Anda di halaman 1dari 2

ANCAMAN PERBEDAAN ANTARGENERASI

Memasuki abad milenium, invasi teknologi, khususnya akses internet, melahirkan generasi digital yang jauh berbeda.
Bahkan semakin ke sini semakin ekstrem. Generasi senior harus lebih adaptif dengan perubahan generasi.

Kembali ke era 1990-an tanpa gangguan telepon pintar terasa menyenangkan. Tidak ada yang
bertindak anarkistis dan polarisasi. Manusia saling berdampingan, penuh toleransi, dan menghargai
perbedaan. Semua itu sangat indah. Pada masa itu hanya terdapat tiga generasi pra-digital: the traditionalist
(1922-1945), the baby boomers (1946-1964), dan generasi X (1965-1980). Ketiga generasi bisa berkomunikasi dan
saling menghargai.
Ketika generasi X (saya lahir tahun 1970) tidak setuju dengan generasi yang lebih tua (boomers dan
traditionalist), kami akan memilih diam, jarang membantah. Jika terjadi silang pendapat pun kami tetap patuh
pada generasi sebelumnya, pemegang otoritas dalam keluarga ataupun pekerjaan. Bisa jadi hal ini
dipengaruhi oleh budaya pasif agresif negeri kita karena dijajah Belanda 350 tahun. Pemimpin di
pemerintahan pun sampai sekarang didominasi suku Jawa yang berbudaya nrimo. Memasuki abad
milenium tahun 2000, invasi teknologi, khususnya akses internet, melahirkan generasi digital yang jauh
berbeda. Bahkan semakin ke sini semakin ekstrem.
Muncul generasi Y/milenial (1980-1995), generasi Z/zilenial (1996-2010), dan generasi A/alfa (2010 dan
selanjutnya). Ketiganya generasi era pascadigital. Namun, perbedaan antar-generasi sangat terasa. Dalam
sebuah sesi saya di Surabaya belum lama ini, seorang guru TK yang sudah 25 tahun bekerja mengatakan,
ada perbedaan bahasa dan cara berinteraksi generasi ini dengan orang tua boomers dan X. Mereka menyukai
bahasa santun dan terstruktur. Ketika gaya bahasa yang sama ia gunakan kepada orangtua milenial, mereka
mengeluh bahasanya terlalu sopan, tidak menarik.
Demikian juga dengan sesi saya kepada para pemimpin di perusahaan BUMN. Semua generasi X dan
late boomers. Mereka mengeluhkan ketidaktelitian generasi Y dan Z dalam membuat laporan. Bahasa tulisan
pendek-pendek dan kesulitan mengartikulasikan pikiran dalam narasi yang runut dan terstruktur.
Saya pun merasakan bagaimana gagapnya generasi digital (Y/Z/A) ini berkomunikasi. Bahasa
pendek-pendek, mungkin karena gemar menyingkat bahasa dan kata dalam berkomunikasi di dunia digital.
Contoh, oke menjadi OK, kolaborasi menjadi kolab, ambisius menjadi ambis, bawa perasaan menjadi baper,
dan seterusnya. Belum lagi penggunaan emoji yang kadang sulit dimengerti generasi sebelumnya.
Tampaklah bahwa generasi ini ingin serba cepat dan instan. Mereka cenderung tak acuh dan tidak
menghargai orang yang lebih tua. Mereka pasif dan tidak berkesadaran menyapa orang yang lebih tua
karena sibuk dengan gawainya.
Beda cara pandang
Semua generasi memang memiliki tata nilai dan cara pandang yang berbeda. Baby boomers Bill Gates,
misalnya, bersemboyan kerja keras dan kerja lebih keras (work hard and harder). Ketika mereka lahir, Perang
Dunia II baru berakhir dan mereka harus membangun dunia yang porak-poranda. Membuat generasi ini
optimistis dan senang terlibat proses kerja, cenderung micro-managing. Tidak mengherankan mereka
protektif dan kaku dalam membangun relasi dengan generasi digital.
Generasi X, contohnya Sergey Brin, pendiri Google, punya semboyan work hard and play hard. Mereka
generasi MTV yang lentur dan tidak suka aturan baku, generasi pendobrak. Mereka lahir dengan teknologi
yang mulai bertumbuh (pager dan telepon seluler).
Generasi Y, contoh Mark Zuckerberg, bersemboyan you only live once (Y.O.L.O). Mereka sangat tech-
savvy dan multi-tasking, dapat mengendalikan tiga gadget sekaligus untuk bekerja, menonton Youtube, serta
memesan makanan secara online. Generasi Y peserta training mengikuti kelas sambil bermain games. Ketika
saya tanya, ia bisa menjelaskan materi yang saya sampaikan meski tidak detail. Generasi ini
mencampuradukkan semua fungsi: bekerja, bermain, dan berinteraksi. Mereka lebih senang ruang kerja
yang terbuka dan bebas memilih tempat bekerja, seperti dalam film Intern. Robert De Niro yang mewakili
generasi boomers harus berhadapan dengan milenial yang berbeda cara berpakaian, berinteraksi,
berkomunikasi, dan menyelesaikan masalah.
Berikutnya generasi Z yang multiteknologi. Contohnya adalah Malala Yousafzai, aktivis dan duta PBB
termuda. Generasi ini mahir memainkan banyak peranti sekaligus dalam satu kesempatan. Mereka sangat
fear of missing out (FOMO) dengan semboyan me my self and I. Mereka adalah produk generasi yang pesimistis,
pragmatis, realistis, dan menginginkan work life balance. Mereka menuntut keterbukaan, relevansi, dan
kejelasan.
Mereka lahir ketika semua teknologi yang memudahkan hidup tersedia, termasuk AI dan Chatgpt yang
