Anda di halaman 1dari 4

Gen Z Dominan, Apa

Maknanya bagi Pendidikan


Kita?
2021 94883 Diyan Nur Rakhmah (Analis Kebijakan pada Pusat Penelitian
Kebijakan)

Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 telah dirilis Badan Pusat Statistik pada akhir Januari lalu, dan
memberikan gambaran demografi Indonesia yang mengalami banyak perubahan dari hasil sensus
sebelumnya di tahun 2010. Sesuai prediksi dan analisis berbagai kalangan, Indonesia tengah berada pada
periode yang dinamakan sebagai Bonus Demografi. Menariknya, hasil sensus 2020 menunjukkan
komposisi penduduk Indonesia yang sebagian besar berasal dari Generasi Z/Gen Z (27,94%), yaitu generasi
yang lahir pada antara tahun 1997 sampai dengan 2012. Generasi Milenial yang digadang-gadang menjadi
motor pergerakan masyarakat saat ini, jumlahnya berada sedikit di bawah Gen Z, yaitu sebanyak 25,87%
dari total penduduk Indonesia. Ini artinya, keberadaan Gen Z memegang peranan penting dan memberikan
pengaruh pada perkembangan Indonesia saat ini dan nanti.

Siapakah Generasi Z?

Di banyak analisis, para ahli menyatakan bahwa Gen Z memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda
dengan generasi sebelumnya. Generasi ini dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less
generation). Ryan Jenkins (2017) dalam artikelnya berjudul “Four Reasons Generation Z will be the Most
Different Generation” misalnya menyatakan bahwa Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif
kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi organisasi. Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global,
serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen
Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka
gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas.

Artikel Bruce Tulgan dan RainmakerThinking, Inc. berjudul “Meet Generation Z: The Second Generation
within The Giant Millenial Cohort” yang didasarkan pada penelitian longitudinal sepanjang 2003 sampai
dengan 2013, menemukan lima karakteristik utama Gen Z yang membedakannya dengan generasi
sebelumnya. Pertama, media sosial adalah gambaran tentang masa depan generasi ini. Gen Z merupakan
generasi yang tidak pernah mengenal dunia yang benar-benar terasing dari keberadaan orang lain. Media
sosial menegasikan bahwa seseorang tidak dapat berbicara dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.
Media sosial menjadi jembatan atas keterasingan, karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi,
dan berinteraksi. Ini berkaitan dengan karakteristik kedua, bahwa keterhubungan Gen Z dengan orang lain
adalah hal yang terpenting. Ketiga, kesenjangan keterampilan dimungkinkan terjadi dalam generasi ini. Ini
yang menyebabkan upaya mentransfer keterampilan dari generasi sebelumnya seperti komunikasi
interpersonal, budaya kerja, keterampilan teknis dan bepikir kritis harus intensif dilakukan. Keempat,
kemudahan Gen Z menjelajah dan terkoneksi dengan banyak orang di berbagai tempat secara virtual
melalui koneksi internet, menyebabkan pengalaman mereka menjelajah secara geografis, menjadi terbatas.
Meskipun begitu, kemudahan mereka terhubung dengan banyak orang dari beragam belahan dunia
menyebabkan Gen Z memiliki pola pikir global (global mindset). Terakhir, keterbukaan generasi ini dalam
menerima berbagai pandangan dan pola pikir, menyebabkan mereka mudah menerima keragaman dan
perbedaan pandangan akan suatu hal. Namun, dampaknya kemudian, Gen Z menjadi sulit mendefinisikan
dirinya sendiri. Identitas diri yang terbentuk sering kali berubah berdasarkan pada berbagai hal yang
mempengaruhi mereka berpikir dan bersikap terhadap sesuatu.

