PROFESI
‘KRISIS HIPERTENSI’
NIM: 702020043
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNOVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan Tugas
Pengenalan Profesi. Salawat dan salam selalu tercurah kepada
junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat, dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.
Saya menyadari bahwa laporan Tugas Pengenalan Profesi
(TPP) ini jauh dari sempurna oleh karena itu saya mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa
mendatang sangat saya harapkan. Dalam penyelesaian tugas
pengenalan profesi ini, saya banyak mendapat bantuan, bimbingan dan
saran. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih kepada Allah SWT, Pembimbing dr. Liza Chairani,
Sp.A.,M.Kes, Teman- teman seperjuangan dan semua pihak yang
terkait.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung saya dan
harapnya semoga laporan tugas pengenalan profesi ini bermanfaat bagi
kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam
perlindungan Allah SWT. Aamiin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas dari penyakit kardiovaskular. Hipertensi merupakan penyakit umum
yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri secara terus
menerus (Saseen and MacLaughlin, 2016). Hipertensi memiliki pengertian
dimana nilai tekanan darah sistolik >140 mmHg dan / atau nilai tekanan darah
diastolik > 90 mmHg (Williams et al., 2018). Tekanan darah yang sangat tinggi
dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target
maka keadaan klinis tersebut disebut juga krisis hipertensi.
Krisis hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
secara akut dan progresif (sistolik ≥ 180 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥
120 mmHg) yang membutuhkan penanganan segera.Gejala dan kerusakan
organ target yang disebabkan meningkatnya tekanan darah tidak selalu
berhubungan dengan tingginya tekanan darah. Pada umumnya krisis hipertensi
terjadi pada pasien hipertensi yang lalai meminum obat antihipertensi
Hipertensi membunuh hampir 8 miliyar orang setiap tahun di dunia dan
hampir 1,5 juta orang setiap tahunnya di kawasan Asia Timur-Selatan. Sekitar
sepertiga dari orang dewasa di Asia Timur-Selatan menderita hipertensi (WHO,
2015).
Menurut Chobanian et al. dalam The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure membagi krisis 2 hipertensi menjadi dua, yaitu hipertensi emergensi
(darurat) dan hipertensi urgensi (mendesak) (Palupi dan Rahmawati, 2015).
Hipertensi urgensi adalah situasi dimana tekanan darah meningkat sangat tinggi
dengan tekanan sistolik lebih dari 180 mmHg dan diastolik lebih dari 110
mmHg, akan tetapi tidak terdapat kerusakan organ terkait (Palupi Rahmawati,
2015). Sementara keadaan hipertensi emergensi ditandai dengan peningkatan
tekanan darah yang akut dan parah, sering lebih besar dari 180/110 mmHg
(biasanya dengan tekanan darah sistolik lebih dari 200 mmHg dan / atau tekanan
1
darah diastolik lebih besar dari 120 mmHg) terkait dengan adanya kerusakan
organ terkait (seperti jantung, otak, ginjal, mata, dan pembuluh darah perifer)
(Palupi dan Rahmawati, 2015).
Berdasarkan pedoman pengobatan hipertensi krisis, ada perbedaan
pemilihan antihipertensi untuk pengobatan hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Pengobatan dari hipertensi emergensi adalah menggunakan
antihipertensi parenteral, yaitu seperti golongan beta bloker (esmolol),
golongan Calcium Channel Blocker /CCB (nikardipin atau klevidipin), serta
nitrat. Berbeda halnya dengan hipertensi emergensi, manajemen pengobatan
hipertensi urgensi cukup dengan menggunakan antihipertensi oral.
Antihipertensi yang dapat digunakan untuk mengatasi hipertensi urgensi adalah
golongan beta bloker (labetalol) atau golongan central alpha-2 agonist
(klonidin). (Devicasearia A, 2014)
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari Krisis Hipertensi, teori-
teori dan tatalaksana dari Krisis Hipertensi.
2
1.4 Manfaat
Manfaat dari Kegiatan Tugas Pengenalan Profesi ini adalah agar
pembaca dan penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
Krisis Hipertensi.
3
BAB II
TEORI-TEORI
2,1 Pengertian
4
memerlukan penurunan tekanan darah secepat mungkin (dalam
menit sampai 2 jam) untuk mencegah atau mengurangi kerusakan
organ target.
2. Hipertensi Urgensi
Hipertensi urgensi di definisikan sebagai peningkatan tekanan
darah ≥ 180/120 mmHg yang tidak disertai dengan kerusakan
organ target. Hipertensi urgensi dapat terjadi tanpa gejala
(asimtomatik) maupun dengan gejala seperti epistaksis dan
nyeri kepala hebat. Kondisi ini berhubungan dengan
penghentian atau pengurangan pengobatan dan kondisi
kecemasan. Penurunan tekanan darah diharapkan terjadi dalam
kurun waktu 24-48 jam dengan pengobatan hipertensi
dan anticemas.
