pembuluh
Diuretik Penurunan
Pernafasan kusmaul sensori darah
osmotik asupan
Gangguan motorik tersumbat
pola nafas nutrisi
poliuria dan O2
Kekurangan trauma Retinopat
volume Sel i
trauma
cairan kelaparan
Pandanga
Luka sulit
Peningkata n kabur
sembuh
n
pemecaha
n
Merangsa protein ulkus
ng
rasa dan Resiko tinggi
lemak iskemik infeksi cidera
haus
polifagi Polineuropat ganggren
i diabetik
polidips
Masukan nyer
yang nyeri i Gangguan
i
melebihi integritas kulit
aktivitas
Gangguan
istirahat tidur
Perubahan
nutrisi
kurang dari
kebutuhan
tubuh
Padila (2019)
E. Manifestasi Klinis
1. Diabetes Tipe I
a. Hiperglikemia berpuasa
b. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
c. Keletihan dan kelemahan
d. Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau buah, ada
perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
2.Diabetes Tipe II
a. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
b. Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka
pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
c. Komplikaasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Glukosa darah: darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah vena, serum/plasma
10-15% daripada darah utuh, metode dengan deproteinisasi 5% lebih tinggi daripada metode
tanpa deproteinisasi
b. Glukosa urin: 95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah > 160-180% maka sekresi
dalam urine akan naik secara eksponensial, uji dalam urin: + nilai ambang ini akan naik
pada orang tua. Metode yang populer: carik celup memakai GOD.
c. Benda keton dalam urine: bahan urine segar karena asam asetoasetat cepat didekrboksilasi
menjadi aseton. Metode yang dipakai Natroprusid, 3-hidroksibutirat tidak terdeteksi
d. Pemeriksan lain: fungsi ginjal ( Ureum, creatinin), Lemak darah: (Kholesterol, HDL, LDL,
Trigleserid), fungsi hati, antibodi anti sel insula langerhans ( islet cellantibody)
G. Penatalaksanaan Medis / Terapi
a. Medis
a. Obat
1) Tablet OAD (Oral Antidiabetes)
a) Mekanisme kerja sulfanilurea
1. Kerja OAD tingkat prereseptor : pankreatik, ekstra pancreas
2. Kerja OAD tingkat reseptor
b) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek lain yang dapat
meningkatkan efektivitas insulin, yaitu:
1) Menghambat absorpsi karbohidrat
2) Menghambat glukoneogenesis di hati
3) Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
4) Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor insulin
5) Biguanida pada tingkat pascareseptor : mempunyai efek intraseluler
b. Insulin
Indikasi penggunaan insulin
a) DM tipe I
b) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan OAD
c) DM kehamilan
d) DM dan gangguan faal hati yang berat
e) DM dan infeksi akut (selulitis, gangren)
f) DM dan TBC paru akut
g) DM dan koma lain pada DM
h) DM operasi
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat.
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis.
3) Ketoasidosis diabetik.
4) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
H. Fokus Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin diabetes melitus dilakukan mulai
dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan,
riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari. Hal yang perlu dikaji
pada klien degan diabetes melitus :
a. Aktivitas dan istirahat :
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur,
tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma
b. Sirkulasi
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah,
luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung
c. Eliminasi
Poliuri, nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
d. Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
e. Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi,
koma dan bingung.
f. Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
g. Respirasi
Tachipnea, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
h. Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
i. Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada
pria.
i. AKTIVITAS
a. Tingkat aktivitas sehari-hari
1) Pola aktivitas sehari-hari
2) Jenis, frekuensi, dan lamanya latihan fisik
b. Tingkat kelelahan
1) Aktivitas yang membuat lelah
2) Riwayat sesak napas
c. Gangguan pergerakan
1) Penyebab gangguan pergerakan
2) Tanda dan gejala
3) Efek dari gangguan pergerakan
d. Pemeriksaan fisik
1) Tingkat kesadaran
2) Postur atau bentuk tubuh: skoliosis, kiposis, lordosis, cara berjalan
3) Ekstremitas:
a) Kelemahan
b) Gangguan sensorik
c) Tonus otot
d) Atropi
e) Tremor
f) Gerakan tak terkendali
g) Kekuatan otot
h) Kemampuan berjalan, duduk, berdiri
i) Nyeri sendi
j) Kekakuan sendi
ii. ISTIRAHAT
a. Riwayat keperawatan
1) Kebiasaaan pola tidur bangun, apakah ada perubahan: waktu tidur, jumlah jam
tidur, kualitas tidur, apakah mengalami kesulitan tidur, sering bangunpada saat
tidur, apakah mengalami mimpi yang mnegancam.
2) Dampak pola tidur terhadap fungsi sehari-hari: apakah merasa segar saat bangun,
apa yang terjadi jika kurang tidur.
3) Adakah alat bantu tidur: apa yang anda lakukan sebelum tidur, apakah
menggunakan obat-obatan untuk membantu tidur.
4) Gangguan tidur / faktor-faktor kontribusi: jenis gangguan tidur, kapan masalah itu
terjadi.
b. Pemeriksaan fisik
1) Observasi penampilan wajah, perilaku, dan tingkat energi pasien.
2) Adanya lingkaran hitam disekitar mata, mata sayu, dan konjungtiva merah.
3) Perilaku: iretabel, kurang perhatian, pergerakan lambat, bicara lambat, postur
tubuh tidak stabil, tangan tremor, sering menguap, mata tampak lengket, memarik
diri, bingung, dan kurang koordinasi.
c. Pemeriksaan diagnostic
1) electroencephalogram (EEG).
2) electromiogram (EMG).
3) electrooculogram (EOG).
I. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (abses, amputasi, prosedur bedah, trauma)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan tubuh
mengabsorbsi zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis.
c. Kerusakan integritas jaringan b/d faktor mekanik: perubahan sirkulasi, imobilitas dan
penurunan sensabilitas (neuropati)
d. Hambatan mobilitas fisik b/d nyeri, intoleransi aktifitas, penurunan kekuatan otot
e. Gangguan pola tidur b/d Kerusakan neurologi,Tempat yang asing,Terpasangnya
tube,Prosedur invasi,Nyeri,Kecemasan,Ketidaknormalan status fisiologi,Pengobatan.
J. Perencanaan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut b/d agen injuri Setelah dilakukan asuhan Manajemen nyeri :
fisik (abses, amputasi, keperawatan selama 3 x 24 1. Lakukan
prosedur bedah, trauma) jam, diharapkan tingkat pegkajian nyeri
kenyamanan klien meningkat secara
dengan kriteria hasil : komprehensif
a. Level nyeri termasuk lokasi,
berkurang 0 – 2 karakteristik,
b. Pasien tampak durasi, frekuensi,
nyaman kualitas.
c. Pasien dapat 2. Observasi reaksi
melaporkan nyeri nonverbal dari
pada petugas ketidaknyamanan.
(frekuensi nyeri, 3. Gunakan teknik
ekspresi wajah, komunikasi
dan menyatakan terapeutik untuk
kenyamanan fisik mengetahui
dan psikologis) pengalaman nyeri
d. TTV dalam batas klien sebelumnya.
normal 4. Kontrol
lingkungan yang
mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan.
5. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologis/non
farmakologis).
6. Ajarkan teknik
non farmakologis
(relaksasi,
distraksi dll)
untuk mengetasi
nyeri.
7. Kolaborasi dalam
pemberian
analgetik untuk
mengurangi nyeri.
K. Evaluasi
Dari 5 diagnosa yang ditegakkan sesuai dengan apa yang di temukan dalam studi kasus dan
melakukan asuhan keperawatan kurang lebih sudah mencapai perkembangan yang lebih baik dan
optimal, maka dari itu dalam melakukan asuhan keperawatan untuk mencapai hasil yang
maksimal memerlukan adanya kerja sama antara penulis dengan klien, perawat, dokter, dan tim
kesehatan lainnya
L. Daftar pustaka
TH, M.Clevo Rendy Margaret. 2019. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
Padila. 2019. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Yasmara Deni, dkk. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 edisi 10.
Jakarta: EGC