Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH TRAUMA KEPALA

KELOMPOK 3 :

- VEBE SISKA SAMPE ALIK


- NOVI TRISMAWATI KARGENA
- ANUGRAH AFRIANTO

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

NUSANTARA JAYA MAKASSAR

2021 / 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena berkat
rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Terima kasih kami sampaikan kepada dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yang telah
memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan tugas makalah ini, sehingga kami
menjadi lebih mengerti dan memahami tentang materi “Trauma Kepala”. Tak lupa kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang baik secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini baik
yang mendukung secara moril dan materil.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan, kekurangan dan kekhilafan dalam
makalah ini. Untuk itu saran dan kritik tetap kami harapkan demi perbaikan makalah ini ke
depan. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami semua.

Terima kasih

Makassar, 30 November 2021

Penyusun

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..ii

DAFTARISI………………………………………………………………………………. iii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………….. 1


1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………… 3
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………………. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………. 4

2.1 Definisi………………………………………………………………………………… 4

2.2 Epidemologi………………………………………………………………………….. 4

2.3 Etiologi………...………………………................................................................. 5

2.4Patofisiologi…………………………………………………………………………… 5

2.5Klasifikasi……………………………………………………………………………… 6

2.6 Manifestasi Klinis…………………………………………………………………….. 13

2.7 Komplikasi……………………………………………………………………………. 14

2.8Pemeriksaan Diagnostik…………………………………………………………….. 15

2.9Penatalaksanaan……………………………………………………………………... 15

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..23

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………... 23

3.2 Saran………………………………………………………………………………….. 23

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….. 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada usia reproduktif, sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Penanganan
yang tepat dan adekuat mulai dari tempat kejadian, selama transportasi ke rumah sakit
serta penanganan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan perjalanan klinis pasien
serta prognosis penyakitnya (Mansyour, 2007). Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala
biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari
terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien
dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada
penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegahan
komplikasi. Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala
berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera
kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan
yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak
optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin
memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2004) sekitar 16.000 orang
meninggal di seluruh dunia setiap hari yang diakibatkan oleh semua jenis cedera. Cedera
mewakili sekitar 12% dari beban keseluruhan penyakit, sehingga cidera penyebab
penting ketiga kematian secara keseluruhan. Sepuluh penyebab kematian utama di dunia
salah satunya karena kecelakaan jalan raya dan diperkirakan akan menjadi tiga penyebab
utama kecacatan seumur hidup. Kecelakaan jalan raya merupakan masalah kesehatan
yang sangat besar diberbagai belahan dunia yaitu sekitar 45% berasal dari pasien trauma
yang rawat inap di rumahsakit disebabkan karena kecelakaan sepeda motor (Artikova,
2011). Di dunia diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa melayang setiap tahunnya

1
sebagai akibat kecelakaan bermotor, diperkirakan sekitar 0,3- 0,5% mengalami cedera
kepala. Cedera kepala merupakan penyebab kematian tetinggi untuk usia 45 tahun,
perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2:1 yang 70% disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 Juta kasus trauma kepala, 52.000
pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab
kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian. Sekitar 40%
penderita cedera multiple akan mengalami cedera cedera susuan syaraf pusat. Kelompok
ini akan mengalami angka kematian dua kali lebih tinggi (35% banding 17%)
dibandingkan dengan kelompok tanpa cedera SSP.
Di Indonesia kesadaran berlalu lintas masih rendah. Penegakkan hukum lalu lintas
yang tidak konsisten, perkembangan sistem dan sarana transportasi yang semakin
meningkat dengan populasi yang semakin bertambah menyebabkan meningkatnya angka
kejadian kecelakan lalu lintas. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kecelakaan jalan
raya sebagaimana dilaporkan oleh Qirjako (2008) adalah mengemudi dengan kecepatan
tinggi, mengkonsumsi alkohol sewaktu mengendarai dan pengemudi dibawah umur.
Penanganan awal trauma kepala sangat penting karena dapat mencegah terjadinya
cedera otak sekunder sehingga dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Dua hal
penting dalam penanganan awal ini adalah penanganan segera ditempat kejadian dan
proses transportasi saat merujuk ke fasilitas yang lebih tinggi. Tujuan dari penanganan
trauma kepala bukan lagi sekedar menolong jiwa, akan tetapi juga menyembuhkan
penderita dengan sequele yang seminimal mungkin. Petugas medis di fasilitas tenaga
kesehatan sebagai ujung tombak penyedia pelayanan kesehatan terdepa, memiliki
tanggung jawab yang penting untuk melakukan penanganan awal yang seoptimal
mungkin dan mempersiapkan rujukan penderita ke tingkat fasilitas yang lebih tinggi.

1.2 RUMUSAN MASALAH

a) Apa definisi dari trauma kepala?


b) Bagaimana epidiomologi pada trauma kepala ?
c) Apa saja etiologi dari trauma kepala?
d) Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala?

2
e) Apa saja klasifikasi dari trauma kepala?
f) Apa saja manifestasi klinis pada pasien trauma kepala?
g) Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala?
h) Pemeriksaan pununjang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?
i) Penatalaksanaan apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?

1.3 TUJUAN
a. Tujuan umum

Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan
trauma kepala.

b. Tujuan khusus
a) Mengetahui pengertian trauma kepala
b) Mengetahui etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, komplikasi,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan web of caution pada pasien dengan
trauma kepala
c) Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan trauma
kepala.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau


penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi,
decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan
pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan
(Musliha, 2010)
Cidera kepala merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis, yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanen (Perdosi,
2006).
Cidera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologis yang terjadi setelah
trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala , tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada lelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (Masjoer, 2000)

2.2 EPIDEMOLOGI

Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan morbiditas. Cedera


kepala ini mendekati sepertiga penyebab kematian pada pasien dengan multi trauma. Di
indonesia penyebab cedera kepala adalah pengguna kendaraan bermototr roda dua
tertama bagi yang tidak menggunakan helm. Hal ini juga menjadi tantangan sulit
dikarenakan diantara mereka datang dari golongan ekonomi menengah kebawah sehingga
secara sosio ekonomi cukup sulit untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan alasan
itulah angka kematian cedera kepala mencapai 39% pertahun dan kemungkinan

4
cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda
dua di Indonesia.

Data yang ada menunjukkan kematian akibat cedera kepala mencapai 20 per
100.000 penduduk di Amerika Serikat (Aarabi, Mehta et al. 2007). Data di RS Hasan
Sadikin Bandung menunjukkan kejadian Sub dural Hematom sebanyak 5-25% diantara
kejadian cedera kepala berat dengan tingkat kematian sekitar 36-79% (Arifin, Sidabutar
et al. 2010). (Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K), 2013)

2.3 ETIOLOGI.

Brain Injury Association of America memperkirakan setiap 21 detik terdapat


orang yang mengalami cedera kepala (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Penyebab utama dari trauma kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas (60%
kematian yang disebabkan kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera kepala).
Namun ada penyebab lain dari trauma kepala, antara lain: (Hernanta, 2013).

 Kecelakaan industri
 Kecelakaan olahraga
 Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
 Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
 Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Semua ini bisa jadi akan menyebabkan terjadinya cedera pada kepala terutama bagian
otak yang sangat vital.

2.4 PATOFISIOLOGI

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg
%, karena akan menimbulkan koma,. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh

5
kebutuhan glukos tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat
akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 – 60 ml/menit/ 100
gr. Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala
menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical myocardial,
perubahan tekanan vaskular dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel
adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel,
takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana


penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.

2.5KLASIFIKASI

Menurut (Iyan, 2013) Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat
ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang
dipakai dalam menentukan derajat cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam
berbagai aspek, secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi berdasarkan mekanisme
cedera kepala, beratnya cedera dan morfologi cedera.

1. Mekanisme cedera kepala


Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi dua, yaitu cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus.
a. Cedera kepala tumpul biasanya disebabkan oleh paparan ledakan hebat atau
akselerasi deselerasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh maupun
puklan benda tumpul.

6
b. Cedera kepala akibat luka tembus umumnya disebabkan oleh benturan
benda yang permukaanya tajam, luka tembak, benda tajam atau benda runcing
lainnya. Luka tembus pada tulang kepala ini dapat menyebabkan defisit
neurologis yang disertai oleh infeksi.

Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi

deslerasi, coup-countre, dan cedera rotasional (Nurarif & kusuma 2015)

a. Cedera akselerasi

Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak (mis,

alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakan kekepala)

b. Ceder deselerasi

Terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam, seperti kasus

jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.

c. Cedera akselerasi-deselerasi

Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan

fisik

d. Cedera Coup-Countre Coup

Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam

ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang

berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur contoh pasien

dipukul dibagian belakang kepala.

e. Cedera Rotasional

Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga

7
tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam

substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak

dengan bagian dam rongga tengkorak.

2. Beratnya cedera
Glaslow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala.
a. Cedera kepala ringan (CKR)
GCS 13-15 dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio serebral maupun hematoma.
b. Cedera kepala sedang (CKS)
GCS 9-15 kehilangan kesadaran atau amnesia retrograde lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tulang.
c. Cedera kepala berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio serebral, lasetasi atau hematoma
intrakranial.

Menurut Musliha (2010) cedera kepala dibagi menjadi :

1. Cedera kepala primer


Terjadi saat kejadian. Kondisi ini terjadi pada cedera vascular, fokal, multifokal
atau diffuse sehingga dapat terjadi:
a. SCALP hematom
Kulit dan subkutis mampu meneruskan dan meredam impact yang
mengenainya tanpa menyebabkan kerusakan pada struktur dibawahnya. Tetapi
jika impact terlalu besar sehingga SCLAP tidak mampu meredam maka akan
terjadi hematom di SCALP.
b. Fraktur linier

8
Ketika tulang tengkorak terkena impact, kemungkinan akan terjadi deformitas
tulang tengkorak berupa serpihan tulang kedalam atau keluar. Jika impact
melebihi kekuatan dan elastisitas tulang seperti pada tulang yang sudah matur
dan kaku kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya fraktur linier.
b. Fraktur depresi
Ketika impact mengenai tulang kepala dengan luas tertentu dan kekuatan
impact melebihi kekuatan dan elastisitas tulang, maka impact tersebut dapat
menyebabkan tepisahnya fragmen tulang pada daerah tersebut dan masuk ke
struktur dibawahnya melebihi kedalaman fragmen tulang lain. Kondisi ini
disebut fraktur depresi. Fragmen tulang yang masuk dapat menyebabkan
tyerjadinya robekan dan perdarahan struktur dibawahnya.
c. Cedera panetran
Impac dengan kekuatan tinggi dengan luas permukaan kecil/tajam dapat
menyebabkan terjadinya cedra penetrasi pada tulang kepala beserta struktur
dibawahnya.
d. Perdarahan ekstradura
Fragmen tulang yang fraktur yang masuk atau keluar struktur tulang
membentuk permukaan yang tajam sehingga dapat merobek vasa darah
dibawhnya seperti pada arteri meniagea media yang dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan ekstradura. Selain itu dapat terjadi perembesan darah
dari diploe yang dapat menyebabkan terjadianya EDH pula.
Sedangkan pada inertia dapat menyebabkan terjadinya cedera berupa:
a. Perdarahan subdural
Terjadi akibat adanya robekan pada bridgin vein antara otak dan sinus venosus
yang merupakan “pengantung” otak. Akibat adanya inertia yang menyebabkan
aelirasi dan deselerasi dapat merobek bridging vein ini sehingga dapat terjadi
perdarahan subdural.