Gen Z dan Digitalisasi

Tidak selamanya kedekatan Gen Z dengan teknologi memberikan keuntungan. Dalam dunia kerja misalnya,
O’Connor, Becker, dan Fewste (2018) dalam penelitiannya berjudul Tolerance of Ambiguity at Work
Predicts Leadership, Job Performace, and Creativity, menemukan bahwa pekerja yang lebih muda
menunjukkan kapasitas yang lebih rendah untuk mengatasi ambiguitas lingkungan dibandingkan dengan
pekerja yang lebih tua. Generasi lebih muda terbiasa mengekspresikan keinginan untuk hal-hal yang
bersifat kebaruan termasuk pada bidang pekerjaan yang sifatnya lebih menantang. Namun, mereka belum
memiliki keterampilan dan kepercayaan diri yang mumpuni untuk mengelola ketidakpastian lingkungan
yang sering kali terjadi sehingga cenderung menjadi lebih cemas. Ini semacam mematahkan asumsi yang
selama ini terbangun bahwa menjadi penduduk asli digital (digital native), artinya melengkapi kekurangan
dari karakteristik generasi sebelumnya melalui keterampilan yang lebih adaptif dan inovatif dalam
mengatasi situasi ketidakpastian. Dasar yang dikemukakan dalam penelitian ini cukup beralasan. Gen Z
dilahirkan dan dibesarkan dalam pengasuhan yang terlalu protektif di tengah kondisi dunia yang serba tidak
menentu. Resesi ekonomi, transformasi digital, invasi di beberapa negara, bencana alam, dan juga wabah
penyakit. Ini yang kemudian menyebabkan di masa dewasa, Z menjadi kurang toleran terhadap ambiguitas
lingkungan karena masa kanak-kanak yang terlalu terlindungi. Penelitian American Psychological
Association yang dikutip dalam Media Literasi bagi Digital Natives: Perspektif Generasi Z di Jakarta (2018)
menegaskan temuan tersebut. Kemampuan mengelola stres dan mencapai gaya hidup sehat semakin
menurun di setiap generasi. Jika fenomena ini berlanjut, maka ke depannya, Gen Z akan menjadi generasi
yang paling stres sepanjang sejarah. Kondisi ini juga berkaitan dengan karakter Gen Z yang tidak memiliki
batasan dengan individu lain, sehingga memungkinkan mereka mudah labil karena menerima terpaan
informasi dan kondisi yang cepat berubah dan serba acak.

Bagaimana Seharusnya Pendidikan Bertransformasi?

Dari sekian banyak analisis, David Stillman dan Jonah Stillman (2017) memberikan gambaran lebih
komprehensif tentang karakter Gen Z. Dalam bukunya Gen Z @ Work: How The Next Generation is
Transforming the Workplace, ayah dan anak ini mengidentifikasi tujuh karakter utama Gen Z, yaitu: figital,
fear of missing out (FOMO), hiperkustomisasi, terpacu, realistis, Weconomist, dan do it yourself (DIY).

Di konteks pendidikan, pemahaman tentang karakteristik setiap generasi menjadi penting untuk
menentukan bagaimana strategi pendidikan yang efektif diberikan kepada siswa. Tujuannya tidak sekadar
capaian akademik dan pedagogik siswa, tetapi juga bagaimana proses pendidikan dapat menumbuhkan
karakter dan kecintaan siswa terhadap aktivitas belajar. Saat ini, sebagian besar dari Gen Z berada pada
usia sekolah. Ini berarti, penyesuaian sistem belajar dalam ruang-ruang pendidikan kita harus
mempertimbangkan karakteristik Gen Z agar sesuai dengan kebutuhan mereka tanpa mengesampingkan
minat dan habituasi mereka sebagai sebuah kelompok generasi.

Pada karakter figital, sifat Gen Z sebagai “penduduk asli pribumi” sangat melekat. Guru harus banyak
melakukan pengamatan tentang bagaimana siswa memadukan sisi fisik dan digital dalam cara mereka
berinteraksi, hidup, dan belajar. Ini kemudian akan menjadi landasan bagi guru untuk menentukan metode
pembelajaran yang akan gunakan. Penutupan sekolah karena masa pandemi COVID-19 sebenarnya
memberikan dorongan positif bagi guru untuk lebih berkomitmen, konsisten dan terbiasa memanfaatkan
teknologi dalam pembelajaran. Guru sudah harus semakin terbiasa menggunakan sarana pembelajaran yang
beragam melalui teknologi digital, agar siswa tetap dapat aktif dan tersambung dalam pembelajaran dalam
berbagai kondisi pembelajaran yang ada. Guru juga perlu untuk lebih terbuka terhadap tambahan leksikon
baru sebagai media dan perangkat pembelajaran. Ini dapat berupa visual, video, atau bahkan simbol tertentu
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas komunikasi antara siswa dan guru. Guru perlu lebih kreatif
dalam mencari dan menerapkan solusi figital untuk meningkatkan dan menyebarkan budaya pembelajaran.

Karakter FOMO juga menjadi salah satu tantangan pendidikan. Pada karakter ini, Gen Z memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. FOMO menjadikan siswa terpacu
untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang tersebar dan mudah diakses saat ini. Itu
mengapa, Gen Z memilih untuk selalu terhubung aktif dengan komunitasnya agar informasi yang beredar
dalam komunitasnya tidak terlewatkan, salah satunya melalui media sosial. Dalam hal ini, pendidikan perlu
menjadi media yang terbuka dan mewadahi berbagai informasi yang diperlukan siswa tidak hanya pada hal
yang berkaitan dengan pembelajaran, tetapi juga keterampilan hidup. Pendidikan perlu mampu mengkurasi
informasi apa saja yang memang bermanfaat bagi siswa, dan yang tidak. Kompetensi guru menjadi sangat
penting dalam hal akurasi tersebut.