(Kaplan NM. 2002).
2.2.2 Epidemiologi
Pada pasien hipertensi kronik diperkirakan sekitar 1-2% akan
mengalami krisis hipertensi dalam kurun waktu hidupnya, diantaranya
hipertensi emergensi diperkirakan kurang lebih 25% kasus. Insiden
tahunan hipertensi emergensi diperkirakan sebanyak 1-2 kasus per
100.000 pasien. Faktor risiko yang paling penting didapatkan pada krisis
hipertensi adalah mereka yang tidak terdiagnosis atau tidak patuh
menjalani pengobatan. Mortalitas selama perawatan di rumah sakit pada
krisis hipertensi diperkirakan sebanyak 4-7%. Angka kematian dalam 1
tahun diantara pasien dengan hipertensi emergensi mencapai angka lebih
dari 79%.
(Ramos, 2014)
5
2.2.3 Etiologi
Dikatakan krisis hipertensi jika tekanan darah meningkat, terutama
peningkatan tekanan darah diastole. Tidak ada patokan yang absolut,
tetapi apabila tekanan darah diastole berada dalam rentang 120-130
mmHg, hal tersebut dapat menjadi dasar penentuan keadaaan krisis Hal
hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain
karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas
autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut,
cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeklampsia dan
eklampsia.
(Leong & Manning, 2004)
2.2.4 Patofisiologi
Peningkatan tekanan darah yang tinggi secara akut yang dapat dipicu
oleh beberapa faktor seperti kelainan hormonal tertentu, misalnya krisis
tiroid, krisis feokromositoma, kehamilan dengan
preeclampsia/eklampsia, penyalahgunaan obat – obat tertentu seperti
cocaine dan amfetamin, luka bakar, trauma kepala, glomerulonephritis
akut, pembedahan dan lain – lain.
Krisis hipertensi berawal dari kegagalan fungsi autoregulasi
dalam menjaga aliran darah yang sesuai untuk mengkompensasi
peningkatan resistensi vaskular sistemik. Endotelium memiliki peran
utama dalam mengatur tekanan darah. Endotelium mengeluarkan
nitric oxide dan prostacyclin yang dapat memodulasi tekanan
vaskular. Disamping itu peran sistem renin angiotensin juga
sangat mempengaruhi terjadinya krisis hipertensi.
Peningkatan tekanan darah secara drastis dan menetap
dalam waktu yang lama menyebabkan respon vasodilatasi
endothelium berkurang dan melepaskan vasokonstriktor yang
semakin meningkatkan resistensi vaskular. Vasokonstriktor juga
menyebabkan jejas endotel lebih lanjut, deposisi platelet dan fibrin,
aktivasi kaskade pembekuan hingga terbentuk trombus akan
berakibat pada penurunan suplai darah ke beberapa organ
6
yang kemudian akan membentuk suatu siklus yang
berkelanjutan antara cedera vascular-iskemia jaringan dan
pelepasan zat vasokonstriktor.
Zat vasokontriktor ,seperti renninangiotensin dan
katekolamin,sebagai mekanisme kompensasi yang semakin
mempertinggi peningkatan tekanan darah sehingga terjadi pula
natriuresis spontan yang mengakibatkan penurunan volume
intravascular.Kedua jalur mekanisme tersebut akan mengakibatkan
peningkatan tekanan darah yang semakin tinggi sehingga menimbulkan
iskemia jaringan dan pada akhirnya menyebabkan disfungsi organ.
(Born, 2011)
2.2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang timbul pada pasien krisis hipertensi adalah
sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini . Manifestasi
klinis hipertensi urgensi antara lain: meningkatnya tekanan darah, sakit
kepala yang parah, kecemasan, sesak napas (Sheps, 2009). Sedangkan
manifestasi klinis dari hipertensi emergensi yaitu terdapat kerusakan
organ, misalnya perubahan status mental sepertipada ensefalopati,
stroke, gagal jantung,angina, edema pa ru, serangan jantung,
aneurisma , eklampsi.
7
(Risa, 2010)
Gangguan penglihatan dapat disebabkan edema dan perdarahan
retina, dapat berupa penglihatan kabur hingga buta kortikal. Dilakukan
Pemeriksaan funduskopi untuk mengetahui ada tidaknya edema papil
atau perdarahan retina. Edema papil ditemukan pada 35 persen, dan tidak
adanya edema papil tidak menyingkirkan kemungkinan hipertensi
ensefalopati. Gangguan ginjal dapat ditandai dengan edema, oliguria,
hematuria, dan penurunan fungsi ginjal. Manifestasi klinis lain dapat
terlihat sebagai gagal jantung atau edema paru. Kejang ditemukan pada
92% pasien, dapat berupa kejang umum atau fokal. Dapat ditemukan
tanda-tanda gagal jantung seperti dispnu, peningkatan tekanan vena
jugularis, takikardia, kelainan pada elektrokardiografi maupun
pemeriksaan lainnya.
(Risa, 2010)
8
2.2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Dari anamnesis perlu digali riwayat hipertensi sebelumnya,
keteraturan konsumsi obat hipertensi dan jenis obat hipertensi
yang diminum. Kemudian perlu dicari kemungkinan kerusakan
pada organ target.
• Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
• Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
• Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
• Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan
mental, ansietas ).
• Gejala sistem ginjal (gross hematuri, jumlah urine
berkurang).
• Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung,
kongestif dan oedem paru, nyeri dada ).
• Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
• Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang teliti dilakukan pada organ target
yang dicurigai terkena kerusakan berdasarkan anamnesis.
Pengukuran tekanan darah dilakukan di kedua lengan.
Dilakukan pula palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas.
Auskultasi dilakukan untuk mendengar adnya bruit di
pembuluh darah besar, bising jantung dan ronki paru.
Pemeriksaan funduskopi dan pemeriksaan neurologis umum
juga penting dilakukan.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
a. Pemeriksaan yang segera seperti :
9
• darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.
• urine : Urinelisa dan kultur urine.
• EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
• Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu
setelah pengobatan terlaksana ).
b, Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil
pemeriksaan yang pertama ) :
• sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus
tertentu ), biopsi renald ( kasus tertentu ).
• menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi :
Spinal tab, CAT Scan.
• Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk
Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).
2.2.7 Prognosis
Sebuah penelitian melaporkan bahwa dampak dari krisis
hipertensi biasanya memberikan hasil yang buruk. Studi pada 315 pasien
dengan krisis hipertensi menunjukkan hanya 40% dari pasien masih
hidup setelah 33 bulan. Penyebab utama kematiannya adalah gagal ginjal
(39,7%), stroke (23,8%) infark miokard (11,1%), dan gagal jantung
(10,3%). Pada penelitian lain dalam 1 tahun masa studi, mortalitas pada
pasien hipertensi emergensi yang tidak tertangani adalah sebesar 79%,
sedangkan angka harapan hidup 5 tahun (5 years survival rate) pada
kasus yang diterapi adalah sebesar 74%. Penelitian ini menunjukan
bahwa penanganan krisis hipertensi yang efektif dapat meningkatkan
prognosis pada pasien.
(Chakraborty S. 2017).
10
2.3 Tatalaksana
11
2.4 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada penderita krisis hipertensi adalah
1. Iskemia atau infark miokard
Iskemia atau infark miokard merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
hipertensi berat. Tekanan darah harus diturunkan sampai nyeri dada
berkurang atau sampai tekanan diastolik mencapai 100 mmHg.
2. Gagal jantung kongestif
Peningkatan resistensi vaskuler sistemik yang mencolok dapat
menimbulkan gagal jantung kiri. Natrium nitroprusid yang diberikan
bersama-sama dengan oksigen, morfin, dan obat pilihan lain dapat
menurunkan preload dan afterload.
3. Diseksi aorta akut
Diseksi aorta harus dipikirkan pada pasien dengan peinggian tekanan darah
yang mencolok yang disertai dengan nyeri di dada, punggung, dan perut.
Untuk menghentikan perluasan diseksi, tekanan darah harus segera
diturunkan. Tekanan darah diastolik harus segera diturunkan sampai 100
mmHg, atau lebih rendah asal tidak menimbulkan hipoperfusi organ target.
4. Insufisiensi ginjal
Pada pasien cangkok ginjal peninggian tekanan darah dapat disebabkan
stenosis arteri pada ginjal cangkok, siklosporin, kortikosteroid, dan sekresi
renin yang tinggi oleh ginjal asli.
5. Krisis katekolamin
Krisis katekolamin terjadi pada feokromositoma dan kelebihan dosis
kokain. Pada intoksikasi obat tersebut biasanya disertai kejang, stroke, dan
infark miokard.