b. Perdarahan intra cerebral

9
Dapat berupa contosion cop (sesuai jenis bantuan) atau conter coup (berlawana
dengan jelas benturan). Dapat pula berupa perdarahan yang lebih besar seperti
pada perdarahan intracerebri (ICH). Terjadi karena aselerasi dan deselerasi antara
otak dan tulang kepala yang mengakibatkan benturan diotak. Teori lain
menyebutkan adanya tekanan negatif sewaktu otak ketinggalan bergerak dan
kekuatan pisitif sewaktu otak terlambat berhenti (selladurai and Reilly 2007).
c. Cedera fokal dan difus
Adanya inertia dapat menyebabkan terjadinya cedera pada otak dapat
menyebabkan terjadinya cedera pada otak yang bersifat fokal atau difus.
 Cedera kepala fokal
Cedera kepala fokal berarti terjadi kerusakan setempata yang berhubungan dengan
lokasi benturan. Terjadi pada tempat diman bagian otak berbentutran langsung
atau berdampak langsung akibat mekanisme trauma tersebut yang dapat
menyebabkan defisit neuroligis lokal akibat jejas pada area tersebut. Lokasi yang
sering terkena adalah bagian anterior, lobus temporalis dan korteks. Cedera
kepalaorbitofrontal, dikarenakan bagian tersebut terletak palin anterior terhadap
bidang horizontal serta memiliki permukaan yang kasar. Hematoma pada daerah
ini bisa terjadi lambat, yang dapat muncul beberapa hari setelah kejadian.
1. Contusion
Terjadi akibat adanya kekuatan aselarisasi dan deselerasi setelah terjadi
benturan kepala. Contosion umumnya terjadi dipolus frintalis, permukaan
orbita lobus frontalis, polus tempolaris, dan permukaan inferior dan lateral
lobus tempolaris.
Contosio cerebri terjadi atas daerah yang mengalami perdarahan dipusat,
daerah yang tidak mengalami perdarahan yang sudah nekrosis atau sebagian
rusak, dan daerah yang mengalami edema. Seringkali contosiso ini
berkembang menjadi intracerbral hematon (ICH). Daerah dipusat contosio,
miskin aliran darah, sehingga daerah sekitarnya menjadi rentan terhadap
pengurangan aliran darah dari jantung.
2. Leserasi cerebral

10
Laserasi ini mirip dengan contosio, dengan tambahan keterlibatan lapisan
aracnoid pada permukaan cortek cerebri. Sering terjadi pada bagian frontal
dan temporal karena permukaan tersebut relatif lebih kasar dibandingkan
permukaan lain. Laserasi serebri sering berhubungan dengan perdarahan
subdural serta ICH. Jika laserasi cerebri berhubungan dengan ICH maka
dinamakan burs lobe. Jika laserasi cerebri berhubungan dengan SDH maka
dinamakan “complicated SDH”.

 Cedera otak difus


Adanya gaya geser pada benturan kepala mempengaruhi seluruh bagian otak
termasuk akson dan struktur vaskular. Besar kecilnya gaya geser pada otak
berpengaruh terhadap derajat serta luasnya kerusakan akson dan struktur
vaskular yang terlibat. Diffuse injury, berarti kerusakan yang
menyebar.Cedera otak difus dibagi menjadi :
a) Diffuse axonal injury (DAI)
Kerusakan minimal akson ini da[pat terjadi pada korterk parasagital white
matter. Kerusakan selanjutnya dapat terjadi pada kapsula interna,
thalamus, cerebellum, traktus ascenden dan descenden.Adam dan kawan-
kawan membagi tingkatan DAI menjadi 3 tingkat :
 Grade 1. Abnormalitas hanya ditemukan pada histologist pada white
matter saja.
 Grade 2. Ditemukan tambahan abnormalitas pada corpus callosum.
 Grade 3. DAI ditemukan pada brainstam dan corpus callosum.

DAI menyebablkan putusnya neuron antara konteks cerebri denga farotio


retikularis dibatang otak. Karena itu DAI berhubungan dengan tingkat
kesadaran, lama priode tidak sadar setelah benturan kepala, dan outcome
setelah cedera kepala.

b) Diffuse vascular injury


Kerusakan struktural pembulu darah akibat adanya karena adanya
kompresi, tekanan dan regangan pada pembulu darah dapar menyebabkan

11
terjadinya perdarahan terhadap perenkim otak. Struktur vascular lebih
tahan terhadap regangan dibanding akson. (Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K),
2013)

2. Cedera kepala sekunder


Terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kejadian.:
1) Epidural Hematoma 
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arterimeningeal media yang
terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena
itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari.
Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.Gejala-
gejala yang terjadi :
 Penurunan tingkat kesadaran
 Nyeri kepala
 Muntah
 Hemiparesis
 Dilatasi pupil ipsilateral
 Pernapasan dalam cepatkemudian dangkal irreguler
 Penurunan nadi
 Peningkatan suhu.
2) Subdural Hematoma 
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater,perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut terjadi dalam 48 jam - 2hari atau 2 minggu dan kronik dapat
terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya
adalah :
 Nyeri kepala
 Bingung
 Mengantuk

