Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN MEDIKAL NON BEDAH

“Efektivitas Perawatan Luka Teknik Balutan Wet Dry Dan Moist Wound
Healing Pada Penyembuhan Ulkus Diabetik”

Disusun Oleh :
LESTARI NINGSIH 22221067

Pembimbing Akademik : Sukron, S.Kep.,Ns., MNS

PROGRAM PROFESI NERS


INSTITUTE ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian
American Diabetes Association (2016) menyatakan bahwa Diabetes
Melitus (DM) adalah penyakit metabolik ditandai dengan hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes
Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah) atau ketika
tubuh tidak dapat secara aktif menggunakan insulin yang dihasilkan (World
Health Organization, 2016. Diabetes Melitus (DM) adalah keadaan kronis yang
terjadi ketika adanya peningkatan kadar glukosa darah karena tubuh yang tidak
dapat mengunakan insulin secara efektif atau tidak menghasilkan cukup hormon
insulin (International Diabetes Federation, 2017).

B. Etiologi
Menurut Padila (2012), etiologi diabetes melitus adalah :
1. Diabetes Tipe 1
a. Faktor genetik
Pasien diabetes sendiri tidak mewarisi diabetes tipe 1 dengan sendirinya,
tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kerentanan genetik dari diabetes
tipe 1, dan kerentanan genetik ini ada pada individu dengan antigen tipe
HLA.
b. Faktor-fakror imunologi
Terdapat reaksi autoimun yang merupakan reaksi abnormal di mana
antibodi secara langsung terarah pada jaringan manusia normal dengan
bereaksi terhadap jaringan yang dianggap sebagai benda asing yaitu
autoantibodi terhadap sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Toksin atau virus tertentu yang dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
2. Diabetes Tipe 2
Mekanisme pasti yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe 2 masih belum jelas. Faktor genetik berperan dalam
perkembangan resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a. Usia
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga

C. Manifestasi klinis
Menurut Febrinasari et al (2020), manifestasi klinis diabetes melitus adalah:
1. Poliuria (sering kencing)
2. Polidipsia (sering merasa haus)
3. Polifagia (sering merasa lapar)
4. Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
Selain hal-hal tersebut, gejala lain adalah:
1. Mengeluh lemah dan kurang energi
2. Kesemutan di tangan atau kaki
3. Mudah terkena infeksi bakteri atau jamur
4. Gatal
5. Mata kabur
6. Penyembuhan luka yang lama.
Manifestasi klinis diabetes melitus menurut (Riyadi, 2011) adalah :
1. Tipe IDDM seperti :
a. Poliuria, polipagia, polidipsia, BB menurun, lemah, dan somnolen
berlangsung beberapa hari atau minggu.
b. Ketoasidosis dan dapat meninggal jika tidak segera ditangani.
c. Biasanya memerlukan terapi insulin untuk mengontrol karbohidrat.
2. Tipe NIIDM seperti :
a. Jarang menunjukkan gejala klinis
b. Diagnosis didasarkan pada tes darah laboratorium dan tes toleransi
glukosa.
c. Hiperglikemia berat, poliuria, poliuria, kelemahan dan kelesuan.
d. Jarang menderita ketoasidosis.

