Anda di halaman 1dari 18

Apa itu generasi Milenial, Generasi X, dan

Generasi Z?
Istilah generasi atau biasanya disebut cohort adalah istilah yang menggambarkan kemiripan
karakteristik yang khas di dalam sebuah rentang waktu tertentu, walaupun di dalamnya pasti ada
deviasi dan keunikan-keunikan individu.

Pengelompokan generasi ini biasanya digunakan untuk memahami perilaku kelompok sehingga bisa
digunakan untuk tujuan-tujuan yang praktis, misalnya memahami cara berkomunikasi dan
berperilaku yang berbeda.

Dalam konteks pemasaran, pemahaman karakteristik generasi membantu untuk melakukan


komunikasi yang tepat. Dalam konteks organisasi kerja, pemahaman karakteristik generasi akan
memperjelas ekspektasi dan mempermudah pengelolaan untuk mencapai titik temu antara
kepentingan organisasi dan kepentingan individu.

Menurut buku “Generasi Z”, klasifikasi generasi dibagi sebagai berikut:

 Generasi Traditionalist lahir sebelum 1946


 Generasi Baby Boomer lahir antara tahun 1946-1964
 Generasi X lahir antara tahun 1965-1979
 Generasi Millennial lahir antara 1980-1994
 Generasi Z lahir antara 1995-2012
 

Ciri-ciri Generasi Z
Ada 7 ciri generasi Z dibandingkan generasi Millennial dan generasi lainnya, yaitu:

Phiygital: gabungan fisik & digital


Generasi Z yang lahir setelah era 1995 adalah generasi pertama yang lahir ke dunia di mana segala
aspek di dunia fisik memiliki wujud yang ekuivalen di dunia maya. Dunia fisik dan dunia maya
bukan dua dunia yang terpisah, tetapi saling berkelindan.

Bagi gen Z, kecanggihan teknologi suatu perusahaan akan berdampak pada keputusan mereka
bekerja di perusahaan tersebut.

Hiper-kustomisasi
Karena hidup di dunia maya yang sangat cair, gen Z selalu ingin memiliki identitas unik yang
membuatnya tidak larut dalam lautan massa. Mereka tidak menyukai produk standar dan seragam.
Mereka mengkostumisasi apapun, mulai daftar lagu, film, logo, dan sebagainya.

Dalam dunia kerja, gen Z juga menginginkan kustomisasi nama jabatan dan deskripsi pekerjaan
dibandingkan nama dan deskripsi standar yang selama ini ada.

Realistis
Sebagai sosok yang mengalami kekhawatiran usai peristiwa serangan teroris 11/9 dan krisis
ekonomi, generasi Z cenderung bersikap pragmatis. Mereka berhitung apakah perlu kuliah atau
tidak berdasarkan rasionalitas kepentingan mereka. Demikian juga pilihan-pilihan berkaitan dengan
pekerjaan.

FOMO (Fear of Missing Out)


Dengan perubahan di linimasa yang terus mengalir, generasi Z selalu khawatir ketinggalan
informasi. Mereka takut tidak update, ketinggalan gosip, isu terbaru, dan menjadi tidak relevan di
kalangan teman-temannya.

Dalam konteks dunia kerja, generasi Z selalu ingin mendorong perusahaan terlibat pada hal-hal baru
yang sedang menjadi isu yang diperbincangkan.

Weconomist
Pada saat bertumbuh, generasi Z telah hidup dengan fasilitas platform ekonomi yang
memungkinkan berbagi, seperti Uber, AirBnB, dan lain-lain. Mereka selalu ingin mencari jalan
untuk terus memanfaatkan sumber daya bersama tanpa harus melakukan investasi besar.

Dalam dunia kerja, sikap gen Z yang terbiasa dengan kolaborasi massal membuat mereka memiliki
harapan keterlibatan perusahaan dalam kegiatan filantropis untuk menunjukkan kepedulian pada
dunia.

DIY (Do it Yourself)


Dibesarkan dengan aneka tutorial yang membuat mereka bisa mempelajari apapun melalui Youtube,
gen Z tumbuh menjadi generasi yang percaya diri dan merasa bisa melakukan apapun sendiri. Sikap
mental ini didukung oleh orangtuanya yang merupakan generasi X yang tidak mengikuti jalur-jalur
tradisional.

Kompetitif
Pengalaman mereka yang tumbuh saat orangtua mengalami krisis ekonomi membuat generasi Z
lebih kompetitif dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka ingin menjadi bagian dari tim
pemenang, bukan pecundang dan menginginkan bekerja di perusahaan pemenang.

Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari pengelompokan generasi ini? Bagaimana kita memahami
perbedaan generasi ini dalam konteks Indonesia?

Catatan Pribadi
Buku ini menarik dan sangat direkomendasikan untuk siapapun yang ingin memahami karakter
demografi sebuah generasi. Tentu saja, kita perlu mengambil jarak dan tidak bisa menelan mentah-
mentah pengkategorian itu dalam konteks Indonesia karena pengkategorian itu merupakan respons
terhadap kondisi sosial-politik-ekonomi, khususnya yang terjadi di Amerika.