12
 Menarik diri
 Berfikir lambat
 Kejang
 Oedem pupil

Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karenapecahnya


pembuluh darah arteri; kapiler; vena.Tanda dan gejalanya :

 Nyeri kepala
 Penurunan kesadaran
 Komplikasi pernapasan,hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan
tanda-tandavital.
3) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda
dan gejala :
 Nyeri kepala
 Penurunan kesadaran
 Hemiparese
 Dilatasi pupilipsilateral
 Kaku kuduk (Musliha, 2010)
2.6 MANIFESTASI KLINIS

Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki beberapa
tanda dan gejala, antara lain:

1. Cedera ringan, Tanda dan gejalanya:


 Dapat menimbulkan hilang kesadaran
 Periode konfusi (kebingungan) transien
 Somnolen
 Gelisah
 Iritabilitas
 Pucat

13
 Muntah (satu kali atau lebih)
2. Tanda-tanda progresitivitas
 Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)
 Agitasi memuncak
 Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda vital yang
tampak jelas
3. Cedera berat, Tanda dan gejalanya:
 Tanda-tanda peningkatan TIK
 Perdarahan retina
 Paralisis ekstraokular (terutama saraf kranial VI)
 Hemiparesis
 Kuadriplegia
 Peningkatan suhu tubuh
 Cara berjalan yang goyah
 Papiledema (anak yang lebih besar) dan perdarahan retina
4. Tanda-tanda yang menyertai
 Cedera kulit (daerah cedera pada kepala)
 Cedera lainnya (misalnya pada ekstremitas)

2.7 KOMPLIKASI

1) Gejala sisa cedera kepala berat


Setelah cedera kepala berat, kebanyakan pasien dpat kembali mandiri. Namun,
beberapa pasien dapat mengalami ketidakmampuan, baik secara fisik (dispasia,
hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan
kepribadian). Beberapa pasien akan tetap dalam status vegetatif. Cedera kepala tetap
merupakan penyebab kematian yang signifikan (9 per 100.000 populasi per tahun),
terutama pada usia muda.
2) Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera. Namun, jika dihubungkan antara rongga
subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis kecil dan
tertutupi jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin

14
mengalami meningitis kemusian hari. Selain terapi infeksi, komplikasi ini juga
membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura. Eksplorasi bedah juga diperlukan
jika terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.
3) Epikepsi dan Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal
(dalam minggu awal pasca cedera, amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24
jam), fraktur depresi kranium atau hematoma intracranial.
4) Sindrom pascakonkusi
Nyeri kepala, vertigo, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera
kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestiburak (konkusi labirinti)
5) Hematoma subdural kronik
Komplikasi lanjur cedera kepala ini dapat terjasi pada cedera kepala ringan.

2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan Penujang, (Musliha, 2010)

 CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasiluasnya lesi, perdarahan,


determinan ventrikuler, danperubahan jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahuiadanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jamsetelah injuri.
 MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpakontras radioaktif.
 Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema,perdarahan dan trauma.
 Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yangpatologis
 X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmentulang
 BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
 PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
 CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadiperdarahan subarachnoid.
 ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalahpernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekananintrakranial
 Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolitsebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial

15
 Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehinggamenyebabkan
penurunan kesadaran.

2.9 PENATALAKSANAAN

a) Pre Hospital
a. Memperbaiki atau mempertahankan fungsi vital agar jalan nafas selalu bebas,
bersihkan lendir, dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pernafasan.
b. Mengurangi edema otak, yaitu hiperventilasi bertujuan untuk menurunkan tekanan
darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah, selain itu juga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis.
c. Status kesadaran dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif. Terutama
pada kasus cedera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas
pemeriksa: seperti apatis, somnolen, spoor, koma.
b) Hospital
A. Konservatif
1. Bedrest total
2. Pemberian obat-obatan
 Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesui berat ringanya trauma.
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
 Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40% atau gliserol 10%.
 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atauuntuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
 Makanan atau cairan pada trauma ringan bila muntah. Munta tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, amnifusin, aminofel
(18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian
diberikan makanan lunak.

16
 Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi netrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyakl cairan. Dextosa 5%
8 jam pertama, ringer dextosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogatric tobe (2500 –
3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urenitrogennya.
3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
4. Pembedahan (Musliha, 2010)
B. Manajemen pasien cedera kepala di Unit Gawat Darurat
Tujuan tata laksana pasien cedera kepala di UGD :
 Memberikan resusitasi yang efektif pada pasien.
 Penilain berat ringannya cedera kepala yang terjadi.
 Tindakan awal terhadap kelainan ekstrakranial.

Selain itu cedera kepala sekunder harus dicegah dengan mengatasi adanya hipotensi
dan hipoksia, perdarahan intrcranial yang bermakna, serta adanya edema
cerebri.Pertolongan pasien cedera kepala di UGD harus tetap mengutamakan
prioritas pertologan seperti pada ATLS. Cedra kepala biasanya tidak berdiri sendiri,
karena itu pertolongan yang dilakukan secara sistematis sesuai kebutuhan hidup
dasar korban cedra kepala harus dilakukan untuk menyelamatkan pasien cedera
kepala.

1. AIRWAY DENGAN KONTROL CERVIKAL SPINE


Pasien yang sadar dan dapat berbicara dapat disumsikan bahwa jalan napas
bebas. Pasien dengan takikardi, gelisa dapat merupakan tanda adanya obstruksi
jalan napas. Pertolongan yang dapat dilakukan pada pasien ini dapat dilakukan
sebagai berikut:
 Pembersihan Manual
Dilakukan dengan menggunakan tangan untuk menghilangkan benda asing.
Dapat pula dibantu “manggil tang” untuk jika evakuasidengan tangan
menemui kesulitan. Evakuasi dengan tangan dilakukan sekaligus dengan
memeriksa adnya cedera maksilofasial.

17
2. SUCTION
Dilakukan untuk menyedot darah, debris, dan secret.
3. CHIN LIFT
Mengangkat dagu, dilakukan dengan hati – hatiterhadap resiko adanya cedera
cervikal. Head tilt sebaiknya tidak dilakukan sebelum ada bukti tidak ada cedera
pada cervikal.
4. OROFARINGEAL AIRWAY (MAYO)
Dapat diberikan jika obstruksi terjadi karna adanya lidah yang jatuh kebelakng
dan menutupi jalan napas.
5. INTUBASI
Intubasi merupakan cara yang terbaik untuk menjaga jalan napas pada pasien
yang tidak sadar. Intubasi dilakukan sesuai indikasi. Indikasi intubasi:
 GCS <8
 Gagal nafas dengan : apneu, frekuensi, nafas <10x/menit, AGD dengan
PaO2 <45 mmHg, saturasi <90%
 Hiperventilasi dengan RR>30x/menit
 Pasien dengan resiko tinggi aspirasi seperti pada perdarahan di jalan napas
dan pada pasien yang kehilangan reflek menelan
 Trauma thorax berat
Sedangkan kontraindikasi intubasi adalah cedera maksilofasial yang
berat.Pasien yang memerlukan pemeriharaan jalan napas tetapi
kontraindikasi untuk dilakukan intubasi dapat dilakukan krikotiroidotomi.
6. BREATHING DAN VENTILASI
Ketika jalan napas sudah dipastikan aman, langkah selanjutnya adalah
menjaga ketersediaan oksigen. Pada tahan awal dapat dilakukan pemberian
oksigen 100% dengan memperhatikan saturasi oksigen. Ketika saturasi oksigen
tercapai (95%), fraksi oksigen diturunkan bertahap sehingga dibawah 45%.
Patokan breathing dan ventilasi yang bagus adalah respirasi rate, saturasi,
serta Analisis gas darah (AGD). Nilai PaO2 yang direkomendasikan >75 mmHg
dan kadar PaO2 35-38 mmHg. Hiperventilasi tidak dianjurkan karena
hipokapnia akan menyebabkan terjadinya vasokontriksi berlebihan dan

