Anda di halaman 1dari 8

Nama : I Putu Gunung

NIM : 017.06.0001
Topik : Penanggulangan Pasca Bencana dengan Penanganan Kesehatan Jiwa
Oleh : dr. I Dewa Gede Basudewa Sp.KJ

PENANGGULANGAN PASCA BENCANA DENGAN


PENANGANAN KESEHATAN JIWA

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Data menunjukkan bahwa kejadian bencana telah meningkat secara
signifikan dalam satu dekade terakhir. Pada kurun waktu tersebut Indonesia dilanda
11.274 kejadian bencana yang telah menelan korban jiwa sebanyak 193.240 orang dan
mengakibatkan total kerugian sekurang-kurangnya Rp420 triliun. Kejadian bencana itu
antara lain gempabumi dan tsunami Aceh-Nias (2004), gempabumi Yogyakarta dan
Jawa Tengah (2006), gempabumi Sumatera Barat (2007), banjir Jakarta (2007),
gempabumi Bengkulu (2007), gempabumi Sumatera Barat (2009), tsunami Mentawai
(2010), banjir bandang Wasior (2010), erupsi Gunung Merapi (2010), lahar dingin
Gunung Merapi (2011), serta banjir Jakarta (2012, 2013 dan 2014), erupsi Gunung
Sinabung (2013, 2014). Melihat Indonesia hampir setiap tahunnya mengalami bencana,
perlu disiapkan manajemen bencana yang baik untuk mengurangi korban luka,
kerusakan infrastruktur, tekanan mental, kerusakan mental dan bahkan menimbulkan
korban jiwa. Gangguan kejiwaan adalah salah satu dampak kesehatan yang disebabakan
oleh bencana. Sebuah survey menunjukkan bahwa, setelah peristiwa bencana, sebagian
besar populasi korban bencana tetap memiliki reaksi psikologis yang normal, sekitar 15-
20% akan mengalami gangguan mental ringan atau sedang yang merujuk pada kondisi
PTSD, sementara 3-4% akan mengalami gangguan berat seperti psikosis, depresi berat
dan kecemasan yang tinggi (WHO, 2013). Sebuah systematic review masalah kesehatan
mental setelah gempa bumi di Jepang pada tahun 2011 menemukan bahwa kondisi
PTSD sekitar 10-53,5% dialami oleh korban gempa, sementara kondisi depresi dialami
oleh sekitar 3-43,7% korban gempa (Ando, 2011). Melihat data tersebut sudah sangat
menggambarkan bahwa masyarakat yang terdampak bencana sangat berpotensi
mengalami gangguan kejiwaan yang membutuhkan deteksi dan penanganan dini. Pada
penjelasan ini akan dipaparkan gangguan kejiwaan yang biasanya dialami oleh
masyarakat yang terdampak bencana.

Sebelum membahas lebih dalam mengenai manajemen bencana, perlu diketahui


beberapa terminologi yang berkaitan dengan bencana.

1. Definisi Bencana

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat dibedakan menjadi beberap
jenis yaitu :

A. Berdasarkan Penyebabnya :
 Bencana Alam : Bencana yang murni diakibatkan oleh alam seperti
gempa bumi, gunung meletus, angin kencang dan yang lainnya.
 Bencana Non Alam : Bencana yang disebabkan oleh kegagalan
teknologi seperti maupun pesawat jatuh, bocornya reaktor nuklir
dan yang lainnya.
 Bencana Ulah Manusia : Bencana yang disebabkan oleh ulah
manusia seperti konflik bersenjata, serangan teroris dan yang
lainnya (UU Nomor 24 Tahun 2007).
B. Berdasarkan Waktu Kejadian
 Slow Onset : Bencana yang sebelum kejadiannya menimbulkan
tanda-tanda seperti gunung meletus dan banjir. Adanya tanda-tanda
ini memberikan kesempatan untuk melakukan evakuasi.
 Sudden Onset : Bencana yang datang secara tiba-tiba tanpa adanya
tanda-tanda sebelum kejadian seperti gempa bumi dan tsunami
(Mulyadi, 2008).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, beberapa tahun terakhir hampir seluruh
provinsi di Indonesia mengalami bencana, baik bencana alam maupun bencana yang
diakibatkan oleh ulah manusia. Dalam menanggapi berbagai jenis bencana, setiap orang
memiliki respon yang beragam menanggapi bencana. Terdapat beberap afase respon
psikologi individu dan masyarakat ketika terjadinya bencana seperti:

