I. PENGANTAR :
“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusuk
mengingat ALLAH “ QS: Al-Hadid (16)
II. ULASAN :
Dalam Syarahnya Syekh Abdullah Asy Syarkawi menjelaskan maksud hikmah yang
disampaikan oleh Ibnu Athailah tersebut. Menurut dia siapa yang Allah berkati
usianya, DIA akan memberinya kedekatan denganNYA sehingga dengan mudah dan
dalam waktu singkat, ia akan mendapat Anugerah Allah yang tak bisa diungkapkan
dengan kata-kata dan tak bisa dijangkau dengan isyarat.
Zulfan Lubis 1
Menurut Syekh Abdullah, jika Allah memberkati umur seorang waliNYA, DIA akan
memberikan kecerdasan dan kewaspadaan tinggi (kesadaran), sehingga terdorong
untuk selalu menggunakan waktunya dengan baik.
Dengan begitu, ia akan tergerak untuk selalu melakukan amal amal saleh setiap saat.
Dalam waktu singkat, ia pun akan mendapatkan karunia Allah yang tak bisa
diungkapkan dengan kata-kata dan isyarat karena anugerah itu terlampau banyak dan
mulia baginya.
Keberkahan Usia itu terkait erat dengan kebersihan hati yang bermakna segala hal
yang baik bagi kehidupan dan senantiasa dilimpahi rahmat dan berkah oleh Allah
SWT. Keberkahan usia itu sebagai sesuatu yang terlihat nyata wujudnya dan yang
terlihat dengan hati, yang tercermin melalui sikap dan perbuatan kesehariannya,
sedangkan Anugerah menurut Islam bisa diartikan sebagai pemberian yang terbatas
dari yang MAHA KUASA. Jadi pemberian Allah SWT yang bersifat umum untuk
hal-hal baik yang dzohir maupun bathin. Adapun Hidayah dan Rahmat NYA adalah
merupakan bagian dari Anugerah Allah SWT.
Keberkahan umur itu menyangkut dengan umur secara biologis dan umur secara
fungsional. Umur biologis adalah jumlah angka tahun (usia) yang dianugerankan
Allah SWT selama hidup, sedangkan keberkahan umur fungsional adalah manfaat
yang secara terus-menerus dapat dimanfaatkan orang meskipun orang tersebut telah
meninggal dunia.
Membangun masjid, sekolah, waqaf untuk pemakaman, ilmu yang diajarkan dan
bermanfaat, mendidik anak menjadi shaleh adalah merupakan amalan fungsional
yang terus memberikan pahala meskipun umur biologis sudah berakhir.
Zulfan Lubis 2
Syaikh Ibnu Atha’illah amat menyayangkan orang-orang yang sudah terbebas dari
kesibukan duniawi, bahkan sdh memiliki harta duniawi yang cukup, namun tdk juga
mendekat kepadaNYA, dan bahkan orang-orang yang hanya mendapat sedikit
rintangan dlm menuju Allah, memiliki harta meski kurang tetapi tdk juga mendekat
kepada-Nya.
Menurut Syeikh Ibnu Atha’Illah orang yang tidak memiliki harta duniawi yang
cukup dan masih membutuhkan usaha dan pekerjaan pun dikategorikan sebagai orang
yang merugi bila ia sibuk dengan usaha dan pekerjaannya sehingga tidak menghadap
Allah dan tidak segera berangkat menuju-NYA, tetapi ia hanya mendapatkan separuh
kerugian karena menghadap Allah dan berjalan menuju-Nya harus dituntut dari
seluruh makhluk.
Oleh karena itu, yang wajib bagi setiap orang ialah menyingkirkan segala rintangan,
meninggalkan kesibukannya, dan segera menghadap Allah. Sebuah nasihat
mengatakan,”Berjalanlah menuju Allah meski harus tertatih-tatih. Jangan
menunggu masa sehat karena menunggu masa sehat sama dengan
pengangguran.”
”Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan
berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS: At-Taubah: 41).
Dalam Surat Al-Ahqaf ayat 15 yang dibacakan tadi, Allah SWT. menekankan tentang
do’a di usia 40 tahun, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri
nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku
dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan
yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada
Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15).
Salah satu keistimewaan di usia 40 tahun tercermin dari Sabda Rasulullah SAW :
”Seorang hamba muslim bila usianya mencapai 40 tahun, Allah akan meringankan
hisabnya (perhitungan amalnya). Jika usianya mencapai 60 tahun, Allah akan
memberikan anugerah berupa kemampuan kembali (bertaubat) kepada-Nya. Bila
usianya mencapai 70 tahun, para penduduk langit (malaikat) akan mencintainya.
Jika usianya mendapai 80 tahun, Allah akan menetapkan amal kebaikannya dan
menghapus amal keburukannya. Dan bila usianya mencapai 90 tahun , Allah akan
Zulfan Lubis 3
mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan dosa-dosanya yang belakangan, Allah
juga akan memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya, serta Allah akan
mencatatnya sebagai “tawanan Allah” di bumi. (HR Ahmad).
Masalah terbesar bagi manusia adalah terbatasnya umur. Meskipun seseorang banyak
melakukan amalan saleh, tetap tidak akan dapat menyamai waktu (umur) hidup umat-
umat terdahulu. Rasulullah SAW bersabda,”Umur umatku berkisar antara 60 hingga
70 tahun. Sangat sedikit diantara mereka yang umurnya lebih dari itu.”
(HR Tirmidzi).
Dalam tradisi Islam umur manusia diklasifikasikan oleh para ulama menjadi 4 periode
yakni kanak-kanak (thufuliah) muda (sayab) dewasa (kuhulah) dan tua
(syaikhuklah). Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebut periode kanak-kanak itu mulai
lahir hingga baligh, muda mulai dari usia balighsampai 40 tahun, dewasa di usia 40 s.d
60 tahun, dan usia tua dari 60 tahun s.d 70 tahun.
Syeikh Muhammad bin Ibrahim Annaim dalam bukunya yang berjudul Kaifa
Tuthilu Umraka memberikan rumus beberapa upaya memanjangkan umut menajdi
berkualitas dan penuh berkah yakni :
Zulfan Lubis 4
Ketiga, melakukan amalan yang pahalanya tetap mengalir meskipun seseorang telah
meninggal dunia. Nabi SAW bersabda,”Jika anak Adam meninggal dunia, maka
terputuslah seluruh amalanya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu bermanfaat,
dan anak saleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim).
Dengan demikian, jika seseorang dapat memanfaatkan waktu dan kesempatan secara
baik, dengan melakukan berbagai amalan yang pahalanya terus mengalir meski telah
meningal dunia, maka seakan-akan usianya memanjang karena keberkahan.
➢ “Tafakur itu ada 2 macam : tafakur yang timbul dari pembenaran atau
iman dan tafakur yang timbul dari penyaksian atau penglihatan. Yang
pertama milik mereka yang bisa mengambil pelajaran, sedangkan yang
kedua milik mereka yang menyaksikan dan melihat dengan mata hati...”
(109)
Menurut para Sufi, Tafakur adalah cara untuk memperoleh pengetahuan tentang
Allah SWT dalam arti yang hakiki. Para Ulama mengatakan bahwa tafakur itu ibarat
pelita hati, sehingga dapat terlihat baik dan buruk maupun manfaat dan mudharat
dari segala sesuatu.
Tujuan dari bertafakur ini adalah menumbuhkan kesadaran didalam diri tentang
kekuasaan, kebesaran, dan keagungan Allah SWT dalam setiap objek ciptaanNYA.
Sebab itu, cara bertafakur dapat dilakukan berdasarakan jenisnya yakni tafakur alam
dan tafakur diri atau dikenal dengan tafakur iman.
