Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

APPENDISITIS AKUT

PAPER

Oleh :
Agus Muliawan
20360169

Pembimbing :
dr. Tarmizi, Sp.B, FINACS

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses
penyusunan Paper ini dengan judul “Appendisitis Akut”. Penyelesaian Paper ini
banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini
penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sangat tulus kepada dr. Tarmizi,
Sp.B, FINACS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu,
petunjuk, nasehat dan kesempatan untuk menyelesaikan paper ini. Penulis
menyadari bahwa Paper ini tentu tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan
waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan masukan dan
saran yang membangun. Semoga paper ini dapat memberikan manfaat.

Medan, Juli 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan........................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi dan Fisiologi Appendix....................................................... 3
2.2 Patofisiologi Appendisitis Akut ......................................................... 4
2.3 Etiologi Appendisitis.......................................................................... 4
2.4 Menifestasi Klinis............................................................................... 5
2.5 Diagnosis............................................................................................ 8
2.6 Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 11
2.7 Penatalaksanaan.................................................................................. 14
2.8 Diagnosis Banding.............................................................................. 16

BAB III KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan......................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.

Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang

berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali

menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis

acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan

tindakan bedah (Lally KP, Cox CS, Andrassy Rj, 2009).

Appendicitis akut merupakan yang paling sering ditemukan. Appendicitis

dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum

usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan Appendicitis acuta mengalami perforasi

setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian

resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak,

terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang

signifikan. Diagnosis Appendicitis acuta pada anak kadang-kadang sulit. Hanya 50-

70% kasus yang bisa didiagnosis dengan tepat pada saat penilaian awal. Angka

appendectomy negatif pada pasien anak berkisar 10- 50%. Riwayat perjalanan

penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam

mendiagnosis Appendicitis (Jaffe BM, Berger DH 2010).

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari

Appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy.

Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi,

terutama disebabkan karena peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada tahun 1886

1
2

adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Appendicitis acuta merupakan salah

satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia (Way LW,2010).
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Appendix

2.1.1 Anatomi Appendix

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara

Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan

Appendix terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada

Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi

dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses

perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan

bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena

itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum (Jaffe BM, Berger DH,

2010).

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran

histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada

submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid.

Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa (Way LW,

2010).

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan

rata-rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia

caealis pada dasar Caecum. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi

nyeri perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan (Ellis H,

Nathanson LK, 2011).


4

2.1.2 Fisiologi Appendix Akut

Apendiks dapat menghasilkan lendir sekitar 1-2 ml per hari. Lendir

tersebut normalnya di hantarkan ke dalam lumen dan selanjutnya akan mengalir

ke dalam sekum. IgA (Imunoglobulin A) yang sangat efektif dalam

perlindungan terhadap infeksi ditemukan juga di apendiks. Namun, seandainya

pengangkatan apendiks dilakukan, sistem imun tubuh tidak terpengaruh, hal ini

dikarenakan jumlah jaringan limfe di organ ini kecil sekali jika dibandingkan

dengan jumlahnya di saluran cerna (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

2.2 Patofisiologi Appendisitis Akut

Apendisitis akut kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang

disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Sesuai dengan pengamatan

epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan makanan yang

rendah serat. Pada stadium awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi

mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan

peritoneal. Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan

berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan. Dalam stadium

ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen yang menjadi

distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi

bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis ke rongga

peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses local akan

terjadi (Burkit, Quick & Reed, 2007).

2.3 Etiologi Appendisitis

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal menjadi faktor


5

penyebabnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus disamping

hyperplasia jaringan limfe, batu feses, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat

juga menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga menimbulkan

apendisitis yaitu erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.Histolytica

(Sjamsuhidajat, 2010).

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis Acut (Jaffe BM, Berger Dh, 2010).

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

Batang Gram (-) Batang Gram (-)

Eschericia coli Bacteroides fragilis

Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.

Klebsiella sp. Fusobacterium sp.

Coccus Gr (+) Batang Gram (-)

Streptococcus anginosus Clostridium sp.

Streptococcus sp. Coccus Gram (+)

Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

2.4 Manifestasi Klinis

2.4.1 Gejala Klinis

Gejala Appendicitis Acut umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai

dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama Appendicitis Acut

adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu

menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-

12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di

RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri,
6

sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ

menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan

nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular (Prinz

RA, 2011).

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,

biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh

meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada

75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.

Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya

gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah

mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang

timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan

banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare

timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah

terjadinya perforasi Appendix.

Tabel 2. Gejala Apendisitis Akut (Hardin DM,2011)


7

Gejala* Frekuensi (%)


Nyeri perut 100
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian
50
demam yang tidak terlalu tinggi)
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan

diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan

apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan

PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu

radang akut dan bukan radang akut (Owen TD, Williams H, Stiff G, Jentinson LR, Rees

BJ, 2008).

Tabel 3. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.

Gejala Klinik Value


Adanya migrasi nyeri 1
Gejala Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri RLQ 2
Tanda Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total Poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6

maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan (Jaffe BM, Cox CS, Andrassy RJ,

2009). Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang

menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri
8

lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis

difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien

dapat diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya

menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas (Jaffe BM, Cox CS,

Andrassy RJ, 2009).

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan

dengan tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada

nyeri lokal di titik Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal

menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan

Rovsing’s sign bersifat konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal

toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik, khususnya pada pasien

dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix (Jaffe BM, Cox CS, Andrassy RJ,

2009).

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau

terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat

sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit

pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya,

muncul gejala muntah, demam, dan nyeri (Jaffe BM, Cox CS, Andrassy RJ, 2009).

2.5 Diagnosis

Diagnosis apendisitis

akut seringkali ditegakkan

didasarkan pada
9

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan laboratorium seperti

hitung sel darah putih dan analisa urine. Pemeriksaan radiologi masih jarang

dilakukan dalam usaha menegakkan diagnosis. Untuk diagnosis pasti apendisitis

akut adalah dengan pemeriksaan histopatologi (Hardin, 1999; Lawrence, 2003;

Khan, 2005). Rata-rata apendektomi negatif berkisar antara 20-30% dan hampir

semuanya berdasarkan gejala klinis serta laboratorium oleh karena itu

pemahaman akan manifestasi klinis yang khas adalah sangat penting dalam

menegakkan diagnosis secara lebih awal. Gejala nyeri abdomen merupakan gejala

utama apendisitis akut. Secara khas nyeri diffus berawal dari bagian tengah

epigastrium atau daerah umbilikus, yang diikuti dengan nyeri perut kanan bawah

setelah 4-12 jam dan muntah-muntah sering didapatkan sekitar 60% dari

penderita dengan apendisitis akut (Kirby, 2001; Khan, 2005). Tidak selalu nyeri

bersifat khas seperti diatas, pada pasien lain nyeri dapat mulai timbul di perut

kanan bawah dan terus menetap di bagian itu (Craig, 2005). Dengan adanya

berbagai variasi lokasi anatomi apendik, umur pasien, dan derajat inflamasi dari

apendiks menimbuIkan manifestasi klinis apendisitis tidaklah selalu konsisten.

Gejala awal adalah berupa nyeri preumbilikal yang sukar ditentukan dan

sering diikuti dengan anoreksia, dimana anoreksia terjadi pada 75% penderita

tetapi biasanya bersifat ringan tidak berlangsung lama, segera timbul setelah

timbulnya nyeri dan kebanyakan hanya 1-2 kali. Adanya sikap penderita yang

lebih cenderung membungkuk bila berdiri atau pada posisi berbaring dengan

menekuk tungkai kanan untuk mengurangi rasa sakit dan menghindari perubahan

posisi karena sakit dan bila disuruh bergerak tampak sangat hati-hati. Nyeri perut

akut berat timbul oleh karena adanya kondisi iskemik akut. Pada apendik yang
10

letaknya retrosekal, khususnya apendik yang ujungnya meluas sepanjang

permukaan posterior dari kolon asendens, proses radang dari apendik akan

mengiritasi duodenum dan ini akan menimbulkan gejala mual dan muntah

sebelum timbulnya nyeri di perut kanan bawah. Diare timbul pada apendisitis

terutama pada apendik yang letaknya di daerah pelvis dimana proses radang pada

apendik akan mengiritasi rektum, kejadiannya sekitar 18% dari kasus apendisitis

(Prystowky, et al., 2005; Humes dan Simpson, 2006).

Beberapa jam akan terjadi penjalaran nyeri ke perut kanan bawah yang

disebabkan oleh karena terjadinya peradangan peritoneum parietalis. Jika

dibandingkan dengan nyeri saat awal, nyeri ini lebih berat, bersifat terus-menerus

dan terlokalisasi. Penjalaran nyeri dari daerah preumbilikal menuju ke perut

kanan bawah adalah merupakan gambaran yang paling umum dan khas pada

pasien dengan apendisitis akut. Penemuan gejala ini mempunyai sensitivitas dan

spesifitas hampir 80%. Demam biasanya ringan dengan suhu 37,5-38,5°C, febris

yang berat jarang terjadi kecuali jika sudah terjadi perforasi (Livingston, et al.,

2007). Berdasarkan salah satu penelitian, muntah dan febris lebih sering

didapatkan pada penderita dengan apendisitis dibandingkan dengan kasus

abdomen lainnya (Korner dan Sondenaa, Petroniau, 2012).

Lokasi dari nyeri sangat tergantung dari posisi appendix. Umumnya nyeri

didapatkan pada titik McBurney di daerah perut kanan bawah. Dari penelitian,

nyeri ini didapatkan sekitar 96% dari pasien, tetapi penemuan ini tidaklah spesifik

(Sabiston,1994; Sjamsuhidayat, R., Wim de Jong, 1997). Penemuan yang lebih

spesifik adalah rebound tenderness, yaitu nyeri perut kanan bawah yang terjadi

saat tekanan di perut kanan bawah dilepaskan., nyeri ketok, rigiditas dan
11

guarding adalah timbulnya tahanan pada dinding perut saat dilakukan palpasi.

Menurut Petroianu, (2012) selain pemeriksaan tersebut dapat juga lain seperti :

a. Rovsing Sign adalah nyeri perut kanan bawah yang terjadi saat dilakukan

palpasi di perut bawah kiri dan diduga kuat sudah terjadi iritasi peritoneum.

b. Psoas Sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat dilakukan

hiperekstensi dari tungkai bawah kanan. Respon yang positif menunjukkan

adanya masa inflamasi yang mengenai otot psoas (retrocecal appendidtis).

c. Obturator Sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat dilakukan

internal rotasi pada posisi tungkai bawah kanan fleksi. Respon yang positif

menandakan adanya massa inflamasi yang mengenai rongga obturator (pelvic

apendisitis).

d. Cough Sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat penderita batuk-

batuk. Gejala ini menandakan sudah terjadi iritasi peritoneum (Craig, 2009).

Rovsing Sign, Psoas Sign dan Obturator Sign tidak selalu didapatkan

pada pasien dengan apendisitis akut. Tidak adanya gejala ini belum dapat

menyingkirkan kemungkinan adanya proses inflamasi dari apendik.

Pemeriksaan colok dubur mungkin akan mendapatkan adanya feses,

massa atau nyeri di sisi kanan. Nyeri saat dilakukan pemeriksaan colok dubur

sangat sedikit memberikan makna akan apendisitis akut. Nyeri yang dihasilkan

sering memberikan gambaran pada arah jam 9-11.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Laboratorium

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm3, biasanya

didapatkan pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai
12

predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak

ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus

dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada

Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut

meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa

abscess (Soybell DI, 2010).

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis

oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai

meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.Kombinasi 3 tes yaitu adanya

peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥ 11000, dan persentase neutrofil ≥

75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas 90.7%.

Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari

saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari

iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi

Appendix, pada appendisitis akut dalam sample urine catheter tidak akan

ditemukan bakteriuria.

2.6.2 Ultrasonografi

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis

Appendicitis. Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur,

bagian usus yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang

maksimal, Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan

positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih.

Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari


13

Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler

yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis

Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan negatif bila appendix tidak terlihat dan

tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Apendisitis

Akut tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga

abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia

reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan

transabdominal maupun endovagina agar dapat menyingkirkan penyakit ginekologi

yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis Appendicitis acuta

dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya

sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil,

walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut (Soybell DI, 2010).

2.6.3 Pemeriksaan Radiologi

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi

dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien

Appendicitis acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal

ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto

polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang

disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus

kanan bawah (Jaffe BM, Berger DH, 2010).

Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan

radioisotop leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat

daripada USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT

Scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abscess Appendix untuk melakukan
14

percutaneous drainage secara tepat.

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada

penemuan yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan

Appendix yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-

48%. Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek apendisitis akut harus dipersiapkan

untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti,

memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.

2.7 Penatalaksanaan

Pada penatalaksanaan post operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga

(Brunner & Suddarth, 2010), yaitu:

1) Sebelum Operasi

a. Observasi

Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat

karena tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah baring

dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya

apendisitis. Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan

bawah setelah timbulnya keluhan.

b. Antibiotik

Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan

antibiotik, kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan

antibiotik. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat

mengakibatkan abses atau preforasi.

2) Operasi
15

Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi.

Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi.

Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan pembedahan

abdomen bawah atau dengan laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode

terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010).

a. Laparatomi

Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke dalam

rongga perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan

organ dalam untuk membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik

diagnosa yang tidak invasif, laparatomi semakin kurang digunakan

dibanding terdahulu. Prosedur ini hanya dilakukan jika semua prosedur

lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti laparoskopi yang

seminimal mungkin tingkat invasifnya juga membuat laparatomi tidak

sesering terdahulu. Bila laparatomi dilakukan, begitu organ-organ dalam

dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah harus segera

dilakukan. Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi

laparatomi dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area

abdomen, misalnya trauma abdomen. Bila klien mengeluh nyeri hebat dan

gejala-gejala lain dari masalah internal yang serius dan kemungkinan

penyebabnya tidak terlihat seperti usus buntu, tukak peptik yang berlubang,

atau kondisi ginekologi maka dilakukan operasi untuk menemukan dan

mengoreksinya sebelum terjadi keparahan lebih. Laparatomi dapat

berkembang menjadi pembedahan besar diikuti oleh transfusi darah dan

perawatan intensif (David dkk, 2009)


16

b. Laparoskopi

Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh mulai

dari iga paling bawah samapi dengan panggul. Teknologi laparoskopi ini

bisa digunakan untuk melakukan pengobatan dan juga mengetahui penyakit

yang belum diketahui diagnosanya dengan jelas.

Keuntungan bedah laparoskopi :

Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan dokter

dalam pembedahan. Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka

operasi pasca bedah konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3 sampai

10 mm akan hilang kecuali klien mempunyai riwayat keloid. Rasa nyeri setelah

pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-obatan dapat diminimalkan,

masa pulih setelah pembedahan lebih cepat sehingga klien dapat beraktivitas

normal lebih cepat.

3) Setelah Operasi

Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan di dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan. Baringkan

klien dalam posisi semi fowler. Klien dikatakan baik apabila dalam 12 jam

tidak terjadi gangguan, selama itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali

normal. Satu hari setelah dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak di

temmpat tidur selama 2 x 30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk

di luar kamar. Hari ke tujuh dapat diangkat dan dibolehkan pulang (Mansjoer,

2010).

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis


17

dari akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk

suatu penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi.

Jadi pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai

proses akut di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan

perubahan yang sama seperti Appendicitis acuta (Ellis H, Nathanson LK, 2011).

Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun

pada umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh

Appendicitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan

menjadi lebih buruk dengan pembedahan (Ellis H, Nathanson LK, 2011).

Diagnosis banding appendisitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi

anatomi dari inflamasi appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai

yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien (Ellis H, Nathanson LK,

2011).

1. Adenitis Mesenterica Acut

Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Appendicitis acuta pada

anak- anak. Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas, tetapi

sekarang ini telah menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa lebih difus dan rasa

sakit tidak dapat ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada Appendicitis.

Observasi selama beberapa jam bila ada kemungkinan diagnosis Adenitis

mesenterica, karena Adenitis mesenterica adalah penyakit yang self limited.

Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah operasi segera.

2. Gastroenteritis Akut

Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan

dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut
18

self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual,

dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil

pemeriksaan laboratorium biasanya normal.

3. Penyakit urogenital pada laki-laki.

Penyakit urogenital pada laki-laki harus dipertimbangkan sebagai diagnosis

banding Appendicitis, termasuk diantaranya torsio testis, epididimitis akut, karena

nyeri epigastrik dapat muncul sebagai gejala lokal pada awal penyakit ini,

Vesikulitis seminalis dapat juga menyerupai Appendicitis namun dapat dibedakan

dengan adanya pembesaran dan nyeri Vesikula seminalis pada waktu pemeriksaan

Rectal toucher.

