Anda di halaman 1dari 15

Page |1

CATATAN TANYA JAWAB


Kuliah Subuh Ust. LUTHFI HASAN ISHAAQ

Senin, 24 Januari 2022

Pertanyaan 1 (Bapak Ali)

Pertama, apakah kita boleh berprasangkan terkait dengan hubbul Wathon minal
iman (Cinta tanah air sebagian dari iman)?
Kedua, mengenai hubbul Wathon minal iman jangan-jangan pemindahan Ibukota
Indonesia ke Kalimantan itu adalah ada misi tergtentu, itu prasangka saya sehingga,
jangan-jangan nanti Cina datang semua ke Kalimantan sebagai pekerjaan, kemudian
menggeser pribumi, bolehkah kita berprasangka seperti itu sementara hukum kita
hubbul Wathon minal iman kan tidak hanya fisik tapi juga dapat penjajahan ekonomi,
pemikiran budaya dan sebagainya.

Jawaban

Ini sering terjadi kesalahpahaman di kalangan umat Islam tentang husnudzon


dan su’udzon, yang utama husnudzon dan su’udzon itu adalah tentang Allah
Subhanahu Wa Ta'ala. Kita diharamkan untuk bersu’udzon kepada Allah, karena itu
disebut cara pandang orang-orang yang tidak memahami agama, mereka selalu
berburuk sangka kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, lupa bahwa Allah itu roufur
rohim, bahwa Allah sangat memahami perasaan kita dan sangat menyayangi hamba-
hamba-Nya.
Dan Allah itu pemberiannya tidak pernah berhenti selalu memberi kita dan
tidak pernah membatasi apa yang kita perlukan, walaupun seringkali kita merasa tidak
mendapatkan apa yang kita inginkan.
Ini membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. Allah mencukupi
kebutuhan kita tetapi seringkali keinginan kita melebihi dari apa yang kita butuhkan,
kalau keinginannya dipenuhi berpeluang menjadi orang yang jauh dari Allah,
walaupun ada lagi orang yang jika keinginannya tidak dipenuhi justru membuat dia
menjauh dari Allah.
Jadi yang mengkalkulasi apakah keinginan seseorang dipenuhi atau tidak,
Allah punya parameter dan bisa memahami isi hati kita dan aplikasi dari
pemberiannya, sehingga,”Dialah Allah yang menggelontorkan pemberian dan
menahan pemberian.” Pemberiannya bisa diperoleh oleh siapa saja yang Dia
kehendaki dan Allah menahan dari siapa saja yang Dia kehendaki. Kesalahan itu bisa
hanya berdampak kepada dirinya sendiri, ada juga kesalahan yang bisa merusak
lingkungan.
Page |2

Dalam rangka menjaga lingkungan Allah menahan, dalam rangka


kemaslahatan orang banyak Allah memberi. Jadi pertimbangannya bukan hanya
semata-mata memberi atau tidak memberi, dan itu kita miliki kepada anak-anak kita,
itu kita miliki kepada sahabat kita dan keluarga kita. Walaupun dalam ruang lingkup
yang sangat terbatas, dan Allah tidak sama dengan Makhluk-Nya, Allah memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dan kemampuan yang tidak ada yang bisa menandingi-
Nya.
Kemudian husnudzon dan su’udzon kalau kepada sesama kita. Jadi kalau
kepada Allah ini yang harus hati-hati, kadang kita mengatakan bahwa,”Saya tidak
sanggup menjalani ujian ini.” Berarti menuduh Allah membebani dia sesuatu yang
dia di luar kapasitas daya pikul dan daya panggulnya, padahal Allah sudah
menjelaskan La yukallifullahu nafsan illa wus'aha, berarti dia tidak mengikuti
penjelasan Allah bahwa Allah itu tidak benar, dia berburuk sangka kepada Allah
SWT.
Ada lagi yang berbaik sangka yang dilarang, yaitu dia merasa yakin dirinya
akan masuk surga padahal dirinya tidak beramal, tidak tunduk dan patuh kepada Allah,
maka disebut itulah angan-angan mereka, mereka ingin dimasukkan surga tetapi tidak
ingin mendengarkan dan tidak mau patuh. Maka Allah suka mematahkan logika yang
seperti itu.
Dikatakan, ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi bahwa,”Jika benar
kalian akan dimasukkan ke dalam surga sementara yang orang lain tidak, maka
cobalah berharap untuk segera mati jika benar kalian dipastikan masuk ke dalam
surga dan orang lain tidak. Dia menjadi pemborong surga. Mereka tidak akan pernah
berharap untuk mati untuk selama-lamanya, karena mereka sadar siapa dirinya
dihadapan Allah.
Ini hunsnu dzon yang tidak sesuai prosedur, dan su’udzon yang tidak sesuai
dengan fakta, Maka aslinya Allah adalah pencipta dan Dia sayang kepada seluruh
hamba-Nya. Bahkan Kalau dia dihukum Allah menyatakan bahwa Allah tidak
menzalimi dia, tetapi dia sendiri yang menzalimi dirinya sendiri. Karena semua
faktor yang bisa mengantarkan dia menjadi baik sudah diberikan, tetapi dia kekeh
tidak mau menerima kebaikan, inginnya mengikuti selera dan dia sudah dipastikan dia
akan dihukum oleh Allah.
Jadi fokus husnu dzon kita yang harus kita tata itu adalah kepada Allah,
jangan sampai kita salah persepsi sehingga kita memiliki image atau memiliki
prasangka yang keliru tentang Allah, semua hal itu sudah diuraikan dalam Al-Quran,
maka kita tidak boleh memiliki perasaan tanpa landasan.
Kedua, ada pun di antara kita, sesama kita tidak semua orang berkata apa
adanya. Maka tadi dikatakan ucapan yang sesuai dengan fakta. Ini dikorelasikan
dengan keluarga, nanti ada lagi dikorelasikan dengan iman dan taqwa, jika kalian
selalu realistis dan mengatakan apa adanya, maka Allah akan memperbaiki kinerja
kalian, akan memperbaiki amal sholeh kalian dan akan memberikan kalian hidup
kalian.