Kebebasan Bersuara dan Menyesuaikan Kebutuhan Belajar

Gen Z lahir dengan salah satu kelebihan mampu memahami dirinya sendiri. Itu mengapa, karakter
Hiperkustomisasi menjadi salah satu ciri khas Gen Z. Dari sana, siswa menjadi terbiasa menentukan
kebutuhan apa yang mereka butuhkan dan perlu dapatkan. Aktivitas mereka berselancar di dunia maya,
merupakan bagian dari cara Gen Z memenuhi kebutuhan akan dirinya. Dalam konteks pendidikan,
memberikan kebebasan siswa menentukan cara belajarnya merupakan sebuah kebutuhan. Guru perlu untuk
mampu melakukan personalisasi cara-cara belajar bagi setiap siswa, dan memberikan siswa lebih banyak
kesempatan untuk mencari sumber belajar di luar aktivitas bersekolah. Karakter hiperkustomisasi
menyebabkan siswa juga menjadi terbiasa mengkritisi banyak hal di sekelilingnya, termasuk memberikan
masukan terhadap media-media belajar yang selama ini digunakannya. Penting bagi ekosistem pendidikan
untuk memberikan ruang kepada para siswa untuk menyampaikan gagasan dan penilaiannya tentang proses
belajar yang mereka jalani sehari-hari, termasuk berkesempatan merekonstruksi harapan mereka tentang
pendidikan di masa depan. Kenyamanan belajar adalah yang utama bagi Gen Z.

Dalam praktik pembelajaran saat ini, siswa menjadi sangat kompetitif dengan keragaman potensi yang
dimilikinya. Ini perlu menjadi catatan penting bagi pendidikan khusunya guru untuk mampu memfasilitasi
karakter terpacu tersebut melalui berbagai media yang mampu mengakomodasi potensi siswa yang
beragam, tanpa mengarahkan pada upaya memperbandingkan antara siswa yang satu dan yang lainnya.
Siswa perlu lebih banyak diapresiasi dan menjadikan praktik tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari
upaya-upaya reflektif semua pihak dalam memperbaiki kualitas pembelajaran.
Karakter lain dari Gen Z adalah Weconomist. Pada karakter ini, Gen Z lebih menyenangi kegiatan yang
sifatnya berkelompok dan selalu terhubung dengan sejawatnya. Dalam pembelajaran, karakter ini dapat
difasilitasi dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu siswa dan
mengondisikan siswa untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran yang
diberikan. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan sejenisnya akan membuat siswa terbiasa bekerja
dengan kelompok dan berbagi informasi di dalamnya. Siswa perlu lebih banyak didekatkan dengan
sesamanya, untuk dapat saling belajar dan memberikan masukan dengan komunitasnya (peer review),
dengan tetap menempatkan guru sebagai fasilitator belajar. Kegiatan eksplorasi siswa juga perlu untuk
semakin dihidupkan melalui berbagai percakapan/diskusi antar siswa. Siswa saling menyampaikan apa
yang mereka temui dan mereka harapkan, serta mempertemukan mereka pada berbagai ide dan gagasan.
Upaya ini berkaitan juga dengan karakteristik Gen Z yang lebih senang melalukan banyak hal sendiri
(DIY/Do It Yourself). Untuk membangun karakter ini, guru dapat banyak membangun pembelajaran dengan
pendekatan yang beragam untuk mendorong kreativitas siswa dalam banyak hal. Internet perlu lebih
diarahkan oleh guru sebagai sumber informasi dan inspirasi meningkatkan keterampilan hidup siswa.

Bagaimanapun, proses belajar harus bersifat mandiri, demokratis, dan membuka ranah yang luas bagi
penciptaan dan penemuan hal-hal baru dalam pembelajaran. Guru perlu menciptakan iklim belajar yang
mampu membangun self regulation pada diri siswa. Siswa juga perlu lebih banyak dilatih untuk realistis
tentang kehidupan dan masa depannya nanti. Guru juga perlu menyampaikan secara terbuka peluang,
tantangan dan juga hambatan yang mungkin nantinya akan membuat siswa memerlukan upaya lebih untuk
mencapai cita-cita yang mereka impikan. Dengan berbagai upaya tersebut, pendidikan diharapkan mampu
memberikan masukan tentang hal-hal rasional yang perlu Gen Z lakukan dalam kehidupan mereka, pada
saat ini dan juga nanti. ***

Analisis dalam artikel ini mengambil beberapa referensi dari KTI penulis yang telah diterbitkan oleh Jurnal
Masyarakat Indonesia, LIPI, edisi 1, Juni 2020 dengan judul "Memahami Generasi Pascamilenial: Sebuah
Tinjauan Praktik Pembelajaran Siswa".

*Gambar artikel dikutip dari Hasil Sensus Penduduk 2020 oleh BPS di tautan https://www.bps.go.id/

Anda mungkin juga menyukai