D. Komplikasi
Menurut Febrinasari et al (2020) komplikasi diabetes melitus ada 2 (dua) yaitu
1. Komplikasi diabetes melitus akut
Komplikasi diabetes akut dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu naik turunnya
kadar gula darah secara drastis. Keadaan ini membutuhkan perhatian medis
segera, karena jika terlambat dapat menyebabkan hilangnya kesadaran,
kejang dan kematian. Terdapat 3 macam komplikasi diabetes melitus akut:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan kondisi dimana turunnya kadar gula
darah secara drastis akibat terlalu banyak insulin dalam tubuh, terlalu
banyak mengonsumsi obat penurun gula darah, atau terlambat makan.
Gejala berupa penglihatan kabur, detak jantung cepat, sakit kepala,
gemetar, berkeringat dingin dan pusing. Kadar gula darah yang terlalu
rendah dapat menyebabkan pingsan, kejang, bahkan koma.
b. Ketosiadosis diabetik (KAD)
Ketosiadosis diabetik merupakan keadaan darurat medis yang
disebabkan oleh kadar gula darah yang tinggi. Ini merupakan
komplikasi penyakit diabetes yang terjadi ketika tubuh tidak dapat
menggunakan gula atau glukosa sebagai sumber bahan bakar, sehingga
tubuh mengolah lemak dan menghasilkan keton sebagai sumber energi.
Jika tidak segera mencari pertolongan medis, kondisi ini dapat
menyebabkan penumpukan asam yang berbahaya di dalam darah,
sehingga dapat menyebabkan dehidrasi, koma, sesak napas, bahkan
kematian.
c. Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS)
Situasi ini juga merupakan salah satu situasi darurat, dan tingkat
situasi ini juga merupakan salah satu situasi darurat dimana angka
kematian mencapai 20%. Terjadinya HHS disebabkan oleh peningkatan
mortalitas sebesar 20%. HHS terjadi karena lonjakan kadar glukosa
darah yang sangat tinggi selama periode waktu tertentu. Gejala HHS
ditandai dengan rasa haus, kejang, kelemahan dan gangguan kesadaran
yang menyebabkan koma. Selain itu, penyakit diabetes yang tidak
terkontrol juga dapat menyebabkan komplikasi serius lainnya yaitu
hiperglikemia non ketosis dan sindrom hiperglikemia. Komplikasi akut
diabetes adalah kondisi medis serius yang memerlukan perawatan dan
pemantauan oleh dokter di rumah sakit.
2. Komplikasi diabetes melitus kronis
Seringkali komplikasi jangka panjang secara bertahap terjadi saat
diabetes tidak terkontrol dengan baik. Tinggi kadar gula darah yang tidak
terkontrol dari waktu ke waktu akan menyebabkan kerusakan serius pada
semua organ tubuh Beberapa komplikasi jangka panjang pada penyakit
diabetes melitus menurut Febrinasari et al., 2020 yaitu:
a. Gangguan pada mata (retinopati diabetik)
Tingginya kadar gula darah bisa membahayakan pembuluh darah di
retina yang berpotensial menyebabkan kebutaan. Kerusakan pembuluh
darah di mata juga meningkatkan risiko gangguan penglihatan, seperti
katarak dan glaukoma. Deteksi dini dan pengobatan retinopati dapat
dicegah atau ditunda secepat mungkin kebutaan. Dorong penderita
diabetes menjalani pemeriksaan mata secara teratur.
b. Kerusakan ginjal (nefropati diabetik)
Kerusakan ginjal yang disebabkan oleh DM disebut dengan nefropati
diabetik. Situasi ini bisa menyebabkan gagal ginjal dan bahkan bisa
mengakibatkan kematian jika tidak ditangani dengan baik. Saat terjadi
gagal ginjal, pasien harus melakukan dialisis rutin atau transplantasi
ginjal. Dikatakan bahwa diabetes adalah silent killer, karena biasanya
tidak menimbulkan gejala khas pada tahap awal. Namun, pada stadium
lanjut, gejala seperti anemia, kelelahan, pembengkakan pada kaki, dan
gangguan elektrolit dapat terjadi. Diagnosis dini, kontrol gula darah dan
tekanan darah, manajemen pengobatan pada tahap awal kerusakan
ginjal, dan membatasi asupan protein adalah cara yang bisa dilakukan
dalam menghambat perkembangan diabetes yang menyebabkan gagal
ginjal.
c. Kerusakan saraf (neuropati diabetik)
Diabetes juga dapat merusak pembuluh darah dan saraf, terutama saraf
di kaki. Kondisi ini disebut neuropati diabetes, ini karena saraf
mengalami kerusakan baik secara langsung akibat tingginya gula darah,
maupun karena penurunan aliran darah menuju saraf. Rusaknya saraf
dapat menyebabkan gangguan sensorik dengan gelaja berupa mati rasa,
kesemutan, dan nyeri. Kerusakan saraf juga bisa mempengaruhi saluran
pencernaan (gastroparesis). Gejalanya berupa mual, muntah dan cepat
merasa kenyang saat makan. Pada pria, komplikasi diabetes bisa
menyebabkan disfungsi ereksi atau impotensi. Komplikasi ini dapat
dicegah dan penundaan hanya bila diabetes terdeteksi sejak dini agar
kadar gula darah bisa terkontrol melalui pola makan dan gaya hidup
sehat dan minum obat yang sesuai rekomendasi dokter.
d. Masalah kaki dan kulit
Komplikasi yang juga sangat umum adalah masalah kulit dan luka pada
kaki yang sulit sembuh. Ini karena kerusakan pembuluh darah dan saraf
serta aliran darah kaki yang sangat terbatas. Gula darah yang tinggi bisa
mempermudah bakteri dan jamur berkembang biak. Selain itu, akibat
diabetes, kemampuan tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri juga
berkurang. Jika tidak dirawat dengan baik, kaki penderita diabetes
berisiko mengalami cedera dan infeksi, yang dapat menyebabkan
gangren dan ulkus diabetes. Perawatan luka di kaki penderita diabetes
adalah dengan memberi antibiotik, perawatan luka yang baik, hingga
dapat diamputasi jika jaringan rusak ini sudah parah.
e. Penyakit kardiovaskular
Kadar gula darah yang tinggi bisa menyebabkan rusaknya pembuluh
darah sehingga seluruh sirkulasi darah tersumbat termasuk jantung.
Komplikasi yang menyerang jantung dan pembuluh darah yaitu
penyakit jantung, stroke, serangan jantung dan penyempitan arteri
(aterosklerosis).