Pertanyaan 2 (Bapak Zulfan Lubis)


Page |3

Apa iya bahwa kita berniat apabila sesuatu itu terjadi, anak kita sembuh dari
sakitnya kita akan bersedekah, itu memang itu tidak akan mempengaruhi qadarnya
Allah, tapi kalau kita berbuat baik itu dalam bersedekah bisa nazarnya puasa. itu kan
wujud rasa terima kasih kita, syukur kita atas apa yang kita harapkan dikabulkan
Allah. Apa itu apa masuk dalam kategori makruh.

Jawaban

Nazar itu salah satu yang disebutkan dalam Al-Quran yang dibolehkan. Saya
tidak paham apa yang membuat dia mengatakan makruh. Disebutkan dalam Surat Al-
Insan dalam ayat berikut:

QS. Al-Insan (76): 7. Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang
azabnya merata di mana-mana.

Disebutkan,”Hamba-hamba Allah yang disayang itu diantara sifatnya adalah


menunaikan nazarnya.” Didalam hadist tentang nazar disebutkan, lalu ada
lagi,”Penuhilah komitmen kepada sesama.” Nazar itu adalah komitmen kepada
Allah,”Jika saya mendapatkan PB maka seluruh biaya operasional Masjid Al Muslim
selama satu bulan saya akan cover.”
Maka tadinya sunah bernazar, tetapi karena dia membuat komitmen kepada
Allah maka hukumnya wajib, dan Allah memenuhi apa yang dia inginkan maka itu
adalah menjadi wajib dilaksanakan. Tetapi kalau dia mengatakan,”Kalau pulang saya
akan menceraikan istri saya karena saya minta untuk uang bayar denda dia tidak
mau kasih.” Lalu pulang dan ketemu dengan sebuah ayat atau ketemu dengan nasehat,
lalu dia membatalkan, yang nazarnya sebuah kesalahan dia wajib membatalkan,
karena tidak boleh membuat komitmen untuk melanggar ajaran agama. Bagaimana
dengan nazarnya? Dia harus puasa selama 3 hari, karena dia sudah berkomitmen
melakukan sebuah kesalahan, tapi berjanji meninggalkan, perbutan buruknya,yang
baik berjanji tidak akan kembali kepada lingkungan yang beresiko. Lalu dia sadar lalu
membatalkan. Yang makruh itu bernazar untuk melakukan sesuatu yang beresiko
dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bersiko dirinya tidak bisa bertahan. Lalu dia
harus membatalkan itu dan puasa 3 hari.
Jadi kalau itu yang dimaksudkan bernazar sesuatu yang menyimpang atau
yang melanggar itu benar, tidak boleh. Tetapi kalau bernazar untuk melakukan
kebaikan, itu disunahkan.

Pertanyaan Selingan (Bapak Zulfan Lubis):


Pertama, pada kajian sore kemarin disebutkan nazar dibagai dua, ada nazar mutlak
dan ada nazar mukayyat. Nazar mutlak misalnya saya sebentar akan melaskanakan
shalat, kalau mnurut saya itu bukan nazar tetapi berniat, sedangkan shalt mukayat
alah apapun yang kigta naitgkan kalau terjadi sesuatu, katakan sring saya lakaukan
anak saya ulang tahaun, sehat saya akan bersedeqah. Menutut penceramah itu tidak
mempengaruhi ketetapan Allah terhadap yang tadi sehingga itu dia katakan
dikategorikan makruh. Saya hanya mneruskanan tradisi kelauga saya, sebagai puji
syukur, saya seperti Pak Utadz katakan sebAgai sbuah sunah.
Page |4

Kedua, terhadap nazar terhadap hal yang buruk, kalau itu tidak terjadi apakah dia
akan tetap melakukan kaffarat.

Jawaban: Ini ada confuse antara aqidah dengan ibadah. Alur logika ibadah dan
syariah itu sendiri, alur logika akidah itu sendiri tidak hitam putih, kalau ibadah ada
azimah dan ada rukshoh, ada dalam kondisi lapang kita harus memilih full option,
dalam kondisi kita sedang keadaan sempit kita boleh memilih yang minimalis, yaitu
rukshoh, ini logika ibadah.
Nanti kemudian jika kita lupa, nanti tidak dikenai sanksi oleh Allah tetapi
diampuni tetapi harus segera melaksanakan apa yang dia lupakan saat dia ingat, kalau
dia ketiduran dia tidak dicatat sebagai sebuah kesalahan hingga dia bangun, saat dia
bangun dia harus melakukan. Lalu kemudian setiap syariat itu ada tenggat waktu, ada
rentang waktu di awal hingga akhir waktu, ada lagi terikat situasi seperti dia tidak
boleh haji wukufnya di luar Arafah. Dia tenggat waktunya ditetapkan dari dhuhur
sampai maghrib, dan waktu, tempat dan jadwal tanggalnya ditetapkan. Tapi orang
yang nazar, bukan berarti dia tidak sah jika dia punya alasan yang diterima secara
syari’i.
Jadi alur berfikir syariah, itu memiliku ushul sendiri, memiliki prinsip-prinsip
landasan berfikir yang spesifik. Akidah itu sendiri ini adalah tentang kinerja Allah dan
tentang sikap kita terhadap Allah. Kinerja Allah ya Dialah penguasa langit dan bumi
Dialah yang menetapkan, Dialah yang merubah ketetapannya, semuanya Dia, dan
tidak bisa ada yang mempengaruhi seluruhnya dan tentang Dia. Allah tidak pernah
membikin perencanaan buruk. Kalau Allah telah melakukan makar itu bukan Dia
berkonspirasi buruk seperti manusia yang melakukan makar, tetapi Allah adalah
membela orang yang dekat dengan Dia dan menggagalkan makarnya dia sehingga
tidak ekektif, seperti setan, dia penggoda, semua orang digoda, tetapi dia tidak akan
menggoda hamba Allah yang mukhlisin, karena dia diprotek oleh Allah. Maka
konspirasi yang dimaksudkan oleh Allah adalah mematahkan kejahatan dan
keburukan.
Memahaminya bahwa Dia bukan berencana jahat. Umpamannya nabi tatkala
dia berimajinasi atau berangan-angan maka setan masuk dan akan….., tetapi karena
dia seorang nabi dipatahkan. Konspirasi setan tidak akan bisa efektif kepada seorang
nabi dan rasul, karena seorang nabi karena dia adalah seorang maksum, di protek oleh
Allah.
Jadi umpamannya mereka ingin mencemarkan keunggulan Islam dengan
mulut mereka, Allah tidak akan membiarkan dan Allah akan tetap menyempurnakan
cahayanya meskipun orang kafir tidak suka. Mereka membuat intrik-intrik untuk
pencemaran, disangkanya bisa mengalahkan perencanaan Allah, Allah lebih unggul
dalam segala hal, termasuk dalam mematahkan itu.
Jadi Allah tidak bisa disentuh oleh siapapun dalam mengambil keputusan,
karena dia adalah Al Malikul Mulk, adapun kita berharap,”Ya Rabb saya berharap
agar saya bisa lulus cume laude S1, dan setelah itu saya berharap dia menikah dan
bisa mendapatkan pria yang soleh, maka segera saya nikahkan maka saya akan
melakukan umroh sekeluarga.” Kepada Allah kita berharap tentang umroh keluarga
ini niat.
Jadi niat melakukan sebuah kebaikan itu disunahkan. Umpamanya Rasulullah
mengatakan,”Jadi orang yang selesai salat subuh, lalu dia berencana mengatur
Page |5

