NIM : 20407144022
1
Sugeng Pujileksono, Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Malang: Kelompok Intrans Publishing, 2015), 64.
2
Phen W. Littlejohn, Karen A. Foss, Teori Komunikasi Theories Of Human Communication, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2012), 57.
memberikan makna atas sesuatu tindakan kreatif yakni tindakan menuju pemaknaan. Dapat
disimpulkan kajian fenomenologi ini Sebuah kesadaran dari pengalaman didefinisikan
sebagai keadaan yang memberikan sudut pandang pengalaman dari orang pertama. Jadi
fenomenologi berusaha untuk memahami bagaimana seseorang mengalami dan memberi
makna pada sebuah pengalaman. Inilah yang disebut dengan metode fenomenologi yang
sesungguhnya. Sederhananya saja seperti duka cita Duka cita adalah fenomena yang
dialami oleh individu secara universal. Duka cita memiliki esensi universal yang dialami
oleh individu terlepas dari siapa objek yang hilang atau meninggalkannya sehingga
sekelompok individu tersebut berduka. Entah orang terdekatnya yang hilang atau hewan
peliharaan yang disayanginya, duka cita memiliki esensi universal sehingga sangat
mungkin diteliti secara fenomenologis. Secara khusus contohnya contoh fenomena HIV
atau AIDS. Penelitian kita fokuskan pada fenomena berupa perlakuan diskriminatif yang
menjadi pengalaman hidup para penderita HIV. Fokus penelitian demikian bisa dilakukan
dengan mengaplikasikan metode fenomenologi. Studi fenomenologis tentang fenomena
perlakuan diskriminatif berusaha untuk mengungkap apa kesamaan pengalaman hidup
yang dialami oleh para penderita HIV/AIDS yang mendapat perlakuan diskriminatif dalam
masyarakat serta bagaimana mereka mengalaminya
2. Apakah yang dimaksud teori etnometodologi? Jelaskan beserta contohnya !
a. Eksperimen Pelanggaran
3
Har Ritzer, G. Dan Goodman, D. J. 2008. Teori Sosiologi Modern (Terjemahan Alimandan). Jakarta: Kencana
Prenada Media . Hlm 417
Agnes, jika dilihat dari rupa, bentuk tubuh, corak kulit dan make up yang digunakannya,
jelaslah terlihat bahwa dia terlihat seorang wanita. Kenyataannya sejak lahir dia
ditakdirkan sebagai seorang laki-laki. Pada saat berusia 16 tahun dia merasa serba salah
karena dengan fisik seorang laki-laki tetapi jiwanya wanita, keadaan tersebut merasa
dirinya serba salah, hingga pada saat itu agnes lari dari rumah dan mulai berpakaian seperti
seorang gadis. Dia segera mengetahui bahwa dengan berpakaian wanita saja beum cukup,
dia belajar bertindak seperti wanita karena dia ingin diterima sebagai wanita. Garfinkel
tertarik pada penerimaan kebiasaan yan memungkinkan agnes berfungsi sebagai seorang
wanita dalam masyarakat. Pendapat yang lebih umum disini adalah bahwa kita tak lahir
semata-mata laki-laki atau wanita, kita semua juga belajar dan membiasakan diri dengan
kebiasaan sehari yang memungkinkan kita diterima sebagai laki-laki atau wanita. Menurut
pengertian sosiologi, hanya dengan mempelajari dan menggunkan kebiasaan inilah kita
dapat menjadi seorang laki-laki atau wanita. Jadi, penggolangan seperti ini yang selama ini
dipikirkan sebagai status yang diwarisi dapat dipahami sebagai kecakapan menyusun
kebiasaan yang ditetapkan.
c. Interview kerja
d. Negosiasi Eksekutif
Anderson, Hugnes dan Sharrock (1987) meneliti ciri negoisasi di kalangan eksekutif bisnis.