meresahkan itu. Hidup mereka menjadi sangat praktis dan instan, bisa membatalkan pesanan makanan
dengan mudah di aplikasi. Sementara kita dulu harus keluar rumah dan antre di restoran. Tidak
mengherankan mereka rapuh di bawah tekanan, mudah bosan, dan perlu waktu healing.
Saya jadi ingat ketika masih siaran di radio Prambors akhir 1980-an sampai 1990-an. Saya masih
membeli majalah dari luar negeri atau menitip teman. Walaupun informasi yang saya sampaikan terkadang
sudah kedaluwarsa, pendengar tidak memiliki akses informasi itu sehingga masih relevan. Sekarang, berita
tentang bom di belahan dunia mana pun beberapa detik kemudian sudah tersebar di seluruh dunia. Belum
lagi berita hoaks yang mengaburkan fakta, efektif untuk alat adu domba. Ketika saya mengajar generasi
digital dan meminta peserta berpartisipasi dalam kuis, seorang anak yang tunjuk jari dan bergegas maju
sampai di depan kelas terpaku dan bilang, ”Pak, saya lupa!”
Gagap generasi
Generasi alfa diprediksi mengubah wajah dunia dalam tujuh tahun ke depan. Walaupun generasi ini
belum ada dalam dunia pekerjaan, mereka humanis, pendidikan lebih baik, dan mampu membangun relasi
yang lebih baik. Mereka perlu pengakuan global karena dunia teknologi menjadi bagian dalam kehidupan
mereka. Mereka memerlukan ajaran tentang kesopanan dan kesantunan karena dunia mereka sangat
individualistis, menjadi lebih agresif/pasif, dan tidak memiliki empati seperti generasi terdahulu. Semakin
ke sini semakin banyak contoh komunikasi dan interaksi yang berpotensi merusak relasi.
Namun, masing-masing generasi menurut saya juga kebingungan. Boro-boro membangun relasi harmonis,
mereka harus berjuang di abad yang panas dan bising dengan kehadiran media sosial. Tidak tahu harus
berbuat apa, mereka jadi apatis dan masa bodoh. Generasi alfa diprediksi mengubah wajah dunia dalam
tujuh tahun ke depan.
Maka, jurang komunikasi semakin lebar di tengah ragam generasi. Teknologi digital telah mengubah
dunia kita secara global, termasuk cara berinteraksi dan berkomunikasi. Padahal, ini alat satu-satunya dalam
membangun relasi. Kita juga kaget melihat generasi digital berani memaki-maki orang yang lebih tua di
media sosial tanpa memperhatikan etika, padahal kenal saja tidak. Namun, ada juga generasi milenial yang
mampu menyampaikan pendapat secara jelas dan terstruktur, sementara sebagian generasi yang lebih tua
menggunakan media sosial untuk pamer, menampilkan citra diri digital yang sangat jauh dengan realitas.
Semua menjadi blur, tidak real, dan tidak otentik.
Miskomunikasi interpersonal menjadi ancaman dalam kehidupan ini dengan makin berbedanya
generasi. Dunia kita semakin kusut dan membuat generasi digital ini galau akut.
Bayangkan apabila dalam dunia kerja terdapat empat generasi yang berbeda, dengan gaya
komunikasi yang berbeda. Yang diuntungkan adalah generasi X seperti saya karena kami ada di area analog
dan digital sehingga lebih mudah nyambung ke generasi yang lebih muda. Ketidakmampuan membangun
komunikasi lintas generasi bisa berdampak buruk.
Menurut saya, generasi senior harus lebih adaptif makin nyambung dengan generasi yang lebih
muda. Contoh, Presiden Jokowi memakai sneakers karena tahu market terbesar adalah generasi digital ini.
Makhluk sosial
Untuk menyiasati jurang besar dan mengkhawatirkan ini kita semua harus sadar diri sebagai
makhluk sosial. Kita sejatinya saling membutuhkan satu sama lain. Namun, senjata ampuh membangun
relasi hanya bisa melalui cara berkomunikasi yang baik dan benar: terbuka, hangat, menyenangkan, dan
dapat diandalkan.
Generasi yang lebih senior harus jadi contoh yang baik agar kita dapat menciptakan ruang bermain
dan berekspresi untuk mereka yang lebih muda. Di sisi lain, semua pihak harus meluangkan waktu untuk
memperbarui diri. Generasi pradigital sebaiknya menggunakan media sosial untuk mengenal dunia mereka.
Ini ”jembatan” komunikasi ampuh dengan generasi postdigital selain pendekatan pribadi.
Kita perlu tahu tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan resahkan karena mereka adalah
penerus, the next future leader, yang akan menggantikan posisi kita. Kita harus membangun fondasi yang
kuat, menggandeng mereka, dan membantu menghilangkan kekalutan mereka.
Kitalah yang menuntun mereka dan melakukan usaha yang lebih keras karena kita yang lebih waras,
paham akan banyak hal dan memiliki banyak wisdom (di luar teknologi yang menjadi ranah mereka). Kita
harus rela menanggalkan arogansi kepemimpinan dari otoriter menjadi egaliter. Menjadi mentor, bahkan
coach yang baik untuk mereka.*

Erwin Parengkuan, Praktisi Komunikasi, Pendiri & CEO Talkinc

*Artikel disadur dan diadaptasi semata untuk kebutuhan pertemuan orang tua siswa
Sumber: Opini Kompas “Ancaman Perbedaan Antargenerasi” Senin, 8 Mei 2023

Anda mungkin juga menyukai