0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
94 tayangan5 halaman
Teks tersebut membahas tentang generasi internet dan karakteristiknya. Generasi internet lahir dan dibesarkan di era digital dengan akses mudah terhadap teknologi. Mereka fasih teknologi, sosial, dan multitasking. Namun mereka juga cenderung kurang sabar dan lebih menyukai hal-hal instan. Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan karakteristik generasi ini agar tetap relevan.
Teks tersebut membahas tentang generasi internet dan karakteristiknya. Generasi internet lahir dan dibesarkan di era digital dengan akses mudah terhadap teknologi. Mereka fasih teknologi, sosial, dan multitasking. Namun mereka juga cenderung kurang sabar dan lebih menyukai hal-hal instan. Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan karakteristik generasi ini agar tetap relevan.
Teks tersebut membahas tentang generasi internet dan karakteristiknya. Generasi internet lahir dan dibesarkan di era digital dengan akses mudah terhadap teknologi. Mereka fasih teknologi, sosial, dan multitasking. Namun mereka juga cenderung kurang sabar dan lebih menyukai hal-hal instan. Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan karakteristik generasi ini agar tetap relevan.
Penulis: Bambang Soegiharto\ Tanggal akses : 14 Oktober 2014 Link sumber : http://guraru.org/guru-berbagi/generasi-internet/
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu, kata Khalil Ghibran. Ghibran menunjukkan kepada kita bahwa anak bukanlah miniatur atau robot yang kita ciptakan. Setiap anak adalah dirinya sendiri yang berbeda dengan diri kita. Dalam pendidikan yang sesungguhnya, mendidik anak bukan sekedar mentransfer ilmu, bukan menciptakan robot tapi membantu anak-anak menemukan dirinya sendiri. Mendidik anak sekarang tentu harus berbeda dengan zaman kita dulu. Generasi sekarang sudah sangat berbeda. Generasi kakek kita berbeda dengan generasi bapak kita. Generasi bapak kita berbeda dengan generasi kita dan berbeda dengan generasi anak kita. Di Barat, ada istilah untuk membedakan generasi-generasi ini. Ada generasi Baby boomers, generasi X, generasi Y dan Generasi Internet(Tamim, 2010). Dalam teori generasi (Generation Theory) hingga saat ini dikenal ada 5 generasi, yaitu: (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964, (2) Generasi X, lahir 1965-1980, (3) Generasi Y, lahir 1981-1994, (4) Generasi Z, lahir 1995-2010, dan (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025. Generasi Internet(disebut juga iGeneration, Generasi Net, atau Generasi Internet) terlahir dari generasi X dan Generasi Y. Mereka lahir dan dibesarkan di era digital, dengan aneka teknologi yang komplet dan canggih, seperti: komputer/laptop, HandPhone, iPads, PDA, MP3 player, BBM, internet, dan aneka perangkat elektronik lainnya. Sejak kecil, mereka sudah mengenal (atau mungkin diperkenalkan) dan akrab dengan berbagai gadget yang canggih itu, yang secara langsung atau pun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadiannya (Sudrajat, 2012). Tuhana Taufiq Andrianto dalam Jusuf AN (2011) memperkirakan akan terjadi booming Generasi Internet sekitar tahun 2020. Karakteristik Generasi Internet Menurut Akhmad Sudrajat (2012) Generasi Internet memiliki karakteristik perilaku dan kepribadian yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Beberapa karakteristik umum dari Generasi Internet diantaranya adalah: 1. Fasih Teknologi. Mereka adalah generasi digital yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya. 2. Sosial. Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai situs jejaring, seperti: FaceBook, twitter, atau melalui SMS. Melalui media ini, mereka bisa mengekspresikan apa yang dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Mereka juga cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan. 3. Multitasking. Mereka terbiasa dengan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan. Mereka bisa membaca, berbicara, menonton, atau mendengarkan musik dalam waktu yang bersamaan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan dan berjalan serba cepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele dan berbelit-belit. Sesungguhnya tidak perlu heran terhadap kekhasan karakteristik Generasi Internet diatas, karena mereka lahir pada era dimana Internet mulai berkembang dan tumbuh sejalan dengan perkembangan media digital elektronik. Jadi wajar kalau mereka akrab dengan piranti digital seperti handphone, laptop dan gadget elektronik mutakhir lainnya. Di satu sisi kita boleh kagum akan kecepatan Generasi Internet beradaptasi dengan dunia digital. Mereka tidak perlu lagi ikut kursus komputer sebagaimana halnya generasi orang tuanya. Para orang tua zaman sekarang bisa tercengang melihat kepiawaian anak-anaknya berchatting ria di dunia maya, mengetik cepat diatas toets smartphone atau mencolek layar tablet PC. Tidak jarang kita lihat orang tua yang justru berguru kepada sang anak bagaimana cara berkomunikasi di dunia maya. Tetapi generasi ini harus patuh kepada analogi hukum kekekalan energi, bahwa dimana ada keunggulan pasti ada kelemahan. Karena terbiasa dengan dunia digital yang umumnya serba instan, anak-anak yang terlahir di era generasi internet biasanya tidak terlalu suka dengan proses, mereka tidak sabaran dan ingin segalanya serba instan. Makanan instan pun jadi kegemaran mereka. Makanya anak-anak generasi internet umumnya tidak paham dengan proses. Kondisi ini bukan salah mereka, tapi memang situasi zaman yang telah berubah. Kalau di era pra-digital kita terbiasa dengan kamera foto analog dengan film 35mm yang harus melalui proses cuci cetak, anak-anak generasi internet justru akrab dengan digital camera yang bisa menghasilkan gambar foto secara instan yang bisa langsung dicetak ke kertas dalam hitungan menit saja. Mereka tidak paham dengan cara pembuatan foto yang harus melalui proses pencucian film foto di kamar gelap. Kini banyak kita temui anak-anak yang belajar animasi dan desain tanpa memiliki skill menggambar, sesuatu yang sukar dilakukan pada era pra komputer digital. Padahal idealnya mereka harus melalui proses belajar menggambar dahulu sebelum beranjak ke tingkatan yang lebih tinggi, sebagai designer (Nazir, 2012) Era digital juga membuat Generasi internet kurang trampil dalam berkomunikasi verbal. Mereka terbiasa berkomunikasi dengan gadget elektronik, apakah melakukan chatting via messenger atau SMS. Jadi jangan heran kalau ada yang menamakan generasi ini dengan istilah silent generation. Kegemaran akan dunia maya inilah yang menjadi sasaran kritik para humanis seperti Mark Slouka. Anak-anak generasi internet menjadi sulit untuk membedakan antara realitas nyata dengan realitas maya. Seperti yang pernah saya singgung dalam artikel teknologi maju dan alam yang terkembang, mereka tidak akrab dengan alam. Mereka melihat dunia dari balik kaca belaka (Nazir, 2012) Selain itu menurut Akhmad Sudrajat (2012) dalam artikelnya yang berjudul Generasi Z dan Implikasinya terhadap Pendidikan, karakteristik generasi internet memiliki dua sisi yang berlawanan, bisa positif- memberikan manfaat bagi dirinya dan atau lingkungannya- atau justru malah negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun lingkungannya. Wawan (2011) dalam tulisannya yang dipublikasikan di Wikimu, mengatakan bahwa karena mereka fasih dengan teknologi digital, mereka sangat cocok bekerja di perusahaan besar, perusahaan yang mampu menyediakan fasilitas modern. Namun mereka akan kesulitan jika diminta mengelola sebidang tanah, dengan fasilitas pengairan, dan modal uang secukupnya. Karena yang ada di benak mereka adalah komputer, laptop dan HP, bukan peternakan, perikanan dan pertanian. Merurut Tuhana Taufiq Andrianto, sebagaimana disampaikan oleh Jusuf AN dalam tulisannya yang berjudul Masa Depan Anak-Anak Generasi Z bahwa anak cenderung berkurang dalam komunikasi secara verbal, cenderung bersikap egosentris dan individualis, cenderung menginginkan hasil yang serba cepat, serba-instan, dan serba-mudah, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses. Kecerdasan Intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang baik, tetapi kecerdasan emosional mereka jadi tumpul. Sementara itu, Choiron (2011) menyoroti tentang bahaya dari kecenderungan Generasi Internet yang gemar mendengarkan musik melalui earphone, yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan gangguan pada pendengaran. Konon dampaknya Generasi Internet akan benar-benar dirasakan sekitar tahun 2020, ketika mereka berusia sekitar 25 tahunan, saat memasuki dunia kerja. Mereka diyakini akan sangat tergantung kepada perangkat digital untuk hampir seluruh aktivitasnya. Bagi Generasi Internet, kecepatan (speed) adalah kunci keberhasilannya, sejalan dengan kegemaran mereka terhadap yang serba instan. Siapa yang paling cepat memperoleh informasi, memasuki pasar, akan memenangi pertarungan. Ironinya, kecepatan itulah yang dapat membuat mereka terisolasi dari alam nyata, seolah pohon yang tercerabut akarnya, terlepas dari tanah (http://aswilnazir.blogspot.com). Pendidikan Untuk Anak-Anak Generasi Internet Kiprah pendidikan senantiasa hidup dalam suatu dunia yang terus berubah seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan perubahan demografi. Jika dunia pendidikan tidak menyelaraskan diri dengan perkembangan jaman tersebut, pendidikan akan menjadi usang dan tidak selaras dengan kemajuan di milenium kedua ini. Generasi muda saat ini, yang disebut juga Generasi Internet atau Net Generation, mempunyai karakteristik yang membuat mereka berbeda dengan generasi terdahulu. Jika dunia pendidikan tidak membuat upaya untuk memetakan profil khas pemelajar ini dan merancang pola pembelajaran yang sesuai, akan terbentuk kesenjangan antara keduanya. Pemelajar di jaman informasi ini mempunyai kecenderungan gaya belajar aktif, sequential, sensing, dan visual (Felder dan Soloman, 1993). Pemelajar aktif mudah belajar dengan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari. Maka, mata kuliah yang terlalu banyak bersifat ceramah dan komunikasi satu arah serta terpusat kepada dosen (teacher-centered) tidak akan cocok dengan mereka. Sebaliknya, pembelajaran yang membuat mereka menerapkan teori dan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari akan dengan mudah menarik minat dan pada gilirannya kemampuan belajar mereka. Mereka yang bergaya belajar sequential mudah menyerap materi yang diberikan secara runtut, berurutan secara logis, dan dengan jelas terkait antara satu dengan lainnya. Mereka dengan gaya belajar sensing cenderung menyukai fakta, menyukai hal-hal yang penerapan praktisnya jelas, mengharapkan relevansi dengan dunia sehari-hari, dan kurang suka teori abstrak dan tes yang materinya belum dibahas tuntas di kelas. Akhirnya, mereka dengan gaya belajar visual akan terbantu dengan bagan, skema, dan diagram alir dari rangkaian teori yang sedang mereka kupas. Keempat gaya belajar ini selaras dengan kecenderungan generasi internet yang kehidupannya sarat dengan interaksi lewat berbagai media virtual seperti ponsel, Blackberry, dan Internet. Kesimpulannya, sudah saatnya praktek pendidikan mengakomodasi kecenderungan ini melalui kombinasi yang efektif antara pembelajaran teori dengan eksplorasi dunia maya melalui berbagai piranti teknologi informasi tersebut (Djiwandono, 2011) Dunia pendidikan terus berinovasi dan tak segan mengulas kembali prinsip-prinsip yang telah diajukan di masa lalu namun masih relevan sampai sekarang. Pendekatan berpikir kritis (Critical Thinking) sedang banyak diaplikasikan dan dikaji keefektifannya untuk kegiatan belajar di semua disiplin ilmu. Dengan tujuan utama membentuk pemelajar yang mampu belajar mandiri dengan bertumpu pada alur pemikiran yang logis dan sistematis, pendekatan ini sangat relevan dengan jaman di mana sumber belajar berlimpah dari Internet dan pemelajar terpapar pada sekian banyak sumber informasi. Dihadapkan pada situasi berkelimpahan seperti ini, tak pelak seorang pemelajar harus secara mantap menentukan tujuannya dan dengan kritis menentukan sumber-sumber apa yang mereka bisa pakai untuk mencapai tujuan tersebut. Bukan hanya itu, namun ketika sudah mencapai tujuan, mereka juga harus mampu mengevaluasi sejauh mana dan bagaimana tujuan itu dicapai. Pada intinya, pendekatan berpikir kritis sebaiknya mulai ditanamkan dan dipacu untuk generasi terdidik dari semua bidang ilmu. Pada saat yang sama, dunia pendidikan sebaiknya tidak segan berbenah diri untuk senantiasa peka terhadap kecenderungan gaya belajar generasi muda dan membuat perubahan yang signifikan (Djiwandono, 2011). Maka para orang tua masa kini memliki tantangan baru, yaitu bagaimana untuk menyikapi anak-anak generasi Internet dengan bijak. Orang tua selain harus menjaga komunikasi dua arah dengan sang anak, kini juga harus bisa menjelaskan kepada si anak bahwa proses itu merupakan aspek penting, jangan dilupakan. Dedeh Kurnasih (2010) memberikan beberapa kiat yang dapat diterapkan oleh orang tua dan guru agar tidak salah langkah dalam mendidik anak, antara lain: Pertama, mendekati anak lewat gadget. Dengan langkah ini, orangtua atau pun guru menjadi setara denga si anak dan nyambung dengan kemampuan si anak. Kedua, memberikan keseimbangan kepada anak. Menurut para ahli aneka gadget hanya akan membuat salah satu sisi otak manusia yang terstimulasi. Padahal seharusnya kedua belahan otak, baik belahan otak kanan maupun kiri distimulasi secara seimbang. Cara menyeimbangkannya antara lain dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni, seperti melukis, menari, musik dan lain sebagainya. Ketiga, menumbuhkan kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita tidak boleh membiarkan anak berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab dengan gadget-nya. Oleh karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang bersosialisasi dengan orang lain.