E. Patofisiologi dan pathway


Pada diabetes tipe 2 tedapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu: resistensi dan gangguan sekresi insulin. Kedua masalah
inilah yang menyebabkan GLUT dalam darah aktif (Brunner & Suddarth, 2015).
Glukose Transporter (GLUT) yang merupakan senyawa asam amino yang
terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa.
Insulin mempunyai tugas yang sangat penting pada berbagai proses metabolisme
dalam tubuh terutama pada metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat
berperan dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh,
terutama pada otot, lemak dan hepar. Pada jaringan perifer seperti jaringan otot
dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate)
yang terdapat pada membrane sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor
akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses metabolisme
glukosa di dalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang
sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksinya berperan
dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (Manaf A, 2010).
Proses sintesis dan transaksi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan
glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolisme. Untuk
menghasilkan suatu proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan
mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin
yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi
jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya
diabetes, khususnya diabetes melitus tipe 2 (Manaf A, 2010).
Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena sebetulnya insulin tersedia, tetapi
tidak bekerja dengan baik dimana insulin yang ada tidak mampu memasukkan
glukosa dari peredaran darah untuk ke dalam sel-sel tubuh yang memerlukannya
sehingga glukosa dalam darah tetap tinggi yang menyebabkan terjadinya
hiperglikemia (Soegondo, 2010). Hiperglikemia terjadi bukan hanya disebabkan
oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga
terjadi rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin).
Defisiensi dan resistensi insulin ini akan memicu sekresi hormon glukagon dan
epinefrin. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula meningkatkan
glikogenolisis yaitu pemecahan glikogen menjadi glukosa dan kemudian
meningkatkan glukoneogenesis yaitu pembentukan karbohidrat oleh protein dan
beberapa zat lainnya oleh hati. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta
glikogenolisis dan proteolisis di otot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino
(alanin dan aspartat) merupakan bahan baku glukoneogenesis hati.
Faktor atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan
mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa
akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses
kerusakan berbagai jaringan tubuh (Manaf A, 2010).
Pathway