Tafakur alam artinya perbuatan perbuatan yang diperintahkan dalam Islam dan
ditunjukan bagi mereka yang memiliki pengetahuan untuk merenungkan berbagai
fenomena alam Tafakur ini mengajarkan kita berguru pada fenomena alam untuk
memahami tanda-tanda kekuasaanNYA.
Perintah untuk bertafakur terdapat banyak dalam Al-Qur’an, antara lain secara
umum Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran ayat (190-191) :
Zulfan Lubis 5
ٍ ار َ ْٰل ٰي
ت ِْلُو ِلى ِ ف الَّ ْي ِل َوالنَّ َه ْ ض َو
ِ اخ ِت ََل َ ْ ت َو
ِ اْل ْر ِ ا َِّن ِف ْي خ َْل
ِ ق السَّمٰ ٰو
ِ ْاْلَ ْلبَا
ب
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
ق ِ ع ٰلى ُجنُ ْو ِب ِه ْم َو َيت َ َف َّك ُر ْونَ ِف ْي خ َْل َ الَّ ِذيْنَ َيذْ ُك ُر ْونَ ه
َ ّٰللا ِق َيا ًما َّوقُعُ ْودًا َّو
ِ َّاب الن
ار َ َ عذَ سبْحٰ ن ََك فَ ِقنَا ُ َل ِۚ ً اط
ِ ت ٰهذَا َب َ ض َر َّبنَا َما َخلَ ْق َ ْ ت َو
ِۚ ِ اْل ْر ِ السَّمٰ ٰو
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci
Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.
Sementara tafakur diri atau iman adalah mencari tahu hakikat diri untuk mengenal diri
sendiri. Pengenalan Allah harus bermula dari diri sendiri sebagai instrumen intelektual
dan spiritual yang paling tinggi, sebagaimana termaktub dalam Surat Adz Dzariyat
ayat (21),
Dalam bertafakur yang boleh dipikirkan hanyalah makhluk Allah, bukan dzat dan
hakikat-Nya karena berpikir tentang dzat Allah dilarang. Rasulullah SAW
bersabda,”Berpikirlah tentang ciptaan-Nya. Jangan berpikir tentang Khalik karena
kalian takan sanggup memikirkan-Nya.”
Jika tafakur itu sirna dari hati, hati tidak akan bercahaya. Hati akan hampa dari pikiran
dan cahaya, seumpama sebuah rumah yang gelap gulita, ketika itu, yang ada di hati
hanyalah kebodohan dan tipu daya.
Zulfan Lubis 6
III. HIKMAH DAN TANTANGAN :
1. Keberkahan umur terkait erat dengan kebersihan hati agar aktivitas tafakur dan
tadabur dapat menghasilkan sesuatu secara optimal. Keterbatasan umur memaksa
kita untuk pandai memilih amal-amal ibadah yang bernilai tinggi dan
berdurasi panjang secara fungsional. Pemilihan ini tentu disesuaikan dengan
usia, kemampuan dan kesempatan.
2. Sesungguhnya semua manusia diwajibkan untuk untuk bertafaktur
merenungkan fenomena alam ciptaan Tuhan, agar timbul kesadaran bahwa dibalik
itu ada dzat yang maha kuasa, yang maha agung dan maha bijaksana yaitu sang
pencipta Allah SWT.
3. Dalam mengamati suatu fenomena tidak cukup hanya berfikir dengan logika saja,
tapi harus berfikir secara Qur’ani dengan tafakur atas ciptaanNYA dan
mentadaburi Al-Qur’an dengan memverifikasi dengan faktor-faktor dilapangan.
4. Tafakur dan tadabur itu akan mengantarkan manusia pada tasyakur atau bersyukur
atas segala nikmat yang diberikan Allah SWT. Hasilnya kita akan menjadi hamba-
hamba Allah yang pandai bersyukur.
Zulfan Lubis 7