jadwal agar salat duhur, selesai salat duhur dia mengatur skedul untuk
melaksanakan salat ashar.” Inikan tentang dirinya yang dia diberi otoritas untuk
menata dan untuk merancang, maka dia mendapatkan pahala atas seluruh
perencanaannya, bahwa baru kita tahu bahwa ternyata Allah tidak mengizinkan, itu
setelah terjadi.
Kalau belum terjadi kita disuruh berlomba untuk merancang kebaikan, orang
yang menjadi pelopor dalam seluruh kebaikan merekalah orang-orang dekatnya Allah
Subhanahu Wa Ta'ala. Inikan semuanya perencanaan, Allah ya Allah, Dia memiliki
manajemen sendiri dalam menentukan hamba-Nya. Ada orang yang bisa umroh
sekeluarga ini adalah sebuah kebaikan, tetapi nanti setelah itu dia akan sombong di
hadapan keluarga besarnya, akan cerita bahwa dia…… kalau berceritanya dalam
rangka mengajak orang agar bisa bersyukur dan jika pandai bersyukur dan agar apa
yang dia miliki bisa mendapatkan rahmat maka…….. Jadi itu mengajak orang
melakukan kebaikan. Tetapi kalau mengatakan.”Siapa dulu babenya.” Ini dia
menyombongkan diri.
Jadi dia menyombongkan diri dan itu membatalkan seluruh amal sholehnya.
Ini hangus pahalanya dan habis hartanya. Lalu Allah membatalkan dalam rangka
menyelamatkan dia agar dia jangan riya, dan hartanya jangan habis. Tetapi itu baru
diketahui setelah terjadi. Kalau belum terjadi kan kita tidak tahu. Karena itu ranah
Allah dan kita tidak bisa mendikte Allah.
Karena Allah adalah penguasa dari seluruh penguasa, di bawah kendali-
Nyalah seluruh isi langit dan bumi.
Jadi dia bernazar agar dikabulkan keinginannya. Siapa yang berpikir begitu,
berarti dia memiks antara yang ……… Sama dengan sesudah salat kan berarti ibadah
kita sudah selesai, lalu menganggap bahwa bersalaman itu nanti dianggap sebagai
ibadah. Kan tidak ada diantara kita yang menganggap salaman itu ibadah, bagian dari
salat, sehingga kalau tidak salamana sama dengan……... Tetapi dia menstigma itu
ibadah, dan mengatakana itu bid’ah.
Jadi alur logikanya di mix antara aqidah dengan ibadah. Dulu orang
menggunakan musik rata-rata itu membuat orang lain meninggalkan ibadah. Di Surah
Al-Jumu’ah disebutkan bahwa Rasulullah yang sedang berkhotbah mereka sedang di
shaff, lalu mendengarkan musik ditinggal Rasulullah sedang khotbah.
Tapi ada juga yang begitu sekarang? Kan tidak. Maka yang ada adalah kalau
mau melaksanakan salat jangan menghibur diri melakukan sesuatu yang tidak berguna
sehingga nanti terngiang-ngiang waktu shalat, sehingga kekhusyuan salat kita akan
terganggu. Dulu beberapa jenis musik, alat musik itu dipakai untuk mendatangkan
setan, di India untuk menghinoptis ular.
Jadi ada korelasinya dengan……. Maka yang disebutkan tidak mutlak itu
bukan soal nazar, tetapi itu niat sendiri kalau orang berniat, semua nazar muqayyad
yang terikat dengan sebuah capaian, kalau itu tercapai dia wajib melaksanakan, kalau
tidak ya tidak. Karena dia bernazar untuk itu, dan dia berusaha keras agar itu bisa
terealisasi.
Tidak ada nazar yang mutlak, semua nazar itu adalah muqayyad. Kalau yang
mutlak itu niat. Maka dalam Hadist Qudsi disebutkan ada seseorang yang tidak
melakukan apa-apa lalu Allah memerintahkan kepada malaikat untuk tulis dia begini
dan begini, kata malaikat,”Ya Rabb, dia belum berbuat apa-apa.” Kata Allah
SAW,”Dia sudah berniat.”
Page |6

Ini niat, jadi kita boleh berniat dari setiap bada’ subuh kita berniat,”Kalau
selama satu minggu saya bisa salat berjamaah penuh di masjid 5 waktu, maka di
awal bulan Februari saya akan mensponsori makan bubur ayam.” Itu niat yang
dikaitkan dengan gol dan capaian, maka disebut nazar.
Dia berniat,”Kalau istri saya mau menjenguk saya nanti saya akan traktir
kalian.” Ternyata istrinya ngambek tidak mau datang. Ya sudah nanti istrinya datang
baru dia mentraktir teman-temannya. Ini nazar, kalaua tidak disebutnya niat. Dan dua-
duanya dibenarkan secara syari’i. Soal kebijakan Allah dikabulkan atau tidak itu
bukan ranah kita, itu ranah Allah. Jadi tidak boleh di mix antara aqidah dengan
ibadah, walaupun ibadah itu konsekwensi logis dari akidah, tetapi akidah itu ranahnya
hati dan kepercayaan. Maka tidak boleh di prediksi itu niatnya pasti begini dan pasti
begitu.
Jadi ini harus clear, kita harus membaca dulu alasan-alasan yang dijelaskan
oleh dalil atau Al-Quran dan hadist, setelah kita tahu. Sebelum kita berpendapat, kita
cek dulu komentar para ulama terdahulu, dalam memahami ini, apa kata rasulullah,
apa kata para sahabat, apa kata ulama-ulama yang mustahid, setelah itu baru kalau
kita merasa ada sesuatu yang kurang di dalam pendapat-pendapat mereka, kita
tanyakan kenapa mereka tidak begini dan begitu.
Jadi bermazhab itu bukan sama dengan mengikut, tetapi memahami cara
pandang dan struktur berpikir yang diapprov berbasis kaedah keagamaan dan
kaedahnya sudah dirumuskan. Semua ulama kita dalam mengambil keputusan hukum
mengacu kepada kaedah, kalau kita tidak mau bermazhab sama dengan kita tidak
pakai kaedah.
Umpamannya kita disuruh berdoa dan berdzikir sesudah salat, ada di antara
pendapat yang tidak mau berdoa dan berdikir kecuali apa yang diucapkan Rasulullah,
tidak mau nambah. Ada orang yang selalu menambah, memperbanyak, karena itulah
satu-satunya opportunity dia bisa khusyuk.
Boleh tidak? Maka kita lihat kesibukan kita bada’ salat apakah sesibuk
Rasulullah. Rasulullah dahulu sesudah salat ashar dia menerima tamu, dia menjenguk
isteri-isterinya, kemudian dia harus menata dan melihat hasil kerja yang telah
ditugaskan di pagi hari. Jadi dia sibuk betul mengurus segala sesuatu, maka dia
membatasi diri dengan bacaan dzikir dan doa yang pendek bada ashar. Kita habis di
sini (Lapas) tidak memiliki kesibukan apa-apa lalu kita duduk menunggu dan sambil
berdoa dan berdzikir. Masa iya dia masuk neraka karena menambah doa dan dzikirnya.
Kan ada perintahnya,”Banyak-banyaklah berzikir di pagi hari dan sore hari.”
Dan kenapa tidak dimasukkan ke dalil yang ini bahwa ada perintah dzikir di
pagi dan sore, kenapa tidak dimasukkan dalam…….. Apakah ini sektor yang boleh
ditambah ataukah tidak? Kalau salat itu kan dikunci Shollu Kama roaitumuni usholli,
salatlah sebagaimana kalian melihat saya salat, kalau dikatakan empat rakaat sudah
jangan menambah lagi.
Karena ini ada kunci yang disebut, tetapi yang open, kita boleh berijtihat
karena open, yaitu apa sesudah shalat, berdoa minta apa saja sesuai keinginan kita,
karena kita sedang berhadapan dengan Allah dalam berdoa dan berdzikir, tetapi kalau
ada tamu sudah menunggu, kita tidak boleh makruh untuk mengabaikan tamu dan
memperpanjang doa dan dzikir, tetapi dia salat kabliah, shalat badiah, shalat hajat,
sementara tamunya menunggu.
Page |7

Maka didahulukan dulu tamu, mengapa? Karena tamu wajib dihormati, shalat
ini kan sunah bisa kapan saja kita laksanbakan.
Ini semua ada di kaedah ushul fiqihnya, dan itu semua bagian ijtihad dari para
ulama. Jadi membikin studi komparasi itu bagian dari yang diperintahkan dalam Al-
Quran, maupun dalam hadis, kenapa kita tidak membuat komparasi memahami
pendapat para ulama lain? Kenapa kita yang Quran tidak, hafal hadits hanya sedikit,
bahasa Arab pas-pasan, membaca usul fiqih tidak lalu mau berijtihad. Kan tidak
memenuhi kualifikasi untuk mengambil keputusan. Kenapa kita tidak mencari tahu
apa pendapat para ulama, ini ilmu dan berpahala.
Maka kita harus memverifikasi, boleh kita memverifikasi pendapat-pendapat
ulama, ini lebih dekat kepada kebenaran. Imam Syafi'i sendiri mengatakan,”Pendapat
saya benar mungkin ada salahnya, pendapat mereka salah mungkin ada benarnya.”
Karena ijtihad dia selalu membuat slot bahwa kemungkinan benar, karena ini masalah
ijtihad dia, tidak boleh dikunci dan tidak memberikan slot dan spesifik berbasis
redaksi rasulullah yang para sahabat tidak memahami begitu, para sahabat kan hidup
bersama Rasulullah, maka carilah dulu apa kata para sahabat, apa kata para tabi’in,
yang lebih dekat dan berinteraksi langsung bahkan mendatangi mereka untuk
memverifikasi.
Jadi boleh kita memilih untuk diri kita sendiri tetapi jangan menjustman atau
memvonis orang lain dengan neraka dan surga, karena itu ranah Allah. Jadi ada yang
disebutnya ilmu alat yang melengkapi.

QS. Al-Insan (76): 7. Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang
azabnya merata di mana-mana.

Maka akan cacat dalam mengambail keputusn karena ada ada satu ilmu alat
yang dia tidak pelajari.
Di hal-hal yang kita bertoleransi, akhlak, menjaga silaturahmi itu hukumnya
wajib, itu semua ulama sudah clear, di antara ibadah kita ada yang hukumnya sunah,
untuk memaksakan sunah kita memutuskan tali silaturahmi, boleh atau tidak? Orang
tua kita, ini mereka yang ikut di pendidikan, orang tuanya banyak belajar agama dari
ulama dan kyai pada zamannya, dan dia menganggap ini ulama-ulama besar, anaknya
ikut pelatihan dan dia tahu bahwa setiap pagi dia yang membangunkan anaknya
supaya salat subuh kadang kesiangan, tetapi begitu ibunya salah sedikit disektor
disalah,”Ini kamu bid’ah.”
Banyak di antara orang tua mereka sakit hati dan akhirnya putus tali
silaturahmi dengan orang tuanya.
Jadi ini masalahnya mana wajib, mana yang sunnah, mana yang mubah, mana
yang haram itu sudah jelas. Ini bagian dari yang harus dipertimbangkan secara
keseluruhan, lebih baik seseorang melakukan kesalahan yang di sektor sunnah asal
tidak melanggar sesuatu yang haram, kaedanya itu. Jadi disebutkan,”Mengingkari
sebuah kemungkaran dan merubah kemungkaran jika mendatangkan kemungkaran
yang lebih besar makanya dia tidak boleh dilakukan.” Jadi itu kaedahanya disebut
oleh ulama-ulama kita.
Page |8