Diabetes melitus tipe 1 Diabetes melitus tipe 2 Diabetes melitus gestasional

Obesitas, gaya hidup


Genetik
tidak sehat, kurang gerak Pengeluaran hormone
estrogen, progesterone dan
Kerusakan sel beta pankreas Retensi insulin hormone kehamilan

Hiperglikemia Resiko ketidakstabilan


kadar glukosa darah
Menyerang kulit dan
infeksi jaringan subkutan

Menyerang secara sistemik

Mekanisme radang

Akselerasi Edema Kurang informasi Luka


deakselerasi saraf kemerahan tentang penyakit dan terkontaminasi
jaringan sekitas penatalaksanaannya mikroorganisme
Nyeri
Nyeri tekan Mikroorganisme System imun
otot menginfeksi dermis berespons dgn
dan subkutis menaikan
antibody
Gangguan rasa
nyaman dan nyeri
Proses fagositosis Reaksi Ag-Ab

Nyeri akut Eritema lokal


pada kulit

Kerusakan kulit Lesi

Trauma jaringan Kerusakan


lunak integritas
jaringan
Resiko infeksi

Sumber : Fatimah (2015).


F. Penatalaksanaan
Menurut Putra, I. W. A., & Berawi (2015) penatalaksanaan diabetes melitus
dikenal dengan 4 pilar penting dalam mengontrol perjalanan penyakit dan
komplikasi. Empat pilar tersebut adalah:
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan adalah pahami perjalanan penyakitnya,
pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi dan resikonya, pentingnya
intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, bagaimana menangani
hipoglikemia, kebutuhan latihan fisik teratur, dan metode menggunakan
fasilitas kesehatan. Mendidik pasien bertujuan agar pasien bisa mengontrol
gula darah dan kurangi komplikasi serta meningkatkan keterampilan
perawatan diri sendirian. Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada saat gaya
hidup dan perilaku terbentuk kuat. Petugas kesehatan mendampingi pasien
dan memberikan pendidikan dalam upaya meningkatkan motivasi dan
perubahan perilaku.
Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan
edukasi antara lain: Penderita diabetes bisa hidup lebih lama dalam
kebahagiaan karena kualitas hidup sudah menjadi kebutuhan seseorang,
membantu penderita diabetes bisa merawat diri sendiri sehingga
kemungkinan komplikasi dapat dikurangi, kselain itu jumlah hari sakit bisa
ditekan, meningkatkan perkembangan penderita diabetes, sehingga bisa
berfungsi normal dan manfaatkan sebaik-baiknya.
2. Terapi nutrisi
Perencanaan makan yang bagus merupakan bagian penting dari
manajemen diabetes yang komprehensif. Diet keseimbangan akan
mengurangi beban kerja insulin dengan meniadakan pekerjaan insulin dalam
mengubah gula menjadi glikogen. Keberhasilan terapi ini melibatkan dokter,
perawat, ahli gizi, pasien itu sendiri dan keluarganya. Intervensi nutrisi
bertujuan untuk menurunkan berat badan dan memperbaiki gula darah dan
lipid darah pada pasien diabetes yang kegemukan dan menderita morbiditas.
Penderita diabetes dan kegemukan akan memiliki resiko yang lebih tinggi
daripada mereka yang hanya kegemukan.
3. Aktifitas fisik
Kegiatan fisik setiap hari latihan fisik teratur (3-4 kali seminggu
sekitar 30 menit), adalah salah satu pilar pengelolaan DMT2. Aktivitas
sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, naik turun tangga, dan berkebun
tetap harus dilakukan untuk menjaga kesehatan, menurunkan berat badan,
dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan fisik dianjurkan yaitu berupa
senam aerobik seperti jalan kaki, bersepeda, jogging, dan berenang,
sebaiknya latihan fisik disesuaikan dengan umur dan status kesegaran. Bagi
mereka yang relatif sehat, dapat meningkatkan intensitas latihan fisik, dan
mereka yang mengalami komplikasi diabetes dapat dikurangi.
4. Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersamaan dengan diet dan latihan fisik
(gaya hidup sehat). Pengobatan termasuk dari obat-obatan oral dan suntikan.
Obat hipoglikemik oral berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
golongan: Memicu sekresi insulin sulfonylurea dan glinid, peningkatan
metformin insulin dan thiazolidinone, penghambat glukoneogenesis,
penghambat penyerapan glukosa: penghambat glukosidase, penghambat
alfa.DPP-IV inhibitor pertumbuhan dan status gizi, usia, stres akut dan
latihan fisik untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang ideal.
Total kalori yang dibutuhkan dihitung berdasarkan berat tubuh ideal
dikalikan dengan kebutuhan kalori dasar (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan
25 Kkal/kg BB untuk wanita). Lalu tambahkan kalori yang dibutuhkan untuk
aktivitas (10-30% atlet dan pekerja berat bisa lebih banyak lagi, sesuai
dengan kalori yang dikeluarkan). Makanan berkalori berisi tiga makanan
utama pagi (20%), sore (30%) dan malam (25%) dan 2-3 porsi (makanan
ringan 10-15%).
BAB II
PEMBAHASAN

A. KASUS
Tn.Z masuk ke RSMH tanggal l2 November 2021, dengan diagnosa DM tipe 2.
Pasien mengatakan nyeri pada kaki sebelah kanan karna luka yang terdapat
dikakinya, pasien mengeluh nyeri pada bagian kaki kurang dari 3 bulan, nyeri
seperti ditekan, skala nyeri 3, nyeri hilang timbul, pasien mengatakan pusing,
badan lemas, pasien mengatakan kaki kanan bengkak dan nyeri TD 140/90
mmhg, T 35,8 C, RR 22x/m, N 80x/m, Kadar glukosa darah 221 mg/dL. Hasil
pemeriksaan laboratorium kadar hemoglobin 10,4 g/dL, Eritrosit 3,65 106/mm3,
Leukosit 45,01 103/mm3, Hematrokit 29 %, Trombosit 310 103/uL, glukosa darah
sewaktu 260 mg/dL, glukosa darah puasa 80 mg/dL, Glukosa 2 jam PP 146 mg/dL,
Kalsium 6,5 mg/dL, Albumin 1,9 g/dL, Kolesterol total 83 mg/dL, Natrium 128
mEq/L, Kalium 4,9 mEq/L, Ureum 92 mg/dL, Kreatinin1,21Mg/dL. Pemberian
terapi obat berupa IVPD Nacl 0,9 %, Ca glukomas 1 gram, Sucraifat 10cc,
Heparin 1.500 unit, Intrasit gel II, Coco350 gram, Veropera 1 gr, Heparin 1.500
unit, ganti perban yang dilakukan 1x dalam 3 hari untuk mencegah infeksi pada
luka gangren.

B. PERTANYAAN KLINIS
Apakah perawatan luka teknik balutan Wet Dry dan Moist Wound Healing
memiliki efektifitas pada penyembuhan ulkus diabetik ?
BAB III
ANALISIS JURNAL

A. Nama penulis jurnal :


Maria Imaculata Ose, Putri Ayu Utami, Ana Damayanti

B. Tujuan penelitian :
Untuk melihat efektivitas penyembuhan luka dengan membandingkan
penggunaan balutan dengan teknik Wet-Dry dan dengan teknik balutan Moist
Wound Healing.

C. Tempat penelitian :
RSUD Tarakan

D. PICO
P : Ulkus Diabetik
I : Wet dry dan moist wound healing
C : Efektivitas penyembuhan luka ulkus diabetik dengan membandingkan
penggunaan balutan dengan teknik Wet-Dry dan dengan teknik balutan Moist
Wound Healing.
O : Penggunaan balutan dengan teknik Wet-Dry dan dengan teknik balutan
Moist Wound Healing dapat membantu penyembuhan luka pada ulkus diabetic.

E. Searching Literature Review


Setelah dilakukan Searching Literature (Journal) di google scholar, didapatkan
151 journal yang terkait dan dipilih jurnal dengan judul “Efektifitas perawatan
luka teknik balutan wet dry dan moist wound healing pada penyembuhan ulkus
diabetik” Dengan alasan :
a. Jurnal tersebut sesuai dengan kasus
b. Jurnal tersebut up to date
F. VIA
1. Validity
a. Desain : Penelitian merupakan penelitian kuantitatif dengan desain
penelitian quasy experiment dengan kelompok pembanding (control time
series design). Penelitian ini dengan rancangan rangkaian waktu, hanya
dengan menggunakan kelompok pembanding.
b. Sample : 18 responden yang menggunakan perawatan luka dengan teknik
Wet-dry dan 15 responden ulkus diabetic yang dilakukan perawatan luka
dengan teknik moist wound Healing.
2. Importance dalam hasil
a. Karakteristik subjek : Wet dry dan moist wound healing
b. Beda proporsi :
Perawatan luka dilakukan selama satu minggu, pada setiap hari dilakukan
evaluasi. Luka dengan perawatan menggunakan Wet-dry dilakukan
evaluasi perhari. Kondisi luka ulkus dengan keadaan basah dan kotor maka
akan dilakukan perawatan luka perhari. Setelah dilakuan perawatan luka
dan evaluasi pada hari ketiga didapatkan karakteristik luka ulkus pada dua
teknik perawatan luka dengan menggunakan teknik Wet-dry maupun Moist
Wound Healing meliputi ukuran luka, kedalaman luka, keadaan tepi luka,
terowongan pada luka, tipe jaringan nekrotik, luas jaringan nekrotik, jenis
eksudat, jumlah eksudat, keadaan kulit sekitar luka oedem perifer, ukuran
jaringan granulasi, indurasi jaringan perifer dan ukuran epitelisasi. Uji
kenormalan data menunjukan bahwa karakteristik tersebut berdistriusi
normal sehingga data dapat diuji dengan t-tidak berpasangan. Berdasarkan
uji t-tidak berpasangan diperoleh p value > 0,5 disimpulkan bahwa ada
perbedaan pada karakteristik untuk ukuran luka, kedalaman luka, keadaan
tepi luka, luas jaringan nekrotik, jenis eksudat, jumlah eksudat, oedem
perifer, ukuran jaringan granulasi, indurasi jaringan perifer dan ukuran
epitelisasi.
c. Beda mean :
Hasil analisa menunjukan bahwa rata-rata efektifitas penyembuhan luka
pada kelompok perawatan luka dengan menggunakan teknik Wet-dry
sebesar 2,33 sedangkan pada penyembuhan luka dengan teknik Moist
Wound Healing rata-rata 1,40. Uji t-berpasangan menunjukan nilai
signifikan p =0,004 yang mana nilai p Value 0,05 sehingga ini menunjukan
bahwa terdapat perbedaan yang antara kelompok penyembuhan luka
dengan perawatan dengan tehnik Wet-dry dan Moist Wound Healing.

3. Applicability
a. Dalam diskusi :
Berdasarkan uji t-tidak berpasangan diperoleh p value > 0,5 disimpulkan
bahwa ada perbedaan pada karakteristik untuk ukuran luka, kedalaman
luka, keadaan tepi luka, luas jaringan nekrotik, jenis eksudat, jumlah
eksudat, oedem perifer, ukuran jaringan granulasi, indurasi jaringan perifer
dan ukuran epitelisasi. Rata-rata efektifitas penyembuhan luka pada
kelompok perawatan luka dengan menggunakan teknik Wet-dry sebesar
2,33 sedangkan pada penyembuhan luka dengan teknik Moist Wound
Healing rata-rata 1,40. Uji t-berpasangan menunjukan nilai signifikan p
=0,004 yang mana nilai p Value 0,05 sehingga ini menunjukan bahwa
terdapat perbedaan yang antara kelompok penyembuhan luka dengan
perawatan dengan tehnik Wet-dry dan Moist Wound Healing.
b. Karakteristik klien : Seluruh pasien diabetes yang mengalami ulkus
diabetik
c. Fasilitas biaya : Tidak dicantumkan jumlah biaya yang digunakan

Diskusi (membandingkan jurnal dan kasus)

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus diabetik adalah penutupan luka.


Penatalaksanaan ulkus diabetik secara garis besar ditentukan oleh derajat keparahan
ulkus, vaskularisasi dan adanya infeksi. Perawatan ulkus diabetik pada dasarnya
terdiri dari tiga kompenen utama yaitu debridement, offloading dan penanganan
infeksi. Konsep lain yang dikembangkan dalam perawatan luka dengan menggunakan
konsep TIME meliputi: tissue management, infection /inflammation control, moisture
balance dan ephtielial advancement. Adimas (2008). Pada penelitian ini, perawatan
luka menggunakan dua teknik balutan yaitu Wet-dry dan Moist Wound Healing.
Terlihat perbedaan efektifitas hasil untuk perawatan luka dengan menggunakan
metode balutan basah-kering dengan metode balutan lembab. Wet-dry Dressing telah
menjadi prosedur standar untuk pasien perawatan luka dirumah sakit dan banyak
penelitian menunjukan bahwa kasa dressing bukanlah modalutas perawatan luka
optimal untuk pasien, dressing jasa tidak efektif mendukung penyembuhan optimal
(Ovington and Liza, 2001).

Perawatan luka dengan menggunakan teknik Wet-dry sangat dipengaruhi oleh


suhu lingkungan sekitar, dapat menyebabkan luka menjadi terlalu basah apabila
balutan terlalu basah sehingga menyebabkan vaskularisasi pada luka menjadi
terganggu dan menyebabkan malserasi. Apabila balutan terlalu kering maka menjadi
sulit untuk mengganti balutan luka. Sedangkan untuk teknik balutan modern dressing
tidak dipengaruhi oleh suhu lingkungan sekitar karena lapisan balutan tertutup rapat
(Morison, 2004). Balutan teknik Wet-dry dapat diaplikasikan pada tahap setelah
debridemen mekanis yang mana mengurangi dan membuang jaringan nekroktik pada
dasar luka. Teknik mekanisme yang sederhana adalah pada apalikasi kasa Wet-dry
saline gauze. Setelah kain kasa basah diletakkan pada dasar luka dan dibiarkan
sampai mengering, debris nekrotik menempel pada kasa dan secara mekanis akan
terkelupas dari dasar ketika kasa dilepaskan (Ovingtoand Liza, 2001).

Pada penelitian ini dikaji penyembuhan dengan melakukan perawatan luka


dengan menggunakan teknik Moist Wound Healing suatu metode perawatan luka
dengan memberikan lingkungan yang tepat dibutuhkan oleh luka sehingga proses
penyembuhan luka sesuai dengan fase penyembuhan luka atau bahkan lebih cepat..
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa proses penyembuhan luka dengan
menggunakan teknik moist healing lebih cepat penyembuhannya daripada dengan
menggunakan tekhnik balutan basah kering. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik
luka ulkus diabetik baik pada kelompok Wet-dry yang mengalami perlambatan
penyembuhan di bandingkan dengan kelompok perawatan dengan teknik Moist
Wound Healing terdapat perbedaan yang signifikan dari nilai rata-rata pada semua
kriteria mencakup ukuran luka, kedalaman luka, keadaan tepi luka, terowongan pada
luka, tipe jaringan nekrotik, luas jaringan nekrotik, jenis eksudat, jumlah eksudat,
keadaan kulit sekitar luka oedem perifer, ukuran jaringan granulasi, indurasi jaringan
perifer dan ukuran epitelisasi (Ovington, 2001). Balutan Moist Wound Healing
bersifat lembut dan dapat mengembang apabila luka mempunyai jumlah eksudat yang
banyak dan tetap memberikan kesan lembab dan mencegah kontaminasi dari bakteri
yang ada diluar luka. Untuk balutan basah kering apabila luka memiliki eksudat
dalam jumlah banyak maka harus segera diganti balutannya. Terutama apabila
eksudat tersebut sampai merembes keluar dari balutan yang menyebabkan balutan
tampak kotor. Selain itu teknik moist healing tidak memberikan nyeri maupun
perdarahan saat balutan diangkat dari luka. Sedangkan untuk penggunaan perawatan
luka balutan basah kering akan sangat sulit saat ingin membuka balutan tersebut
dikarenakan balutan tersebut menjadi kering dan akan menimbulkan nyeri dan juga
perdarahan apabila balutan tersebut diangkat (Wahidin, 2013).
BAB IV
KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang proses penyembuhan luka pada pasien
dengan ulkus diabetik dengan menggunakan teknik balutan Wet-dry dan teknik Moist
Wound Healing didapatkan hasil uji statistik adanya perbedaan antara proses
penyembuhan dengan teknik moist healing dan wet-dry sehingga disimpulkan bahwa
pasien dengan ulkus diabetik yang perawatan luka dengan menggunakan moist
healing cenderung proses penyembuhan lukanya lebih cepat.
DAFTAR PUSTAKA

Imaculata Maria Ose. (2018). Efektivitas Perawatan Luka Teknik Balutan WetDry
Dan Moist Wound Healing Pada Penyembuhan Ulkus Diabetik. Journal of
Borneo Holistic Health, Volume 1 No. 1 Juni 2018 hal 101-112
Adimas. (2008). Cara Perawatan dengan Modern Dressing. http:// Mediacastore.com
Brunner dan Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC.
Dahlan Sopiyudin. (2011). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi 5.
Jakarta: Salemba Medika
Ismail, D. D. S. L., Irawaty, D., & Haryati, T. S. (2009). Penggunaan Balutan Modern
Memperbaiki Proses Penyembuhan Luka Diabetik. Jurnal Kedokteran
Brawijaya, 25(1), 32-35.
Istikomah Nurul. (2010). Perbedaan Perawatan Luka Dengan Menggunakan
Povodine Iodine 10% Dan Nacl 0,9% Terhadap Proses Penyembuhan Luka
Pada Pasien Post Operasi Prostatektomi Di Ruang Anggrek Rsud Tugurejo
Semarang. Abstrak. Program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran
universitas diponegoro semarang
Julia Mees and Wolf Arif. (2012). Treatment Options for Post operatively infected
abdominal wall wound healing by secondary intention. (http://www.
ebscohost.co.id di akses 10 oktober 2013)
Mulder, G. D. (1995). Cost-effective managed care: gel versus wet-todry for
debridement. Ostomy/wound management, 41(2), 68-70.
Morison, J. Moya. (2004). Manajemen Luka. Jakarta. EGC. Notoatmodjo, S. (2005).
Methodology of Health Research. PT Rineka Reserved, Jakarta, 152-167.
Ovington, L. G. (2001). Hanging wet-todry dressings out to dry. Home Healthcare
Now, 19(8), 477-483 Parmet, S., Glass, T. J., & Glass, R. M. (2005). Diabetic
foot ulcers. JAMA, 293(2), 260-260.
Perry dan Potter. (2002). Buku Ajar Fundamental Of Nursing, Volume 1, Edisi 4.
Jakarta. EGC.
Supriyanti dkk. (2007). Efektifitas Penggunaan Kompres Metronidazol dan NaCl
0.9% Terhadap Proses Penyembuham luka Diabetik di RSUD Mergono
soekarjo Purwokerto.(http://www.ebscohos t.co.id di akses 10 oktober 2013)
Smeltzer dan Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, Edisi 8.
Jakarta.EGC
Suryani, M., & Supriyono, M. (2012). Efektivitas Pengobatan Madu Alami Terhadap
Penyembuhan Luka Infeksi Kaki Diabetik (Ikd) (Studi Kasus Di Puskesmas
Bangetayu Dan Puskesmas Genuk Semarang). Karya Ilmiah S. 1 Ilmu
Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai