Anda di halaman 1dari 15

Nama :Muhammad Syahrul Ramadhan

Nim :1931041058
Kelas :PJKR C

TUGAS MATA KULIAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK ( PPD )


PEMBAHASAN MATERI PEMBELAJARAN PERKEMBANGAN

1. KARAKTERISTIK GENERASI Z DAN ALPHA


Menurut Tapscott dalam Islami (2016), generasi Z adalah golongan yang dilahirkan tahun
1998 hingga 2009. Generasi Z adalah generasi teknologi. Mereka telah mulai mengenal internet
dan web seiring dengan usia mereka sejak mereka masih kecil. Generasi Z telah dikenalkan
dengan dunia laman sosial sejak kecil. Generasi Z adalah orang yang lahir ketika teknologi telah
menguasai dunia, oleh karena itu generasi ini dikenal sebagai thesilentgeneration, generasi
senyap dan generasi internet. Generasi Z, disebut juga iGeneration atau generasi internet (Putra,
2016). Generasi Z memiliki kesamaan dengan generasi Y, tapi generasi Z mampu
mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu (multi tasking) seperti: menjalankan sosial
media menggunakan ponsel, browsing menggunakan PC, dan mendengarkan musik
menggunakan headset. Apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya.
Sejak kecil generasi ini sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih yang secara
tidak langsung berpengaruh terhadap kepribadian.Bahkan, kemampuan teknologi mereka seakan
bawaan dari lahir.Ketika platform seperti Facebook dan Twitter pertama kali keluar, millennial
dan generasi yang lebih tua menggunakannya tanpa memikirkan dampak. Seiring waktu, mereka
menyadari bahwa mengumbar hidup di mata publik dapat dengan mudah menghantui mereka.
Generasi Z telah belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut dan memilih platform yang lebih
bersifat privasi dan tidak permanen. Generasi Z dikenal lebih mandiri daripada generasi
sebelumnya. Mereka tidak menunggu orangtua untuk mengajari hal-hal atau memberi tahu
mereka bagaimana membuat keputusan. Apabila diterjemahkan ke tempat kerja, generasi ini
berkembang untuk memilih bekerja dan belajar sendiri. Tanpa diragukan lagi, generasi Z akan
menjadi generasi yang paling beragam yang memasuki lapangan kerja dalam sejarah Amerika
Serikat. Mereka terdiri dari berbagai bagian dari kelompok ras atau etnis minoritas. Mereka juga
dibesarkan untuk lebih menerima dan menghormati lingkungan dibanding generasi orang-orang
sebelumnya.Generasi Z menempatkan uang dan pekerjaan dalam daftar prioritas. Tentu saja,
mereka ingin membuat perbedaan, tetapi hidup dan berkembang adalah lebih penting. Dill
(2015) mengemukakan bahwa Forbes Magazine membuat survei tentang generasi Z di Amerika
Utara dan Selatan, di Afrika, di Eropa, di Asia dan di Timur Tengah. 49 ribu anak-anak ditanya.
Atas dasar hasil itu dapat dikatakan bahwa generasi Z adalah generasi global pertama yang
nyata.. Smartphone dan media sosial tidak dilihat sebagai perangkat dan platform, tapi lebih pada
cara hidup. Kedengarannya gila, tapi beberapa penelitian mendukung klaim ini. Sebuah studi
oleh Goldman Sachs menemukan bahwa hampir setengah dari Gen Zers terhubung secara online
selama 10 jam sehari atau lebih. Studi lain menemukan bahwa seperlima dari Z Gen mengalami
gejala negatif ketika dijauhkan dari perangkat smartphone mereka. Cepat merasa puas diri
bukanlah sebuah kata yang mencerminkan generasi Z. Sebanyak 75% dari Gen Z bahkan tertarik
untuk memegang beberapa posisi sekaligus dalam sebuah perusahaan, jika itu bisa mempercepat
karier mereka. Bagi generasi Z informasi dan teknologi adalah hal yang sudah menjadi bagian
dari kehidupan merek, karena mereka lahir dimana akses terhadap informasi, khususnya internet
sudah menjadi budaya global, sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap nilai-nilai, pandangan
dan tujuan hidup mereka. Bangkitnya generasi Z juga akan menimbulkan tantangan baru bagi
praktek manajemen dalam organisasi, khususnya bagi praktek manajemen sumber daya manusia.
Generasi alpha merupakan anak – anak yang dilahirkan oleh generasi milenial. Istilah ini
dikemukakan oleh mark Mc Crindle melalui tulisan di majalah Business Insider (Christina
Sterbenz, 2015). Generasi alpha (2011 – 2025) generasi yang paling akrab dengan teknologi
digital dan generasi yang diklaim paling cerdas dibandingkan generasi generasi sebelumnya.
Sebanyak 2,5 juta anak generasi alpha lahir di dunia setiap minggunya. Gen A merupakan
generasi paling akrab dengan internet sepanjang masa. Mc Crindler juga memprediksi bahwa
generasi Alpha tidak lepas dari gadget, kurang bersosialisasi, kurang daya kreativitas dan
bersikap individualis. Generasi alpha menginginkan hal-hal yang instan dan kurang menghargai
proses. Keasyikan mereka dengan gadget membuat mereka teralienasi secara sosial.
Perkembangan anak (generasi alpha) di era 4.0. hal ini tentunya merubah cara pandang dan pola
hidup masyarakat yang semula konvensional menjadi inkonvensional. Terlebih pertumbuhan
teknologi, mau tidak mau masyarakat dituntut untuk berevolusi. Berdasarkan seluruh aspek
kehidupan, peran keluarga yang paling penting dalam proses tumbuh kembang anak. Jika yang di
bicarakan adalah generasi alpha, maka peran keluarga yang sudah pasti terdiri dari generasi Y
dan Z yang cenderung sebagai pengambil keputusan, sementara generasi veteran dan X berperan
sebagai konselor dan pendamping sehingga menghasilkan kolaborasi antar generasi
menghasilkan new brainstorming terhadap generasi alpha. Fenomena Anak belajar bagaimana
menggunakan perangkat lunak (sudah mengenal touch screen) di usia dua tahun. Orang tua
merasa panik dengan apa yang di bilan anaknya dan mendapatkan respon yang berbeda tidak
sesuai dengan apa yang di bayangkan. Sebagai ayah juga harus memperhatikan dengan serius
tentang kebiasaan anaknya bermain game pembunuhan dengan membunuh karakter yang ada
didalam game. Cerita ini memberikan gambaran bagaimana anak sudah memasuki kedalam
dunia yang berbeda di generasinya, tentu sangat tekjub dan memberikan permasalahan. Tetapi
kejadian ini tidak dapat di hindari dikarenakan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi
yang semakin pesat. Hal ini membuat anak semakin lama dan sering di depan layar yang
berdampak buruk untuk anak disisi lain aplikasi yang ada dapat membantu anak dalam mengasah
keterampilan dan komunikasi. Hal ini di pengaruhi oleh teknologi dan budaya di generasi alfa,
maka dapat dilihat denan tiga perspektif diantaranya: efek teknologi pada pikiran generasi alfa;
tren teknologi yang akan menunjukkan gambaran generasi alfa; dan bagaimana
mengorganisasikan dan memunculkan keunikan mampu mengarahkan generasi alfa. Inti dari
semua ini tidak di peroleh dengan suatu prediksi, tetapi menggali, berdasarkan arus dan
kegentingan trend, faktor inilah yang membuat generasi yang akan datang. Point penting untuk
di ketahui bahwa batasan antar generasi sebagian besar bersifat arbitrasi dan jauh lebih banyak
memiliki persamaan daripada perbedaan antara satu kelompok generasi dan generasi selanjutnya.
Generasi alfa tidak lahir berbeda dengan milenial atau generasi Z, tetapi kepribadian, motivasi
dan penampilan yang di tunjukkan akan mewarnai oleh mereka sebagai bagian yang tidak
terpisahkan. Teknologi akan memberikan akses yang baik untuk mengarahkan pemikiran dan
tindakan serta percepatan teknologi meningkatkan perubahan. Trend yang ditunjukan juga tidak
dipengaruhi oleh generasi alfa, namun akan berdampak pada kondisi pertukaran mentalias antar
generasi. Memahami perubahan tersebut akan memfokuskan peran dan perilaku. Otak manusia
dipengaruhi oleh stimulasi kata kata untuk berkembang. Tetapi beberapa dekade ini, anak
memiliki kemampuan yang meningka dengan adanya teknologi digital untuk belajar, interaksi
dan bermain. Hal ini meningkatkan kapasitas dalam pengetahuan dan intelegensi. Otak tidak
dikembangkan dengan sendirinya; ini dipengaruhi oleh pengalaman dengan lingkungan
eksternal. Hal ini yang di sebut sebagai brain plasticity. Setiap keterampilan dan kemampuan
yang kita punya diisi dengan bagaimana kita melakukan pendekatan dengan pikiran yang ada
didunia” (Michael Merzenich, 2017 dalam understanding generation alpha). Seperti hal nya
bagaimana teknologi mengubah pemikiran anak muda secara tidak langsung. Digaris bawahi
sebagai pembeajaran: googel membuat menjadi bodoh; smartphone membuat kita seperti
zombie; facebook membuat diri menjadi narsis kepada semua orang dan sebagainya. Pendapat
tersebut tentang teknologi mengubah keterampilan yang dimiliki dimasa depan sepanjang dapat
diikuti manusia dan aktifitas otak yang memberikan tugas yang monoton untuk selalu fokus
dalam permasalahan yang memiliki permasalahan yang tinggi. Generasi alfa sendiri akan
memiliki suatu keterampilan yang di tunjukan (become more specialised) memiliki spesialisai.
Merzenich melakukan observasi beberapa tahun ini menunjukkan meningkatnya spesialisasi.
Serta memprediksi trend teknologi akan berlanjut di generasi alfa dan akan mendorong kearah
auotomatisasi dengan memiliki kemampuan berdasarkan bidang spesialisasi untuk memenuhi
tugas dalam bekerja. Automatisasi akan ada di bidang transportasi, manufaktur dan aktifitas yang
memiliki resiko tinggi. (Michael Merzenich, 2017 dalam understanding generation alpha).
Secara sederhana teknologi dapat membuat lebih pintar diantaranya (1) meningkatkan
keterampilan visual (2) meningkatkan kemampuan kordinasi mata dan kemampuan dalam
melakukan tugas (3) mengingkatkan skor dalam tugas (intelegensi test). Psikolog jean Twenge
2017 dalam understanding generastion alpha) menggambarkan berkembangnya smartphone dan
sosial media dan meningkatnya depresi dan kesendirian di masa muda. Selain itu menemukan
hasil dalam survey dan laporan menemukan igen kurang dalam berkegiatan, kurang minum dan
jarang keluar rumah tetapi menghabiskan banyak waktunya untuk online. Twenge
menghubungkan bahwa level kebahagiaan anak muda dengan waktunya dihabiskan lebih banyak
di internet, social media dan pesan singkat seperti hal yang dilaporkan menjadi tidak bahagia.
Secara tidak langsung generasi alpha menunjukkan teknologi baru akan membuat standar baku
untuk generasi tersebut ; memiliki beragam pilihan, perbedaan dan jelas ; video mendominasi
media sosial dan generasi alpha akan memililki indentitas online gand.
2. KECERDASAN MAJEMUK MENURUT HOWARD GARDNER
Seorang ahli pendidikan lain dari Harvard University bernama Howard Gardner berpendapat
bahwa tidak ada manusia yang tidak cerdas. Paradigma ini menentang teori dikotomi cerdas-
tidak cerdas. Gardner juga menentang anggapan “cerdas” dari sisi IQ (intelectual quotion), yang
menurutnya hanya mengacu pada tiga jenis kecerdasan, yakni logiko-matematik, linguistik, dan
spasial.
Kecerdasan, menurut paradigma multiple intelligences (Gardner, 1993), dapat didefinisikan
sebagai kemampuan yang mempunyai tiga komponen utama, yakni:
1. kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan nyata seharihari;
2. kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru yang dihadapi untuk diselesaikan;
3. kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan
penghargaan dalam budaya seseorang.
Kecerdasan Dalam Multiple Intelligences
1. Kecerdasan Verbal-Linguistik Kecerdasan ini ditunjukkan dengan kepekaan seseorang pada
bunyi, struktur, makna, fungsi kata, dan bahasa. Anak yang memiliki kecerdasan ini cenderung
menyukai dan efektif dalam hal berkomunikasi lisan dan tulisan mengarang cerita, diskusi dan
mengikuti debat suatu masalah, belajar bahasa asing, bermain “game” bahasa, membaca dengan
pemahaman tinggi, mudah mengingat ucapan orang lain, tidak mudah salah tulis atau salah eja,
pandai membuat lelucon, pandai membuat puisi, tepat dalam tata bahasa, kaya kosa kata, dan
menulis secara jelas.
2. Kecerdasan Logis-Matematis Kecerdasan ini ditandai dengan kepekaan pada pola-pola logis
dan memiliki kemampuan mencerna pola-pola tersebut, termasuk juga numerik serta mampu
mengolah alur pemikiran yang panjang. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini cenderung
menyukai dan efektif dalam hal: menghitung dan menganalisis hitungan, menemukan fungsi-
fungsi dan hubungan, memperkirakan, memprediksi, bereksperimen, mencari jalan keluar yang
logis, menemukan adanya pola, induksi dan deduksi, mengorganisasikan/membuat garis besar,
membuat langkah-langkah, bermain permainan yang perlu strategi, berpikir abstrak dan
menggunakan simbol abstrak, dan menggunakan algoritma.
3. Kecerdasan Visual-Spasial Kecerdasan ini ditandai dengan kepekaan mempersepsi dunia
visualspasial secara akurat dan mentransformasi persepsi awal. Seseorang yang memiliki
kecerdasan ini cenderung menyukai arsitektur, bangunan, dekorasi, apresiasi seni, desain, atau
denah. Mereka juga menyukai dan efektif dalam membuat dan membaca chart, peta, koordinasi
warna, membuat bentuk, patung dan desain tiga dimensi lainnya, menciptakan dan
menginterpretasi grafik, desain interior, serta dapat membayangkan secara detil benda-benda,
pandai dalam navigasi, dan menentukan arah. Mereka suka melukis, membuat sketsa, bermain
game ruang, berpikir dalam image atau bentuk, serta memindahkan bentuk dalam angan-angan.
4. Kecerdasan Musikal Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan menciptakan dan
mengapresiasi irama pola titi nada, dan warna nada; juga kemampuan mengapresiasi bentuk-
bentuk ekspresi musikal. Seseorang yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung menyukai dan
efektif dalam hal menyusun/mengarang melodi dan lirik, bernyanyi kecil, menyanyi dan bersiul.
Mereka juga mudah mengenal ritme, mudah belajar/mengingat irama dan lirik, menyukai
mendengarkan dan mengapresiasi musik, memainkan instrumen musik, mengenali bunyi
instrumen, mampu membaca musik, mengetukkan tangan dan kaki, serta memahami struktur
musik.
5. Kecerdasan Kinestetik Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan mengontrol gerak tubuh
dan kemahiran mengelola objek. Seseorang yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung
menyukai dan efektif dalam hal mengekspresikan dalam mimik atau gaya, atletik, menari dan
menata tari; kuat dan terampil dalam motorik halus, koordinasi tangan dan mata, motorik kasar
dan daya tahan. Mereka juga mudah belajar dengan melakukan, mudah memanipulasikan
bendabenda (dengan tangannya), membuat gerak-gerik yang anggun, dan pandai menggunakan
bahasa tubuh
6. Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan mencerna dan
merespons secara tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain. Seseorang
yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam hal mengasuh dan
mendidik orang lain, berkomunikasi, berinteraksi, berempati dan bersimpati, memimpin dan
mengorganisasikan kelompok, berteman, menyelesaikan dan menjadi mediator konflik,
menghormati pendapat dan hak orang lain, melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, sensitif
atau peka pada minat dan motif orang lain, dan handal bekerja sama dalam tim.
7. Kecerdasan Naturalis Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian membedakan anggota-anggota
suatu spesies, mengenali eksistensi spesies lain, dan memetakan hubungan antara beberapa
spesies, baik secara formal maupun informal. Seseorang yang optimal kecerdasan naturalisnya
cenderung menyukai dan efektif dalam menganalisis persamaan dan perbedaan, menyukai
tumbuhan dan hewan, mengklasifikasi flora dan fauna, mengoleksi flora dan fauna, menemukan
pola dalam alam, mengidentifikasi pola dalam alam, melihat sesuatu dalam alam secara detil,
meramal cuaca, menjaga lingkungan, mengenali berbagai spesies, dan memahami
ketergantungan pada lingkungan.
8. Kecerdasan Intrapersonal Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan memahami perasaan
sendiri dan kemampuan membedakan emosi, serta pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan
diri. Seseorang yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam hal
berfantasi, “bermimpi”, menjelaskan tata nilai dan kepercayaan, mengontrol perasaan,
mengembangkan keyakinan dan opini yang berbeda, menyukai waktu untuk menyendiri,
berpikir, dan merenung. Mereka selalu melakukan introspeksi, mengetahui dan mengelola minat
dan perasaan, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri, pandai memotivasi diri, mematok tujuan
diri yang realistis, dan memahami.
9. Kecerdasan Eksistensial Kecerdasan eksistensial ditandai dengan kemampuan berpikir sesuatu
yang hakiki, menyangkut eksistensi berbagai hal, termasuk kehidupankematian, kebaikan-
kejahatan. Eksistensial muncul dalam bentuk pemikiran dan perenungan. Seseorang yang cerdas
secara eksistensial cenderung mempertanyakan hakikat kehidupan, mencari inti dari setiap
permasalahan, merenungkan berbagai hal atau peristiwa yang dialami, memikirkan hikmah atau
makna di balik peristiwa atau masalah, dan mengkaji ulang setiap pendapat dan pemikiran.
Orang yang cerdas secara eksistensial cenderung berani menyatakan keyakinan dan
memperjuangkan kebenaran, mampu menempatkan keberadaan sesuatu dalam bingkai yang