Pertanyaan 3 (Bapak Sukiman)

Sejaarah peradaban manusia banyak di ceritakan dalam Al-Quran, banyak yang


melakukan kezaliman, melanggar syari’i, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-
Mursalat: 16, dan 17. Bukankah telah Kami binasakan orang-orang yang
dahulu?(16) Lalu Kami susulkan (azab Kami terhadap) orang-orang yang datang
kemudian (17). disebutkan bahwa orang-orang terdahulu telah Kami binasakan dan
Kami gantikan dengan generasi baru akan datang. Generasi lama punah. Bagaimana
pemahaman dan pendalaman supaya ini bisa bisa dapat dipahami agar kita bisa
melakukan dan upaya-upaya apa yang harus kita lakukan agar kita tidak termasuk
bagian yang di azab Allah.

Jawaban

Kemudian hukuman Allah terhadap yang sudah, keislaman dan keimanan itu
ada keislaman yang individual, ada keislaman dan keimanan kolektif dalam teritorial
rumah tangga. Ada keimanan kolektif dan keislaman kolektif tetorial sebuah
kampung.
Maka Quran selalu Qoriah, qoriah itu biasa diartikan negeri tetapi kalau
bahasa harian disebut kampung. Memang negeri di zaman itu jumlahnya tidak terlalu
banyak. Negeri Madinah waktu Rasulullah wafat penduduknya sekitar 250.000. Qatar
penduduknya hanya 375.000. Ini pun disebutnya negeri, karena keislaman itu adalah
ada keislaman individual, ada keislaman individu yang dibingkai dalam Institusi
rumah tangga, sehingga hubungan antar anggota keluarga bisa sesuai dengan syariah
yang kewajiban personal, lalu ada antar anggota keluarga di sebuah kampung atau
sebuah kawasan.
Ini pun dalam rangka membangun pelaksanaan ibadah personal dan menata
hubungan kolegial, karena kalau tidak maka tidak bisa salat Jumat. Karena Salat
Jumat itu harus dilakukan……….. Kalau tidak maka tidak bisa melaksanakan salat
ied, karena sendiri-sendiri, maka tidak bisa diberlakukan.
Lalu kemudian kalau ada kemungkaran yang dilakukan secara terbuka itu
berpotensi untuk mempengaruhi, maka dia dilokalisir dan ditahan, tidak boleh
melakukan kemaksiatan di depan publik secara…. Ini nahi mungkar, kalau mau bikin
maksiat jangan di depan publik, kalau di depan publik akan dihentikan oleh yang lain,
karena itu perintah Rasulullah dan nanti akan mempengaruhi.
Ini disebut program amar ma’ruf dan nahi mungkar. Kalau yang di rumah
tangga itu adalah sebuah keluarga.”Jagalah anggota akelaurga”.
Hukuman Allah kepada generasi yang lalu itu beda-beda, ada yang bersifat
individual yang menyimpang secara pribadi, ada yang bersifat keluarga karena dia
menyimpang dalam sistem interaksi antara keluarga, ada hukumannuya kepada
masyarakat, karena masyarakatnya ada rasa takut dan ada hilangnya rasa aman karena
suasana yang mencekam, karena mereka melakukan pembiaran kepada orang-orang
yang mengabaikan hak-hak individu dan hak-hak keluarga. Maka hukumannya
sendiri- sendiri dan bentuknya beda-beda.
Page |9

Jadi tidak mungkin kesalahan personal yang dihukum publik. Tidak mungkin
kesalahan kolektif lalu kemudian masing-masing individu diperlakukan sama oleh
Allah. Maka,”Hati-hatinya atas sebuah hukuman yang tidak hanya mengenai orang-
orang yang salah saja, yang tidak salah juga akan terkena imbas.” Aisyah
bertanya,”Bagaimana itu ya Rasulullah?” Kata Rasulullah,”Allah akan
membangkitkan masing-masing dengan status dan bobot keimanan dan ketaatannya
sendiri-sendiri.”
Jadi dibangkitkan dalam kondisi yang beda-beda dan dia dihukum dengan
status yang beda-beda. Jadi Allah Maha Adil, Allah Maha Bijaksana dan Allah tahu
isi hati kita masing-masing, tidak mungkin diperlakukan sama. Maka
disebutkan,”Haruskah Kami memperlakukan orang yang bergelimang dosa sama
dengan orang yang patuh kepada Allah?” Dalam ayat lain disebutkan,”Mereka tidak
mungkin diperlakukan sama di sisi Allah, mereka memiliki tingkatan dan level-
level.”
Begitulah Allah, kalau kita diperlakukan oleh hukum karena khawatir
semuanya orang lain membikin kesalahan yang ini, bikin sedikit dikasih hukuman
yang tinggi supaya orabg lain kapok. Apa urusannya dengan oranbg lain? Yang ini
belum tentu melanggar, kenapa rencana hukuman untuk mereka ditimpakan semua
pada mereka? Kan mereka belum melanggar. Ini keadilan yang diterapkan, yang
menurut mereka itulah keadilan, menurut mereka mengikuti rasa keadilan padahal
tidak.
Dalam rangka menghadapi rasa keadilan, pakai perasaan tidak pakai rumusan,
sehingga salah, padahal ahli hukum sudah membuat norma yang bisa dipahami secara
mudah. Padahal Allah lebih detail dalam memberikan hukuman.
Jadi kita harus memahami ada hukuman personal, ada hukuman keluarga, ada
hukuman kolegial, pertemanan yang menyimpang, ada community komunal sebuah
masyarakat di sebuah negeri atau sebuah kampung yang berbeda. Bahkan berkali-kali
ada kebanjiran di mana-mana, kecuali satu tempat saja yang diselamatkan oleh Allah,
dia tidak tahu apa yang membuat Allah menyelamatkan saya, di Gunung Semeru di
Jawa Timur semua orang tenggelam oleh lumpur kecuali rumah dia. Dia mengatakan
saya hanya melaksanakan ibadah.
Jadi begitulah Allah selalu memperlakukan setiap orang sesuai dengan status
dia dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jadi tidak general. Maka salah satu qoulan
sadidah tadi, obyektifitas kita di dalam bersikap dan mengatakan sesuatu itu yuslih
lakum a’malaku……….. Akan membuat langkah kita menjadi baik dan dosa-dosa kita
akan diampuni oleh Allah karena kita sangat obyektif dan proporsional tapi kalau
blaving, umpamanya ini ada program anggarannya Rp. 10.000.000,- dia punya uang
Rp. 500.000-” dia berkata,”Kalau saya tidak cover tidak jalan proyeknya.” Padahal
banyak yang ikut terlibat sehingga proyek tersebut berhasil, dia hanya salah satu, kan
dia tidak jujur kepada dirinya sendiri, dengan dia atau tanpa dia proyek ini akan
berjalan.
Dia berlebihan jadi dia tidak proporsional tidak bisa berbuat adil kepada
dirinya sendiri. Jadi ini qoulan sadidah di sektor pernyataan seorang yang beriman,
ini qoulan sadidah di sektor keluarga, sehingga keluarga semuanya clear dan tidak
memiliki prasangka buruk satu sama lain.
Adapun prasangka buruk yang tadi ada yang sudah dijelaskan tentang Allah
harus bersikap bagaimana kepada Allah? Harus berbasis apa yang Allah telah jelaskan
P a g e | 10