Jika kita bisa memahami faktor-faktor yang memicu dinamika perubahan sifat dan sikap sebuah
generasi, kita bisa lebih mudah memahami fenomena yang terjadi di tempat lain.
erba-Serbi seputar Generasi Z
Setelah kita mengenal seputar generasi millennial yang saat ini menjadi
generasi paling banyak di dunia kerja, saatnya kita sudah mulai
mengenal generasi Z di mana angkatan tertua mereka sudah mulai
memasuki dunia kerja. Ada banyak hal menarik yang perlu kita ketahui
tentang generasi Z.
Generasi Z (1996-2010) memiliki karakteristik lebih ambisius dan optimis
dibanding generasi sebelumnya. Yuk, kenali lebih lanjut serba-serbi
fakta seputar generasi termuda di dunia kerja saat ini:

1. Generasi Z sangat menyukai teknologi


Generasi termuda ini sangat menyukai kemajuan dan penggunaan
teknologi. Hal ini terjadi karena hampir seluruh sekolah di Indonesia
telah menjadikan teknologi sebagai pendidikan formal sehingga mereka
sudah terbiasa dengan pemanfaatan teknologi sejak dini. Karakteristik
yang lebih ‘melek teknologi’ pada generasi Z menjadi keuntungan bagi
mereka untuk bersaing saat ini.

2. Sangat menyukai perkembangan diri


Faktanya generasi Z tidak menganggap gaji menjadi fokus utama saat
menghadapi dunia kerja. Mereka lebih mengutamakan pengembangan
diri baik soft-skill dan pengalaman dalam bekerja. Generasi Z juga sangat
mengiginkan bekerja pada perusahaan dengan pengembangan karir
yang jelas.
3. Multitasking
Kemampuan generasi Z dalam penggunaan teknologi membantu
mereka dapat menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat dan mudah.
Hal ini membuat mereka dapat melakukan beberapa pekerjaan
sekaligus dalam waktu bersamaan atau multitasking.
4. Menyukai keadaan finansial yang seimbang
Literasi finansial pada generasi Z tergolong lebih baik dibanding
generasi sebelumnya. Prioritas gaji biasa mereka gunakan untuk
mewujudkan keseimbangan finansial dan mendapat benefit selain gaji
seperti asuransi kesehatan akan membuat mereka tertarik pada
pekerjaan mereka.
Itulah beberapa fakta mengenai generasi Z pada dunia kerja.
Manajemen khususnya HR dapat lebih mempelajari lebih lanjut
mengenai karakteristik generasi Z yang sebentar lagi juga akan aktif
masuk pada dunia kerja. Apakah perusahaanmu sudah mempersiapkan
bergabungnya generasi Z dengan baik?

Generasi Z Punya Karakteristik yang Unik


Membahas tentang generasi Z memang seru dan seakan tidak ada habisnya. Masing-masing generasi
memiliki karakteristik yang unik, termasuk generasi Z. Saat ini generasi Z sering didefinisikan dengan
karakteristik sebagai berikut.

Skeptis dan sinis. Tidak seperti generasi-generasi pendahulunya yang cenderung berjuang demi
idealisme, generasi Z justru lebih skeptis dan sinis. Sikap skeptis dan sinisme yang dimaksud adalah
perilaku yang mengutamakan realita dalam pengambilan keputusan. Generasi yang satu ini akan
mengutamakan kebutuhannya sebagai dasar untuk menentukan sesuatu.
Menjunjung tinggi privasi. Sang generasi Z tidak suka bila sepak terjangnya di media sosial dilacak
orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya pengguna Facebook dari kalangan generasi Z.
Sementara media sosial yang sifatnya lebih privat seperti SnapChat dan Instagram justru kian
digandrungi. Rupanya generasi Z ingin bebas berekspresi di media sosial tanpa terusik oleh opini orang
lain.
Kemampuan multi-tasking yang hebat. Soal kemampuan multi-tasking, sudah pasti generasi Z-lah
jagoannya. Generasi ini mampu memaksimalkan kemampuan multi-tasking dengan 5 media berbeda
sekaligus. Misalnya, mereka bisa mengetik di laptop sembari mendengarkan lagu dari internet,
mengakses media sosial melalui gawai, mencari referensi penting untuk menyelesaikan tugas, dan
menonton TV.
Ketergantungan terhadap teknologi. Bagi generasi Z, teknologi di genggaman tangan bisa
diibaratkan seperti udara dan air. Generasi ini tidak akan bisa hidup dengan baik jika tidak didampingi
teknologi. Mereka merasa kalau teknologi membuat mereka mudah terhubung satu sama lain dan
mudah mengakses berbagai informasi penting setiap hari.
Pola pikir yang sangat luas dan penuh kewaspadaan (hyper aware). Berusaha meyakinkan generasi
Z tentang suatu hal bukanlah perkara mudah. Sebagai generasi yang berhubungan erat dengan teknologi,
generasi Z tidak pernah kesulitan untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. Sehingga hal ini
membuat generasi Z memiliki pola pikir yang sangat luas dan ekstra waspada terhadap hal-hal di
sekitarnya.
Keinginan untuk berwiraswasta. Para ahli memperkirakan bahwa 72% generasi Z ingin masuk ke
dunia kerja sebagai seorang wiraswasta. Sebab generasi Z memiliki kemampuan analisis pasar serta
tekad yang besar untuk menjadi seorang pebisnis mandiri.
Generasi Pendahulu Patut Mendukung Tumbuh Kembang Generasi Z
Generasi Z yang cerdas dan sedang menempuh pendidikan membutuhkan banyak dukungan dari para
generasi pendahulunya. Saat ini, generasi baby boomer,  generasi X, dan generasi Y menempati posisi
sebagai kakek atau nenek, orang tua, guru, atau tutor bagi generasi Z. Perbedaan karakteristik
antargenerasi tentu menjadi salah satu hambatan terbesar untuk menjalin komunikasi efektif. Tentunya
pemahaman terhadap gaya belajar generasi Z menjadi sangat penting.
Jika dibandingkan dengan generasi Z, tentu saja baby boomer  dan generasi X tertinggal jauh untuk
urusan teknologi. Kendati demikian, hal ini tidak lantas menjadi batu sandungan untuk mendekatkan
diri dengan generasi Z. Bermodalkan rasa ingin tahu dan semangat belajar yang besar, baby boomer dan
generasi X pasti mampu menjadi pendidik dan teladan yang baik bagi generasi Z. Murid-murid generasi
Z tidak akan merasa bosan bila dibimbing oleh generasi baby boomer dan generasi X yang terbuka
terhadap perkembangan zaman.
Berbeda dengan baby boomer dan generasi X, generasi Y jelas memiliki pemahaman teknologi yang
lebih baik. Lahir pada peralihan zaman konservatif ke zaman modern membuat generasi Y bisa
memposisikan diri sebagai “jembatan penghubung” bagi dua generasi pendahulunya dan generasi Z.
Para peneliti mengemukakan fakta bahwa generasi Y memiliki kemampuan multi-tasking  dengan 3
media berbeda. Hal ini tentu menjadi salah satu hal yang mendasari kemiripan generasi Y dengan
generasi Z, walaupun multi-tasking generasi Z masih lebih unggul.
Generasi Y mesti membatasi perilaku individualisme supaya bisa menyelami sang generasi Z. Bukan
mustahil kalau kolaborasi generasi Y dan generasi Z akan menghasilkan hal-hal besar di masa
mendatang.

Serunya pengalaman belajar bersama generasi Z di sekolah


Generasi Z yang tergabung sebagai suatu kesatuan dalam tingkatan kelas akademik tertentu sangat
menarik untuk diamati. Sebagai individu dengan latar belakang berbeda, mereka memiliki sikap dan
kebiasaan yang beragam. Namun sebagai generasi Z, sikap dasar mereka tetap sama. Mereka suka
belajar melalui media berkonsep audio visual. Di samping itu, contoh-contoh konkret yang disampaikan
oleh guru atau tutor pun menjadi bahan pembelajaran yang efektif bagi generasi Z. Mereka suka
melakukan eksplorasi terhadap hal baru dan menanyakan hal-hal menakjubkan yang barangkali berada
diluar dugaan guru atau tutor.

Generasi Y bersama generasi Z. Sumber: Dokumentasi Pribadi (Melisa).


Generasi Z dikenal memiliki rasa ingin tahu yang tinggi serta mudah akrab dengan orang yang baru
dikenal. Tentu saja generasi ini mudah akrab dengan orang yang baru dikenal dengan alasan tertentu.
Bagi generasi Z, kenyamanan dan komunikasi yang interaktif merupakan hal esensial dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Generasi yang lahir setelah era milenium ini tidak suka digurui oleh siapa
pun. Mereka sungguh berbeda dengan generasi Y beberapa tahun lalu, yang masih bisa terima kalau
guru bertindak sebagai orang yang “terlalu menggurui”.

Oleh karena itu, alangkah baiknya kalau generasi-generasi pendahulu menempatkan diri sebagai sahabat
bagi generasi Z. Saran dan kritik yang disampaikan dengan gaya kekinian jauh lebih mudah diterima
generasi Z ketimbang wejangan yang sok bijak. Murid-murid generasi Z juga gemar curhat mengenai
banyak hal. Kalau sudah merasa nyaman dengan orang-orang yang mereka percayai, peluang untuk
bercerita mengenai kesulitan belajar pun akan semakin besar.

Tak harus terus-terusan bertatap muka dengan generasi Z untuk bisa menjalin kedekatan. Generasi Z tak
segan-segan untuk terhubung dengan orang yang dikenalnya melalui media sosial. Fenomena ini bisa
dimanfaatkan oleh para generasi pendahulu untuk memantau aktivitas generasi Z di luar kegiatan
sekolah. Sesekali tak masalah menyapa mereka untuk mengingatkan tentang kewajiban belajar atau
mengobrol santai sembari membahas aneka pelajaran di sekolah.

Setiap generasi yang lahir pada periode tertentu memiliki keunikannya masing-masing. Tidak ada
generasi yang lebih buruk atau lebih baik. Karena sesungguhnya semua generasi memiliki pengalaman,
kebiasaan, dan pola pikir yang unik. Sekarang giliran generasi Z yang belajar menapaki dunia dan
mengenal banyak hal baru. Tidak cuma generasi Z yang wajib giat belajar, generasi-generasi
pendahulunya pun mesti memberikan bimbingan dengan cara yang efektif. Niscaya hubungan harmonis
antar generasi akan menghasilkan banyak manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bidang
kehidupan lainnya.
Rangkuman gaya belajar
generasi Z. Sumber: Dokumentasi Pribadi (Melisa)

Generasi Z dalam Dunia Kerja? Yuk


Simak Karakter Mereka!
Konten ini diproduksi oleh Muhamad Fajar Hendrawan

Gen Z yang sudah bekerja wajib simak nih!


Untuk kamu generasi yang lahir pada tahun 1995-2010, mayoritas sudah
memasuki dunia kerja. Walaupun masih ada beberapa yang sekolah
ataupun berkuliah, tentu suasana saat bekerja dan masih menjadi
pelajaran sangat berbeda. Perbedaan ini juga menjadi pembeda antara
generasi lainnya yang masih ada di lingkung pekerjaan. Walaupun
terbilang menjadi generasi termuda di tempat kerja, generasi Z memiliki
karakteristik yang tidak kalah hebatnya dengan generasi-generasi
sebelumnya. Apa saja itu? Yuk simak!
1. Fasih Teknologi
Generasi Z terlahir dimasa teknologi sudah semakin canggih dan orang-
orang terbiasa menggunakan teknolgi untuk membantu aktivitas
hariannya. Makanya tidak heran apabila generasi Z sangat mudah
beradaptasi dengan teknologi. Dengan perkembangan teknologi yang
kian pesat, generasi Z terbiasa bekerja dengan cara yang efektif dan juga
efesien.

Perbesar

Sumber foto:ilustrasi perkembangan teknologi (harnas.co)


2. Multitasking
Generasi Z saat di dunia kerja terbiasa melakukan berbagai aktivitas
pada waktu yang bersamaan. Misalnya saja, saat mereka bekerja, mereka
akan senang bila dibarengi dengan mendengarkan musik ataupun
bernyanyi. Mereka selalu menginginkan hal yang cepat dan prinsip
mereka adalah jika mereka bisa melakukannya secara bersamaan, kenapa
tidak dilakukan.

Perbesar

Sumber foto:ilustrasi aktivitas Gen z (jojonomic.com)


3 Komunikasi yang Fleksibel
Meskipun generasi Z fasih teknologi dan saat ini banyak sekali
penunjang komunikasi, generasi Z merupakan generasi yang cukup
fleksibel dalam berkomunikasi. Mereka mampu berkomunikasi baik
secara langsung ataupun melalui smartphone yang mereka miliki. Ketika
mereka berkomunikasi dengan rekan kerja, mereka akan memilih
berkomunikasi dengan santai dan tidak formal. Namun bila mereka
menghubungi klien, mereka tetap baik dalam berkomunasi secara formal
melalui e-mail.
4 Lingkungan Kerja yang Friendly
Mereka yang terlahir pada generasi termuda ini, sangat menyukai
apabila rekan kerja atau pimpinan mereka menempatkan mereka sebagai
teman. Meskipun dalam lingkungan kerja ada generasi-generasi
sebelumnya dan memiliki banyak perbedaan dengan generasi Z, generasi
Z akan mendapatkan kenyamanan bila lingkungan kerja sekitarnya
merangkul mereka dan tidak menganggu mereka dengan perkataan yang
bersifat ofensif.
5 Menyukai umpan balik
Bukan rahasia umum lagi bila generasi Z menyukai umpan balik. Bukan
mereka suka dipuji, tetapi mereka sangat senang bila hasil pekerjaan
mereka dihargai ataupun diberi masukan bila pekerjaannya kurang dari
apa yang ditargetkan oleh pimpinan kerja. Dengan umpan balik dan
evaluasi yang mereka dapatkan, mereka akan lebih giat lagi dalam
memperbaiki pekerjaan sehingga pekerjaan mereka menjadi lebih baik
sesuai dengan harapan pimpinan kerja.
ADVERTISEMENT

6 Menetapkan Panutan
“Kamu adalah panutanku!”. Sering banget dengar ini kan pada kamus
zaman sekarang? Yup! Memang benar mereka selalu mencari seseorang
yang menurut generasi Z sangat berpengaruh di lingkungan kerja.
Mereka akan banyak belajar, diskusi, dan meminta sudut pandang positif
ataupun motivasi dari mereka yang sudah mereka anggap sebagai
panutan. Hal ini mereka tujukan untuk membangun semangat dan
kualitas bekerja mereka. Sehingga tidak heran, banyak generasi Z saat
ini, banyak yang meminta saran pada pimpinan kerjanya secara
langsung.
7 Ingin didengar
Meskipun generasi Z adalah generasi terakhir pada dunia kerja saat ini,
mereka sangat menginginkan suara mereka dipertimbangkan dalam
proses kemajuan perusahaan. Walaupun terbilang baru dan pengalaman
mereka tidak sebanyak generasi pimpinan perusahaan, hal ini tidak
melunturkan keinginan mereka untuk mengekspresikan ide-ide yang
lahir dalam fikiran mereka untuk kemajuan perusahaan tersebut.
ADVERTISEMENT

8 Ambisius
Generasi Z sangat berambisi dalam mencapai kesuksesan hidup mereka.
Walaupun kebanyakan dari mereka terlahir dalam keluarga yang sudah
berkecukupan dan tidak sesulit generasi-generasi sebelumnya, generasi
Z memiliki pandangan bahwa mereka harus lebih baik daripada orangtua
mereka sendiri. Selain itu juga, karena mereka difasilitasi kemudahan
saat ini, itu merupakan
9 Praktis
Karena mereka terbiasa dengan kemudahan dan kecanggihan dalam
menjalani aktivitasnya, mereka sangat menyukai hal yang praktis dan
tidak menginginkan pekerjaan yang ruwet. Menurut mereka, hal
semacam ini akan menyita pikiran dan waktu mereka dalam bekerja.
10 Cepat berpindah (Fast Switcher)
Cepat berpindah dari satu ke satu pekerjaan lain, bukan menjadi rahasia
yang perlu ditutupi bagi karakteristik generasi Z. Banyak sekali banyak
yang bertanya-tanya, mengapa riwayat pekerjaan mereka sebentar dan
cepat berpindah ketempat lain, yang biasa ungkapannya adalah kutu
loncat. Hal ini memang dipengaruhi dengan kenyamanan mereka pada
pekerjaan yang mereka sedang geluti, mereka juga realistis terhadap apa
yang mereka dapatkan dari pekerjaan tersebut, dan mereka berorientasi
pada kesenangan sebuah pekerjaan yang mereka inginkan.
Itulah ciri-ciri generasi termuda dalam dunia kerja. Jangan heran ya jika
mereka sedikit berbeda dari generasi sebelumnya. Gen-Z, apakah ciri-
ciri diatas itu benar menggambarkan kalian? Hahaha

Generasi Z

Bisnis

Lifestyle

·
Laporkan tulisan
Tim Editor

Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 telah dirilis Badan Pusat Statistik pada akhir Januari lalu,
dan memberikan gambaran demografi Indonesia yang mengalami banyak perubahan dari hasil
sensus sebelumnya di tahun 2010. Sesuai prediksi dan analisis berbagai kalangan, Indonesia
tengah berada pada periode yang dinamakan sebagai Bonus Demografi. Menariknya, hasil
sensus 2020 menunjukkan komposisi penduduk Indonesia yang sebagian besar berasal dari
Generasi Z/Gen Z (27,94%), yaitu generasi yang lahir pada antara tahun 1997 sampai dengan
2012. Generasi Milenial yang digadang-gadang menjadi motor pergerakan masyarakat saat ini,
jumlahnya berada sedikit di bawah Gen Z, yaitu sebanyak 25,87% dari total penduduk
Indonesia. Ini artinya, keberadaan Gen Z memegang peranan penting dan memberikan
pengaruh pada perkembangan Indonesia saat ini dan nanti.
 
Siapakah Generasi Z?    
Di banyak analisis, para ahli menyatakan bahwa Gen Z memiliki sifat dan karakteristik yang
sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini dilabeli sebagai generasi yang minim
batasan (boundary-less generation). Ryan Jenkins (2017) dalam artikelnya berjudul “Four
Reasons Generation Z will be the Most Different Generation”  misalnya menyatakan bahwa Gen
Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi
organisasi. Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada
budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu
memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka
gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas.

Artikel Bruce Tulgan dan RainmakerThinking, Inc. berjudul “Meet Generation Z: The Second
Generation  within The Giant Millenial Cohort” yang didasarkan pada penelitian longitudinal
sepanjang 2003 sampai dengan 2013, menemukan lima karakteristik utama Gen Z yang
membedakannya dengan generasi sebelumnya. Pertama, media sosial adalah gambaran
tentang masa depan generasi ini. Gen Z merupakan generasi yang tidak pernah mengenal dunia
yang benar-benar terasing dari keberadaan orang lain. Media sosial menegasikan bahwa
seseorang tidak dapat berbicara dengan siapapun, di manapun, dan kapanpun. Media sosial
menjadi jembatan atas keterasingan, karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi,
dan berinteraksi. Ini berkaitan dengan karakteristik kedua, bahwa keterhubungan Gen Z dengan
orang lain adalah hal yang terpenting. Ketiga, kesenjangan keterampilan dimungkinkan terjadi
dalam generasi ini. Ini yang menyebabkan upaya mentransfer keterampilan dari generasi
sebelumnya seperti komunikasi interpersonal, budaya kerja, keterampilan teknis dan bepikir
kritis harus intensif dilakukan. Keempat, kemudahan Gen Z menjelajah dan terkoneksi dengan
banyak orang di berbagai tempat secara virtual melalui koneksi internet, menyebabkan
pengalaman mereka menjelajah secara geografis, menjadi terbatas. Meskipun begitu,
kemudahan mereka terhubung dengan banyak orang dari beragam belahan dunia menyebabkan
Gen Z memiliki pola pikir global (global mindset). Terakhir, keterbukaan generasi ini dalam
menerima berbagai pandangan dan pola pikir, menyebabkan mereka mudah menerima
keragaman dan perbedaan pandangan akan suatu hal. Namun, dampaknya kemudian, Gen Z
menjadi sulit mendefinisikan dirinya sendiri. Identitas diri yang terbentuk seringkali berubah
berdasarkan pada berbagai hal yang mempengaruhi mereka berpikir dan bersikap terhadap
sesuatu.

 
Gen Z dan Digitalisasi
Tidak selamanya kedekatan Gen Z dengan teknologi memberikan keuntungan. Dalam dunia
kerja misalnya, O’Connor, Becker, dan Fewste (2018) dalam penelitiannya berjudul Tolerance of
Ambiguity at Work Predicts Leadership, Job Performace, and Creativity, menemukan bahwa
pekerja yang lebih muda menunjukkan kapasitas yang lebih rendah untuk mengatasi
ambiguitas lingkungan dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua. Generasi lebih muda
terbiasa mengekspresikan keinginan untuk hal-hal yang bersifat kebaruan termasuk pada
bidang pekerjaan yang sifatnya lebih menantang. Namun, mereka belum memiliki keterampilan
dan kepercayaan diri yang mumpuni untuk mengelola ketidakpastian lingkungan yang seringkali
terjadi sehingga cenderung menjadi lebih cemas. Ini semacam mematahkan asumsi yang
selama ini terbangun bahwa menjadi penduduk asli digital (digital native),  artinya melengkapi
kekurangan dari karakteristik generasi sebelumnya melalui keterampilan yang lebih adaptif dan
inovatif dalam mengatasi situasi ketidakpastian. Dasar yang dikemukakan dalam penelitian ini
cukup beralasan. Gen Z dilahirkan dan dibesarkan dalam pengasuhan yang terlalu protektif di
tengah kondisi dunia yang serba tidak menentu. Resesi ekonomi, transformasi digital, invasi di
beberapa negara, bencana alam, dan juga wabah penyakit.  Ini yang kemudian menyebabkan di
masa dewasa,  Z menjadi kurang toleran terhadap ambiguitas lingkungan karena masa kanak-
kanak yang terlalu terlindungi. Penelitian American Psychological Association yang dikutip
dalam Media Literasi bagi Digital Natives: Perspektif Generasi Z di Jakarta (2018) menegaskan
temuan tersebut. Kemampuan mengelola stres dan mencapai gaya hidup sehat
semakin menurun di setiap generasi. Jika fenomena ini berlanjut, maka ke depannya, Gen Z
akan menjadi generasi yang paling stres sepanjang sejarah. Kondisi ini juga berkaitan dengan
karakter Gen Z yang tidak memiliki batasan dengan individu lain, sehingga
memungkinkan mereka mudah labil karena menerima terpaan informasi dan kondisi yang cepat
berubah dan serba acak.
 
Bagaimana Seharusnya Pendidikan Bertransformasi?
Dari sekian banyak analisis, David Stillman dan Jonah Stillman (2017) memberikan gambaran
lebih komprehensif tentang karakter Gen Z. Dalam bukunya Gen Z @ Work: How The   Next
Generation is Transforming the Workplace,  ayah dan anak ini mengidentifikasi tujuh karakter
utama Gen Z, yaitu: figital, fear of missing out (FOMO), hiperkustomisasi, terpacu,
realistis, Weconomist, dan do it yourself (DIY).
Di konteks pendidikan, pemahaman tentang karakteristik setiap generasi menjadi penting untuk
menentukan bagaimana strategi pendidikan yang efektif diberikan kepada siswa. Tujuannya
tidak sekadar capaian akademik dan pedagogik siswa, tetapi juga bagaimana proses pendidikan
dapat menumbuhkan karakter dan kecintaan siswa terhadap aktivitas belajar. Saat ini, sebagian
besar dari Gen Z berada pada usia sekolah. Ini berarti, penyesuaian sistem belajar dalam
ruang-ruang pendidikan kita harus mempertimbangkan karakteristik Gen Z agar sesuai dengan
kebutuhan mereka tanpa mengesampingkan minat dan habituasi mereka sebagai sebuah
kelompok generasi.

Pada karakter figital, sifat Gen Z sebagai “penduduk asli pribumi” sangat melekat. Guru harus
banyak melakukan pengamatan tentang bagaimana siswa memadukan sisi fisik dan digital
dalam cara mereka berinteraksi, hidup, dan belajar. Ini kemudian akan menjadi landasan bagi
guru untuk menentukan metode pembelajaran yang akan gunakan. Penutupan sekolah karena
masa pandemi COVID-19 sebenarnya memberikan dorongan positif bagi guru
untuk lebih berkomitmen, konsisten dan terbiasa memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran.
Guru sudah harus semakin terbiasa menggunakan sarana pembelajaran yang beragam melalui
teknologi digital, agar siswa tetap dapat aktif dan tersambung dalam pembelajaran dalam
berbagai kondisi pembelajaran yang ada. Guru juga perlu untuk lebih terbuka terhadap
tambahan leksikon baru sebagai media dan perangkat pembelajaran. Ini dapat berupa visual,
video, atau bahkan simbol tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas komunikasi
antara siswa dan guru. Guru perlu lebih kreatif dalam mencari dan menerapkan
solusi figital untuk meningkatkan dan menyebarkan budaya pembelajaran.

Karakter FOMO juga menjadi salah satu tantangan pendidikan. Pada karakter ini, Gen Z
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. FOMO
menjadikan siswa terpacu untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang
tersebar dan mudah diakses saat ini. Itu mengapa, Gen Z memilih untuk selalu terhubung aktif
dengan komunitasnya agar informasi yang beredar dalam komunitasnya tidak terlewatkan,
salah satunya melalui media sosial. Dalam hal ini, pendidikan perlu menjadi media yang terbuka
dan mewadahi berbagai informasi yang diperlukan siswa tidak hanya pada hal yang berkaitan
dengan pembelajaran, tetapi juga keterampilan hidup. Pendidikan perlu mampu mengkurasi
informasi apa saja yang memang bermanfaat bagi siswa, dan yang tidak. Kompetensi guru
menjadi sangat penting dalam hal akurasi tersebut.

 
Kebebasan Bersuara dan Menyesuaikan Kebutuhan Belajar
Gen Z lahir dengan salah satu kelebihan mampu memahami dirinya sendiri. Itu mengapa,
karakter Hiperkustomisasi menjadi salah satu ciri khas Gen Z. Dari sana, siswa menjadi terbiasa
menentukan kebutuhan apa yang mereka butuhkan dan perlu dapatkan. Aktivitas mereka
berselancar di dunia maya, merupakan bagian dari cara Gen Z memenuhi kebutuhan akan
dirinya.  Dalam konteks pendidikan, memberikan kebebasan siswa menentukan cara belajarnya
merupakan sebuah kebutuhan. Guru perlu untuk mampu melakukan personalisasi cara-cara
belajar bagi setiap siswa, dan memberikan siswa lebih banyak kesempatan untuk mencari
sumber belajar di luar aktivitas bersekolah. Karakter hiperkustomisasi menyebabkan siswa juga
menjadi terbiasa mengkritisi banyak hal di sekelilingnya, termasuk memberikan masukan
terhadap media-media belajar yang selama ini digunakannya. Penting bagi ekosistem
pendidikan untuk memberikan ruang kepada para siswa untuk menyampaikan gagasan dan
penilaiannya tentang proses belajar yang mereka jalani sehari-hari, termasuk berkesempatan
merekonstruksi harapan mereka tentang pendidikan di masa depan. Kenyamanan belajar
adalah yang utama bagi Gen Z.
Dalam praktik pembelajaran saat ini, siswa menjadi sangat kompetitif dengan keragaman
potensi yang dimilikinya. Ini perlu menjadi catatan penting bagi pendidikan khusunya guru
untuk mampu memfasilitasi karakter terpacu tersebut melalui berbagai media yang mampu
mengakomodir potensi siswa yang beragam, tanpa mengarahkan pada upaya
memperbandingkan antara siswa yang satu dan yang lainnya. Siswa perlu lebih banyak
diapresiasi dan menjadikan praktik tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya-upaya
reflektif semua pihak dalam memperbaiki kualitas pembelajaran.

Karakter lain dari Gen Z adalah Weconomist. Pada karakter ini, Gen Z lebih menyenangi
kegiatan yang sifatnya berkelompok dan selalu terhubung dengan sejawatnya. Dalam
pembelajaran, karakter ini dapat difasilitasi dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang
melibatkan lebih dari satu siswa dan mengkondisikan siswa untuk saling berkolaborasi dalam
menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran yang diberikan. Pendekatan pembelajaran berbasis
proyek dan sejenisnya akan membuat siswa terbiasa bekerja dengan kelompok dan berbagi
informasi di dalamnya. Siswa perlu lebih banyak didekatkan dengan sesamanya, untuk dapat
saling belajar dan memberikan masukan dengan komunitasnya (peer review), dengan tetap
menempatkan guru sebagai fasilitator belajar. Kegiatan eksplorasi siswa juga perlu untuk
semakin dihidupkan melalui berbagai percakapan/diskusi antar siswa. Siswa saling
menyampaikan apa yang mereka temui dan mereka harapkan, serta mempertemukan mereka
pada berbagai ide dan gagasan. Upaya ini berkaitan juga dengan karakteristik Gen Z yang lebih
senang melalukan banyak hal sendiri (DIY/Do It Yourself). Untuk membangun karakter ini, guru
dapat banyak membangun pembelajaran dengan pendekatan yang beragam untuk mendorong
kreativitas siswa dalam banyak hal. Internet perlu lebih diarahkan oleh guru sebagai sumber
informasi dan inspirasi meningkatkan keterampilan hidup siswa.

Bagaimanapun, proses belajar harus bersifat mandiri, demokratis, dan membuka ranah yang
luas bagi penciptaan dan penemuan hal-hal baru dalam pembelajaran. Guru perlu menciptakan
iklim belajar yang mampu membangun self regulation pada diri siswa. Siswa juga perlu lebih
banyak dilatih untuk realistis tentang kehidupan dan masa depaannya nanti. Guru juga perlu
menyampaikan secara terbuka peluang, tantangan dan juga hambatan yang mungkin nantinya
akan membuat siswa memerlukan upaya lebih untuk mencapai cita-cita yang mereka
impikan. Dengan berbagai upaya tersebut, pendidikan diharapkan mampu memberikan
masukan tentang hal-hal rasional yang perlu Gen Z lakukan dalam kehidupan
mereka, pada saat ini dan juga nanti. ***

Analisis dalam artikel ini mengambil beberapa referensi dari KTI penulis yang telah diterbitkan
oleh Jurnal Masyarakat Indonesia, LIPI, edisi 1, Juni 2020 dengan judul "Memahami Generasi
Pascamilenial: Sebuah Tinjauan Praktik Pembelajaran Siswa".
*Gambar artikel dikutip dari Hasil Sensus Penduduk 2020 oleh BPS di tautan
https://www.bps.go.id/

Generasi Z terdiri dari kaum muda berusia 15-21 tahun. Pikiran, perilaku, dan kebiasaan anak
muda seusia mereka, tentu berbeda dengan generasi sebelumnya. Ini yang membuat mereka
kadang sulit dipahami oleh orang-orang di sekitarnya. Banyak orangtua, pembuat kebijakan,
perusahaan, sekolah, ahli sosiologi, sampai pemasar atau pengiklan yang kemudian menebak-
nebak, apa sebenarnya isi kepala generasi Z? Dilansir dari Smart-money.co, lembaga riset asal
Inggris Varkey Foundation melakukan survei kepada remaja dan dewasa muda di negara maju
dan berkembang. Pertanyaan pertama yang diajukan kepada mereka adalah, “Apakah mereka
bahagia?” Sebanyak 68 persen dari 20.088 responden mengaku bahagia. Yang menarik,
kebahagiaan pada anak muda cenderung lebih tinggi di negara-negara berkembang dibanding
negara maju. Sebanyak 90 persen responden asal Indonesia mengaku bahagia dan 78 persen
responden asal Nigeria mengaku bahagia. Sedangkan di Inggris dan Perancis hanya 57 persen
responden yang mengaku bahagia. Terkait kesehatan, seperlima responden di seluruh dunia
mengaku punya cukup waktu untuk tidur, olahraga, istirahat, dan refleksi. Namun soal
kesehatan mental, anak muda di Inggris malah menempati posisi kedua paling rendah dari 20
negara yang masuk survei. Penyebabnya adalah tekanan di sekolah. Bicara soal pandangan
sosial dan budaya, anak muda masa kini mengaku nilai-nilai mereka dipengaruhi sumber
tradisional seperti orang tua, teman, dan guru. Namun, anak muda masa kini lebih liberal
dengan masalah pribadi dan politik yang beragam. Mereka juga yakin bahwa pria dan wanita
harus diperlakukan sama. Uniknya, 37 persen responden pesimistis pada masa depan mereka.
Hanya 20 persen yang mengaku optimistis pada masa depannya. Dapatkan informasi,
inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Isi pikiran generasi Z lainnya dapat dilihat
di infografis berikut:

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apa Isi Kepala Generasi Z?", Klik untuk
baca: https://biz.kompas.com/read/2017/05/24/181940328/apa.isi.kepala.generasi.z..

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:


Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Generasi Z cenderung percaya diri memegang kendali atas karier sendiri.
Mark Elliot Zuckerberg telah membuktikan kesuksesannya sebagai anak Generasi
Milenialdengan penghasilan miliaran dolar pada usia 23 tahun setelah
mendirikan Facebook. 

Ada pula Miley Cyrus, yang bersolek dengan balutan nyeleneh, berhasil mencuri panggung
musik dan menyedot penonton. Sedangkan Paul Pogba menjadi ikon Milenial di lapangan
hijau dan Agustus 2016 memecahkan rekor nilai transfer termahal.

Zuck, Cyrus, dan Pogba hanyalah tiga dari banyak Generasi Milenial yang sukses dan
menjadi ikon masa. 

“Mereka kurang ajar, mereka narsis, mereka berhak,” kata Alex Williams
dalam tulisannya di The New York Times.

Tapi itu Generasi Milenial alias Generasi Y. Bagaimana generasi berikutnya: Generasi Z? 
PR Newswire bersama Monster Worldwide melakukan survei pada 2016 terhadap
multigenerasi di Amerika Serikat dalam kaitannya memandang karier dan pekerjaan,
termasuk Generasi Z. Salah satu kesimpulannya, uang dan ambisi menjadi mesin
penggerak Gen Z.

Dalam melihat pekerjaan dan karier, mayoritas Gen Z (76 persen) percaya mereka pemilik
dari karier sendiri. Konsekuensinya, 49 persen dari mereka ingin berwirausaha dan
memiliki bisnisnya sendiri. Padahal, angka rata-rata yang ingin berwirausaha di antara
semua generasi hanya sebanyak 32 persen.

Yang menarik, jika Generasi Milenial memprioritaskan peningkatan kinerja seperti fasilitas


bermain, tidur, dan penghilang stres lain harus ada di kantor, Gen Z menunjukkan gejala
berbeda. Ada tiga prioritas yang dilihat oleh Gen Z di tempatnya bekerja: asuransi
kesehatan (70 persen), gaji yang kompetitif (63 persen), dan bos yang respek (61 persen).

Ini sedikit agak berbeda dari kecenderungan rata-rata semua generasi yang
memprioritaskan asuransi kesehatan (68 persen), gaji kompetitif (59 persen), dan respek
dari bos (60 persen).

Sebanyak 58 persen Gen Z juga tergiur mendapat gaji lebih baik sehingga mau bekerja di
akhir pekan. Sedangkan rata-rata 41 persen dari seluruh generasi bersedia kerja ekstra.

Bagaimana peluang Gen Z berpindah-pindah kerja? 

Sebanyak 74 persen Gen Z bersedia pindah kerja jika tempat kerja baru memenuhi pilihan
dan kesempatan yang lebih baik. 

Ada beberapa alasan yang memengaruhi mereka pindah kerja: gajinya besar, sesuai
gairah, dan terjamin.

Sebagai 'pribumi' era digital, menurut survei yang sama, teknologi mobile dan internet
memungkinkan mereka lebih produktif. Mereka percaya perangkat mobile  bakal terus
mengubah cara berkomunikasi di kantor dan dengan klien. 
Kepercayaan terhadap Perguruan Tinggi
Berdasarkan survei dari Northeastern University terhadap 1.015 responden Gen Z (16-19
tahun) di Amerika Serikat, antara 8-23 Oktober 2014, mayoritas responden cenderung
yakin bahwa perguruan tinggi berperan penting menopang karier. Delapan dari 10 orang
atau 81 persen responden menyatakan hal itu. 

Meski sistem pendidikan sarjana di AS mengenal utang buat membiayai pendidikan,


menurut survei itu, hampir dua per tiga dari mereka berkata perguruan tinggi tetap
bermanfaat lebih besar dari tanggungan kuliah. Namun, Gen Z juga memandang penting
soal problem perguruan tinggi. Hampir setengahnya berkata perguruan tinggi harus
mengubah pendekatan karena yang ada sekarang ini tidaklah efektif.
Mereka ingin mendapatkan pengalaman lebih di ruang kuliah. Mereka menyarankan perlu
ada peningkatan inovasi dari perguruan tinggi konvensional, misalnya, peningkatan dalam
hal keterampilan praktis dan pengalaman kerja. 

Beberapa tahun lagi, kita akan melihat bagaimana cara pandang generasi ini kelak setelah
lulus sekolah dan perguruan tinggi. 

Baca juga artikel terkait GENERASI Z atau tulisan menarik lainnya Tony Firman 


(tirto.id - ton/msh)

Anda mungkin juga menyukai