Anda di halaman 1dari 6

a.

Keterampilan
Generasi Millennial atau generasi 2000 adalah generasi yang saat ini banyak
diperbincangkan oleh banyak kalangan di dunia diberbagai bidang, Millennials (juga dikenal
sebagai Generasi Millenial atau Generasi Y). Peneliti sosial sering mengelompokkan generasi
yang lahir diantara tahun 1980 an sampai 2000 an sebagai generasi millennial. Jadi bisa
dikatakan generasi millennial adalah generasi muda masa kini yang saat ini berusia dikisaran 15
– 34 tahun. Studi tentang generasi millenial di dunia, terutama di Amerika, sudah banyak
dilakukan, diantaranya yang studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama
University of Berkley tahun 2011 dengan mengambil tema American Millennials: Deciphering
the Enigma Generation. Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis laporan
riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next. Dibanding generasi sebelum,
generasi millennial memang unik, hasil riset yang dirilis oleh Pew Researh Center misalnya
secara langsung menjelaskan keunikan generasi millennial dibanding generasi-generasi
sebelumnya. Yang mencolok dari generasi millennial ini dibanding generasi sebelumnya adalah
soal penggunaan teknologi dan budaya pop/musik. Kehidupan generasi millennial tidak bisa
dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment/hiburan sudah menjadi kebutuhan
pokok bagi generasi ini. Peran teknologi sangat berpengaruh dalam membentuk generasi
millenial saat ini. Tersedianya banyak pilihan yang bisa digunakan dengan teknologi
memungkinkan para pengguna lebih mudah melakukan banyak hal. Salah satu contoh
penggunaan teknologi masa kini tentunya adalah media sosial. Pengguna internet paling banyak
di Indonesia adalah generasi millenial yang lahir di rentang tahun 1980an sampai 2000
berdasarkan survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet. Namun, tak jarang pula kita
temukan rata-rata generasi millenial kurang memiliki kemampuan dalam menuangkan
perasaannya melalui media sosial. Sampai-sampai terdengar istilah “generasi micin” untuk
menggambarkan kondisi generasi saat ini. Master Emotional Quotient (EQ) Indonesia Joshua
Iwan Wahyudi pada workshopnya menegaskan pentingnya memiliki kemampuan EQ untuk
menguasai diri sendiri ke arah yang lebih baik. Pengertian EQ secara sederhana, lanjutnya,
adalah kemampuan untuk menyadarkan dan mengatur perasaan diri sendiri dan orang lain supaya
menghasilkan yang lebih produktif.
b. Etos Kerja
Sebenarnya tidak bijaksana jika kita membandingkan etos kerja dengan para pegawai era
tahun 1990-an. Pada era sebelum milenial godaan untuk teknologi informasi ketika bekerja tidak
terlalu banyak seperti sekarang. Jaringan internet juga belum secepat seperti saat ini. Jaman dulu
mungkin laptop atau komputer sudah tersedia namun masih terbatas untuk kebutuhan kerja
seperti Lotus dan Excel. Ketika itu, mungkin pada era tersebut orang-orang tidak memiliki
kesempatan untuk bermain game seperti halnya pada era generasi milenial ini yang sudah di
dukung program dan penyimpanan yang memadai. Dulu laptop hanya digunakan untuk
pekerjaan kantor sekarang laptop sudah sedemikian canggihnya dengan kapasitas penyimpanan
dan program yang sangat baik. Saat bekerja generasi milenial saat ini sudah dimanjakan dengan
produk zaman Now yaitu Smartphone dengan beragam aplikasi yang mudah diunduh dan
digunakan. Bahkan beberapa di antara generasi milenial dapat melaksanakan pekerjaan kantor
sambil menjalankan bisnis Online. Ketika koneksi jaringan kantor sedang sangat lancar mereka
seperti terhipnotis untuk mengalihkan pandangan kepada laptop ataupun smartphone dan
berselancar di dunia media sosial. Di sisi lain kemajuan teknologi ini sangat mengganggu.
Dimana efek dari teknologi ini membuat generasi milenial bekerja dengan seadanya atau
seperlunya. Bagi generasi milenial yang terpenting adalah pekerjaan selesai, tanpa memandang
kualitas hasilnya karena mereka selalu terobsesi dengan dunia maya. Seorang peneliti
mengidentifikasi para pekerja generasi milenial ini sebagai ‘digital native’. Istilah ini mungkin
cukup sering kita dengar jika kita mengenal ‘native speaker’ dalam bahasa Inggris. Seperti native
speaker, yaitu orang – orang yang sangat lincah dan lancar berbahasa Inggris karena mereka lahir
di negara yang bahasa utamanya adalah bahasa Inggris, digital native ini adalah orang – orang
yang sangat lincah dan lancar dalam menggunakan teknologi informasi. Mereka merasa seakan –
akan dilahirkan dan dibesarkan oleh ‘Ibu Digital’. Berbeda dengan generasi tua sebelum generasi
milenial disebut dengan digital immigrant. Generasi tua adalah kaum pendatang atau imigran
teknologi informasi. Sebagai kaum pendatangn mereka membutuhkan kerja keras untuk sekedar
bisa menggunakan teknologi informasi. Jika generasi milenial terbiasa membaca teks dan
mengeditnya langsung di depan layar komputer, sedangkan generasi tua lebih terbiasa membaca
hard copy dan mengedit tulisan di kertas. Generasi tua masih beranggapan bahwa cara ideal
untuk belajar adalah dengan menggunakan metode yang pernah mereka lalui dimasa lalu dan
menilai kebiasaan generasi milenial bekerja multi tasking membuat mereka kurang fokus dan
hasil yang kurang atas apa yang mereka kerjakan.
c. Intelektual
Kadar intelektualitas generasi millenial Indonesia dalam takaran terbaru sangat
memprihatinkan. Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan menyebutkan litarasi masyarakat
Indonesia teburuk kedua dari 65 negara di dunia yang diteliti. Artinya, Indonesia menempati urutan
ke-64 dari 65 negara. Generasi millenial adalah mereka lahir dan tumbuh-kembang seiring dengan
kecanggihan teknologi informasi. Posisi ini membentuk pola perilaku dan memanjakan. Rutinitas
dalam koneksi internet selama 24 jam berikut gawai di genggaman tangan adalah realitasnya.Sebagai
generasi modern dan mahir dalam menggunakan teknologi, seharusnya mampu memanfaatkan
teknologi yang ada secara maksimal, bukan justru diperbudak oleh teknologi tersebut. Ini sungguh
disayangkan ketika kecanggihan teknologi informasi yang diciptakan oleh penguasa kapital
membentuk dua poros kesenjangan. Generasi milenial adalah generasi yang sangat mahir dalam
teknologi. Dengan kemampuannya di dunia teknologi dan sarana yang ada, generasi ini memiliki
banyak peluang untuk bisa berada jauh di depan dibanding generasi sebelumnya. Namun
sayangnya, dari beberapa statistik yang saya baca, dikatakan bahwa generasi milenial cenderung
lebih tidak peduli terhadap keadaan sosial, termasuk politik dan ekonomi. Mereka cenderung
lebih fokus kepada pola hidup kebebasan dan hedonisme. Mereka cenderung mengingkan hal
yang instant dan tidak menghargai proses. Di era ini segala sesuatu bergerak dengan cepat, dunia
menjadi tanpa batas, informasi dapat diperoleh dimana saja dan dari siapa saja. Generasi masa
kini harus berusaha dan mampu menjadi bijak terutama dalam penggunaan media sosial. Media
sosial ini mirip dengan politik, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Kita bisa berguna
dan bertambah pintar apabila menggunakan media sosial dengan benar, tapi kita juga bisa
menjadi penyebar hoax dan menjadi bodoh apabila kita menggunakan media sosial dengan tidak
benar. Di era ini dengan segala kecanggihan teknologi, tingkat persaingan juga semakin tinggi.
Kualitas dan kinerja manusia juga dituntut menjadi semakin tinggi. Generasi masa kini harus
mampu beradaptasi dengan cepat, belajar dan menjadi lebih baik dengan cepat serta melakukan
navigasi yang lincah dan tepat untuk dapat memecahkan setiap masalah. Kreatifitas dan Apabila
tidak, dalam beberapa tahun ke depan mungkin posisi kita sudah digantikan oleh robot atau
program komputer. Perlu disepakati bahwa internet dan informasinya tidak bisa dijadikan bahan
acuan kevalidan suatu data, tetapi cukup sebagai informasi awal dan pemantik jalan menuju telaah
sumber yang terverifikasi dan valid.
Dari 3 topik yang dibahas di atas maka saya memiliki opini Bagaimana kita menjalani
kegiatan kita sehari-hari adalah bagaimana kita menghabiskan waktu dalam kehidupan kita ini.
Pada zaman sekarang ini kehidupan sudah tak terlepas dengan namanya teknologi. Alat-alat
canggih seperti telah menghiasi kehidupan manusia pada saat ini. Entah kehadiran alat-alat ini
semakin membantu apa yang diingkan atau dibutuhkan oleh manusia atau alat-alat tersebut
malah memperbudak kita. Sebagai contoh adalah smartphone yang hampir semua orang sudah
memilikinya. Bahkan tidak sedikit dari anak-anak yang masih menempuh pendidikan di SD
(Sekolah Dasar) sudah dibelikan smartphone oleh orang tua mereka. Hal yang paling fenomena
saat ini adalah media social dimana seseorang dapat berkomunikasi tanpa melalui tatap muka.
Kita bahkan bisa mendapatkan teman yang sebelumnya tidak kita kenal sama sekali dan kita
hanya tahu dari foto saja. Kita mungkin memiliki teman di sosial media yang jumlahnya ratusan
atau bahkan mungkin ribuan, namun apakah mereka benar-benar mengetahui siapa kita? Masalah
yang kita hadapi saat ini adalah adanya perbedaan antara menatap mata lawan bicara dengan
hanya melihat nama orang di layar komputer atau smartphone kita ini.
Mari kita coba untuk membuka mata kita dan melihat apa yang ada di sekeliling kita
dan pada akhirnya akan menyadarkan diri kita bahwa media yang biasa kita sebut dengan
sosial media ini memang segalanya karena kita dapat mengetahui informasi dengan cepat dan
selalu up to date, namun ketika kita membuka komputer atau smartphone maka di saat itulah
kita akan menutup diri kita dari lingkungan sekitar kita ini. Semua teknologi yang kita miliki
entah sosial media, game online, browsing dan lain-lain ini hanyalah suatu ilusi yang memang
seolah-olah itu memang nyata. Komunitas, pertemanan, rasa kebersamaan memang kita rasakan,
namun disaat kita melepasakan atau meninggalkan perangkat - perangkat khayalan ini maka
kita akan sadar dan melihat dunia yang aneh.Dunia dimana kita diperbudak oleh teknologi yang
kita ciptakan sendiri, ironi bukan? Dunia yang dipenuhi kepentingan pribadi,pencitraan,dan
promosi diri.
Tidak sedikit dari kita yang mengunggah kegiatan sehari-harinya di sosial
media.Unggahan saat berada di kampus,tempat rekreasi,tempat kerja dan lain-lain. Bahkan saat
mau menyantap sebuah makanan saja biasanya juga diunggah di sosial media. Apakah tidak
merasa aneh? Namun hal ini sudah menjadi hal yang wajar saat ini. Orang-orang yang tidak
memiliki akun di sosial media yang malahan terlihat aneh. Disaat dimana kita membagikan foto
atau video terbaik kita,kita merasa paling bahagia ketika berbagi pengalaman dengan yang lain.
Misal saat kita berpergian ke suatu tempat rekreasi tanpa mengajak teman dan hanya pergi
sendiri lalu membagikan foto maupun video yang kita dapatkan disana dan kemudian
mengunggah di sosial media. Akankah sama rasanya apabila kita pergi bersama-sama dengan
teman atau sahabat? Mari kita coba mendatangi teman-teman kita dan merekapun akan
mendatangi kita juga untuk saling berbincang, berbagi dan bercanda tawa. Namun mereka tidak
akan mendatangi kita apabila kita sudah melakukan chat dengan mereka di grup yang ada di
sosial media.
Kita selalu membanggakan diri dan mengharapkan pujian dari orang lain saat kita
mengunggah sesuatu.merangkai kata-kata dengan indah sehingga kehidupan terlihat bahagia,
padahal kita tidak tahu apakah orang lain peduli dengan unggahan kita. Begitu juga saat di
tempat umum kita harus mencoba saling berbicara dan belajar untuk hidup bersama.Di tempat
umum misal di angkutan umum orang-orang kini jarang berbicara karena mungkin takut terlihat
aneh dan umumnya orang-orang saat ini menatap layar masing-masing. Ketika saya masih anak-
anak, kita pasti sangat sering bermain bersama-sama dengan teman-teman kita. Bersepeda,
bermain bola dan berlari-lari hingga terjatuh dan menangis. Namun kini di lingkungan sekitar
sudah mulai sepi dan jarang anak-anak yang bermain,berlari,melompat dan lain-lain. Hal itu
dikarenakan anak-anak sekarang sejak meraka kecil melihat kehidupan orang tua mereka
dipenuhi dengan komputer dan smartphone dan kini anak-anak tersebut menganggap hal itu
adalah normal.
Tidak hanya cara komunikasi namun juga pola hidup yang kini menjadi lebih
konsumserisme. Kita hidup untuk mengonsumsi dan juga mengonsumsi agar tetap hidup,
namun keinginan kita untuk hal-hal yang lain atau lebih tidak akan pernah berakhir akhir atau
dengan kata lain tidak akan pernah puas. Disaat kita memiliki banyak uang maka kita akan
cenderung untuk segera menggunakannya dan tiba-tiba uang itu telah terpakai namun kita
merasa hal tersebut akan baik-baik saja. Kita sebenarnya sudah tahu kalau uang itu tidak ada
dengan sendirinya tapi pola konsumerisme memanglah sebuah penyakit. Mereka,para penjual
barang-barang selalu memunculkan barang-barang baru yang menarik yang sebenarnya tidak
kita butuhkan. Namun kita tetap bersifat boros, apabila diumpamakan dengan sebuah
permainan maka para penjual itulah yang menang dan kita yang kalah.Kita tidak akan bisa
mengendalikan keuangan kita apabila uang yang mengatur kehidupan kita.Bisa jadi kita
membutuhkannya sekarang namun kamu akan lebih membutuhkannya kemudian. Sebenarnya
apa yang kita inginkan tidaklah terlalu penting,tapi yang penting adalah kita dapat menyimpan
uang untuk kebutuhan nantinya. Jika kita menjadi konsumtif maka kita telah menjadi budak
dari sistem yang mereka buat. Apalagi kini belanja bisa dengan mudah melalui komputer atau
smartphone. Waktu yang kita miliki sangatlah terbatas. Jangan menghabiskan waktu tersebut
hanya di internet. Dunia digital yang kita dengar tapi tidak terlihat, dimana kita berbicara
dengan mengetik dan membaca serta mengabiskan waktu tanpa bertatap muka. Jangan mencari
publisitas yang tinggi, jangan beri like tapi berilah sesuatu yang nyata.

Anda mungkin juga menyukai