Anda di halaman 1dari 5

GENERASI INTERNET (+3)

Tanggal terbit : 22 Sep 2014


Penulis: Bambang Soegiharto\
Tanggal akses : 14 Oktober 2014
Link sumber : http://guraru.org/guru-berbagi/generasi-internet/

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu, kata Khalil Ghibran. Ghibran menunjukkan
kepada kita bahwa anak bukanlah miniatur atau robot yang kita ciptakan. Setiap anak
adalah dirinya sendiri yang berbeda dengan diri kita. Dalam pendidikan yang
sesungguhnya, mendidik anak bukan sekedar mentransfer ilmu, bukan menciptakan robot
tapi membantu anak-anak menemukan dirinya sendiri. Mendidik anak sekarang tentu
harus berbeda dengan zaman kita dulu. Generasi sekarang sudah sangat berbeda.
Generasi kakek kita berbeda dengan generasi bapak kita. Generasi bapak kita berbeda
dengan generasi kita dan berbeda dengan generasi anak kita. Di Barat, ada istilah untuk
membedakan generasi-generasi ini. Ada generasi Baby boomers, generasi X, generasi Y
dan Generasi Internet(Tamim, 2010).
Dalam teori generasi (Generation Theory) hingga saat ini dikenal ada 5 generasi, yaitu: (1)
Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964, (2) Generasi X, lahir 1965-1980, (3) Generasi
Y, lahir 1981-1994, (4) Generasi Z, lahir 1995-2010, dan (5) Generasi Alpha, lahir
2011-2025. Generasi Internet(disebut juga iGeneration, Generasi Net, atau Generasi
Internet) terlahir dari generasi X dan Generasi Y. Mereka lahir dan dibesarkan di era
digital, dengan aneka teknologi yang komplet dan canggih, seperti: komputer/laptop,
HandPhone, iPads, PDA, MP3 player, BBM, internet, dan aneka perangkat elektronik
lainnya. Sejak kecil, mereka sudah mengenal (atau mungkin diperkenalkan) dan akrab
dengan berbagai gadget yang canggih itu, yang secara langsung atau pun tidak langsung
akan berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadiannya (Sudrajat, 2012).
Tuhana Taufiq Andrianto dalam Jusuf AN (2011) memperkirakan akan terjadi booming
Generasi Internet sekitar tahun 2020.
Karakteristik Generasi Internet
Menurut Akhmad Sudrajat (2012) Generasi Internet memiliki karakteristik perilaku dan
kepribadian yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Beberapa karakteristik umum
dari Generasi Internet diantaranya adalah:
1. Fasih Teknologi. Mereka adalah generasi digital yang mahir dan gandrung akan
teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Mereka dapat mengakses berbagai
informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan
pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya.
2. Sosial. Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan,
khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai situs jejaring, seperti: FaceBook,
twitter, atau melalui SMS. Melalui media ini, mereka bisa mengekspresikan apa yang
dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Mereka juga cenderung toleran dengan
perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan.
3. Multitasking. Mereka terbiasa dengan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang
bersamaan. Mereka bisa membaca, berbicara, menonton, atau mendengarkan musik
dalam waktu yang bersamaan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan
dan berjalan serba cepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele dan
berbelit-belit.
Sesungguhnya tidak perlu heran terhadap kekhasan karakteristik Generasi Internet diatas,
karena mereka lahir pada era dimana Internet mulai berkembang dan tumbuh sejalan
dengan perkembangan media digital elektronik. Jadi wajar kalau mereka akrab dengan
piranti digital seperti handphone, laptop dan gadget elektronik mutakhir lainnya.
Di satu sisi kita boleh kagum akan kecepatan Generasi Internet beradaptasi dengan dunia
digital. Mereka tidak perlu lagi ikut kursus komputer sebagaimana halnya generasi orang
tuanya. Para orang tua zaman sekarang bisa tercengang melihat kepiawaian anak-anaknya
berchatting ria di dunia maya, mengetik cepat diatas toets smartphone atau mencolek
layar tablet PC. Tidak jarang kita lihat orang tua yang justru berguru kepada sang anak
bagaimana cara berkomunikasi di dunia maya.
Tetapi generasi ini harus patuh kepada analogi hukum kekekalan energi, bahwa dimana
ada keunggulan pasti ada kelemahan. Karena terbiasa dengan dunia digital yang
umumnya serba instan, anak-anak yang terlahir di era generasi internet biasanya tidak
terlalu suka dengan proses, mereka tidak sabaran dan ingin segalanya serba instan.
Makanan instan pun jadi kegemaran mereka. Makanya anak-anak generasi internet
umumnya tidak paham dengan proses.
Kondisi ini bukan salah mereka, tapi memang situasi zaman yang telah berubah. Kalau di
era pra-digital kita terbiasa dengan kamera foto analog dengan film 35mm yang harus
melalui proses cuci cetak, anak-anak generasi internet justru akrab dengan digital camera
yang bisa menghasilkan gambar foto secara instan yang bisa langsung dicetak ke kertas
dalam hitungan menit saja. Mereka tidak paham dengan cara pembuatan foto yang harus
melalui proses pencucian film foto di kamar gelap. Kini banyak kita temui anak-anak
yang belajar animasi dan desain tanpa memiliki skill menggambar, sesuatu yang sukar
dilakukan pada era pra komputer digital. Padahal idealnya mereka harus melalui proses
belajar menggambar dahulu sebelum beranjak ke tingkatan yang lebih tinggi, sebagai
designer (Nazir, 2012)
Era digital juga membuat Generasi internet kurang trampil dalam berkomunikasi verbal.
Mereka terbiasa berkomunikasi dengan gadget elektronik, apakah melakukan chatting via
messenger atau SMS. Jadi jangan heran kalau ada yang menamakan generasi ini dengan
istilah silent generation. Kegemaran akan dunia maya inilah yang menjadi sasaran kritik
para humanis seperti Mark Slouka. Anak-anak generasi internet menjadi sulit untuk
membedakan antara realitas nyata dengan realitas maya. Seperti yang pernah saya
singgung dalam artikel teknologi maju dan alam yang terkembang, mereka tidak akrab
dengan alam. Mereka melihat dunia dari balik kaca belaka (Nazir, 2012)
Selain itu menurut Akhmad Sudrajat (2012) dalam artikelnya yang berjudul Generasi Z
dan Implikasinya terhadap Pendidikan, karakteristik generasi internet memiliki dua sisi
yang berlawanan, bisa positif- memberikan manfaat bagi dirinya dan atau lingkungannya-
atau justru malah negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun lingkungannya.
Wawan (2011) dalam tulisannya yang dipublikasikan di Wikimu, mengatakan bahwa
karena mereka fasih dengan teknologi digital, mereka sangat cocok bekerja di perusahaan
besar, perusahaan yang mampu menyediakan fasilitas modern. Namun mereka akan
kesulitan jika diminta mengelola sebidang tanah, dengan fasilitas pengairan, dan modal
uang secukupnya. Karena yang ada di benak mereka adalah komputer, laptop dan HP,
bukan peternakan, perikanan dan pertanian.
Merurut Tuhana Taufiq Andrianto, sebagaimana disampaikan oleh Jusuf AN dalam
tulisannya yang berjudul Masa Depan Anak-Anak Generasi Z bahwa anak cenderung
berkurang dalam komunikasi secara verbal, cenderung bersikap egosentris dan
individualis, cenderung menginginkan hasil yang serba cepat, serba-instan, dan
serba-mudah, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses. Kecerdasan Intelektual (IQ)
mereka mungkin akan berkembang baik, tetapi kecerdasan emosional mereka jadi tumpul.
Sementara itu, Choiron (2011) menyoroti tentang bahaya dari kecenderungan Generasi
Internet yang gemar mendengarkan musik melalui earphone, yang dapat menyebabkan
kecelakaan lalu lintas dan gangguan pada pendengaran.
Konon dampaknya Generasi Internet akan benar-benar dirasakan sekitar tahun 2020,
ketika mereka berusia sekitar 25 tahunan, saat memasuki dunia kerja. Mereka diyakini
akan sangat tergantung kepada perangkat digital untuk hampir seluruh aktivitasnya. Bagi
Generasi Internet, kecepatan (speed) adalah kunci keberhasilannya, sejalan dengan
kegemaran mereka terhadap yang serba instan. Siapa yang paling cepat memperoleh
informasi, memasuki pasar, akan memenangi pertarungan. Ironinya, kecepatan itulah
yang dapat membuat mereka terisolasi dari alam nyata, seolah pohon yang tercerabut
akarnya, terlepas dari tanah (http://aswilnazir.blogspot.com).
Pendidikan Untuk Anak-Anak Generasi Internet
Kiprah pendidikan senantiasa hidup dalam suatu dunia yang terus berubah seiring dengan
kemajuan teknologi informasi dan perubahan demografi. Jika dunia pendidikan tidak
menyelaraskan diri dengan perkembangan jaman tersebut, pendidikan akan menjadi
usang dan tidak selaras dengan kemajuan di milenium kedua ini. Generasi muda saat ini,
yang disebut juga Generasi Internet atau Net Generation, mempunyai karakteristik yang
membuat mereka berbeda dengan generasi terdahulu. Jika dunia pendidikan tidak
membuat upaya untuk memetakan profil khas pemelajar ini dan merancang pola
pembelajaran yang sesuai, akan terbentuk kesenjangan antara keduanya.
Pemelajar di jaman informasi ini mempunyai kecenderungan gaya belajar aktif,
sequential, sensing, dan visual (Felder dan Soloman, 1993). Pemelajar aktif mudah
belajar dengan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari. Maka, mata kuliah yang
terlalu banyak bersifat ceramah dan komunikasi satu arah serta terpusat kepada dosen
(teacher-centered) tidak akan cocok dengan mereka. Sebaliknya, pembelajaran yang
membuat mereka menerapkan teori dan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari
akan dengan mudah menarik minat dan pada gilirannya kemampuan belajar mereka.
Mereka yang bergaya belajar sequential mudah menyerap materi yang diberikan secara
runtut, berurutan secara logis, dan dengan jelas terkait antara satu dengan lainnya.
Mereka dengan gaya belajar sensing cenderung menyukai fakta, menyukai hal-hal yang
penerapan praktisnya jelas, mengharapkan relevansi dengan dunia sehari-hari, dan kurang
suka teori abstrak dan tes yang materinya belum dibahas tuntas di kelas. Akhirnya,
mereka dengan gaya belajar visual akan terbantu dengan bagan, skema, dan diagram alir
dari rangkaian teori yang sedang mereka kupas. Keempat gaya belajar ini selaras dengan
kecenderungan generasi internet yang kehidupannya sarat dengan interaksi lewat
berbagai media virtual seperti ponsel, Blackberry, dan Internet. Kesimpulannya, sudah
saatnya praktek pendidikan mengakomodasi kecenderungan ini melalui kombinasi yang
efektif antara pembelajaran teori dengan eksplorasi dunia maya melalui berbagai piranti
teknologi informasi tersebut (Djiwandono, 2011)
Dunia pendidikan terus berinovasi dan tak segan mengulas kembali prinsip-prinsip yang
telah diajukan di masa lalu namun masih relevan sampai sekarang. Pendekatan berpikir
kritis (Critical Thinking) sedang banyak diaplikasikan dan dikaji keefektifannya untuk
kegiatan belajar di semua disiplin ilmu. Dengan tujuan utama membentuk pemelajar yang
mampu belajar mandiri dengan bertumpu pada alur pemikiran yang logis dan sistematis,
pendekatan ini sangat relevan dengan jaman di mana sumber belajar berlimpah dari
Internet dan pemelajar terpapar pada sekian banyak sumber informasi. Dihadapkan pada
situasi berkelimpahan seperti ini, tak pelak seorang pemelajar harus secara mantap
menentukan tujuannya dan dengan kritis menentukan sumber-sumber apa yang mereka
bisa pakai untuk mencapai tujuan tersebut. Bukan hanya itu, namun ketika sudah
mencapai tujuan, mereka juga harus mampu mengevaluasi sejauh mana dan bagaimana
tujuan itu dicapai. Pada intinya, pendekatan berpikir kritis sebaiknya mulai ditanamkan
dan dipacu untuk generasi terdidik dari semua bidang ilmu. Pada saat yang sama, dunia
pendidikan sebaiknya tidak segan berbenah diri untuk senantiasa peka terhadap
kecenderungan gaya belajar generasi muda dan membuat perubahan yang signifikan
(Djiwandono, 2011).
Maka para orang tua masa kini memliki tantangan baru, yaitu bagaimana untuk
menyikapi anak-anak generasi Internet dengan bijak. Orang tua selain harus menjaga
komunikasi dua arah dengan sang anak, kini juga harus bisa menjelaskan kepada si anak
bahwa proses itu merupakan aspek penting, jangan dilupakan. Dedeh Kurnasih (2010)
memberikan beberapa kiat yang dapat diterapkan oleh orang tua dan guru agar tidak salah
langkah dalam mendidik anak, antara lain:
Pertama, mendekati anak lewat gadget. Dengan langkah ini, orangtua atau pun guru
menjadi setara denga si anak dan nyambung dengan kemampuan si anak.
Kedua, memberikan keseimbangan kepada anak. Menurut para ahli aneka gadget hanya
akan membuat salah satu sisi otak manusia yang terstimulasi. Padahal seharusnya kedua
belahan otak, baik belahan otak kanan maupun kiri distimulasi secara seimbang. Cara
menyeimbangkannya antara lain dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni,
seperti melukis, menari, musik dan lain sebagainya.
Ketiga, menumbuhkan kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita tidak boleh
membiarkan anak berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab dengan gadget-nya.
Oleh karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga
sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang bersosialisasi dengan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai