Anda di halaman 1dari 3

Nama : Riki

Mata Kuliah : Komunikasi Massa


Jurusan/Semester : Komunikasi Penyiaran Islam/ IV
Hati-Hati Dalam Bermedia Sosial

Jika ditanya, benda apa yang paling sering dipegang dan dibawa sehari-hari oleh
masyarakat modern pada zaman ini. Jawabannya pasti sepakat menyebut HP (handphone),
android, smartphone, atau sejenisnya. Ya, masyarakat modern saat ini sepertinya memang
tak bisa lepas dari barang satu ini. Mulai dari membuka mata, saat bangun tidur sampai
dengan bersiap-siap untuk tidur lagi, tangan selalu tak bisa lepas dari handphone. Secara
psikologis saat ini memang terjadi pergeseran budaya masyarakat dalam menggunakan alat
komunikasi. Jika dulu orang merasa ada yang kurang saat keluar rumah membawa HP tanpa
paket pulsa untuk komunikasi, saat ini, orang akan merasa bingung jika keluar rumah
membawa HP namun tak paket data untuk bermedia sosial. Budaya ini menjadikan HP
beserta paketnya menjadi kebutuhan primer di tengah kehidupan dua dunia, yakni dunia
nyata dan dunia maya. Dunia maya, dalam hal ini internet dan media sosial, memang
menawarkan kemudahan masyarakat modern dalam aktivitas kehidupan khususnya dalam hal
komunikasi dan informasi.

Dunia saat ini seakan-akan sudah ada dalam genggaman tanpa batas waktu dan
tempat. Informasi dari belahan dunia manapun bisa diakses dalam hitungan detik kapanpun di
manapun. Berbagai aktivitas yang biasa dilakukan secara konvensional pun sekarang sudah
beralih ke sistem digital. Namun jika semua ini tidak diiringi dengan kemampuan dalam
literasi digital maka bukannya membawa manfaat besar, namun sebaliknya bisa membawa
bencana dan kesialan besar bagi siapapun yang menggunakannya. Banjir informasi di era
digital saat ini, harus menjadikan setiap individu lebih berhati-hati, selektif, dan
mengedepankan tabayun dalam menerima informasi agar tak sial dalam berbagai hal
misalnya Jika tidak berhati-hati dalam bermedia sosial, seseorang juga bisa dengan mudah
mengalami kesialan hukum. Dengan mudahnya mengunggah status, memberi komentar, dan
berkomunikasi di media sosial, bisa saja seseorang terlena melakukan perbuatan melawan
hukum. Sudah banyak contoh kasus yang terjadi akibat menyebar hoaks, ujaran kebencian,
fitnah, dan sejenisnya mengakibatkan seseorang harus berurusan dengan pihak berwajib.
Bukan hanya faktor kesengajaan, faktor ketidaksengajaan maupun faktor iseng pun bisa saja
menjadikan seseorang berurusan dengan hukum karena ada pihak-pihak yang merasa
dirugikan.

Terlebih, dengan bermedia sosial, seseorang merasa nyaman beraktivitas karena tidak
berhadapan langsung dengan orang lain. Kondisi ini menjadikannya merasa bebas untuk
mengekspresikan apa yang ada di pikiran dan benaknya tanpa berpikir panjang. Bukan hanya
faktor kurang paham terhadap hukum, orang yang berkutat dengan hukum atau orang yang
secara level pendidikan dan status sosialnya tinggi pun bisa masuk dalam masalah hukum di
media sosial. Seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ikut-ikut menyebarkan nada nyinyir
dan kebencian terhadap pemerintah di media sosial. Padahal ia dan keluarganya hidup dari
gaji pemerintah dan memiliki komitmen untuk setia pada pemerintah. Ini pun sering dan
masih saja terjadi. Saat ini mudah bagi kepolisian untuk mendapatkan bukti-bukti terjadinya
pelanggaran di media sosial. Jejak digital bisa dengan mudah diakses kembali dan menjadi
petunjuk untuk melanjutkan laporan yang diterima. Penegak hukum juga sudah memiliki
dasar dalam menegakkan hukum di dunia maya yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ini disebutkan
seperti, pada pasal 45A ayat (1), setiap orang yang sengaja menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik bisa
dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.

Kemudian dalam wujud degradasi moral akibat media sosial pun saat ini sudah
banyak terlihat. Bukan hanya orang tua saja, perubahan moral para generasi muda milenial
yang sudah menjadikan media sosial sebagai bagian dari hidupnya pun mulai terasa. Orang
tua dan guru banyak mengeluh murid dan anaknya yang saat ini tidak lagi memiliki etika.
Terlebih di era pandemi di mana pembelajaran dilakukan secara online atau daring. Di satu
sisi, pembelajaran daringmemang efektif sebagai sarana belajar. Namun di sisi lain sistem ini
tidak efektif untuk mencapai hasil belajar. Ada aspek lain yang tidak bisa diajarkan melalui
pembelajaran daringyakni sisi afektif. Moral generasi muda menjadi taruhan karena minim
diberi pendidikan dan pengajaran tentang kedisiplinan, kepribadian, tauladan, dan aspek-
aspek psikologis lainnya dan menjadikan daya juang mereka lemah. Ditambah lagi saat ini,
pengawasan yang rendah dari para orang tua menjadikan para generasi muda dengan
gampangnya mengakses konten-konten asusila dan pornografi, game online, dan semakin
menguatkan mereka masuk dalam “generasi rebahan” generasi yang semua kegiatan
dilakukan sambil tiduran. Mungkin bisa menjadi renungan kita bersama sebuah kalimat bijak
yang menyebutkan “Banyak orang tua yang memukul anaknya karena telah merusak HP nya.
Namun sedikit orang tua yang memukul HP nya karena telah merusak anaknya”.

Semoga ini menjadi renungan kita semua untuk waspada dan senantiasa menjaga
orang-orang yang kita cintai dari ikut sial dan tenggelam dalam samudra konten di media
sosial. Kapal tidak tenggelam karena air samudra yang mengelilinginya, namun kapal
tenggelam karena ada kebocoran yang menjadikan air masuk kedalamnya.

Anda mungkin juga menyukai