lebih luas, selalu mempertanyakan kebenaran suatu pernyataan/kejadian, memiliki pengalaman
yang mendalam tentang cinta pada sesama dan seni, mampu menempatkan diri dalam kosmis
yang luas, serta memiliki kemampuan merasakan, memimpikan, dan merencanakan hal-hal yang
besar.
Howard Gardner (1993; Armstrong, 1993) menyadari bahwa banyak orang bertanya-
tanya tentang konsep multiple intelligences. Benarkah musikal, visual-spasial, intrapersonal, dan
kinestetik dapat dikategorikan sebagai kecerdasan, dan bukan bakat? Untuk menguatkan temuan
dan keyakinannya, Gardner menyusun kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap kategori
kecerdasan. Kriteria tersebut didasarkan pada bukti-bukti berikut.
1. Ditemukannya potensi yang terisolasi akibat kerusakan otak. Ini berarti setiap kecerdasan
memiliki sistem otak yang relatif otonom. Terdapat struktur otak dalam setiap kecerdasan.
2. Ditemukannya orang-orang genius dan idiot savant. Ini berarti, ada kecerdasan yang sangat
tinggi sementara kecerdasan lain hanya berfungsi pada tingkat rendah.
3. Ditemukannya riwayat perkembangan khusus dan kinerja kondisi puncak bertaraf ahli yang
khas. Hal ini berarti, kecerdasan terbentuk melalui keterlibatan anak dalam kegiatan dan setiap
kecerdasan memiliki waktu kemunculan tertentu. Musik dan bahasa, misalnya muncul sejak awal
dan bertahan hingga usia tua sementara logiko-matematis mencapai kinerja kondisi puncak pada
usia belasan tahun.
4. Ditemukannya bukti-bukti sejarah dan kenyataan logis evolusioner. Hal ini berarti, kecerdasan
ada pada setiap kurun waktu, meskipun peran dari setiap kecerdasan tidak sama. Bukti
kecerdasan musik ditemukan pada bukti arkeologis instrumen musik purba.
5. Ditemukannya dukungan dari temuan psikometri atau tes pengujian, seperti tes verbal IQ dan
TPA (verbal-linguistik), penalaran IQ dan TPA (logiko-matematik), tes bakat seni dan tes
memori visual (visual-spasial), tes kebugaran fisik (kinestetik), sosiogram (interpersonal), tes
proyeksi (intrapersonal) untuk mengenali kecerdasan anak. Saat ini, telah dibuat tes psikometri
untuk kecerdasan majemuk.
Menurut Howard Gardner, multiple intelligences memiliki karakteristik konsep yang
berbeda dengan karakteristik konsep kecerdasan terdahulu. Karakteristik yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
1. Semua inteligensi itu berbeda-beda, tetapi semuanya sederajat. Dalam pengertian ini, tidak ada
inteligensi yang lebih baik atau lebih penting dari inteligensi yang lain (Gardner, 1993; Hine;
2003; Armstrong, 1993; 1996).
2. Semua kecerdasan dimiliki manusia dalam kadar yang tidak persis sama. Semua kecerdasan
dapat dieksplorasi, ditumbuhkan, dan dikembangkan secara optimal.
3. Terdapat banyak indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan. Dengan latihan, seseorang
dapat membangun kekuatan kecerdasan yang dimiliki dan menipiskan kelemahan-kelemahan.
4. Semua kecerdasan yang berbeda-beda tersebut akan saling bekerja sama untuk mewujudkan
aktivitas yang diperbuat manusia. Satu kegiatan mungkin memerlukan lebih dari satu
kecerdasan, dan satu kecerdasan dapat digunakan dalam berbagai bidang (Gardner, 1993: 37–
38).
5. Tahap-tahap alami dari setiap kecerdasan dimulai dengan kemampuan membuat pola dasar.
Kecerdasan musik, misalnya ditandai dengan kemampuan membedakan tinggi rendah nada.
Sementara kecerdasan spasial dimulai dengan kemampuan pengaturan tiga dimensi.
Untuk memperoleh kejelasan konsep kecerdasan dalam teori Multiple Intelligence,
Gardner membedakan istilah kecerdasan dengan keterbakatan, keahlian dan kreativitas. Menurut
Gardner, kecerdasan adalah potensi biopsikologi yang berlaku pada sesuai umur. Keterbakatan
adalah tanda potensi biopsikologi yang berkembang dengan cepat dalam bidang pemikiran apa
pun. Seorang anak yang dengan cepat menguasai tugas suatu bidang dikatakan berbakat. Seorang
anak mungkin berbakat di bidang tari, di bidang seni suara atau bidang arsitektur, kecerdasan
tidak terikat pada bidang pekerjaan tertentu, sedangkan keterbakatan berada dalam wilayah
bidang tertentu. Sebaliknya, keahlian dapat dibangkitkan setelah seseorang bekerja dalam waktu
tertentu dalam suatu bidang. Pada waktu itu seseorang pasti sudah menguasai keterampilan dan
pengetahuan yang mensyaratkan prestasi di bidang itu. Keahlian dipandang sebagai suatu jenis
kesempurnaan teknis. Di lain pihak, kreativitas adalah suatu penilaian yang baru dalam bidang
terntetu yang akhirnya diakui. Penilaian keaslian hanya dapat dibuat oleh orang yang mengerti
bidang itu, walaupun bukan ahli. Kecerdasan yang dimiliki seseorang dapat berkembang sampai
tingkat kemampuan yang disebut mumpuni. Pada tingkat ini, kemampuan seseorang di bidang
tertentu, yang berkaitan dengan kecerdasan itu, akan terlihat sangat menonjol.
3. PERKEMBANGAN KECERDASAN EMOSI ( EQ ) MENURUT DANIEL GOLEMAN
Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan
emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression)
melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan
sosial. Daniel Goleman mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan
sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang
lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan
akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki
seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional
tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan
mengatur suasana hati. Daniel Goleman (Emotional Intelligence) menyebutkan bahwa
kecerdasan emosi jauh lebih berperan ketimbang IQ atau keahlian dalam menentukan siapa yang
akan jadi bintang dalam suatu pekerjaan.