4. Diverticulitis Meckel

Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip appendisitis

acut. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena

Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti

Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.

5. Intususseption

Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk

membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat

berbeda. Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2

tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur

2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa

berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila

tidak ada tanda- tanda peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi pemberian

barium enema pada pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.


19

6. Chron’s Enteritis

Manifestasi enteritis regional berupa demam, nyeri RLQ, perih, dan

leukositosis sering dikelirukan sebagai Appendicitis. Selain itu, terdapat diare dan

anorexia. Mual dan muntah yang jarang, dapat mengarahkan diagnosis kepada

enteritis namun tidak menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.

7. Perforasi ulkus peptikum

Gejala perforasi ulkus peptikum menyerupai Appendicitis jika cairan

gastroduodenal mengalir ke bawah di daerah caecal. Jika perforasi secara spontan

menutup, gejala nyeri abdomen bagian atas menjadi minimal.

8. Epiploic Appendagitis

Epiploic appendagitis mungkin disebabkan oleh infark Colon sekunder dari

torsi Colon. Gejala dapat minimal atau terjadi gejala abdomen yang dapat

berlangsung hingga beberapa hari. Pasien tidak tampak sakit, jarang terjadi mual

dan muntah, dan nafsu makan tidak berubah. Terdapat nyeri tekan pada daerah

yang terkena. Pada 25% kasus, nyeri berlangsung terus menerus hingga epiploic

appendage yang mengalami infark dioperasi.

9. Infeksi Saluran Kencing

Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai

Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan

terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

10. Batu Urethra

Bila calculus tersangkut dekat Appendix dapat dikelirukan dengan

Appendicitis retrocaecal. Nyeri alih ke daerah labia, scrotum atau penis,


20

hematuria, dan atau tanpa demam atau leukositosis mendukung adanya batu.

Pyelografi dapat memperkuat diagnosis.


BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Appendisitis adalah peradangan pada Appendix vermicularis. Appendix

merupakan derivat bagian dari midgut, yang lokasi anatomisnya dapat berbeda tiap

individu. Appendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering

ditemukan. Faktor-faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi terjadinya

Appendicitis meliputi faktor obstruksi, bakteriologi, dan diet. Obstruksi lumen

adalah penyebab utama pada Appendisitis Akut.

Gejala klinis Appendicitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah,

nyeri berpindah, dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal kemudian

anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang

tidak terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat dijumpai dan manuver diagnostik

pada kasus Appendicitis adalah Rovsing’s sign, Psoas sign, Obturator sign,

Blumberg’s sign, Wahl’s sign, Baldwin test, Dunphy’s sign, Defence musculare,

nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau

Appendix letak pelvis, nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.

Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Appendicitis adalah pemeriksaan

laboratorium, Skor Alvarado, ultrasonografi, dan radiologi. Diagnosis banding

Appendicitis antara lain; Adenitis Mesenterica Acuta, Gastroenteritis akut, penyakit

urogenital pada laki-laki, Diverticulitis Meckel, Intususseption, Chron’s enteritis,

perforasi ulkus peptikum, Epiploic appendagitis, infeksi saluran kencing, batu

urethra, peritonitis primer, Purpura Henoch–Schonlein, Yersiniosis, serta kelainan–

kelainan ginekologi.

21
22

Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Appendicitis adalah perforasi,

peritonitis, Appendicular infiltrat, Appendicular abscess, shock Septic, mesenterial

pyemia dengan Abscess hepar, dan perdarahan GIT. Penatalaksanaan pasien

Appendicitis acuta meliputi; pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis

dehidrasi atau septikemia, puasakan pasien, analgetika harus dengan konsultasi ahli

bedah, pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal

Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,

McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222

2. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of

Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October

20th 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html

3. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www

.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.

4. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery

Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,

Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34

5. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery.

17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.

Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93

6. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the

Alvarado score in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1294889&blobtype=pdf

7. Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of

Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott

Williams & Wilkins. 2001: 1466-78

8. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:

Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI,

Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62


9. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.

Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72

Anda mungkin juga menyukai