(Alwi, 2016)
12
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 30 tahun dengan penyakit ginjal stadium akhir
yang mengeluh kehilangan penglihatan tanpa rasa sakit setelah melewatkan
beberapa kali terapi cuci darah atau hemodialisis. Pasien berada dalam krisis
hipertensi dengan tekanan darah 225/115 mmHg. Pemeriksaan funduskopi
mengungkapkan pembengkakan diskus, perdarahan retina difus, dan pembuluh
darah sklerotik dan melemah dengan selubung di kedua mata.
13
Patologi mengungkapkan pannus kornea, penggantian membran Bowman
dengan jaringan fibrovaskular dan neovaskularisasi iris dan sudut dengan
penutupan sudut lengkap. Ada ablasi retina lengkap dengan gliosis luas.
14
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus merupakan retinopati hipertensi tahap akhir dari nefropati IgA
yang mengakibatkan infark retina dan koroid masif dengan kehilangan penglihatan
yang parah pada kedua mata. Retinopati hipertensi adalah suatu kondisidengan
karakteristik perubahan vaskularisasi retinapada populasi yang menderita
hipertensi. Retinopati hipertensi merupakan salah satu kerusakan target organ
akibat tekanan darah tinggi, yang dapat menimbulkan kelainan-kelainan retina dan
pembuluh darah di retina. (Erden,2012)
Studi yang dilakukan oleh Grundwald et al pada tahun 2012 di Amerika
Serikat menunjukan bahwa retinopati hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki
persamaan dalam perubahan endotel, yaitu penebalan membran basalis, lapisan
muskular dan kebocoran. Penyempitan venula retina juga berhubungan dengan
GFR (glomerulous filtration rate) yang rendah. Studi CRIC (Chronic Renal
Insufficiency Cohort) menunjukan adanya hubungan antara derajat keparahan
retinopati hipertensi dengan penyakit kardiovaskular, selanjutnya, studi oleh
NHANES I melaporkan terjadinya peningkatan resiko penyakit kardiovaskular
pada penderita retinopati hipertensi.
Nefropati IgA (juga dikenal sebagai Berger's adalah kondisi yang
diperantarai komplemen yang ditandai dengan glomerulonefritis dan
perkembangan penyakit ginjal stadium akhir pada sekitar 40% individu. Awalnya,
ini adalah diagnosis yang diduga, kemungkinan disebabkan oleh usia pasien dan
kurangnya penyakit sistemik lain yang diketahui menyebabkan penyakit ginjal.
Biopsi ginjal sebelumnya telah dibatasi oleh fibrosis ginjal tahap akhir.
Dalam kasus ini, morbiditas signifikan dari retinopati hipertensi yang tidak
terkontrol menyebabkan enukleasi, yang membantu mengkonfirmasi dugaan
diagnosisnya melalui imunohistopatologi. Retinopati proliferatif dan komplikasi
neovaskular yang parah seperti itu jarang terjadi pada retinopati hipertensi tetapi
didukung oleh penelitian yang menunjukkan keparahan retinopati dikaitkan dengan
15
fungsi ginjal yang lebih rendah. Lebih lanjut, perubahan mikrovaskular yang
terlihat pada retinopati hipertensi merupakan indikator kerusakan organ akhir
lainnya serta kejadian klinis di masa depan seperti stroke dan kejadian jantung.
16
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
• Untuk mahasiswa diharapkan dapat lebih memahami materi dari krisis
hipertensi dan dapat menerapkannya ketika praktek nyata di rumah sakit.
• Untuk masyarakat diharapkan dapat menjaga pola hidup dan hati-hati
dalam mengkonsumsi obat-obatan agar tidak mengganggu kesehatan
tubuh yang lainnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, et. al. (2016). Krisis Hipertensi dalam Penatalaksanaan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam: Panduan Praktis Klinis. Jakarta: Internal Publishing.
Grunwald JE, Alexander J, Ying GS, Maguire M, Daniel E, Martin RW, et al.
Retinopathy and chonic kidney disease in the chronic renal inssuficiency
http://jurnal.fk.unand.ac.id 266 Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2) cohort
(CRIC) study. Arch Ophthalmol. 2012; 130(9):1136–44.
Leong, B. & Manning, P. 2004. Hypertensive Crises in the Book: Guide to The
Essentials in Emergency Medicine. Singapore: McGraw-Hill Education
18
Rahmawati, Rosdiana Palupi. 2016. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH) terhadap Tekanan Darah pada
Penderita Hipertensi di Desa Salamrejo, Sentolo, Kulon Progo. Naskah
Publikasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Van der Born, B. J. H., et all. (2011). Dutch guideline for the management of
hypertensive crisis – 2010 revision. The journal of medicine, 69 (5).
WHO. World Health Statistic Report 2015. Geneva: World Health Organization;
2015.
19
LAMPIRAN
20
21
22