Lima Dasar Kemampuan dalam Teori Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan
emosional, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kesadaran diri membuat
kita lebih waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila
kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai
oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun
merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu
mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat
terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga
agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan
emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan
mengoyak kestabilan kita . Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
meraih Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti
memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan
hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis
dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman
kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan
empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan
orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang
popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar sesama. Keterampilan dalam
berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.
Terkadang manusia sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga
memahami keinginan serta kemauan orang lain.
4. PERKEMBANGAN KECERDASAN KOGNITIF MENURUT PIAGET

Piaget adalah seorang tokoh  psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya.  Menurut Piaget, perkembangan kognitif
merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis
perkembangan sistem syaraf.  Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin
komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.  Ketika individu
berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang
akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur kognitifnya. Piaget
tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. 
Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda
pula secara kualitatif. Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-
tahap perkembangannya sesuai dengan umurnya.  Pola dan tahap-tahap ini bersifat hierarkis,
artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang
berada di luar tahap kognitifnya. 

Melalui observasinya, Piaget meyakini bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam


empat tahapan. Masing-masing tahapan berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran
yang berbedabeda. Menurut Piaget, semakin banyak informasi tidak membuat pikiran anak lebih
maju, kualitas kemajuannya berbeda-beda. Tahap-tahap perkembangan kognitif tersebut adalah
tahap sensori motorik (usia 0–2 tahun), tahap pra-opersional (usia 2–7 tahun), tahap opersional
konkrit (usia 7–11 tahun) dan tahap opersional formal (usia 11–15 tahun).

Tahap sensorimotor. Tahap ini berlangsung sejak kelahiran sampai sekitar usia dua tahun.
Dalam tahapan ini, bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengoordinasikan pengalaman
indra (sensory) mereka dengan gerakan motor (otot). Pada awal tahap ini, bayi memperlihatkan
tak lebih dari pola reflektif untuk beradaptasi dengan dunia. Di usia antara satu sampai empat
bulan, seorang bayi mengandalkan reaksi sirkular primer, yaitu tindakan atau gerakan yang dia
buat sebagai respons dari tindakan sebelumnya dengan bentuk yang sama. Di usia empat sampai
dua belas bulan, bayi beralih pada reaksi sirkular sekunder yang berisi tindakan-tindakan yang
berusaha terlibat dengan lingkungan sekitar. Dia berusaha mempelajari “prosedur dan cara kerja”
sesuatu yang dapat menyenangkan hatinya dan mengusahakannya agar terus bertahan. Dengan
cara ini, dia mulai belajar mengingat objek secara permanen. Ini adalah kemampuan untuk
mengingat, artinya kalau anda tidak dapat melihat sesuatu, bukan berarti sesuatu itu hilang. Di
usia dua belas sampai dua puluh empat bulan, anak-anak menggunakan reaksi sirkular tersier,
yatiu mempertahankan hal-hal yang menarik, akan tetapi dengan variasi yang lebih tetap. Ketka
seorang bayi berusia satu setengah tahun, bayi tersebut mengalami perkembangan representasi
mental, yaitu kemampuan mempertahankan citraan dalam pikirannya untuk jangka waktu yang
lebih lama. Sebagai contoh; bayi dapat terlibat dalam apa yang disebut imitasi yang tertunda,
seperti memasang mimik jengkel setelah melihat seseorang sejam sebelumnya. Dia juga dapat
menggunakan kombinasi mental tertentu untuk menyelesaikan persoalan yang sederhana, seperti
menggunakan mainannya untuk membuka pintu. Dia juga memiliki pertimbangan yang cukup
baik.

Menjelang akhir tahap ini, bayi menunjukkan pola sensorimotor yang lebih kompleks.
Piaget percaya bahwa pencapaian kognitif yang penting di usia bayi adalah object permanence,
yang berarti bahwa pemahaman objek dan kejadian terus eksis bahkan ketika objek dan kejadian
itu tidak dapat dilihat, didengar atau disentuh. Pencapaian kedua adalah realisasi bertahap, bahwa
ada perbedaan atau batas antara diri dan lingkungan sekitar. Menjelang akhir periode
sensorimotor, anak bisa membedakan antara dirinya dan dunia sekitarnya dan menyadari bahwa
objek tetap ada dari waktu ke waktu. Tahap pra-operasional. Tahap ini berlangsung mulai usia 2
tahun sampai tujuh tahun. Tahap ini adalah tahap pemikiran yang lebih simbolis, tetapi tidak
melibatkan pemikiran operasional. Tahap ini lebih bersifat egosentris dan intuitis. Pemikiran pra-
operasional terdiri dari dua subtahap, yaitu tahap fungsi simbolis dan tahap pemikiran intuitif.

Sub-tahap fungsi simbolis terjadi di usia dua sampai empat tahun. Dalam sub tahap ini,
anak kecil secara mental mulai mempresentasikan objek yang tidak hadir. Ini memperluas dunia
mental anak hingga mencakup dimensi-dimensi baru. Perkembangan bahasa yang mulai
berkembang dan kemunculan sikap bermain adalah contoh dari peningkatan pemikiran fungsi
simbolis. Anak kecil mulai mencoret-coret gambar orang, rumah, mobil, awan dan benda-benda
lain di dunia ini. Dalam imajinasi mereka, matahari warnanya biru, langit berwarna hijau dan
mobil melayang di awan. Simbolisme yang sederhana tetapi kuat, tidak berbeda dengan lukisan
abstrak. Di usia Sekolah Dasar, lukisan anak menjadi makin realitas, rapi dan persis. Matahari
berwarna kuning, langit berwarna biru dan mobil berada di jalanan. Pemikiran pra-opersional
masih mengandung dua keterbatasan, yaitu egosentrisme dan animisme. Egosentrisme adalah
ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif milik sendiri dengan perspektif orang
lain. Piaget dan Barber Inhelder mempelajari egosentrisme anak dengan memberikan tugas
gunung. Animisme juga merupakan ciri pemikiran pra-operasional. Animisme adalah
kepercayaan bahwa objek tidak bernyawa punya kualitas “kehidupan” dan bisa bergerak.
Seorang anak kecil menunjukkan animisme ini dengan mengatakan “pohon itu mendorong daun
dan membuatnya gugur” atau “trotoar itu membuatku terjatuh”. Subtahap pemikiran intuitif
adalah subtahap kedua, dimulai usia empat tahun sampai tujuh tahun. Pada tahap ini anak mulai
menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan. Piaget
menyebut tahap ini sebagai intuitif karena anak-anak tampaknya merasa yakin terhadap
pengetahuan dan pemikiran mereka, tetapi tidak menyadari bagaimana mereka bisa mengetahui
apa-apa yang mereka ingin ketahui. Artinya mereka menyatakan bahwa mereka tahu sesuatu
tetapi mereka mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional. Contoh mereka sulit untuk
menempatkan benda atau sesuatu ke dalam kategori yang pas. Dalam tahap pra-opersional juga
menunjukkan karakteristik pemikiran yang disebut centration yakni pemfokusan (pemusatan)
perhatian pada satu karakteristik dengan mengabaikan karakteristik lainnya. Centration tampak
jelas dalam kurangnya konservasi dalam tahap ini. Konservasi yang dimaksud di sini adalah ide
bahwa beberapa karakteristik dari objek itu tetap sama meski objek itu berubah penampilannya.
Misalnya, orang dewasa tahu bahwa volume air akan tetap sama meskipun dia dimasukkan ke
dalam wadah yang bentuknya berlainan. Tetapi bagi anak kecil tidak demikan halnya. Mereka
biasanya heran pada perubahan bentuk cairan di dalam wadah yang berbeda-beda.

Menurut Piaget, kegagalan tugas conservation untuk kasus air ini menunjukkan bahwa
anak berada dalam tahap pemikiran pra-operasional. Anak juga tidak bisa melakukan apa yang
disebutnya sebagai “operasi” atau operation. Dalam teori Piaget, operasi adalah representasi
mental yang dapat dibalik (reversible). Contoh, Seorang anak kecil mungkin tahu bahwa 4 + 2 =
6, tetapi tidak tahu bahwa kebalikannya yakni 6 – 2 = 4. Atau misalnya, seorang anak prasekolah
pergi ke rumah temannya dengan berjalan kaki, tetapi dia pulang dengan menggunakan
kendaraan. Apabila diminta untuk berjalan dari rumah temannya untuk pulang, dia mungkin
menjawab tidak tahu jalannya karena dia tidak pernah berjalan pulang ke rumahnya. Tahap
opersional konkret, dimulai umur tujuh tahun sampai sebelas tahun. Pemikiran operasional
konkret mencakup penggunaan operasi. Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, tetapi
hanya dalam situasi konkret. Kemampuan untuk mengklasifikasikan sesuatu sudah ada, tetapi
belum bisa memecahkan problem-problem abstrak. Operasi konkret adalah tindakan mental yang
bisa dibalikkan yang berkaitan dengan objek konkret nyata. Operasi konkret membuat anak bisa
mengoordinasikan beberapa karakteristik, jadi bukan hanya fokus pada satu kualitas objek. Pada
level opersional konkret, anak-anak secara mental bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya
hanya mereka bisa lakukan secara fisik, dan mereka dapat membalikkan operasi konkret ini.
Yang penting dalam kemampuan tahap operasional konkret adalah pengklasifikasian atau
membagi sesuatu menjadi sub yang berbeda-beda dan memahami hubungnnya. Tahap ini
dimulai dengan tahap progressive decentring di usia tujuh tahun. Sebagian besar anak telah
memiliki kemampuan untuk mempertahankan ingatan tentang ukuran, panjang atau jumlah
benda cair. Maksud ingatan yang dipertahankan di sini adalah gagasan bahwa satu kuantitas akan
tetap sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah. Jika Anda memperlihatkan 4
kelereng dalam sebuah kotak lalu menyerakkannya di lantai, maka perhatian anak yang masih
berada pada tahap pra-opersional akan terpusat pada terseraknya kelereng tersebut dan akan
percaya jumlahnya bertambah banyak. Sebaliknya, anak-anak yang telah berada pada tahap
opersional konkret akan segera tahu bahwa jumlah kelereng itu tetap 4. Anak pun akan tahu jika
anda menuangkan susu yang ada di gelas gendut ke gelas ramping, maka volumenya tetap sama,
kecuali jika jumlah susu yang dituangkan memang sengaja dibedakan. Di usia 7 atau 8 tahun,
seorang anak akan mengembangkan kemampuan mempertahankan ingatan terhadap substansi.
Jika anda mengambil tanah liat yang berbentuk bola kemudian memencetnya jadi pipih atau anda
pecah-pecah menjadi sepuluh bola yang lebih kecil, dia pasti tahu bahwa itu semua masih tanah
liat yang sama. Bahkan kalau anda mengubah kembali menjadi bola seperti semula, dia tetap
tahu bahwa itu adalah tanah liat yang sama. Proses ini disebut proses keterbalikan. Di usia 9 atau
10 tahun, kemampuan terakhir dalam mempertahankan ingatan mulai diasah, yakni ingatan
tentang ruang. Jika anda meletakkan 4 buah benda persegi 1 x 1 cm di atas kertas seluas 10 cm
persegi, anak yang mampu mempertahankan ingatannya akan tahu bahwa ruang kertas yang
ditempati keempat benda kecil tadi sama, walau dimanapun diletakkan. Dalam tahap ini, seorang
anak juga belajar melakukan pemilahan (classification) dan pengurutan (seriation). Contoh
percobaan Piagetian dalam hal ini adalah: meminta anak untuk memahami hubungan antar kelas.
Salah satu tugas itu disebut seriation, yakni operasi konkret yang melibatkan stimuli pengurutan
di sepanjang dimensi kuantitatif. Untuk mengetahui apakah murid dapat mengurutkan, seorang
guru bisa meletakkan 8 batang lidi dengan panjang yang berbeda-beda secara acak di atas meja.
Guru kemudian meminta murid untuk mengurutkan batang lidi tersebut berdasarkan panjangnya.
Pemikiran operasional konkret dapat secara bersamaan memahami bahwa setiap batang harus
lebih panjang ketimbang batang sebelumnya atau batang sesudahnya harus lebih pendek dari
sebelumnya. Aspek lain dari penalaran tentang hubungan antar kelas adalah transtivity yaitu
kemampuan untuk mengombinasikan hubungan secara logis untuk memahami kesimpulan
tertentu. Tahap operasional formal, usia sebelas sampai lima belas tahun. Pada tahap ini individu
sudah mulai memikirkan pengalaman konkret, dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis
dan logis. Kualitas abstrak dari pemikiran operasional formal tampak jelas dalam pemecahan
problem verbal. Pemikir operasional konkret perlu melihat elemen konkret A, B, dan C untuk
menarik kesimpulan logis bahwa jika A = B dan B = C, maka A = C. Sebaliknya pemikir
operasional formal dapat memecahkan persoalan itu walau problem ini hanya disajikan secara
verbal. Selain memiliki kemampuan abstraksi, pemikir operasional formal juga memiliki
kemampuan untuk melakukan idealisasi dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan. Pada
tahap ini, anak mulai melakukan pemikiran spekulasi tentang kualitas ideal yang mereka
inginkan dalam diri mereka dan diri orang lain. Konsep operasional formal juga menyatakan
bahwa anak dapat mengembangkan hipotesis deduktif tentang cara untuk memecahkan problem
dan mencapai kesimpulan secara sistematis.

Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya mengidentifikasi 4 faktor yang sangat


berpengaruh, yaitu: (1) kematangan biologis; (2) aktivitas fisik; (3) pengalaman-pengalaman
sosial; dan (4) penyeimbangan (ekuilibrasi). Kesemua faktor ini saling berinteraksi dan
mempengaruhi perkembangan kognitif dengan mengubah proses-proses berpikir.

Kematangan biologis adalah salah satu faktor yang terpenting dalam perkembangan


kognitif. Kematangan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang memahami dunia di
sekitarnya. Proses pematangan biologis ini dikendalikan oleh gen. Setiap gen akan menunjukkan
aksinya secara perlahan-lahan dan tampak sebagai sesuatu yang telah terprogram secara genetis.
Ini diwarisi dari orang tua anak yang bersangkutan. Apa yang dilakukan oleh guru dan orang tua
mempunyai hanya sedikit dampak  pada aspek pematangan biologis ini. Hal yang dapat
dilakukan untuk membantu proses pematangan biologis berjalan sebagaimana seharusnya adalah
dengan memberikan nutrisi yang cukup sehingga anak-anak dapat tumbuh dengan sehat dan
selanjutnya perkembangan kognitif dari faktor pematangan biologis ini juga akan berlangsung
dengan normal.

Aktivitas fisik adalah faktor berikutnya. Aktivitas fisik berpengaruh penting pada perkembangan
kognitif anak-anak. Ketika anak-anak melakukan beragam gerakan fisik dan beraktivitas secara
bervariasi, secara tidak langsung mereka akan meningkatkan koordinasi tubuhnya. Saat itu pula
mereka akan belajar memahami dan menemukan prinsip-prinsip keseimbangan. Hal ini
dilakukan dengan bereksperimen (secara sederhana tentunya) sambil mereka bermain-main
dengan aktivitas fisiknya tersebut. Ketika anak-anak melakukan aktivitas fisik dan sekaligus
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, mereka akan bereksplorasi, mereka akan
mengujicoba, mereka akan mengamati, dan selanjutnya akan mengorganisasikan informasi yang
mereka peroleh itu. Hal ini akan membuat proses-proses berpikir mereka berjalan.
Perkembangan kognitif, dengan demikian menurut Piaget juga sangat dipengaruhi oleh faktor
aktivitas fisik tubuh ini.

Kemudian, ketika seseorang berinteraksi dengan orang-orang yang berada di lingkungan


sekitarnya, menurut Piaget, kemampuan kognitif orang itu akan meningkat bersamaan dengan
terjadinya transmisi sosial, atau secara lebih gamblang dapat disebut sebagai “belajar dari orang
lain”. Tanpa adanya transmisi sosial, maka setiap orang harus menemukan kembali atau
menciptakan kembali semua pengetahuan. Dan ini tentu sangat tidak efektif. Oleh karena itu
peranan faktor pengalaman-pengalaman sosial saat berinteraksi dengan orang-orang lain sangat
penting bagi perkembangan kognitif. Kita belajar dengan banyak dan cepat dari pengetahuan
yang disediakan oleh budaya dan masyarakat kita. Setiap orang dalam suatu komunitas dapat
saling belajar satu sama lain berdasarkan tingkat perkembangan kognitifnya. Demikian kata
Piaget.

Faktor keempat menurut Piaget yang sangat berpengaruh pada perkembangan kognitif disebut
sebagai ekuilibrasi (penyeimbangan). Penyeimbangan terjadi ketika seseorang secara terus-
menerus harus memproses informasi baru yang didapatnya lalu mengeceknya dengan informasi
atau pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya. Ketika suatu informasi baru berbeda
dengan informasi lama, maka orang tersebut harus menyeimbangkannya untuk menentukan
manakah informasi yang tepat Dengan demikian struktur pengetahuan (kognitif) seseorang terus-
menerus dapat diubah dan disesuaikan dengan informasi baru yang diperolehnya.
REFERENSI

Fadlurrohim, Ishak, et al. "Memahami Perkembangan Anak Generasi Alfa di Era Industri
4.0." Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial 2.2 (2019).
Fitriyani, Pipit. "Pendidikan Karakter bagi Generasi Z." Prosiding Konferensi Nasional Ke-7
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah
(APPPTMA). Pp (2018).
Goleman, Daniel. Working with emotional intelligence. A&C Black, 2009.
Musfiroh, Tadkiroatun. "Hakikat Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)." Modul 1
(2014).
Mu'min, Sitti Aisyah. "Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget." Al-Ta'dib 6.1 (2013).
Raharjo, Andreas Teguh. "Hubungan antara multiple intelligence dengan prestasi
belajar siswa kelas XI di SMA Negeri 10 Malang." Jurnal Psikologi
Tabularasa 5.2 (2010).

Anda mungkin juga menyukai