Anda di halaman 1dari 37

HALUSINASI PADA SESEORANG

YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWA

Dibuat Oleh :

Nama ; dian pertiwi sari

Nim : 2027011

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PANCA BHAKTI BANDAR LAMPUNG

T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan


rahmat-Nya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Informasi.
Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada dosen pengampu
N.s. Jupri Kartono.,M.Kep.,Sp.Kep.An yang telah banyak membimbing kami
hingga makalah ini selesai dan tak lupa juga kami ucapkan terima kasih untuk
teman-teman tingkat 1A yang juga turut membantu.

Saran dan kritik yang membangun diperlukan dalam perbaikan makalah ini.

Lampung, 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang........................................................................................................ 1
1.2. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2
1.2.1. Tujuan Umum................................................................................................. 2
1.2.2. Tujuan Khusus................................................................................................ 3
1.3. Ruang Lingkup........................................................................................................ 3
1.4. Metode Penulisan.................................................................................................... 4
1.4.1. Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah
deskriptif yaitu memberi gambaran masalah tentang Gangguan Sensori Persepsi:
Halusinasi Pendengaran dengan melakukan pendekatan proses asuhan keperawatan.......4
1.4.2. Teknik pengambilan data pada kasus yaitu:.....................................................4
1.5. Sistematika Laporan................................................................................................ 5
BAB 2. LANDASAN TEORI.............................................................................................. 7
2.1. Konsep dasar penyakit............................................................................................. 7
2.1.1. Pengertian....................................................................................................... 7
2.1.2. Klasifikasi Halusinasi...................................................................................... 8
2.1.3. Tahapan Halusinasi......................................................................................... 9
2.1.4. Etiologi......................................................................................................... 11
2.1.5. Tanda dan Gejala.......................................................................................... 15
2.1.6. Dampak Halusinasi Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Dasar........................18
2.1.7. Penatalaksanan.............................................................................................. 20
2.1.8. Mekanisme Koping....................................................................................... 21
2.1.9. Sumber Koping............................................................................................. 22
2.1.10. Penilaian Stresor........................................................................................... 22
2.2. Konsep Model....................................................................................................... 23
2.2.1. Faktor Predisposisi........................................................................................ 25
2.2.2. Faktor Presipitasi........................................................................................... 25
2.2.3. Penilaian terhadap stressor............................................................................25
2.2.4. Sumber Koping............................................................................................. 26

iv
2.2.5. Mekanisme Koping....................................................................................... 26
2.2.6. Rentang Respon Koping................................................................................ 26
2.2.7. Aktivitas tahap pengobatan...........................................................................26
2.3. Konsep Asuhan keperawatan................................................................................. 26
2.3.1. Pengkajian..................................................................................................... 27
2.3.2. Diagnosa Keperawatan.................................................................................. 28
2.3.3. Rencana Keperawatan................................................................................... 29
2.3.4. Evaluasi........................................................................................................ 32

v
DAFTAR GAMBAR/SKEMA

Skema 2-1Rentang Respon Marah......................................................................................... 18


Skema 2-2Model adaptasi stres.............................................................................................. 24

vi
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan

juga secara Somato-Psiko-Sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa,

maka ketiga unsur ini harus diperhatikan. Gangguan jiwa adalah gejala-gejala

patologik dominan berasal dari unsur psikis. Hal ini tidak berarti bahwa unsur

yang lain tidak terganggu sekali lagi, yang sakit dan menderita ialah manusia

seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwanya atau lingkungannya (Yosep,

2011).

Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku

akibat adanya distorsi emosi sehingga di temukan ketidakwajaran dalam

bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya fungsi kejiwaan (Nasir,

2011).

Diperkirakan bahwa 2-3 % dari jumlah penduduk Indonesia penderita

gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan perawatan di

rumah sakit dan jika penduduk Indonesia berjumlah 120 juta maka ini berarti

bahwa 120 ribu orang dengan gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di

rumah sakit (Yosep, 2011).

Menurut undang-undang No.3 Tahun 1996, tentang Kesehatan Jiwa,

kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan

1
2

fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan

perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain (Suliswati,

2005).

Pada era globalisasi dengan teknologi, perawat jiwa sebagai pemberi asuhan

keperawatan jiwa kepada klien merupakan bagian total pelayanan di rumah

sakit. Oleh karna itu, perawat di tuntut mampu memberikan asuhan

keperawatan yang propesional dan dapat mempertanggung jawabkan asuhan

yang di berikan secara alamiah (Kusumawati, 2010).

Di perkirakan penduduk indonesia yang menderita gangguan jiwa sebesar 2-

3% jiwa. Zaman dahulu penanganan pasien gangguan jiwa adalah dengan di

pasung, dirantai, atau diikat, lalu di tempatkan tersendiri di rumah atau di

hutan jika gangguan jiwa nya berat. Bila tidak berbahaya, di biarkan

berkeliaran di desa, sambil mencari makan dan menjadi tontonan

masyarakat(Kusumawati, 2010).

Data yang penulis dapat dari rumah sakit jiwa provinsi Lampung di ruang

Kutilang terhitung Maret 2014

1.2. Tujuan Penulisan

1.2.1. Tujuan Umum

Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif

meliputi biopsikososialspiritual pada klien dengan Gangguan Sensori

Persepsi: Halusinasi Pendengaran dengan pendekatan proses keperawatan.

2
3

1.2.2. Tujuan Khusus

Penulis mampu menggambarkan:

1.2.2.1.Konsep teori penyakit dan asuhan keperawatan pada klien dengan

Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran .

1.2.2.2.Melakukan pengkajian status kesehatan pada klien dengan Gangguan

Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.3.Merumuskan masalah keperawatan pada klien dengan Gangguan Sensori

Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.4.Menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan Gangguan Sensori

Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.5.Menentukan rencana asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan

Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.6.Melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sensori

Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.7.Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan

Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.8.Melakukan pendokumentasian tindakan keperawatan pada klien dengan

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penulisan studi kasus ini adalah asuhan keperawatan

yang meliputi asuhan keperawatan pada Tn. S dengan Gangguan Sensori


3
4

Persepsi: Halusinasi Pendengaran yang dilakukan dari tanggal 26-27 mei 2014

di ruang Kutilang Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung.

1.4. Metode Penulisan

1.4.1. Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah

deskriptif yaitu memberi gambaran masalah tentang Gangguan Sensori

Persepsi: Halusinasi Pendengaran dengan melakukan pendekatan proses asuhan

keperawatan.

1.4.2. Teknik pengambilan data pada kasus yaitu:

1.4.2.1.Observasi / Pengamatan

Adalah suatu cara pengumpulan data dengan pengamatan langsung.

1.4.2.2.Wawancara

Adalah suatu jenis pengumpulan data dilakukan dengan cara

komunikasi langsung dengan klien maupun keluarga klien, sebagai

alat pencatatan data digunakan format pengkajian dengan tujuan agar

pencatatan lebih sistematis dan objektif.

1.4.2.3.Pemeriksaan fisik

Adalah pengumpulan dengan memeriksa keadaan fisik klien

4
5

1.4.2.4.Dokumentasi/ Catatan perawat

Adalah pengumpulan data yang di lakukan dengan cara mempelajari

catatan medik dan perawat pada buku status klien di ruang Kutilang

Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung.

1.4.2.5.Studi Kepustakaan

Adalah pengumpulan data dengan pengambilan materi beberapa buku

sumber keperawatan dan kesehatan mental psikiatri sebagai referensi.

1.5. Sistematika Laporan

Sistematika penulisan studi kasus ini di bagi dalam lima bab yang terdiri dari:

BAB 1 : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode

penulisan dan sistematika laporan.

BAB II : TINJAUAN TEORI

Berisi konsep dasar asuhan keperawatan klien dengan Gangguan

Sensori Persepsi: Halusinasi, antara lain: pengertian halusinasi,

klasifikasi halusinasi, tahapan halusinasi, etiologi, tanda dan

gejala, rentang respon, dampak halusinasi terhadap pemenuhan

kebutuhan dasar, penatalaksanaan halusinasi, mekanisme koping,

sumber koping, penilaian stressor, pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

5
6

BAB III : TINJAUAN KASUS

Berisi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,

implementasi dan evaluasi serta catatan perkembangan klien

selama perawatan

BAB IV : PEMBAHASAN

Membahas kesenjangan yang terdapat dalam pengkajian,

diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi

dengan landasan teori dan tinjaun kasus.

