Anda di halaman 1dari 20

BLOK: HEMATOLOGI IMUNOLOGI

Laporan Kelompok 4 Modul:


Gatal

Nama Anggota Kelompok 4:

Indah Lestari Eddy Karyawan (09401611047)


Septiana Waraningsih (09402011005)
Puteri Puspita Sari (09402011011)
Jauharah Az Zahra (09402011016)
Ridwan Bachtiar Wahyudi (09402011021)
Gomgom Jansen Vernando Banurea (09402011026)
Puji Rahayu Jamuru (09402011032)
Rizka Ayu Saputri Abd. Rahman (09402011037)
Indah Puteri Bahtera Sangadji (09402011043)
Rochmat Nurhidayat (09402011048)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2021
BLOK HEMATOLOGI IMUNOLOGI

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang
\ konsep patomekanisme “nyeri” dan “mata kuning” pada berbagai keadaan atau penyakit,
dengan memahami definisi, penyebab, karakteristik, dan mekanisme terjadinya “nyeri” dan
“mata kuning”

STRATEGI PEMBELAJARAN

1. Diskusi kelompok difasilitasi oleh tutor.


2. Diskusi kelompok tanpa tutor.
3. Konsultasi pada pakar.
4. Kuliah khusus dalam kelas.
5. Aktifitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan menggunakan buku ajar, majalah,
slide, tape atau video, internet.
6. Latihan keterampilan klinik di Laboratorium.

KASUS

SKENARIO :
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dibawa orang tuanya ke UGD dengan keluhan gatal-
gatal pada hampir seluruh tubuh dan bengkak kemerahan pada wajah disertai sesak napas.
Keluhan dialami sejak 2 jam sebelum ke UGD. Sebelumnya pasien demam dan minum obat dari
mantri. Sebelum minum obat pasien makan siang dengan udang goreng. Kakak pasien memiliki
riwayat asma.

LEMBAR KERJA SKENARIO 1

1. KLARIFIKASI KATA SULIT : -

2. TENTUKAN KATA KUNCI :


1. Anak perempuan usia 5 tahun makan siang dengan udang goreng.
2. Setelah itu demam dan minum obat dari mantra.
3. Dua jam kemudian ke UGD gatal-gatal pada hampir seluruh tubuh bengkak kemerahan
pada wajah disertai sesak napas.
4. Kakak pasien memiliki riwayat asma.
3. TENTUKAN PROBLEM KUNCI DENGAN MEMBUAT PERTANYAAN-
PERTANYAAN PENTING
Pertanyaan – pertanyaan penting:
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada kulit?
2. Jelaskan definisi dan klasifikasi imunitas!
3. Apa saja jenis-jenis Imunoglobulin?
4. Jelaskan definisi, tipe-tipe hipersensitivitas dan bagaimana patomekanisme dari masing-
masing tipe hipersenitivitas!
5. Jelaskan hubungan patomekanisme gejala (bisa timbul demam, bengkak kemerahan,
gatal dan sesak napas)!
6. Sebutkan dan jelaskan diagnosis banding dari skenario di atas!
4. JAWABAN PERTANYAAN
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada kulit?
1. Anatomi Kulit

Kulit adalah lapisan luar yang menutupi seluruh tubuh dan merupakan organ terbesar
pada tubuh. Kulit terdiri dari dua regio yaitu epidermis pada bagian luar dan dermis pada
bagian dalam.

 Epidermis merupakan lapisan yang tidak mengandung vaskular dan dilapisi oleh
epitel skuamosa berlapis keratin.
 Dermis merupakan lapisan yang terdiri dari jaringan ikat irreguler, pembuluh darah,
saraf, dan kelenjar. Pada lapisan dermis terdapat vascular.

Di bawah dermis terdapat hypodermis, atau lapisan subkutis yang terdiri atas jaringan
ikat atau fasia.
Kulit terbagi atas dua jenis berdasarkan ketebalan epidermisnya yaitu kulit tebal dan kulit
tipis. Pemakaian kata "tebal" dan "tipis" merujuk pada ketebalan lapisan epidermis, yang
bervariasi antara 75 sampai 150 μm untuk kulit tipis dan 400 sampai 1400 μm (1.4
milimeter) untuk kulit tebal. Kulit tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki sedangkan
dengan kulit tipis terdapat pada bagian tubuh lainnya.
A. Lapisan Superfisial Kulit: Epidermis
Epidermis terutama terdiri atas epitel gepeng berlapis berkeratin yang disebut keratinosit.
Tiga jenis sel epidermis yang jumlahnya lebih sedikit juga ditemukan; melanosit. sel
Langerhans penyaji-antigen, dan sel Merkel atau sel taktil epitelial.
Epidermis menimbulkan perbedaan utama antara kulit tebal dan kulit tipis.

Dari dermis ke atas, epidermis terdiri atas lima lapisan keratinosit (kelima lapisan
terdapat di kulit tebal) yaitu :
1. Stratum Basalis
Merupakan lapisan terdalam atau di dasar epidermis. Terdiri atas selapis sel kuboid atau
silindris basofilik yang terletak di atas membran basal pada perbatasan epidermis-dermis.
Sel-sel melekat satu sama lain oleh taut sel yang disebut desmosom, dan melekat ke
membran basal di bawahnya melalui hemidesmosom. Berfungsi untuk produksi sel
epidermis secara berkesinambungan dan ditandai dengan tingginya aktivitas mitosis.
2. Stratum Spinosum
Lapisan yang terdapat di atas stratum basale yang terdiri dari empat sampai enam baris
sel. Terdiri atas sel-sel kuboid atau agak gepeng dengan inti di tengah dengan nukleolus
dan sitoplasma yang aktif mensintesis filamen keratin. Filamen keratin tersusun
membentuk tonofilamen. Sitoplasma menimbulkan tampilan spina di permukaan sel.
3. Stratum Granulosum
Merupakan lapisan yang berada di atas stratum spinosum dan terdiri dari 3-5 lapisan sel
gepeng. Sitoplasma berisi massa basofilik intens yang disebut granul keratohialin yang
tidak berikatan dengan membran. Granula keratohialin terdiri atas protein filagrin yang
berikatan silang dengan filamen keratin. Kombinasi tonofilamen keratin dengan granula
keratohialin menghasilan keratin lunak. Selain itu, sitoplasma di sel stratum granulosum
juga mengandung granula lamelar. Granula lamella mengeluarkan isinya ke dalam ruang
antar sel di stratum granulosum. Di lapisan ini, materi yang kaya-lipid membentuk
lembaran-lembaran yang melapisi sel. Lapisan selubung lipid ini merupakan komponen
utama sawar epidermis terhadap kehilangan air dari kulit.
4. Stratum Lusidum
Lapisan ini hanya dijumpai pada kulit tebal, dan terdiri atas lapisan tipis translusen sel
eosinofilik yang sangat pipih. Organel dan inti telah menghilang dan sitoplasma hampir
sepenuhnya terdiri atas filamen keratin padat yang berhimpitan dalam matriks padat
elektron. Sel-sel pada lapisan ini mengandung filament keratin yang terkemas rapat.
5. Stratum Korneum
Lapisan yang terletak paling superfisial dan terutama terdiri dari sel gepeng yang telah
mati dan terisi oleh filamen keratin lunak. Sel-sel pada lapisan ini mengalami keratinisasi
secara terus-menerus (atau mengalami deskuamasi) dan digantikan oleh sel-sel baru yang
berasal dari stratum basale.
B. Lapisan Dermis
Dermis adalah jaringan ikat yang menunjang epidermis. Dermis terdiri atas dua lapisan
dengan batas yang tidak nyata yaitu lapisan papilar di bagian luar dan lapisan retikular di
bagian dalam.

Lapisan Papila

Lapisan papilar membentuk banyak tonjolan meninggi yang disebut papila dermis.
Lapisan papilar terdiri atas jaringan ikat longgar, dengan fibroblas dan sel jaringan ikat
lainnya, seperti sel mast dan makrofag. Badan Meissner terletak di papila dermis.
Lapisan Retikular
Lapisan retikular lebih tebal dan terdiri atas jaringan ikat padat iregular (terutama kolagen
tipe I), dan memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit sel daripada lapisan papilar.
Badan Pacini terletak di lapisan retikular.
C. Lapisan Subkutan / Hipodermis
Lapisan subkutan terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara longgar
pada organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser di atasnya. Lapisan
subkutan juga mengandung sel-sel lemak yang jumlahnya bervariasi sesuai daerah tubuh
dan ukuran yang bervariasi sesuai dengan status gizi. Suplai vaskular yang luas di lapisan
subkutan meningkatkan ambilan insulin dan obat yang disuntikkan ke dalam jaringan ini
secara cepat.
Sumber :

 Mescher AL. Junquiera’s Basic Histology Text and Atlas Fifteenth Edition. New York
: McGrawHill.2018.
 Eroschenko VP. Atlas of Histology DiFiore With Functional Correlations Thirteenth
Edition. Philadelphia : Wolters Kluwer.2017.

2. Fisiologi Kulit
Kulit pada manusia mempunyai banyak fungsi yang berguna dalam menjaga homeostatis
tubuh:
1). Fungsi Absorpsi
Kulit tidak dapat menyerap air, tetapi dapat menyerap larut-lipid seperti vitamin A, D, E,
dan K, oksigen, karbondioksida. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal
tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, dan metabolism. Penyerapan dapat berlangsung
melalui celah antar sel atau melalui muara saluran kelenjar, tetapi lebih banyak yang
melalui sel-sel epidermis daripada melalui muara kelenjar (Watson, 2002).
2). Fungsi Ekskresi
Kulit berfungsi sebagai tempat pembuangan suatu cairan yang keluar dari dalam tubuh
dengan perantara 2 kelenjar, yakni kelenjar sebaseae dan kelenjar keringat (Watson,
2002).
3). Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh
Sistem pengaturan suhu dilakukan dengan melebarkan pembuluh darah. Kulit akan
mengeluarkan sejumlah keringat dalam keadaan panas melalui pori-pori, panas dalam
tubuh dibawa keluar bersama keringat. Sebaliknya, jika kondisi udara dingin, pembuluh
darah akan mengecil. Pengecilan pembuluh darah ini bertujuan untuk menahan panas
keluar dari tubuh yang berlebihan. Dengan adanya sistem pengaturan ini, maka suhu
tubuh akan selalu dalam kondisi stabil (Anderson, 1996).
4). Fungsi Protektif/Pelindung
Kulit dapat
melindungi
tubuh dari
gangguan
fisik berupa
tekanan dan
gangguan
yang bersifat
kimiawi.
Selain itu,
kulit juga dapat
melindungi
kita dari
gangguan biologis seperti halnya serangan bakteri dan jamur. Kulit juga menjaga tubuh
agar tidak kehilangan banyak cairan dan melindungi tubuh dari sinar UV (Gibson, 2002).
5). Fungsi Peraba
Pada lapisan dermis terdapat kumpulan saraf yang bisa menangkap rangsangan berupa
suhu, nyeri dan tekanan. Rangsangan tersebut akan disampaikan ke otak sebagai pusat
informasi sehingga dapat mengetahui apa yang dirasakan (Gibson, 2002).

2. Jelaskan definisi dan klasifikasi imunitas!


Imunitas adalah perlindungan tubuh terhadap penyakit tertentu yang didapat melalui
respons imun yang ditimbulkan melalui imunisasi atau infeksi sebelumnya atau oleh
faktor-faktor non imunologis lainnya (Dorland ed. 29).
3. Apa saja jenis-jenis Imunoglobulin?

IgG merupakan komponen utama (terbanyak) imunoglobulin serum, dengan berat


molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mg/ml merupakan 75% dari
semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai cairan lain antaranya cairan saraf sentral
(CSF) dan juga urin. IgG
dapat menembus
plasenta dan masuk ke
janin dan berperan pada
imunitas bayi sampai
umur 6-9 bulan. IgG dapat
mengaktifkan
komplemen,
meningkatkan
pertahanan
badan melalui
opsonisasi dan reaksi
inflamasi. IgG mempunyai
sifat opsonin yang
efektif oleh karena
monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgG yang dapat mempererat
hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Selanjutnya opsonisasi dibantu reseptor
i~ntuk komplemen pada permukaan fagosit. IgG terdiri atas 4 subkelas yaitu Igl, Ig2, Ig3
dan Ig4. Ig4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil.
IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi
saluran napas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan kolostrum lebih
tinggi sebagai IgA sekretori (sIgA). Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat
menetralisir toksin atau virus dan atau mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat
sasaran. sIgA diproduksi lebih dulu dari pada IgA dalam serum dan tidak menembus
plasenta. sIgA melindungi tubuh dari patogen oleh karena dapat bereaksi dengan molekul
adhesi dari patogen potensial sehingga mencegah adherens dan kolonisasi patogen
tersebut dalam sel pejamu. IgA juga bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil,
monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk Fca (Fca-R) sehingga dapat
meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan menetralisir toksin. IgA juga diduga
berperan pada imunitas cacing pita.
IgM (M berasal dari makroglobulin) mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan
Ig terbesar. Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor
antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respons imun primer tetapi tidak berlangsung
lama, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini. Pada bayi
yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM dewasa oleh karena
IgM tidak menembus plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila
sel B nya dirangsang oleh infeksi intrauterin seperti sifilis kongenital, rubela,
toksoplasmosis dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar IgM dewasa pada
usia satu tahun. Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB,
antibodi heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen,
memudahkan fagositosis dan merupakan aglu~inator kuat terhadap butir antigen. IgM
juga merupakan antibodi yang dapat mengikat komplemen dengan kuat dan tidak
menembus plasenta.
IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah (1% dari total
imunoglobulin dalam serum). IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas
antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komponen nukleus.
Selanjutnya IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen
pada aktivasi sel B.
IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikat
mastosit, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang pada permukaannya memiliki
reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam
selaput lendir saluran napas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada
alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikirosis. Kecuali pada alergi, IgE
diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai antitodi
reagin.
(IPD Jilid IV)
4. Jelaskan definisi, tipe-tipe hipersensitivitas dan bagaimana patomekanisme dari masing-
masing tipe hipersenitivitas?
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena
dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs
dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatanya dan mekanisme imun yang terjadi.
Reaksi ini dapat terjadi sendiri-sendiri, tetapi di dalam klinik dua atau lebih jenis reaksi
tersebut sering terjadi bersamaan.
(IPD ed.5 Jilid 1)
Hipersensitivitas tipe I (Kowalak)
Antigen yang masuk ke dalam
tubuh akan ditangkap oleh
fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel Th2. Sel yang akhir melepas sitokin yang
merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor
seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang
sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesifik) pada permukaan sel mast yang
menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan beragai mediator
antara lain histamine yang didapat dalam granul-granul sel dan menimbulkan gejala pada
hipersentivitas tipe I.
Hipersensitivitas tipe II

Reaksi tipe II yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi karena dibentuk jenis antibodi
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel penjamu. Ikatan antibodi
dengan antigen dapat mengaktifkan komplemen sehingga terjadi fagositosis atau sitolisis.
Hipersensitivitas tipe III

Reaksi tipe III terjadi akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau
pembuluh darah. Jenis antibodi adalah IgG atau IgM, antigen-antibodi ini mengaktivasi
komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan infiltrasi leukosit polimorfonuklear
dan pelepasan enzim lisosom serta faktor permeabilitas yang menghasilkan respons imun.
Hipersensitivitas tipe IV

Reaksi tipe IV, sel penghantar antigen menyampaikan antigen kepada sel T yang disertai
MHC (major histocompatibility complex). Kemudian sel T yang sudah tersensitisasi
melepaskan limfokin yang menstimulasi makrofag. Setelah itu lisozim dilepas dan
jaringan disekitarnya mengalami kerusakan.

Patomekanisme Hipersensivitas tipe I


Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan- bahan
yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat
atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya.Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Terdapat 2 kemungkinan yang
terjadi pada mekanisme reaksi alergi tipe I, yaitu :
•Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di permukaan sel mast atau
basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E
telah terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig E akan menyebabkan keluarnya
mediator-mediator kimia seperti histamine dan leukotrine.
•Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar dengan allergen penyebab
sebelumnya. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan sel B, sehingga
menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan memproduksi Ig E. Ig E kemudian
melekat pada permukaan sel mast dan akan mengikat allergen. Ikatan sel mast, Ig E dan
allergen akan menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Efek
mediator kimia ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem, spasme
pada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan pada alergi tipe ini
antara lain : rinitis (bersin-bersin, pilek) ; sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem dan
kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme otot polos yang ditemukan pada
anafilaktic shock).
Keterangan :
Alergen/eksogen nonspesifik seperti asap, sulfurdioksida, obat yang masuk melalui jalan
nafas akan menyebabkan saluran bronkus yang sebelumnya masih baik menjadi
meradang. Alergen diikat Ig E pada sel mast dan menyebabkan sel yang berada di
bronkus mengeluarkan mediator kimia (sitokin) sebagai respons terhadap alegen. Sitokin
ini mengakibatkan sekresi mukus, sehingga sesak nafas.
Patomekanisme Hipersensivitas tipe II
Reaksi Alergi tipe II {Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig G)}
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh oleh
karena antibodi melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada
permukaan sel. Antibodi yang berperan biasanya Ig G.
Reaksi Alergi tipe II

Keterangan :
Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan diikat antibody yang berada di
permukaan sel makrofag/K cell membentuk antigen antibody kompleks. Kompleks ini
menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9) yang berakibat kerusakan.
Patomekanisme Hipersensivitas tipe III
Reaksi Alergi Tipe III (Immune Complex Disorders)
Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari kompleks
antigen antibody berada di jaringan.
Mekanisme reaksi alergi tipe III

Keterangan gambar :
Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada netrofil (yang berada dalam darah)
dan antibody yang berada pada jaringan, mengaktifkan komplemen. Kompleks tersebut
menyebabkan kerusakan pada jaringan.
Patomekanisme Hipersensivitas tipe IV
Reaksi Alergi Tipe IV {Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe lambat)}
Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal. Reaksi ini
melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel T.
Ekstrinsik : nikel, bahan kimia.
Intrinsik: Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM or Type I diabetes), Multiple
sclerosis (MS), Rheumatoid arthritis, TBC.
Mekanisme reaksi alergi tipe IV
Keterangan :
Makrofag (APC) mengikat allergen pada permukaan sel dan akan mentransfer allergen
pada sel T, sehingga sel T merelease interleukin (mediator kimia) yang akan
menyebabkan berbagai gejala.
5. Jelaskan hubungan patomekanisme gejala (bisa timbul demam, bengkak kemerahan,
gatal dan sesak napas)!
Sensasi yang kita sebut rasa gatal, dihasilkan, dikondisikan, dan diapresiasikan pada
beberapa tingkat dalam sistem saraf : stimulus, mediator, dan reseptor, jalur syaraf
perifer, pemrosesan di system syaraf pusat, dan interpretasi. Berbagai timbulnya pruritus,
termasuk kemungkinan zat kimia, khususnya histamin, prostaglandin, dan beberapa jenis
proteinase. Banyak stimuli yang mencetuskan timbulnya rasa gatal juga menimbulkan
nyeri bila berlangsung pada intensitas yang lebih tinggi. Menggaruk pruritus tampaknya
dapat menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan menghilangkan iritasi yang ada
Dirasakannya pruritus dipengaruhi oleh pusat-pusat yang lebih tinggi. Rasa gatal tidak
begitu terasa saat pikiran sedang sibuk, dan terasa lebih parah sewaktu sedang dilanda
kebosanan. Stres dan faktor psikologis yang lain dapat menyebabkan priritus hebat. Pada
lansia pruritus dapat terjadi sebagai akibat kulit yang kering. macam stimulasi dapat
menyebabkan priritus hebat. (Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI)
Hubungan patomekanisme antargejala
Beberapa mekanisme dan gangguan yang melatari termasuk pelepasan mediator yang
diinduksi IgE dari sel-sel mast kulit; pengikatan IgG atau IgM pada antigen yang
mengaktifkan komplemen; dan gangguan seperti infeksi lokal atau sekunder (seperti
infeksi pernapasan), penyakit neoplasma (misalnya, penyakit Hodgkin), penyakit jaringan
ikat (misalnya, sistemik lupus eritematosus), penyakit kolagen vaskuler, dan penyakit
psikogenik. Keadaan ini hampir selalu bertahan lama sekalipun respons sistemiknya
sudah mereda. Hal ini terjadi pada peredaran darah ke kulit karena terjadi peningkatan
permeabilitas vaskuler sehingga merupakan suatu keadaan terakhir yang dipulihkan
setelah terjadi suatu reaksi alergi yang mengakibatkan reabsorpsi histamin yang lambat
pada tempat reaksi (Kowalak).
Bagan hubungan antargejala:

Berikatan
Antigen dengan sel B, Rearbsorbsi
(makanan) Ig E terinduksi histamin

Reaksi
Alergi

Peningkatan
Demam Gatal
permeabilitas vaskuler
Diagnosis Banding DA SLE Anafilaksis
Seorang anak perempuan + + +
Bengkak dan Kontraksi
kemerahan otot polos
Berusia 5 tahun + + +

Sesak
Sesak napas - + napas +

6. Sebutkan
Gatal-gatal pada hampir seluruh tubuh + + + dan
jelaskan
diagnosis
Keluhan bengkak kemerahan pada - + + banding
wajah dari
skenario
di atas!
Riwayat pasien minum obat + + +

Riwayat makan udang goreng + + +

Riwayat keluarga asma + + +


A. Dermatitis Atopik (DA) (Buku kulit dan DA)
Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis, disertai
rasa gatal dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada bayi dan bagian
fleksual ekstremitas (pada fase anak).
Etiologi
1) Faktor predisposisi genetik
2) Alergi makanan
3) Infeksi jamur, bakteri, dan virus
4) Faktor psikologis
5) Faktor higiene dalam keluarga
Epidemiologi
Penelitian tentang perjalanan penyakit DA, dari berbagai negara industri memperlihatkan
data yang bervariasi. Di negara berkembang 10 – 20 % anak menderita dermatitis atopik
dan 60 % di antaranya menetap sampai dewasa.
Gejala klinis

a) Manifestasi pertama atopi pada pasien yang kemudian juga menderita: rhinitis
alergika, asma atau keduanya.
b) Alergi makanan juga sering timbul bersamaan dengan DA
c) Rasa gatal yang hebat dan perjalanan penyakit yang kronis – residif menyebabkan
gangguan psikologis pada pasien

Diagnosis
Tidak ada uji diagnostik spesifik untuk DA, diagnosis hanya di tegakan berdasarkan
kriteria spesifik dari anamnesis dan manifestasi klinis. Ciri khas DA:
o Gatal
o Garukan
o Lesi eksematosa, kronik dan kambuhan
Tata laksana
Efektivitas obat sistemik yang aman, bertujuan untuk mengurangi rasa gatal, reaksi
alergik, dan inflamasi. Sebagai terapi sistemik dapat diberikan:

a. Antihistamin (generasi sedatif atau non – sedatif sesuai kebutuhan)


b. Kortikosteroid steroid (pemberian kortikosteroid sistemik bukan merupakan hal yang
rutin).
Jenis terapi topikal berupa:

a. Kortikosteroidn ( sebagai antiinflamasi, anti pruritus, dan immunosupresif)


b. Pelembab (digunakan untuk mengatasi gangguan sawar kulit)
c. Obat penghambat kalsineurin

Komplikasi
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritrodema. Atrofi kulit dapat terjadi akibat
pemberian kortiskosteroid jangka panjang.
Prognosis
Sebagian besar pasien DA akan membaik dengan tatalaksana yang tepat. Prognosis buruk
jika riwayat keluarga memiliki penyakit serupa, onset lebih awal dan luas, jenis kelamin
perempuan, dan bersamaan dengan rinitis alergika dan asma.
Edukasi dan konseling
Perlu diberikan informasi dan edukasi kepada orang tua, para pengasuh, keluarga, dan
pasien tentang DA. Perjalanan penyakit, serta berbagai faktor yang mempengaruhi
penyakit.

B. Sistemik Lupus Eritematous (SLE)


Definisi
Sistemik lupus eritematous adalah salah satu penyakit yang menyerang lebih dari sistem
organ selain kulit serta bersifat fatal.
Epidemiologi
Ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina.
Dapat ditemukan semua usia, paling banyak pada usia 15–40 tahun frekuensi antara
laki-laki dan perempuan (5, 5-9):1.
Etiologi

a) Genetik
b) Hormon
c) Lingkungan

Manifestasi klinis
1) Bercak discoid
2) Bercak malar
3) Vaskulitis
4) Rambut rontok
5) Fotosensitifitas
6) Sariawan berulang
7) Radang pembuluh darah
8) Sumbatan pembuluh darah
9) Radang sendi
Diagnosis
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan fisik
3) Tes laboratorium

Faktor risiko
o Pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan usia
yang sama.
o Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih sering daripada pria.
o Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1

Tata laksana
Langkah utama dalam tatalaksana LE Kutan adalah evaluasi kemungkinan keterlibatan
sistemik. Penghindaran terhadap radiasi UV dan penggunaan tabir surya setiap hari
sangat penting dalam mencegah perluasan dan eksaserbasi penyakit, sehingga pasien
perlu diberikan edukasi mengenai hal tersebut. Pada lesi yang sedikit atau lokalisata,
pemberian kortikosteroid topikal potensi sedang-tinggi dapat bermanfaat. Terkadang
dapat diberikan suntikan kortikosteroid intralesi.
Kortikosteroid sistemik, antimalaria, retinoid, dan imunosupresan diberikan pada LE
Kutan yang luas atau tidak respons terhadap terapi topikal. Perlu perhatian pada efek
samping akibat penggunaan terapi sistemik jangka panjang. Misalnya retinopati akibat
penggunaan antimalaria.
a) Pemberian obat antiinflamasi nonsteroid
b) Krim topikal kortikosteroid
c) Penyuntikan kortikosteroid intralesi atau pemberian obat antimalaria
Komplikasi

1. Infeksi lain yang terjadi secara bersamaan.


2. Infeksi saluran kemih.
3. Gagal ginjal.
4. Osteonekrosis tulang pinggul/pangkal paha akibat penggunaan steroid jangka
panjang.
Prognosis
Bonam (baik)

C. Anafilaksis (Kowalak)
Definisi
Anafilaksis merupakan reaksi hipertensi tipe 1 yang berpotensi mengancam nyawa pasien
dan ditandai oleh urtikaria (gejala;pembengkakan vaskuler dalam kulit disertai gatal)
dengan mendadak serta berlangsung progresif cepat dan gawat pernapasan. Dengan
pengenalan dan penanganan segera, prognosis anafilaksis cukup baik. Namun, reaksi
anafilaksis yang hebat dapat menimbulkan kolaps vaskuler yang mengakibatkan syok
sistemik dan kadang-kadang kematian. Reaksi tersebut secara khas terjadi dalam waktu
beberapa menit tetapi bisa timbul sampai satu jam sesudah pejanan tulang dengan antigen
yang sama.
Etiologi

Anafilaksis biasanya terjadi karena konsumsi obat atau substansi lain yang menyebabkan
sensitisasi atau karena pajanan sistemik lain dengan substansi tersebut, yang meliputi :
o Serum (biasanya serum kuda)
o Vaksin
o Ekstrak allergen
o Hormone
o Penisilin atau anibiotik lain
o Sulfonamide
o Serangga
o Bahan adiktif atau pangan yang mengandung sulfit
o Protein pangan,seperti protein pada kacang-kacangan
o Zat-zat diagnostik, seperti sodium sulfobromoftalein
o Anestesi local
o Salisilat
o Polisakarida

Manifestasi klinis
Reaksi anafilaksis akan menimbulkan distres fisik yang mendadak dalam tempo beberapa
detik atau beberapa menit setelah individu terpajan suatu alergen. Reaksi yang lambat
atau persisten dapat terjadi dalam tempo 24 jam berikutnya. Intensitas reaksi
berhubungan terbalik dengan masa interval antara pajanan alergen dan awitan gejalanya.
biasanya keluhan dan gejala pertama meliputi:
 Perasaan akan menghadapi kematian atau musibah atau perasaan takut akibat aktivasi
IgE dan pelepasan mediator kimia yang diakibatkan
 Perspirasi akibat pelepasan histamin dan vasodilatasi
 Bersin-bersin, sesak nafas, gatal-gatal pada hidung, urtikaria, dan angioedema yang
terjadi sekunder karena pelepasan histamin dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Manifestasi sistemik meliputi:
 Hipotensi, syok, dan kadang-kadang aritmia jantung akibat peningkatan permeabilitas
vaskuler dan selanjutnya penurunan resistensi perifer serta kebocoran cairan plasma
 Edema mukosa nasal, rinorea cair yang sangat banyak, gatal-gatal, kongesti nasal,
dan serangan bersin mendadak yang semua disebabkan oleh pelepasan histamin,
vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler.
 Edema pada traktus respiratorius atas yang mengakibatkan obstruksi hipofaring dan
laring: keadaan ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler dan
degranulasi sel mast
 Suara yang parau, stridor, mengi dan penggunaan otot asesorius yang terjadi sekunder
karena kontraksi otot polos bronkiolus serta peningkatan produksi mucus
 Kram perut yang hebat, mual, diare, dan rasa ingin kencing serta inkontinensia urine
yang terjadi karena kontraksi otot polos pada usus dan kandung kemih.
Patofisiologi
Anafilaksis merupakan riwayat sensity atau pajanan antigen yang spesifik sehingga
terjadi produksi imunoglobulin IgE oleh sel plasma dalam limfonodus dan enchancement
oleh sel T helper. Kemudian antibodi IgE berkaitan dengan reseptor membran sel mast
dalam jaringan ikat dan dengan sel sel basofil. Pada pajanan ulang, antigen tersebut
terikat dengan antibodi IgE yang berada di dekatnya atau berikatan silang dengan
reseptor IgE sehingga mengaktifkan serangkaian reaksi seluler yang memicu degranulasi
sel mast. Melalui proses degranulasi, dilepaskan mediator kimia yang kuat, seperti
histamin eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis, dan platelet-acivating factor dari
sel-sel mast. IgG atau IgM masuk ke dalam reaksi tersebut dan mengaktifkan serangkaian
komplemen sehingga terjadi pelepasan fraksi komplemen.
Pada saat yang sama, dua mediator kimia lain yaitu bradikinin dan leukotrien,
menyebabkan kolaps vaskuler dengan menstimulasi kontraksi kelompok otot polos
tertentu dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Substansi ini, bersama mediator kimia
yang lain, menimbulkan vasodilatasi, kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas
kapiler, dan produksi mukus. Pelepasan yang kontinu bersama penyebaran mediator ini
ke seluruh tubuh melalui sel sel basofil di dalam peredaran darah akan memicu respons
sistemik. Demikian pula, peningkatan permeabilitas vaskuler menyebabkan penurunan
resistensi perifer dan perembesan plasma dari peredaran darah ke dalam jaringan
ekstravaskuler. Penurunan volume darah sebagai konsekuensi akan timbulnya hipotensi,
syok hipovolemik, dan disfungsi jantung.
Komplikasi
Komplikasi anafilasksis meliputi:
a) Obstruksi respirasi
b) Kolaps vaskuler sistemik
c) Kematian
Diagnosis
Tidak ada tes diagnostik tunggal yang dapat mengidentifikasi anafilaksis. Titik
anafilaksis dapat didiagnosis melalui gejala respirasi atau kardiovaskuler yang berat
disertai awetan yang cepat sesudah seseorang mengonsumsi atau mendapatkan suntikan
obat, vaksin, preparat diagnostik, makanan, atau adiktif pangan atau sesudah seseorang
tersebut digigit serangga. Jika semua gejala ini terjadi tanpa ada stimulus alergi yang di
ketahui, keadaan ini yang mungkin menyebabkan syok (seperti infark akut miokard,
status asmatikus, atau gagal jantung) harus disingkirkan dahulu.

Hasil tes ini dapat memberikan beberapa petunjuk tentang resiko pasien untuk mengalami
reaksi anafilaksis:
- Tes kulit yang memperlihatkan hipersensitivitas terhadap alergen tertentu
- Kenaikan kadar IgE serum.
Tata laksana
Penanganan meliputi:
1) Penyuntikan segera melalui 1 M atau subkutan larutan epinefrin aqueous 1 : 1000
untuk mengembalikan bronkokonstriksi dan menimbulkan vasokontriksi jika pasien
belum kehilangan kesadaran dan memiliki tekanan darah yang masih normal; jika
reaksinya berat, penyuntikan tersebut dapat dilakukan secara IV (pemberian epinefrin
dapat diulang setiap 5 hingga 20 menit, jika diperlukan).
2) Trakeostomi atau intubasi endotrakea dan ventilasi mekanis untuk mempertahankan
patensi jalan napas.
3) Terapi oksigen untuk meningkatkan perfusi jaringan.
4) Pemberian epinefrin long-acting, kortikosteroid dan difenhidramin untuk mengurangi
respon alergi.
5) Terapi dengan nebuliser kecil yang mengandung albuterol.
6) Simetidin atau preparat penyekat histami- 2(Bloker H2) lain.
7) Amoxilin untuk mengatasi bronkospasme.
8) Terapi volume xpander untuk mempertahankan dan memulihkan volume plasma yang
beredar.
9) Penyuntikan IV obat vasopressor, seperti norepinefrin dan dopamin untuk
menstabilkan tekanan darah.
10) Resusitasi kardiopulmoner untuk mengatasi henti jantung.

Anda mungkin juga menyukai