Salah satu temuan mereka tentang negoisasi di kalangan eksekutif bisnis ini adalah mereka
sangat logis, obyektif dan impersonal:
Segala sesuatu di selesaikan dengan penuh pertimbangan, terukur, masuk akal. dalam
bernegosiasi ini mereka tidak melibatkan rasa permusuhan pribadi. ini adalah sekedar
pekerjaan mereka, bagian dari kerja sehari-hari mereka…… rasa permusuhan, perselisihan
pendapat, dan percekcokan selalu ditahan, dikuasai, dikendalikan bila kesepakatan tidak
dapat dicapai kini, ditangguhkan dulu.(Anderson,Hugnes dan Sharrock,1987:155)
e. Menelpon pusat gawat darurat
Whalen dan zimmerman (1987) meneliti panggilan telepon demikian mengarahkan pada
pengurangan kata pembukaan percakapan telepon. Dalam percakapan telopon normal kita
biasanya menemukan secara berurutan jawaban panggilan, pengenalan, jati diri, salam, dan
“apa kabar”. Dalam panggilan darurat, rentetan pembukaan percakapan dikurangi dan
pengenalan, salam dan “apa kabar” ditiadakan.
Dalam studi serupa, Whalen Zimmerman dan Whalen (1988) melihat kepercakapan
telepon gawat darurat yang gagal, yang menyebabkan keterlambatan pengiriman ambulans
dan kematian seorang wanita. Meski media massa mengutuk penerimah telepon dalam
insiden ini, Whalen Zimmerman dan Whalen menemukan masalahnya pada sifat khusus
dari percakapan telopn gawat darurat :
Penelitian kami mengungkapkan bahwa pemahaman peserta agak berbeda mengenai apa
yang terjadi dan mereka mempunyai perkiraan yang berbeda mengenai apa yang di sangka
terjadi dalam percakapan telepon itu. Selama percakapan berlangsung, baik penelpon
maupun perawat yang menerimah (dan pengawasannya), terus memperluas dan
memperdalam perbedaan pemahaman ini. perbedaan pemahaman ini menyebabkan cekcok
yang memperburuk dan mengubah aktivitas kedua pihak (Whalen,Zimmerman.dan
Whalen,1988:358).
Jadi, sifat percakapan khusus itulah, bukan kemampuan penerimah telepon, yang menjadi
“penyebab”perbedaan pemahaman.
f. Resolusi perselisihan dalam mediasi
Angela garcia (1991) menganalisi penyelesaian konflik dalam sebuah program di carfornia
yang dirancang untuk mengetahui berbagai jenis percekcokan-antara tuan tanah dan
penyewa menyangkut sejumlah kecil uang, dan percekcokan dikalangan anggota keluarga
atau teman. Tujuan akhir analisis garcia adalah untuk membandingkan cara penyelesaian
konfilik yang sudah terlembaga yang terjadi dalam percakapan biasa. Kesimpulan utama
garcia adalah bahwa lembaga penengah membuat penyelesaian konflik yang jauh lebih
mudah dengan melenyapkan proses yang menyebabkan meningginya tingkat percekcokan
dalam percakapan biasa. Bila argumen muncul dalam mediasi, prosedur yang ada, yang tak
ada dalam percakapn biasalah yang membuat konflik berakhir.
Mediator terutama berupaya membatasi kemungkinan dakwaan dan sangkalan langsung
oleh kedua belah pihak yang bercekcok perang mulut seperti itu besar kemungkinanannya
menyebabkan konfilik dan mediator berupaya mencegah terjadinya dan segera bertindak
begitu mulai.untuk menghentikan perang mulut,mediator dapat mencobah mengubah
pokok pebicaraan,mengalihkan arah pertanyaan atau sanksi percekcokan.
Berbeda dengan Clayaman dalam studinya tentang ejekan, garcia tak menyatakan bahwa
struktur interaksi dalam mediasi serupah dengan struktur interaksi dalam kehidupan sehari-
hari. Menurut garcia, aturan interaksi dalam stem mediasi sangat berbeda. Tetapi, seperti
Clayaman dan analis percakapan, Garcia (1991:883) melihat kunci untuk memahami apa
yang terjadi dalam struktur sosial atau normatif mediasi.
4
Rvan Januta, Nim. 99513171 (2003) Teori Strukturasi Anthony Giddens. Skripsi Thesis, Uin Sunan Kalijaga.
Kata profetik berasal dari bahasa Inggris “prophet”, yang berarti nabi. Menurut Ox-ford
Dictionary “prophetic” adalah (1) “Of, pertaining or proper to a prophet or prophe-cy”;
“having the character or function of a prophet”; (2) “Characterized by, containing, or of
the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri
seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan.Profetik di sini dapat kita terjemahkan
menjadi “kenabian”5. Ilmu sosial profetik ingin ditampilkan sebagai ilmu sosial yang tidak
hanya memberikan penjelasan tentang realitas sosial dan mentransformasikannya, tapi
sekaligus memberi petunjuk kearah mana transformasi itu dilakukan dan untuk tujuan apa.
Ilmu sosial profetik tidak sekedar merubah demi perubahan sendiri tepi merubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.Teori Profetik adalah salah satu gagasan
penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk
menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tetapi lebih
dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang
diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu
sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi merupakan
landasan ontologis, kemudian liberasi adalah landasan epistemologis, dan transendensi
sebagai landasan aksiologis. Oleh karena transendensi dipandang sebagai nilai yang dituju,
maka keberadaan manusia dan kehidupan mereka diabdikan kepada tujuan-tujuan
transendensi itu.
Humanisasi dimaknai sebagai upaya memanusiakan manusia. Posisi manusia di sini adalah
sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Apabila dipakai pendekatan humanisme, maka humanisme
seperti ini disebut sebagai humanisme teosentris, yang bertolak belakang dengan
humanisme era modern, terlebih-lebih pandangan kaum materialis seperti Ludwig
Feuerbach (1804 – 1872) yang memandang Tuhan sebagai hasil proyeksi manusia belaka.
Jadi, alih-alih manusia sebagai proyek teosentris, justru Tuhan menjadi proyek
antroposentris. Humanisme dalam ilmu sosial profetik juga tidak sejalan dengan
rasionalisme yang berkembang di Barat, yang menjadikan manusia sebagai penentu
segalanya. Dengan “kecerdasan”-nya manusia menjadi pencipta mesin-mesin perang dan
mengeksploitasi alam, sehingga humanisme yang ditawarkan era modern malahan
5
Kuntiwijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta:Mizan, 2004). Hal 97
mendegradasi kemanusiaan itu sendiri. Menurut Barker (2011) Strukturasi mengandung
tiga dimensi, yaitu sebagai berikut: Pertama, pemahaman (interpretation / understanding),
yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat,
yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan
dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.
Liberasi adalah upaya membebaskan manusia dari sistem pengetahuan, sosial, ekonomi,
dan politik yang membelenggu manusia. Kuntowijoyo melihat manusia banyak yang masih
hidup dalam hegemoni kesadaran palsu. Sebagai contoh, manusia hidup berdasarkan mitos,
bukan logos. Beragama juga dengan cara-cara bermitos, meyakini ajaran agama itu tetapi
tidak mengamalkannya. Liberasi juga ingin membebaskan manusia dari dominasi
struktural, yang membuat manusia terjerat dalam pemerasan dan kemiskinan.
Transendensi adalah upaya mengarahkan tujuan hidup manusia agar bisa hidup secara
bermakna. Nilai-nilai transendental ini adalah nilai-nilai ketuhanan sebagaimana diajarkan
di dalam Islam. Nilai-nilai ketuhanan ini yang mengarahkan manusia untuk menemukan
nilai-nilai luhur kemanusiaan; atau dengan perkataan lain mengajak manusia menjalankan
nilai-nilai kemanusiaan itu menuju ke nilai-nilai ketuhanan.
Daftar Pustaka
Ashaf, F. Abdul. 2006. Pola Relasi Media, dan Masyarakat: Teori Strukturasi Anthony Giddens
Sebagai Alternatif. Jurnal Sosiohumaniora Universitas Lampung. Vol 8, No. 2. Juli.
Sugeng Pujileksono. 2015. Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Malang: Kelompok Intrans
Publishing
Phen W. Littlejohn, Karen A. Foss. 2012. Teori Komunikasi Theories Of Human
Communication. Jakarta: Salemba Humanika, 2012)
Har Ritzer, G. Dan Goodman, D. J. 2008. Teori Sosiologi Modern (Terjemahan Alimandan).
Jakarta: Kencana Prenada Media .
Rvan Januta, Nim. 99513171 (2003) Teori Strukturasi Anthony Giddens. Skripsi Thesis, Uin
Sunan Kalijaga.
Kuntiwijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta:Mizan, 2004).
Sadullah. Uyoh. 2003. Pengantar filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta
Polak. Mayor, 1985. Sosiologi, Jakarta :PT. Ichtiar Baru
Kuper, Adam, Kuper, Jesika 2000.Ensklopedi ilmu-ilmu sosial. (Jakarta: Raja
Grapindo Persada).