BAB V : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

6
7

BAB 2. LANDASAN TEORI

2.1.Konsep dasar penyakit

2.1.1. Pengertian

Halusinasi adalah suatu gejala gangguan jiwa pada individu yang di

tandai dengan perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu

berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Pasien

merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat, 2009)

Sejalan dengan kedua pendapat di atas menurut Varcarolis dalam Yosep,

(2011), menyatakan halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya

persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Tipe

halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran (Auditory-

hearing voices or sounds), penglihatan (Visual-seeing persons or things),

penciuman (Olfactory-smelling odors), pengecapan (Gustatory-

experiencing tastes).

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien

mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa

suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Klien

merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2008)

7
8

2.1.2. Klasifikasi Halusinasi

Menurut Kusumawati (2010), pada klien gangguan jiwa ada beberapa jenis

halusinasi dengan karakteristik tertentu diantaranya:

2.1.2.1.Halusinasi Pendengaran (Auditorius)

Mendengar suara atau kebisingan yang kurang jelas, dimana terkadang

suara-suara tersebut seperti mengajak bicara klien dan kadang

memerintah klien untuk melakukan sesuatu.

2.1.2.2.Halusinasi Penglihatan (Visual)

Stimulus visual dalam bentuk kilatan, gambar atau cahaya, gambar

atau bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa

menyenangkan atau menakutkan..

2.1.2.3.Halusinasi Penghidu (Olfaktorius)

Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses, parfum,

atau bau yang lain.

2.1.2.4.Halusinasi Pengecapan (Gustatorius)

Merasa mengecap rasa seperti darah, urine, feses, atau yang lainnya.

2.1.2.5.Halusinasi Perabaan (Taktil)

Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau ketidaknyamanan tanpa

stimulus yang jelas.

8
9

2.1.2.6.Halusinasi cenesthetic

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,

pencernaan makanan atau pembekuan urine.

2.1.2.7.Halusinasi Kinestetika

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

2.1.3. Tahapan Halusinasi

Menurut Kusumawati (2010), terdapat empat tahapan halusinasi dengan

karakteristik dan perilaku yang ditimbulkan sebagai berikut :

2.1.3.1.Tahap I: Menyenangkan (Ansietas tingkat sedang)

Secara umum halusinasi bersifat menyenangkan

Karakteristik Klien:

Klien mengalami stres, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah,

kesepian yang memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai

melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara ini hanya

menolong sementara.

Perilaku Klien

Klien tersenyum dan tertawa sendiri , menggerakkan bibir tanpa suara,

pergerakan mata yang cepat, respon verbal yang lambat, diam dan

berkonsentrasi.

9
10

2.1.3.2.Tahap II: Menyalahkan ( Ancietas tingkat berat )

Secara umum halusinasi menyebabkan rasa antipati.

Karakteristik Klien

Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan, kecemasan

meningkat, melamun, dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai

dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain

tahu dan ia tetap dapat mengontrolnya.

Perilaku Klien

Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah,

penyimpangan kemampuan konsentrasi, konsentrasi terhadap

pengalaman sensori kerja, kehilangan kemampuan membedakan

halusinasi dengan realitas.

2.1.3.3.Tahap III: Mengendalikan (Ansietas tingkat berat)

Pengalaman halusinassi tidak dapat ditolak lagi.

Karakteristik Klien

Bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan

mengontrol klien. Klien jadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap

halusinasinya.

Perilaku Klien

10
11

Perintah halusinasi di taati, sulit berhubungan dengan orang lain,

perhatian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik, tidak

mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat.

2.1.3.4.Tahap IV: Menaklukkan (Ansietas tingkat panik)

Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan

delusi.

Karakteristik Klien

Halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan

memarahi klien. Klien jadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol, dan

tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan.

Perilaku Klien

Prilaku panik, beresiko tinggi menciderai diri sendiri dan orang lain,

kegiatan fisik yang merefleksikan seperti amuk, agitasi dan menarik

diri.

2.1.4. Etiologi

Menurut Yosep (2011), perubahan sensori persepsi di sebabkan oleh

beberapa factor antara lain:

11
12

2.1.4.1.Factor Predisposisi

2.1.4.1.1.Factor perkembangan

Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya

kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu

mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih

rentan terhadap stress.

2.1.4.1.2.Factor sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak di terima di lingkungannya sejak

bayi (unwanted child) akan merasa di singkirkan, kesepian, dan

tidak percaya pada lingkungannya.

2.1.4.1.3.Factor Biokimia

Mempunyai pengaruhterhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya

stress yang berlebihan di alami oleh seseorang maka di dalam

tubuh akan di hasilkan suatu zat yang dapat bersifat

halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan

Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan

menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya

terjadi ketidakseimbangan acetycholin dan dopamin.

2.1.4.1.4.Factor Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah

terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh

12
13

pada ketidak mampuan klien dalam mengambil keputusan yang

tepat di masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat

dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

2.1.4.1.5.Factor genetik dan pola asuh

Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang di asuh oleh

orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil

studi menunjukan bahwa factor keluarga menunjukan hubungan

yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2.1.4.2.Factor Presipitasi

2.1.4.2.1.Prilaku

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,

perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri,

kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak

dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut

Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah

halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seseorang

individu sebagai mahluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur

bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari

lima dimensi yaitu:

13
14

2.1.4.2.1.1. Dimensi Fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik

seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,

demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan

untuk tidur dalam waktu lama.

2.1.4.2.1.2. Dimensi Emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak

dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi

dari Halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan

menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah

tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu

terhadap ketakutan tersebut.

2.1.4.2.1.3. Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu

dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan

fungsi ego.

2.1.4.2.1.4. Dimensi Sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal

dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi

di alam nyata sangat membahayakan.

14
15

2.1.4.2.1.5. Dimensi Spiritual

Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampan

hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah

dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.

2.1.5. Tanda dan Gejala

Menurut Damaiyanti (2012), tanda dan gejala halusinasi yaitu:

15
16

2.1.5.1. Bicara sendiri.

2.1.5.2. Senyum sendiri.

2.1.5.3. Ketawa sendiri.

2.1.5.4. Menggerakan bibir tanpa suara.

2.1.5.5. Pergerakan mata yang cepat.

2.1.5.6. Respon verbal yang lambat.

2.1.5.7. Menarik diri dari orang lain.

2.1.5.8. Berusaha untuk mengindari orang lain.

2.1.5.9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.

2.1.5.10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan

tekanan darah.

2.1.5.11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya

beberapa detik.

2.1.5.12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.

2.1.5.13. Sulit berhubungan dengan orang lain.

2.1.5.14. Ekspresi muka tegang.

2.1.5.15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah.

16
17

2.1.5.16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

2.1.5.17. Tampak tremor dan berkringat.

2.1.5.18. Prilaku panik.

2.1.5.19. Curiga dan bermusuhan.

2.1.5.20. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.

2.1.5.21. Ketakutan.

2.1.5.22. Tidak dapat mengurus diri.

2.1.5.23. Biasa terdapat disorentasi waktu, tempat dan orang lain.

17
18

Rentang Respon Neurobiologis menurut Stuart (2006).

Skema 2-1Rentang Respon Marah


Respon Adaptif Psikososial Respon Maladaptive

Pikiran Logis Pikiran menyimpang Kelainan pikiran/delusi

Persepsi akurat Ilusi Halusinasi

Emosi kansisten dengan Reaksiemosional berlebihan/ Ketidak mampuan untuk

pengalaman kurang mengalami emosi

Prilaku sesuai Prilaku ganjil/ tak lama Ketidak teraturan

Hubungan sosial yang Menarik diri isolasi social

harmonis

2.1.6. Dampak Halusinasi Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Menurut Stuart (2006), dampak halusinasi terhadap pemenuhan kebutuhan

dasar adalah:

2.1.6.1.Nutrisi

Individu dengan halusinasi biasanya asyik dengan dunianya sendiri,

sehingga klien kurang memperhatikan terhadap dirinya dan akhirnya

keinginan individu untuk makan tidak ada. Selain itu, bila ada

halusinasi mengancam atau menyuruh individu maka dia akan


18
19

menolak dan menghindari makan sehingga terjadi gangguan

pemenuhan kebutuhan nutrisi.

2.1.6.2.Istirahat dan tidur

Suara yang didengar secara terus menrus membuat individu asyik

dengan dunianya sendiri sehingga individu kehilangan waktu untuk

beristrirahat atau tidur tenang.

2.1.6.3.Personal hygiene

Individu dengan halusinasi kadang merasa cemas, takut sehingga

menimbulkan perasaan tidak nyaman dan curiga sehingga menurunkan

minat individu untuk mengurus dirinya sendiri. Selain itu, halusinasi

dapat membuat individu asyik dengan pikirannya dan motivasi

terhadap perawatan dirinya sendiri.

2.1.6.4.Kebutuhan rasa aman

Jika halusinasi mengancam maka individu cenderung merasa takut

gelisa dan merasa tidak aman sehingga timbul gangguan terhadap rasa

aman.

2.1.6.5.Komunikasi

Individu dengan halusinasi cenderung berkomunikasi sendiri seolah-

olah sedang bercakap-cakap dengan seseorang, kadang sulit untuk

memulai percakapan sehingga timbul gangguan komunikasi.

19
20

2.1.6.6.Sosialisasi

Individu dengan halusinasi cenderung asyik dengan dirinya sendiri dan

bersikap masa bodoh terhadap lingkungannya sehingga individu

menarik din dan interaksi sosial terganggu.

2.1.6.7.Kebutuhan spiritual

Halusinasi sering dirasakan sebagai suara hantu, syetan atau kekuatan

sehingga individu tidak menyadari keberadaannya dan kehilangan

control hidupnya. Akibatnya individu terputus dengan sesama atau

dengan tuhan sebagai sumber kehidupan, harapan dan kepercayaan

dampaknya adalah spiritual terganggu.

2.1.6.8.Aktualisasi diri

Individu dengan kecemasan semakin meingkat dan halusinasi berlanjut

cenderung bersikap masa bodoh terhadap lingkungan dan dirinya

sendiri serta individu tersebut tidak mampu mengambil keputusan

yang logis dalam menggunakan pencapaian dalam aktualisasi diri.

2.1.7. Penatalaksanan

Menurut Stuart (2006), penatalaksanaan pada pasien dengan gangguan

sensori persepsi: Halusinasi adalah:

2.1.7.1.Medik

Obat-obat antipsikotik kovensional (seperti klorpomazin, flufenazin,

haloperidol, loksapin, perpenazin, trifluoperazin, tioteksen, dan

20
21

tioridazin) terbukti mengurangi gejala positif skizoprenia dan secara

signifikan menurunkan resiko relaps simtomatik dan dirawat inap

ulang. Namun efek samping neurology yang serius menyebabkan obat

ini sulit ditoleransi oleh banyak pasien skizofrenia. Sedangkan

kelompok obat-obat antipsikotik “atipikal” terbaru (seperti, olanzapin,

klozapin, risperidon, quetiapin, zipresidon) untuk mengatasi gejala

skizofrenia yang secara signifikan menurunkan resiko gangguan

neurology yang merugikan. Obat-obat ini terutama efektif dalam

mengatasi gejala negatif skizofrenia.

2.1.8. Mekanisme Koping

Menurut Stuart (2006), Prilaku yang mewakili upaya untuk melindungi

pasien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon

neurobiologis maladaptif, meliputi:

21
22

2.1.8.1.Regresi, berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya

untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk

aktivitas hidup sehari-hari.

2.1.8.2.Proyeksi, sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi

2.1.8.3.Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan

stimulus internal.

2.1.9. Sumber Koping

Menurut Stuart (2006), sumber koping individual harus dikaji dengan

pemahaman tentang pengaruh gangguan otak pada prilaku. Kekuatan

dapat meliputi model, seperti intelegensi atau kreatifitas yang tinggi.

Orang tua harus secara aktif mendidik anak-anak dan dewasa muda

tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar

dari pengamatan.

2.1.10. Penilaian Stresor

Menurut Stuart (2006), tidak terdapat riset ilmiah yang menunjukan bahwa

stress menyebebkan Skizofrenia. Namun studi mengenai relaps dan

eksaserbasi gejala membuktikan bahwa stress, penilaian individu terhadap

stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan

kekambuhan gejala. Model diatesis stress menjelaskan bahwa gejala

22
23

skizofrenia muncul berdasarkan hubungan antara beratnya stress yang

dialami individu dan ambang toleransi terhadap stress internal.

2.2. Konsep Model

Menurut Stuart (2006), model adalah suatu cara mengorganisasi kumpulan

pengetahuan yang kompleks seperti konsep yang berhubungan dengan

prilaku manusia, dan juga model ini mengintegrasikan komponen biologi,

psikologi dan sosial budaya dari asuhan keperawatan. Model yang utuh

menggabungkan landasan teoritis, komponen-komponen bio-psikososial,

rentang respon koping.

Model adalah suatu cara mengorganisasikan kumpulan pengetahuan yang

kompleks seperti konsep yang berhubungan dengan prilaku manusia.

Penggunaan model ini membantu klinisi mengembangkan dasar untuk

melakukan pengkajian dan intervensi, juga memberikan cara untuk

mengevaluasi keefektifan terapi.

Perawat jiwa dapat berkerja lebih efektif jika tindakan mereka didasarkan

pada suatu model yang mengenali adanya sehat atau sakit, sebagai hasil dari

berbagai karakteristik individu yang berinteraksi dengan faktor lingkungan.

Sterss di awali dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dan

sumber daya yang dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi

semakin tinggi pula tingkat stress yang di alami individu dan akan merasa

terancam.
23
24

Kecemasan (anciety) dan depresi (depression) merupakan dua jenis

gangguan kejiwaan yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Seseorang

yang mengalami depresi sering kali ada komponen ansietasnya, demikian

pula sebaliknya.

Model ini terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut:

Skema 2-2Model adaptasi stres

Faktor predisposisi

Biologis Psikologis Sosiokulltural

Stressor presipitasi

Sifat Asal Waktu Jumlah

Penilaian terhadap stresor

Kognitif Afektif Fisiologis Prilaku Sosial

Sumber koping

Kemampuan personal Dukungan sosial Aset materi Keyakinan positif

24
Mekanisme koping
25

Konstruktif Destruktif

Rentang respon koping

Respon adaftif Respon maladaftif


Diagnosis keperawatan

2.2.1. Faktor Predisposisi

Faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat

dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.

2.2.2. Faktor Presipitasi

Stimulasi yang dipresitasi oleh individu sebagai tantangan, ancaman,

atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping.

2.2.3. Penilaian terhadap stressor

Suatu evaluasi tentang makna stressor bagi kesejahteraan seseorang

dimana stressor mempunyai arti, intesitas dan kepentingannya.

25
26

2.2.4. Sumber Koping

Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang

pengaruh gangguan otak pada prilaku. Orang tua harus secara aktif

mendidik anak-anak dan dewasa muda tentang keterampilan koping

karena mereka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan. Sumber

keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang

cukup, ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemapuan untuk memberi

dukungan secara berkesinambungan.

2.2.5. Mekanisme Koping

Tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk

upaya penyesuaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan

yang digunakan untuk melindungi diri.

2.2.6. Rentang Respon Koping

Suatu kisaran manusia yang adaptif ke maladaptif.

2.2.7. Aktivitas tahap pengobatan

Kisaran fungsi perawatan yang berhubungan dengan tujuan

pengobatan, pengkajian keperawatan, intervensi keperewatan dengan

hasil yang diharapkan.

2.3. Konsep Asuhan keperawatan

Untuk mendapat data yang di perlukan umumnya di kembangkan format

pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian adar memudahkan dalam

26
27

pengkajian, meliputi : identitas klien, keluhan utama atau alasan masuk,

factor predisposisi, aspek fisik dan biologis, aspek psikososial, status

mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping, masalah

psikososial, pengetahuan dan aspek medik.

2.3.1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses

keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data dan

perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan

meliputi data biologis, psiko, sosial dan spiritual.

Proses pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara observasi,

wawancara dan pemeriksaan (Keliat, 2009).

Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi

faktor presdisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor,

sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien (Stuart,

2006)

Tanda-tanda pada klien dengan halusinasi pendengaran :

27
28

2.3.1.1.Bicara, tersenyum dan tertawa sendiri

2.3.1.2.Klien mengatakan mendengankan sesuatu

2.3.1.3.Merusak diri sendiri dan lingkungan

2.3.1.4.Menarik diri dan menghindar dari orang lain

2.3.1.5.Tidak mampu melaksanakan diri sendiri seperti mandi, sikat gigi

dan berhias yang rapih.

2.3.2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Stuart (2006), diagnosa yang muncul pada halusinasi :

28
29

2.3.2.1.Ansietas

2.3.2.2.Defisit perawatan diri

2.3.2.3.Resiko bunuh diri

2.3.2.4.Gangguan konsep diri : harga diri rendah

2.3.2.5.Gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran

2.3.2.6.Koping keluarga tidak efektif

2.3.2.7.Koping individu tidak efektif

2.3.2.8.Resiko perilaku kekerasan

2.3.2.9.Isolasi social

2.3.2.10. Gangguan proses pikir

2.3.2.11. Gangguan Komunikasi Verbal

2.3.3. Rencana Keperawatan

Menurut Damaiyanti (2012), pada perencanaan ini berisikan tujuan

umum dan tujuan khusus :

29
30

2.3.3.1. Tujuan umum: berfokus pada penyelesaian permasalahan

dari diagnosis tertentu.

2.3.3.2. Tujuan khusus pada klien:

2.3.3.2.1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.

2.3.3.2.2. Klien dapat menganal halusinasinya.

2.3.3.2.2.1. Adakan kontak sering dan singkat secara

bertahap

2.3.3.2.2.2. Observasi tingkah laku klien terkait dengan

halusinasinya

2.3.3.2.2.3. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan

jika terjadi halusinasi dan beri kesempatan untuk

mengungkapkan perasaannya.

2.3.3.2.2.4. Diskusikan dengan klien apa yang dilakukan

untuk mengatasi perasaan tersebut

2.3.3.2.2.5. Diskusikan tempat yang akan dialaminya

bila klien menikmati haluisinasinya.

2.3.3.2.2.6. Jika klien tidak sedang berhalusinasi

klarifikasi isi tentang adanya pengalaman halusinasi.

30
31

2.3.3.2.2.7. Diskusikan dengan klien isi, waktu dan

frekuensi terjadinya halusinasi dan kondisi atau

situasi yang menimbulkan halusinasi.

2.3.3.2.3. Klien dapat mengontrol halusinasi

2.3.3.2.3.1. Identifikasi bersama klien cara atau tindakan

yang dilakukan jika terjadi halusinasi

2.3.3.2.3.2. Diskusikan cara yang digunakan klien

2.3.3.2.3.3. Diskusikan cara baru untuk memutuskan

atau mengontrol halusinsinya

2.3.3.2.3.4. Bantu klien memilih cara yang sudah

dianjurkan dan latih untuk mencobanya

2.3.3.2.3.5. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang

dipilih dan dilatih

2.3.3.2.3.6. Pantau pelaksanaan yang dipilih dan dilatih

jika berhasil beri pujian

2.3.3.2.3.7. Anjurkan klien mengikuti aktivitas

kelompok, orentasi realita, stimulus persepsi

2.3.3.2.4. Klien dapat memanfaatkan obat secara benar.

31
32

2.3.3.2.4.1. Diskusikan dengan klien tentang manfaat

dan kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosis,

cara, efek terapi dan efek samping penggunaan obat

2.3.3.2.4.2. Pantau klien saat penggunaan obat

2.3.3.2.4.3. Diskusikan akibat berhenti minum obat

tanpa konsultasi dokter atau perawat

2.3.3.2.4.4. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan

2.3.4. Evaluasi

Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari

tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dapat dibagi dua, yaitu

evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai

melaksanakan tindakan dan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan

dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum

yang telah ditentukan (Keliat, 2009).

32

Anda mungkin juga menyukai