1. Heroik
Pada fase pertama dan berikutnya, orang merasa terpanggil untuk
melakukan aksi heroik seperti menyelamatkan nyawa dan harta orang lain.
Altruisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan
diri sendiri) menonjol. Bersedia membantu orang lain untuk bertahan dan pulih
(Basudewa, 2021).
2. Bulan Madu
Biasanya 1 mingggu – 6 bulan setelah bencana. Untuk yang terkena
langsung biasanya ada strong sense akan bahaya lain, situasi katastropik.
Komunitas biasanya ada kohesi dan kerjasama untuk pulih. Bantuan biasanya
sudah berjalan lancar, ada harapan yang tinggi untuk cepat pulih. Emosi yang
muncul biasanya rasa syukur dan harapan-harapan (Basudewa, 2021).
3. Kekecewaan
Biasanya dialami selama 2 bulan – 2 tahun setelah bencana terjadi. Realita
pemulihan sudah ditetapkan. Orang-orang akan merasa kecewa, frustasi, marah,
benci dan kesal jika terjadi kemunduran dan janji bantuan tidak terpenuhi, terlalu
sedikit atau terlambat. Lembaga bantuan dan relawan mulai hilang, kelompok
masyarakat lokal mulai melemah. Mereka yang paling terkena dampaknya akan
sadar bahwa banyak hal yang harus dilakukan sendiri dan kehidupan mereka
tidak selalu sama. Perasaan kebersamaan akan mulai hilang karena mulai fokus
pada membangun kembali kehidupannya sendiri dan mengatasi masalah
individual. Emosi yang muncul berupa keraguan, kehilangan, kesedihan dan
isolasi (Basudewa, 2021).
4. Rekonstruksi
Biasanya berlangsung selama bertahun-tahun setelah bencana. Mereka yang
bertahan mempunyai fokus perhatian pada membangun kembali rumahnya,
bisnis, ladang dan kehidupannya. Muncul bangunan-bangunan baru,
perkembangan program-program baru, dan rencana meningkatkan kepercayaan
dan kebanggan masyarakat dan kemampuan individu untuk membangun
kembali. Namun proses ini ada pasang surutnya, misal ada peristiwa-peristiwa
lain yang memicu reaksi emosional atau kemajuan yang tertunda (Basudewa,
2021).

Terkadang bencana datang secara mendadak dan menimbulkan situasi stres berat
yang datang bersamaan dengan ketidak berdayaan individu, hancurnya struktur
kehidupan, kerusakan materi dan kehilangan sanak keluarga. Tidak jarang juga mereka
harus mengungsi dan beradaptasi dengan tempat yang baru. Hal inilah yang
menimbulkan semakin besarnya potensi timbulnya gangguan jiwa pada masyarakat
yang terdampak bencana. Berikut ini adalah beberapa jenis gangguan jiwa yang terjadi
pasca bencana :

1. Depresi
Depresi ialah salah satu gangguan jiwa pada alam perasaan afektif dan
mood ditandai dengan kemurungan, tidak bergairah, kelesuan, putus asa,
perasaan tidak berguna dan sebagainya. Depresi adalah salah satu gangguan jiwa
yang ditentukan banyak pada masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi.
Hal ini erat kaitannya dengan ketidak mampuan, kemiskinan atau ketidaktahuan
masyarakat. Depresi ini adalah gangguan kejiwaan yang paling sering dialami
oleh masyarakat yang terdampak bencana, ini diakibatkan masyarakat yang
terkena dampak bencana akan cenderung memikirkan dampak ekonomi, biaya
penghidupan dan kerusakan material yang dialam isehingga timbullah depresi
(KEPMENKES, 2015).
2. Gangguan Psikosis Akut
Gangguan Psikotik Akut adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan
ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat
halusinasi, waham atau perilaku kacau/aneh. Gangguan Psikosis akut memiliki
onset kurang dari 2 minggu dengan gejala berupa sindrom polimorfik
(KEPMENKES, 2015).