18
vasospasme. Sedangkan hipoventilasi menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan
peningkatan tekanan intrakranial.
7. SIRKULASI
Pasien trauma sering mengalami hipovolemia karena perdarahan.
Pengenalan hipovolemia dapat dilakukan dengan nadi dan tekanan darah.
Adanya takikardi disertai hipotensi mengarah pada kecurigaan ahock
hipovolemik.Shock hipovolemik secara umum dibatasi dengan tekanan darah
kurang dari 90 mmHg. Penurunan tekanan darah ini berpengaruh terhadap
tingkat kinerja otak. MAP 70mmHg merupakan batas minimal selama
melakukan resusitasi pasien trauma. Tetapi pada pasien dengan cedera kepala
berat disertai dengan kecurigaan kenaikan tekanan intrakranial MAP yang
diharapkan 90 mmHg.Penilaian tingkat shock hipovolemik dapat dilakukan
sesuai tabel berikut :

Penilaian perdarahan:

Penilaian perdarahan pada pasien trauma sangat penting untuk dilakukan


memberikan tindakan secepatnya pada pasien trauma. Penilaian meliputi
sumber perdarahan dan perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi. Penilaian
dilakukan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Penilaian juga perlu dilakukan
pada tubuh bagian belakang karena seringkali bagian ini terlewati ketika
melakukan pemeriksaan.

Yang perlu diingat. Penilaian perdarahan yang teliti tidak menggantikan


pertolongan resusitasi cairan pada pasien perdarahan. Pemberian cairan
resusitasi masih lebih penting untuk dilakukan ketimbang menemukn lokasi
perdarahan. Tetapi semua itu dapat dilakukan secara simultan.

Tata laksana pasien cedera kepala dengan perdarahan


1. Akses intravena
Pada tahap resusitasi awal, akses intravena sangat penting untuk dilakukan.
Akses 2 jalur dengan abocath no 16 akan memberikan jalur yang aman untuk
akses intravena. Jalur akses ini dapat dilakukan di vena mediana cubiti, akses

19
lain yang dapat dipilih adalah vena jugularis eksterna, vena femoralis, ataupun
vena sub clavia jiaka akses vena perifer susah untuk dilakukan. Pilihan lain
yang dapat dilakukan pada pasien pediatrik adalah pemberian cairan intraoseus
atau dengan melakukan vena seksi pada vena perifer.
2. Jenis cairan yang diberikan
NaCL 0,9% merupakan rekomendasi utama untuk resusitasi cairan pada
pasien dengan cedera kepala. Cairan ini memiliki osmolaritas 308 mosm/l
karena itu bersifat isotonis. Osmolaritas ini penting untuk mencegah terjadinya
edema cerebri akibat pemberian cairan. Tetapi resusitasi dengan cairan isotonis
ini juga dapat menyebabkan terjadinya hipotermia, asidosis dan koagulopati.
Pemberian cairan hipoosmolar seperti Ringer Laktat dapat menyebabkan
edema cereberi karena adanya ekstravasasi cairan kedalam sel-sel otak.
Pemberian cairan Dekstrose 5% merupakan kontraindikasi untuk resusitasi
karena bersifat hipoosmolar dan memiliki efek hiperglikemia yang dapat
memperburuk cedera kepala yang terjadi.
3. Indentifikasi dan control perdarahan
Setiap perdarahan eksternal harus dihentikan dengan tamponade atau
penjahitan. Perdarahan dari SCALP dapat dilakukan tampon sementara atau
dilakukan penjahitan jika memungkinkan. Adanya fraktur dapat direposisi dan
fiksasi eksterna untuk tindakan sementara.
4. Tranfusi pada perdarahan
Indikasi transfusi pada perdarahan pasien trauma adalah :
 Resusitasi dengan 2 atau 3 liter cairan tidak mampu mengatasi shock
 Kehilangan darah diperkirakan >30% volome darah tubuh atau kira-kira 1500
cc pada orang dewasa
 Hematokrit <30% untuk memperbaiki rheology darah dan meningkatkan
oksigen otak
 Tranfusi darah dianjurkan dengan Packed Red Cell (PRC).

20
5. Monitoring resusitasi
Monitoring resusitasi dapat dilakukan dengan penilaian GCS dan tanda vital
pasien. Secara umum kenaikan GCS dan tanda vital yang mendekati nilai
normal menunjukan tindakan resusitasi berhasil. Tetapi pada pasien cedera
kepala berat, pasien dengan tekanan intrakranial yang tinggi, pasien dengan
hipovolemia seringkali menunjukan Cushing response yang menyebabkan
terjadinya hipertensi sistolik dan bradikardi sehingga sering mengacaukan
penilaian kondisi pasien. Untuk itu parameter lain yang dapat dipakai untuk
menilai keberhasilan resusitasi adalah :
 Urin output, dengankisaran 0,5-1 ml/kgBB/jam pada orang dewasa.
Sedangkan pada anak kecil 1-2 ml/kgBB/jam.
 Kadar hemoglobin, yang diharpkan 9-10 g/dl dengan kadar hematokrit 30-
33%
 Defisit basah, Pada pasien trauma defisit basah >15 mmol/l berkaitan dengan
mortalitas yang tinggi

8. DISABILITY
Setelah pasien memiliki kondisi yang stabil, pemeriksaan selanjutnya adalah
penilaian kondisi neurologis pasien. Pada pasien trauma pemeriksaan
neurologis yang penting dilakukan adalah kondisi kesadaran (GCS), ada
tidaknya lateralisasi dengan memeriksa kondisi pupil dan kekuatan motorik
kanan dan kiri

C. TATA LAKSANA LAIN UNTUK PASIEN CEDERA KEPALA


1. Pengaturan suhu
Target pengaturan suhu pasien adalah 35-36 oc.pasien dengan hipotermia
dapat diselimuti dengan jaket penghangat. Pemberian infus yang dihangatkan
penting untuk mencegah terjadinya hipotermia. Adanya hipetermia juga harus
dicegah dengan pemberian antipiretik. Hipertemia memicu peningkatan
konsumsi oksigen, aliran darah otak serta peningkatan tekanan intrakranial.
2. Insersi kateter urin dan NGT

21
Insersi kateter penting untuk pasien trauma. Selain untuk mengurangi
tekanan di dalam vesika urinaria, insersi kateter juga penting untuk
monitoring urin output sebagai parameter resusitasi.
Pemasangan NGT berfungsi untuk mengurangi isi dalam lambung
sehingga terjadinya muntah dan aspirasi. Pemberian NGT juga berfungsi
untuk pemberian nutrisi seawall mungkin pada pasien cedera kepala.
3. Terapi nutrisi
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik,
kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu.
Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas.
diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan
formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding
dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
4. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah yang dianjurkan untuk pasien cedera kepala :
 Kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit
 Kadar glukosa, elektrolit
 Profil koagulasi darah
 Analisa Gas Darah(Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K), 2013

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi,
decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan
pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan
(Musliha, 2010)
Cidera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologis yang terjadi setelah
trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala , tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada lelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (Masjoer, 2000). Penyebab dari trauma kepala, antara lain:
 Kecelakaan industri
 Kecelakaan olahraga
 Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
 Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
 Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Semua ini bisa jadi akan menyebabkan terjadinya cedera pada kepala terutama
bagian otak yang sangat vital.

3.2 Saran
Setelah pembuatan makalah ini sukses diharapkan agar mahasiswa giat membaca
makalah ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari makalah ini terkait tentang
meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan dengan satu sumber ilmu (materi
terkait), sehingga dalam tindakan keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan
pada klien dengan cedera kepala. Saran yang disampaikan kepada mahasiswa
keperawatan adalah :
1. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala.

23
2. Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien dengan
cedera kepala.
3. Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun klien, baik
di rumah sakit maupun di rumah.

24
DAFTAR PUSTAKA

Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika


Hernanta, I. 2013. Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-MEDIKA

Clevo, M. Rendy dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Dr. M.Z. Arifin,Sp.Bs (K),dkk. 2013. Cedera Kepala. Jakarta : Sagung Seto

Badan Pendidikan & Pelatihan Persatuan Perawat Nasional Indonesia Dewan Pengurus Wilayah
Jawa Timur. 2017. Pelatihan BTCLS. Surabaya: PPNI Jatim

Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Heardman, T. Heather.2015. Nanda Inc. Diagnosis Keperawatan defisit klasifikasi 2005-2007.
Jakarta :EGC

Moorhead,Sue dkk.2013. Nursing Outcomes Clasification (NOC) Edisi Kelima. Yogyakarta :


Moco media

Bulechek, Gloria M. Dkk.2013.Nursing Intervention (NIC) edidi ke Enam. Yogyakarta: Moco


Media

25

Anda mungkin juga menyukai