di dalam Al-Quran tentang diri-Nya dan tata cara membangun sebuah kepercayaan
dan keimanan. Tetapi tentang sesama kita ada perintah, disebutkan dalam ayat
berikut:

QS. Al-Mumtahahan (60): 10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka
bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.

Bahwa disebutkan,”Kalau datang rombongan wanita yang beriman ingin


bergabung jangan segera mengambil keputusan berbasis penampilan dan
pernyataan.” Bahkan nanti ada ayat disuruh kita memverifikasi. Ini ada orang yang
mengaku Islam, mengaku beriman kepada Allah Subhanahu. Tentang keimanan dia
tapi kalian kan belum tahu, Allah tidak akan menceritakan kepada kalian apa yang
semua Allah tahu, tetapi kalian harus melakukan memverifikasi kesungguhan mereka
beriman.
Jika kalian sudah mengetahui secara fisk tentang dirinya, berbasis data
lapangan yang kalian peroleh mereka adalah sebagai orang yang beriman kepada
Allah sungguh-sungguh, maka jangan dikembalikan mereka kepada komunitas kafir,
harus dijaga, mereka tidak halal lagi bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu
tidak halal menyentuh wanita yang mukmin, meskipun status mereka sudah suami
istri.
Lantaran mereka musyrik dan putus dengan istrinya, Istrinya ingin ke
Rasulullah tetapi mereka tidak mau, makan status istrinya meninggalkan suaminya.
Maka dia kalau sudah form motivasinya adalah keimanan, tidak ada agenda spionase,
tidak ada agenda yang lainnya, tetapi dia murni karena keimanan maka harus diterima,
tetapi berbasikan ujian lapangan.
Jadi membangun sebuah asumsi agar prasangka itu bukan tanpa alasan, Umar
bin Khattab dahulu terhadap orang yang akan diberi amanah, bertanya pada orang lain
untuk memverifikasi,”Siapa yang kenal sama dia?” Jawab seseorang,”Saya ya amirul
Mukminin.” Kata Umar,”Apakah kamu pernah ke rumahnya?” Jawabnya,”Pernah.”
Tanya Umar,”Bermalam? Jawabnya,”Tidak. Tganya Umar,”Kamu pernah pergi jauh
bersama dia yang memakan waktu lebih dari 1 hari?” Jawabnya,”Belum.” Tanya
Umar,”Apakah kamu pernah bertrasaksi keuangan dengan dia?” Jawabnya,”Belum.”
Kata Umar,”Kalau belum kau kenal dia, jadi belum kamu baru kenal wajahnya,
namanya.”
P a g e | 11

Itu belum cukup karena dia akan diberikan amanah. Maka dia harus
mengumpulkan informasi dari orang yang mengenali dia, baru kemudian kita
mengambil keputusan.
Kelihatannya dia orang baik, itu baru asunmsi. Ada ayat yang menjelaskan
masalah kelihatan dia oang baik, dan tidak itu boleh dijadikan sandaran, dalam ayat
berikut:
Diantara orang sangat mengagumkan kalau berkata-kata urusan dunia. Allah
memberikan kesaksian tentang isi hatinya, dia adalah pembangkang dan orang yang
menolak Allah. Jadi jangan dari penampilan, jangan dari ucapan. Ada lagi,”Kalau
engkau pandang penampilannya sangat meyakinkan, disebutkan dalam munafiqun
bahwa, fisiknya dandanannya, penampilannya lebih dari penambilan dari para sahabat
nabi. Jika dia berkata sesuatu kalian akan terperangah mendengar kan kata-katanya.
Kata Allah,”Kan harus di verifikasi kebenaran ucapan dan penampilan di luar forum
kita, di rumahnya.” Maka Umar berkata demikian.
Jadi ini ada orang sama-sama jalan-jalan tetapi pulang kesimpulannya berbeda.
Ini tergantung, maka kita harus mengenali cara dia merespon dan berinteraksi dengan
fakta-fakta baru kita katakan ya saya kenal dia.
Ada lagi masalah transaksi keuangan, kan dijelaskan,”Celakalah para
mutafiffin, bagaimana itu? Kalau untuk dirinya dia minta semuanya harus full, tapi
kalau untuk yang lain dia suka mengurangi jatah orang.” Nanti itu berdampak
kebaikan akan ditunda-tunda, sementara kita diperintahkan,”Bersegeralah dan
berlombalah kalau untuk melaksanakan kewajiban. Barang siapa yang menunda
amal shaleh……..” Ini dalam hadist disebutkan ada ancaman.
Jadi boleh dia sangat mengagumkan tetapi respon dia kepada kebaikan agak
lambat, tentang transaksi keuangan dia mau untung sendiri, tidak mau rugi. Biar orang
lain rugi yang penting saya untung.
Berarti dia tidak boleh di jabatan publik yang terkait dengan jabatan mengurus
manusia, tetapi dia boleh ditempatkan jabatang mengurus benda saja atau bagian
logistik.
Jadi kalau mau membuat assessment tidak boleh asal-asalan, ini adalah
tentang hunsnu dzon dan su’udzon itu harus memiliki konsideran. Ini orang baik
kenapa? Karena tidak pernah punya catatan, trade recordnya buruk, ini orang
nampaknya tidak baik tetapi seluruh catatan baik. Mungkin dia punya maksud yang
belum kita pahami.
Tapi kalau ini orang berbuat baik tetapi trade recornya buruk semua harus
dicek, orang ini dalam rangka sedang merehabilitasi diri, memperbaiki diri atau dia
punya nazar. Membaca seperti itu bukan hunsnu dzon dan su’udzon. Yang dimaksud
hunsnu dzon dan su’udzon itu sikap kita harus berbasis argumentasi yang clear, tidak
berbasis asumsi.
Orang-orang yang datang ke kita, ada apa? Kan harus dicek seluruh dokumen
dan data dan latar belakang kebijakannya. Kita tidak boleh langsung menstigma.
Indikator potensi ancaman boleh ada, tetapi tindakan harus berbasis……. Ini
disebut kalau sekedar indikator-indikator itu adalah informasi intelijen, sifatnya baru
adanya indikasi-indikasi.
Kalau seseorang mengambil keputusan, dia tidak boleh menstigma
berdasarkan asumsi tapi harus membikin antisipasi. Kalau Hakim dia tidak boleh
P a g e | 12

membaca indikasi, dia tidak boleh mengantisipasi tetapi dia harus berbasiskan fakta,
jadi beda-beda caranya.
Jadi pemimpin itu harus antisipatif terhadap fenomena indikator yang
mungkin buruk, tetapi direspon dengan antisipasi yang positif maka akan
menggugurkan potensi ancaman itu. Ada potensi kebaikan yang muncul maka
dikapitalisasi untuk dipromosikan agar masif kebaikan itu, bukan hanya dikatakan ini
orang baik, tapi ini agenda baik yang perlu difasilitasi agar dapat menjadi dinikmati
semua orang.

Jadi harus dibedakan dengan dugaan tanpa alasan dengan dugaan berbasis
trade record, tetapi kalau sekedar merasa intuisi saja tidak mengapa, tetapi kita tidak
boleh berkata dan tidak boleh bertindak. Karena itu hanya intiusi. Kalau berkata dan
bertindak harus berbasis alasan. Itulah manajemen dzon, berprasangka.
Nanti kalau kita membaca apa definisi dzon bahasa Arab, bahwa kalau
devenisi dzon dalam bahasa Arab kalau kita punya argumentasi imbang itu disebutnya
syak, ragu. Dzon itu adalah yang kita punya bukti kebenaran di atas 50%, jadi sudah
60% dan, itu kalau sudah 80% disebut yaqin. Kalau haqqul yaqin 100 %, kalau
kurang dari 50% disebutkan wahn. Wahn itu adalah hanya asumsi, karena dia tidak
punya bukti. Kita terhadap Allah tidak boleh ada keraguan. Apakah kau masih
keraguan tentang Allah? Bahwa tentang Al-Quran itu tidak boleh ada keraguan, tidak
bleh ada syak, tentang Al-Quran harus di atas 60%. Kalau hukum boleh kita dzon,
dzon itu kalau sudah di atas, jika kita punya bukti dan punya bahan. Itu yang disebut
dzon.
Maka kebijakan politik ini ada bidangnya yang harus didengar, ada yang
spesialis menangani ancaman eksternal, yaitu tentara, ada yang spesialasi menangani
ancaman internal yaitu polisi, ada tempat membuat regulasi yaitu eksekutif dan
legislatif, ada tempat menyelesaikan persoalan, itu judikatif.
Maka ini semua kan harus dilibatkan, baru kita bisa mengambil kesimpulan.
Jika belum ada bukti ya bikin saja langkah antisipatif untuk mengibangi itu.
Jadi ini tentang manajemen pengambilan keputusan yang bagian dari
kepemimpinan, maka kita jangan memutuskan sesuatu di rumah tangga kita berbasis
prasangka.
Maka husnu dzon dan su’udzon boleh dalam perpektif pikiran kita dalam
membuat asumsi, tetapi tidak boleh dalam bebentuk tindakan. Kalau ucapan harus
berbasis argumetansi, kalau tindakan, jangan sampai tindakanmu berbasis
ketidaksukaan, nanti akan mengambil keputusan yang keliru terhadap orang tidak
melakukan tindakan.
Jadi ada pikiran, ada ucapan dan ada tindakan, kalau sebatas pikiran dia harus
menyelesaikan pikirannya. Kalau ucapan harus berbasis argumentasi, kalau tindakan
harus berbasiskan fakta. Demikian dzon yang dimaksudkan.
Nanti kalau ghibah dalam rangkan memverifikasi, itu tidak salah, ghibah yang
berdosa adalah kalau mengolok-olok, membully, tetapi kalau sedang bercanda akrab,
dicek dulu. Janga meledek diri kalian sendiri, janga memebikan julukan-julukan,
karena bulyan dan julukan yang tidak disukai itu adalah sebuah tindakan yang tidak
baik, dan itu termasuk jika tidak segera menghentikan maka akan berpotensi
menzalimi.
P a g e | 13

Pertanyaan 4 (Bapak Toni)

QS. An-Nisa: 9. Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.
Jangan sampai meninggalkan keluargamu dalam keadaan lemah. Kenapa tidak
dikatakan dalam ayat bersebut, carilah harta sebanyak-banyaknya. Perintahnya
disuruh bertawakal dan mengucapkan atau bertutur kata yang benar, itu dikaitkan
lagi dengan kalimat yang sama pada QS. Al-Ahzab: 70 dan 71. Wahai orang-orang
yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang
benar (70), niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-
dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia
menang dengan kemenangan yang agung (71). Sama kalimatnya bertakwa dan
bertutur kata yang benar.

Jawaban

QS. An-Nisa (4): 9. Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.

Jadi kadang-kadang kita membangun sebuah persepsi tidak berbasis data, tapi
berbasis pikiran yang kita bangun, sehingga itulah yang sering kita ucapkan, faktanya
tidak seperti itu, tapi kalau sudah ada di kepala kita bayangan, maka yang kita
ucapkan bayangan bukan berbasis fakta, maka kita dilarang untuk berkata
sembarangan.
Diperintahkan untuk berkata berbasis fakta, berkata apa adanya berbasis fakta,
itu yang pertama di ranah keluarga. Perintahnya ayat ini berkorelasi dengan dalam
konteksnya adalah konteks barisan, tetapi para ulama menafsirkannya lebih general,
karena di ayat ini tidak mengandung unsur materi dan warisan dan keuangan tetapi
jangan meninggalkan keturunan dalam keadaan lemah. Maka kita harus faktual.
Para ulama kita menafsirkan lemah secara akidah, lemah secara ibadah, lemah
secara akhlak, ini jangan sampai tidak, maka dia harus dibekali. Lalu kemudian lemah
terhadap secara pemikiran atau keilmuwan, lemah secara skill, lemah secara fisik,
jadi lemah dalam berbagai perspektif, termasuk lemah dalam berkomunikasi dan
menata, silaturahmi dalam bahasa bisnisnya silaturahmi itu net working, kita harus
meninggalkan generasi yang buat anak cucu, kita harus bertanggung jawab secara
pribadi kepada anak cucu kita, kita tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, meskipun
pelaksanaannya boleh dididik oleh orang lain atau dititipkan ke lembaga untuk dididik
dan dipersiapkan, tapi tanggung jawabnya tetap di kita.
Lalu kita harus kepada istri dan kepada anak, itu harus hendaklah dia
mengatakan kata-kata yang benar karena inilah inner circle kita. Jadi berkata apa
P a g e | 14

adanya di keluarga, jangan mereka dididik dengan sebuah asumsi dan imajinasi, harus
diajak realistis, harus diajak memahami fakta dan mempersiapkan diri sesuai dengan
kemampuan, kadang-kadang kita membangun sebuah bayang-bayang tentang
keluarga besar kita, tentang kehormatan keturunan kita, tentang kekayaan keturunan
kita. Jadi membangun persepsi berbasis sesuatu yang tidak konkrit, hanya bayang-
bayang saja.
Maka Imam Syafi'i dalam sebuah puisinya dalam mendidik anak,”Bukanlah
seorang pemuda, bukanlah seorang anak yang punya masa depan yang cerah, jika
dia selalu mengatakan bapak saya adalah…….., dalam tanda petik, tetapi seorang
pemuda yang braight itu adalah jika dia mengatakan inilah saya.” Jadi berkata
realistis tentang dirinya dan tidak selalu berada di bawah bayang-bayang keluarga
besarnya, orang tuanya atau kehormatan orang tua yang sudah diraih. Jadi
kehormatan orang tua itu sendiri, kita sendiri.
Maka Rasulullah dahulu mengatakan tatakala memerintahkan keluarganya
untuk beribadah, ditutup dengan kalimat,”Saya tidak akan ada maknanya buat kalian
di hadapan Allah, jika kalian tidak menjalankan perintah-Nya.” Jadi jalankan dulu,
nanti kedudukan adalah penyempurna dari jati diri mereka, tetapi kalau mereka
menolak, kan ada kisah anak Nabi Nuh, kalau mereka tidak patuh kepada Allah, kan
kisah tentang istri Nabi Luth. Bahkan Al-Quran mengatakan Allah membuat
perumpamaan tentang dua orang wanita yang di bawah atau diasuh oleh dua hamba-
Nya yang sholeh:

QS. At-Tahrim (66): 10. Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri
Nuh dan istri Lut. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang
saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua
suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari
(siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke
neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).”

Disebutkan,”Mereka di bawah dua hamba Kami yang sholeh yaitu Nabi Nuh
dan Nabi Luth tahun, lalu mereka tidak sejalan dengan kehidupan yang diimani dan
yang dijalankan oleh Nabi Nuh dan Nabi Luth.” Berkhianat di sini bukan berkhianat
dalam arti berselingkuh, tapi dari sektor keimanan, tidak mengikuti apa yang
dikatakan oleh suaminya di sektor keimanan dan ibadah.
Maka status mereka di bawah nabi tidak mendatangkan keuntungan
sedikitpun bagi mereka, maka Kata Akkah,”Masuklah kalian ke dalam olahraga
bersama orang-orang yang masuk.”
Jadi kita harus mengatakan yang benar kepada keluarga, dan meningkatkan
kesabaran agar mereka memahami fakta dan realita, termasuk diantaranya adalah
tantangan yang akan mereka hadapi di masa yang akan datang, tidak seperti tantangan
yang kita hadapi saat ini. Kita berbasis pendidikan kita yang lalu mengatasi
persoalan saat ini, tetapi mereka akan menghadapi persoalan masa depan yang lebih
kompleks.
Maka kita harus mempersiapkannya diri lebih tajam terhadap mereka,
daripada persiapan kita dahulu saat masih seumur mereka. Ini jadi sisi pembekalan,
lalu kemudian dari sisi aset, ahli waris kita harus tahu apa saja yang kita miliki. Ini
harus menjadi sebuah diskusi dan pembahasan, anggota keluarga kita harus tahu apa
P a g e | 15

saja yang dimiliki oleh bapaknya dan suaminya, jangan ada yang disembunyikan, dan
sekaligus mereka harus diberi pemahaman jatah yang akan diperoleh masing-masing
jika bapaknya mati dia harus mengikatkan diri dengan hukum waris yang telah Allah
tetapkan.
Sekarang dia harus menerima pemberian yang orang tuanya berikan dengan
ridho, karena otoritas harta itu ada di pemiliknya bukan di anak-anaknya. Maka orang
tualah yang menentukan masing-masing pemberian kepada anaknya yang berbeda-
beda.
Yang satu anaknya sudah kuliah, yang satu masih SMA yang satu sudah
bekerja, kalau diberikan tidak mungkin sama? Yang satu sudah akan ke rumah tangga,
yang masih SMP kan tidak mungkin di berikan pemberian yang sama kepada mereka,
mereka harus memahami polisi dalam mendistribusikan atau dalam pemberian.

Anda mungkin juga menyukai