3. Gangguan Kecemasan
Pada dasarnya kecemasan adalah hal yang normal yang merupakan respon
adaptif tubuh yang memiliki lifesaving qualities, mengingatkan akan adanya
cedera pada tubuh, nyeri, ketidakberdayaan, kemungkinan hukuman, atau
frustasi dari kebutuhan social atau tubuh, perpisahan dari orang yang dicintai,
gangguan pada keberhasilan atau status seseorang, dan akhirnya ancaman pada
kesatuan dan keutuhan seseorang (KEPMENKES, 2015).
Sedangkan pada gangguan cemas, seseorang akan mengalam ketegangan,
rasa tidak aman atau kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan terjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak
diketahui (KEPMENKES, 2015).
4. Gangguan Somatoform

Gangguan somatoform adalah suatu keadaan dimana seorang individu


mengeluhkan mengalami gangguan gejala-gejala fisik, tetapi sejatinya tidak
terdapat adanya gangguan yang dialami. Ciri-ciri utama dari gangguan
somatoform adalah adanya keluhan fisik seperti nyeri atau sakit di bagian tubuh
tertentu, walau sudah dinyatakan negatif atau tidak terdapat adanya gangguan
pasien tetap mengeluhkan hal yang sama (KEPMENKES, 2015).

5. Post Traumatic Stres Disorder (PTSD)

Keadaan yang timbul sebagai respons berkepanjangan dan/atau tertunda


terhadap kejadian atau situasi yang bersifat stresor katastrofik, sangat
menakutkan, yang cenderung menyebabkan penderitaan pada hampir semua
orang (misalnya perang, gempa bumi, kecelakaan berat, menjadi korban
penyiksaan, terorisme, dan perkosaan). Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang mengalami
atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa dan
terjadi setelah 6 bulan kejadian traumatic, termasuk salah satu kejadian
kecemasan (anxiety disorder) cara mengatasi yang sering digunakan intervensi
krisis, yang disebabkan physical abuse,korban kriminalitas, korban peperangan,
bencana alam yang dipengaruhi support system yang ada dan mekanisme koping
individu (Yosep & Sutini, 2014)
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulakan bahwa bencana dalah suatu
fenomena yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia yang menimbulkan kerugian
material, kerusakan infrastruktur, korban luka-luka bahkan korban jiwa. Selain
menimbulkan korban jiwa dan luka-luka, masyarakat yang terdampak bencana
cenderung mengalami gangguan kejiwaan yang diakibatkan oleh berbagai macam hal.
Gangguan kejiwaan yang dapat timbul pasca bencana diantaranya depresi, psikosis akut,
kecemasan, gangguan kecemasan, gangguan tidur, gangguan somatoform, PTSD (Post
Traumatic Stress Disorder). Sebagai seorang dokter, harus memahami betul mengenai
gangguankejiwaan tersebut, karena dalam kejadian bencana seornag dokter yang
menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan baik secara fisik
maupun psikologis.
DAFTAR PUSTAKA
Ando S, et al. Mental health problems in a community after the Great East Japan
Earthquake in 2011: a systematic review. Harv Rev Psychiatry. 2017; 25(1): 15-
28. Doi: 10,1097/HRP.00000000000000124.
Basudewa, I.D.G., (2021). Gangguan Jiwa Pasca Bencana. PPT Bahan Ajar untuk
Mahasiswa Kedokteran Angkatan 2017. Mataram : Fakultas Kedokteran.
Universitas Islam Al Azhar
Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia HK.02.02/MENKES/73/2015 Tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa
Mulyadi A. (2008). Ayo Siaga Bencana. Palang Merah Indonesia Pusat.

UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

WHO. Building back better. Sustainable mental health care after emergencies. Geneva:
World Health Organization; 2013. Available from
http://apps.who.int/iris/beatstream/10665/85377/1/978241564571_eng.pdf?u
a=1
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.
Rafika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai