Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP MEDIS

A. Defenisi

Diabetic Kidney Disease (DKD) merupakan komplikasi microvaskular


kronis pembulh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus.
Kerusakan ginjal yang disebabkan oleh diabetes biasanya terjadi secara
perlahan, selama bertahun-tahun.
Diabetic Kidney Disease (DKD) adalah sindroma klinik yang ditandai
dengan keadaan mikroalbuminuria persisten bersama - sama dengan DM tipe
1 atau DM tipe 2. Nefropati diabetik sering diderita pasien DM tipe1 dengan
riwayat penyakit lama. Pada awalnya, pasien memperlihatkan hiperfiltrasi,
ditandai dengan nilai GFR yang tinggi, kira - kira dua kali dari nilai normal
dan adakalanya dengan kejadian mikroalbuminuria (Sukandar,2011).
Komplikasi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan
gangguan fungsi ginjal yang progresif dengan ekskresi protein pada urin
yang berlanjut dengan penurunan fungsi ginjal. Proteinuria pada
umumnya ditemukan dalam perjalanan penyakit ginjal progresif, peran
proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda awal nefropati
diabetik. disebut sebagai faktor kunci awal yang meramalkan progresivitas
dari glomerulopati diabetik dan dipandang sebagai ukuran keparahan dan
pemicu terjadinya nefropati yang progresif.
Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal
ginjal terminal yang memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok
ginjal. (Corwin, 2009).

1
B. Etiologi
Faktor risiko DKD secara konseptual dapat diklasifikasikan sebagai
faktor kerentanan (misalnya usia, jenis kelamin, ras / etnis, dan riwayat
keluarga), faktor inisiasi (misalnya, hiperglikemia dan AKI), dan faktor
perkembangan (misalnya, hipertensi, faktor makanan, dan obesitas). Dua
faktor risiko yang paling menonjol adalah hiperglikemia dan hipertensi.
1. Hiperglikemia

Pada pasien normoalbuminuric dengan DM1, kontrol glikemik


yang buruk merupakan prediktor independen dari perkembangan
perkembangan proteinuria (albuminuria) dan / atau ESRD. Dua uji coba
tengara yang dilakukan dengan pasien dengan DM1 tahap awal atau DM2
menunjukkan bahwa kontrol glukosa darah intensif pada awal perjalanan
penyakit menunjukkan efek menguntungkan jangka panjang pada risiko
perkembangan DKD. Ini "efek warisan," juga bernama "memori
metabolik," menunjukkan bahwa kontrol glikemik intensif awal dapat
mencegah kerusakan permanen, seperti perubahan epigenetik, terkait
dengan hiperglikemia .

2. Hipertensi

Hipertensi adalah faktor resiko sangat penting sebagai penyebab DKD


terutama resiko ini akan diperberat dengan adanya kontrol glikemik yang
buruk. Jika kontrol glikemik yang baik, resiko ini tetap lebih besar tetapi
progresivitas DKD dapat di tunda. Meningkatnya tekakan darah sistolik
merupakan indikator klasik adanya komplikasi ginjal. Peningkatan
tekanan darah berbanding lurus dengan meningkatnya albuminuria.
C. Patofisiologi

1. Teori Vaskular

Proses terjadinya DKD melibatkan kelainan vaskular. Penelitian


membuktikan bahwa hiperglikemia yang berkepanjangan merangsang

2
pembentukan radikal bebas oksidatif (reactive oxygen species). Radikal
bebas ini merusak endotel vaskular dan menetralisasi Nitric Oxide (NO)
sehingga menyebabkan vasodilatasi mikrovasular terhambat. Kejadian
neuropati yang disebabkan kelainan vaskular dapat dicegah dengan
modifikasi faktor resiko kardiovaskular yaitu hipertensi, kadar trigliserida
tinggi, indeks massa tubuh dan merokok (Subekti, 2009).
2. Teori Metabolik

Perubahan metabolisme polyol pada saraf adalah faktor utama


patogenesis neuropati diabetik. Aldose reduktase dan koenzim
Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH) mengubah
glukosa menjadi sorbitol (polyol). Sorbitol diubah menjadi fruktosa oleh
sorbitol dehidrogenase dan koenzim Nicotinamide Adenine Dinucleotide
(NAD+). Kondisi hiperglikemia meningkatkan aktifitas aldose reduktase
yang berdampak pada peningkatan kadar sorbitol intraseluler dan tekanan
osmotik intraseluler. Kondisi tersebut menyebabkan abnormalitas fungsi
serta struktur sel dan jaringan (Kawano, 2014).
Hiperglikemia persisten juga menyebabkan terbentuknya senyawa
toksik Advance Glycosylation End Products (AGEs) yang dapat merusak
sel saraf. AGEs dan sorbitol menurunkan sintesis dan fungsi Nitric Oxide
(NO) sehingga kemampuan vasodilatasi dan aliran darah ke saraf
menurun. Akibat lain adalah rendahnnya kadar mioninositol dalam sel
saraf sehingga terjadi neuropati diabetik (Subekti, 2009).
Kondisi hperglikemia mendorong pembentukan aktivator protein
kinase C endogen. Aktivasi protein kinase C yang berlebih menekan
fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraselular berlebih. Kadar Na
intraseluler yang berlebih menghambat mioinositol masuk ke sel saraf.

3
Akibatnya, transduksi sinyal saraf terganggu (Subekti, 2009). Aktivasi
protein kinase C juga menyebabkan iskemia serabut saraf perifer melalui
peningkatan permeabilitas vaskuler dan penebalan membrana basalis yang
menyebabkan neuropati (Kawano, 2014).
3. Teori Nerve Growth Factor (NGF)

NGF adalah protein yang dibutuhkan untuk meningkatkan


kecepatan dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Kadar NGF
cenderung menurun pada pasien diabetes dan berhubungan dengan tingkat
neuropati (Subekti, 2009). Penurunan NGF mengganggu transport aksonal
dari organ target menuju sel (retrograde) (Prasetyo, 2011).
NGF juga berfungsi meregulasi gen substance P dan Calcitonin-
Gen-Regulated Peptide (CGRP) yang berperan dalam vasodilatasi,
motilitas intestinal dan nosiseptif. Menurunnya kadar NGF pada pasien
neuropati diabetik, dapat menyebabkan gangguan fungsi-fungsi tersebut
(Subekti, 2009)

4
 Faktor genetic Penumpukan gula
 Infeksi virus Ketidakseimbangan Gula dalam darah tidak dapat dibawa darah di vaskuler
 Pengrusakan imunologik Keruskan sel beta
produksi insulin masuk dalam sel
Peningkatan
tekanan darah
Glukosuria Batas melebihi ambang ginjal Hiperglikemia Anabolisme protein menurun
Peningkatan
kinerja ginjal
Dieresis osmotik
Vikositas darah meningkat Kadar gula meningkat Kerusakan pada antibodi

Ketidak stabilan kadar Kerusakan


Poliuri-Retensi urine Aliran darah lambat Kekebalan tubuh menurun Glomerulus pada
glukosa darah
ginjal
Kehilangan elektrolit dalam sel Iskemik jaringan
Resiko infeksi Neuropati sensori perifer
Hipoternimia
Perfusi perifer tidak efektif
dehidrasi (ginjal) Nekrosis luka Klien tidak merasa sakit
Penurunan tekana
onkotik

Kehilangan kalori Gangrene Kerusakan integritas jaringan


Hypolemia
Merangsang hipotalamus Sel kekurangan bahan untuk metabolisme Protein dan lemak dibakar
Peningkatan sekresi
ADH dan aldesteron
BB menurun
Merangsang hipotalamus
keletihan Ansietas Reabsorsi Na & AI
Nyeri akut
Edema
Pusat lapar dan haus
Kelebihan volume

Polidipsia dan polipagia

Defisit Nutrisi cairan / hipervolem

5
D. Manifestasi Klinis

1. Neuropati Perifer

Neuropati Perifer merupakan kerusakan saraf pada lengan dan


tungkai. Biasanya terjadi terlebih dahulu pada kaki dan tungkai
dibandingkan pada tangan dan lengan. Gejala neuropati perifer meliputi:
a. Mati rasa atau tidak sensitif terhadap nyeri atau suhu

b. Perasaan kesemutan, terbakar, atau tertusuk-tusuk

c. Nyeri yang tajam atau kram

d. Terlalu sensitif terhadap tekanan bahkan tekanan ringan

e. Kehilangan keseimbangan serta koordinasi

Gejala-gejala tersebut sering bertambah parah pada malam hari.


Neuropati perifer dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya
refleks, terutama pada pergelangan kaki. Hal itu mengakibatkan
perubahan cara berjalan dan perubahan bentuk kaki, seperti hammertoes.
Akibat adanya penekanan atau luka pada daerah yang mengalami mati
rasa, sering timbul ulkus pada kaki penderita neuropati diabetik perifer.
Jika tidak ditangani secara tepat, maka dapat terjadi infeksi yang
menyebar hingga ke tulang sehingga harus diamputasi.

2. Neuropati Autonom

Neuropati autonom adalah kerusakan pada saraf yang


mengendalikan fungsi jantung, mengatur tekanan darah dan kadar gula
darah. Selain itu, neuropati autonom juga terjadi pada organ dalam lain
sehingga menyebabkan masalah pencernaan, fungsi pernapasan,
berkemih, respon seksual, dan penglihatan.
3. Neuropati Proksimal

6
Neuropati proksimal dapat menyebabkan rasa nyeri di paha,
pinggul, pantat dan dapat menimbulkan kelemahan pada tungkai.
4. Neuropati Fokal

Neuropati fokal dapat menyebabkan kelemahan mendadak pada


satu atau sekelompok saraf, sehingga akan terjadi kelemahan pada otot
atau dapat pula menyebabkan rasa nyeri. Saraf manapun pada bagian
tubuh dapat terkena, contohnya pada mata, otot-otot wajah, telinga,
panggul dan pinggang bawah, paha, tungkai, dan kaki.
E. Pemeriksaan Diagnostik DKD

National Kidney Foundation / Kidney Disease qualitative initiative


(NKF-KDOQI, 2007) merekomendasikan skrining DKD dilakukan setelah 5
tahun terdiaknosa DM baik pada tipe I ataupun tipe II. Pemeriksaan meliputi
albumin kreatinin rasio dari urin sewaktu, pengukuran serum kreatinin dan
laju filtrasi glomerulus (LFG). Peningkatan albumin kreatini rasio harus
dengan penapisan infeksi saluran kemih (SK) oleh karena itu
direkomendasikan pemeriksaan mikro albuminuria dilakukan dua kali dengan
jarak 3-6 bulan mikro albuminuria adalah peningkatan albumin kreatinin
rasio sebesar 30-300 mg/gr. Sementara makro albominuria adalah
peningkatan albumin kreatinin rasio sebesar > 300mg/ gr. Status hidrasi dapat
mempengaruhi konsentrasi albumin urin. Pengukuran albumin kreatinin
rasion direkomendasikan menggukan urin sewaktu dan menghindari urin pagi
(bangun tidur).
1. Manajemen DKD

Manajemen DKD untuk meningkatkan status fungsional, qualitas


hidup, dan kepatuhan dengan program pentalaksanaan, disamping itu
untuk menurunkan progresifitas penyakit dan terjadinya komplikasi

7
kardiovaskuler. Secara farmakoterapi, pengobatan DKD meliputi
pengandelaian hipertensi, kontrol glikemik dan disiplinpidemia. Hal
lainnya adalah skrining untuk adanya komplikasi mikrovaskuler yang lain
seperti: retinopati dan neuropati. Disamping itu penatalaksanaan non
farmatologi pengaturan diet (rendah protein), rendah garam asupan cairan
dan elektrolit, dan pendidikan kesehatab untuk meningkatkan kemampuan
self manajemen dan modifikasi gaya hidup.
Individu dengna DM diabetes mellitus tipe II yang menjalani
hemodialisis rutin memiliki kebutuhan yang lebih khusus dibandingkan
individu terminal non diabetic. Pengontrolan glikemik yang baik
merupakan inti perawatan diabetes yang baik pada individu yang
menjalani dialysis kontrol glikemik. Intensif membutuhkan perhatian
khusus karena kondisi GFR yang rendah beresiko tinggi untuk mengalmi
hipoglikemik. Pemilihan jenis obat hipoglikemik oral (OH) lebih terbatas
karena harus menyesuaikan dengan kemampuan bersihan ginjal dan efek
samping obat terhadap beban ginjal hampir semua golongan OH kontra
indikasi untuk pasien gagal ginjal terminal. Bebrapa obat yang masih
diijinkan untuk diberikan pada pasien dialysis dengan dosis paling rendah
adalah golongan sulfonil urea generasi ke II (glimefirit 1 mg/ hr),
thiasolidinedione (fioglitazone 15-30 mg/hr) DPP- 4 inhibitor (sitagliptin
25 mg/ hr, saxagliptin 2.5 mg/ hr, dan alogliptin 6.25 mg/ hr).
F. Penatalaksanaan DKD

1. Tahap I dan II

Meliputi pengendalian glikemik dengan cara perencanaan makan,


terapi insulin dan obat hipoglikemi oral (OHO). Penentuan diet harus
memperhatikan adanya penyakit penyerta yang lain seperti dislipidemia,

8
gout arthritis, hipertensi. Optimalisasi terapi insulin eksogen harus
optimal karena dapat mencegah kerusakan glomerulus lebih lanjut,
mencegah reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal, mengurangi dan
menghambat stimulasi growth hormone dan insulin-like growth factor
(IGF-I), mengurangi tekanan kapiler di glumerulus. Pemilihan OHO harus
memperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik, serta adakah efek
retensi Na+ yang akan memperberat hipertensi.
Pengendalian hipertensi sangat bermanfaat untuk mencegah risiko
komplikasi kardiovaskular dan progresivitas DKD. Pengendalian
mikroalbuminuria dengan pembatasan intake protein hewani (0,6-0,8
gr/kgBB/hr) sangat penting untuk mencegah progresivitas DKD. Pada
pasien dengan dislipidemia (LDL >100mg/dl) harus mendapatkan
pengobatan statin untuk mencegah komplikasi kardiovaskular .
2. Tahap 3 dan 4

Manajemen utama pada fase ini terkait pengendalian hipertensi


dengan diet rendah garam (5gr/hr) untuk mencegah retensi Na+. target
tekanan darah bagi pasien dengan penurunan fungsi ginjal adalah 130/85
mmHg. Pengendalian mikroalbuminuria dengan diet rendah protein (0,6-
0,8 gr/kgBb/hr), serta optimalisasi terapi hiperglikemi dengan insulin dan
OHO. Pemilihan OHO yang diekskresikan di ginjal tidak dianjurkan
karena bahaya akumulasi disertai hipoglikemia. Manajemen substitusi
terkait adanya komplikasi yang lain, seperti retinopati, manajemen
penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, serta pengendalian
dislipidemia. Pasien DKD tahap 3 dan 4 dengan LDL >100mg/dl harus
mendapat pengobatan dengan statin untuk mencapai target LDL < 70 mg.

9
Hal ini bertujuan untuk menurunkan progresivitas DKD dan mencegah
komplikasi kardiovaskular .

3. DKD tahap akhir

Pada fase ini dibutuhkan terapi ginjal pengganti (TPG), seperti :


hemodialisis (HD), peritoneal dialisis (PD), atau transplantasi ginjal.
Pemilihan TPG bersifat individual, diperlukan pemberian informasi yang
adekuat agar pasien dan keluarga memiliki gambaran tentang kelebihan
dan kekurangan masing-masing modalitas sehingga dapat menentukan
pilihan. Penjelasan lebih lanjut akan diuraikan pada pembahasan
selanjutnya.

Penatalaksanaan yang berfokus pada terapi farmakologi adalah hal


umum yang biasa dilakukan di klinik. Akan tetapi sejumlah penelitian
membuktikan bahwa tindakan lain sebagai pendamping terapi farmakologi
penting diperhatikan dalam manajemen DKD. Seperti : penatalaksanaan
diet, (pembatasan) asupan cairan, kebutuhan keseimbangan elektrolit,
aktivitas dan olahraga, serta edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan
kepatuhan terhadap program terapi. Edukasi pada pasien DM dengan
dialisis yang dilakukan secara intensif saat tindakan di ruangan dialisis
terbukti sangat menunjang dan efektif dalam meningkatkan kepatuhan
pasien untuk mencapai kontrol glikemik dan kualitas hidup yang baik.
Pemberian pendidikan kesehatan yang dilakukan perawat dan edukator
terlatih lainnya terbukti efektif dalam mencapai target berat badan ideal,
HbA1c dalam rentang normal, meningkatkan pengetahuan tentang diet
DM, meningkatnya keterampilan dalam menyuntik insulin, dan
membaiknya penampilan secara psikologis.

1
Hemodialisa

Terapi Pengganti Ginjal (TPG) merupakan modalitas yang harus


dijalani oleh individu dengan gagal ginjal terminal dengan GFR <15
ml/mnt/1,73 m3. Para ahli sepakat bahwa inisiasi dialisis harus segera
dilakukan pada gagal ginjal terminal diabetik dibanding non-diabetik.
Dialisis lebih awal (terutama dengan peritoneal dialisis) pada DKD tahap
akhir penting untuk menjaga fungsi ginjal yang masih tersisa. HD inisiasi
bisa lebih awal dimulai jika ditemukan gejala klinis hipervolemia, tekanan
darah tidak terkontrol, anoreksia, mual muntah akibat hiperuremia dan
gastroparesis. Pada kondisi ini temuan klinis lebih menjadi pertimbangan
daripada hasil pemeriksaan penunjang. Pemilihan akses vaskuler untuk
hemodialisis menjadi hal penting yang harus diperhatikan untuk
meningkatkan efektivitas HD.
Manajemen Tekanan Darah
Tekanan darah cenderung tinggi pada pasien diabetes
dibandingkan pada pasien non-diabetes karena meningkatnya pertukaran
natrium. Hal ini menyebabkan risiko hipervolemia lebih tinggi.
Menurunkan tekanan darah secara agresif dengan mengurangi volume
harus dihindari karena risiko hipotensi intradialisis dan akan mengganggu
perfusi koroner. Pendekatan paling efektif untuk kontrol hipertensi pada
individu HD adalah dengan diet rendah natrium, meningkatkan waktu
dialisis, mengatur ultrafiltrasi dialisis, memilih dialisat dengan konsentrasi
rendah natrium, tidak minum obat antihipertensi menjelang HD, mengatur
ultrafiltrasi, terapi eritropoetin stimulazing agent (ESA), pertahankan
hematokrit >30%, gunakan dialisat bikarbonat.
Manajemen Kontrol glikemik
Kontrol glikemik pada pasien yang menjalani dialisis bertujuan
untuk menjaga kadar glukosa darah yang sifatnya sesaat dan jangka
panjang. Pada pasien yang menjalani dialisis sangat penting karena

1
hiperglikemi menyebabkan haus, rasa ingin banyak minum, dan kondisi
hipervolemia dapat meningkatkan shif cairan dan kalium ke ekstrasel
sehingga menyebabkan hiperkalemia. Terapi farmakologi pada pasien
dialisis harus mempertimbangkan dampak terhadap penurunan fungsi
ginjal. Disamping itu perlu dilakukan penyesuaian dosis insulin dan OHO
untuk menjaga kadar glukosa darah tetap normal terutama 24 jam
pertama pada hari dilakukannya HD karena risiko tinggi terjadinya
hipoglikemi.

Terdapat beberapa parameter pengukuran kontrol glikemik,


seperti: HbA1c, Glycated albumin, dan fructosamine, Self Monitoring of
Blood Glucose (SMBG) dan Continuos Glucose Monitoring System
(CGMS) (Tuttle, 2014). HbA1c adalah parameter yang paling umum
digunakan untuk menilai kontrol glikemik. Akan tetapi pengukuran
HbA1c pada pasien gagal ginjal terminal dapat menjadi bias karena
kondisi sel darah merah yang berusia pendek, defisiensi besi, transfusi,
dan penggunaan erythropoietin stimulating agent (ESA).

Glycated albumin, dan fructosamine adalah parameter lain yang


masih jarang digunakan karena lebih jarang tersedia dan adanya kondisi
khusus yang dapat terjadi pada gagal ginjal seperti adanya inflamasi,
gangguan metabolism protein, peritoneal dialisis, proteinuria, transfusi
albumin, atau kondisi gastrointestinal protein losses. Oleh karena itu
untuk kebutuhan dalam membuat keputusan klinik seperti evaluasi
pemberian dosis terapi lebih sering menggunakan hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah dengan SMBG.

Manajemen dislipidemia

Dislipidemia pada pasien yang mejalani HD dapat meningkatkan


risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular. Sebanyak 80% pasein DMT2

1
dapat mengalami komplikasi kardiovaskular sehingga penanganan
dislipidemia menjadi sangat penting, target LDL pada pasien DKD adalah
<100 mg/dl, dan < 70mg/dl bagi yang sedang dengan pengobatan statin.
Pada pasien HD (DKD tahap 5) mulai pemberian terapi statin dapat dinilai
terlambat kecuali diberikan terutama jika pasien sedang mendapat
pengobatan kardiovaskular. Pemeriksaan profil lipid direkomendasikan
diulang setelah 2-3 bulan untuk menilai efektivitas pengobatan.

Manajemen nutrisi

Pendekatan terapi nutrisi untuk mengurangi progresivitas DKD


masih menjadi perdebatan. Intake protein rendah berisiko menyebabkan
malnutrisi, sementara tinggi protein dapat memperburuk albuminuria,
penurunan fungsi renal secara cepat, dan risiko mortalitas akibat kompliksi
kardiovaskular. National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome
Quality Initiative merekomendasikan intake protein 0,8gr/kgBB/hari bagi
pasien dewasa dengan GFR <30 ml/mnt/1,73m3, dengan disertai edukasi
perencanaan makan. Sementara pasien gagal ginjal terminal asupan
protein yang direkomendasikan adalah 1,2 gr/kgBb/hr bagi yang menjalani
HD rutin, dan 1,2- 1,3 gr/kgBB/hr bagi pasien yang menjalani peritoneal
dialisis. Konsumsi kalium dan posfor dibatasi untuk pasien dialisis.
Pembatasan asupan garam juga penting, oleh karena itu pasien dialisis
harus menghindari makanan dengan kadar natrium tinggi, seperti makanan
yang diawetkan dan fast food
Manajemen Anemia

Individu dengan DKD cenderung mengalami anemia yang lebih


parah daripada non-diabetik. Kadar eritropoetin yang rendah berhubungan

1
dengan penurunan fungsi renal dan retinopati diabetik yang progresif.
Anemia umumnya mulai terjadi pada gagal ginjal kronik tahap 3 dan
hampir selalu ditemukan pada stadium 5. Kidney Disease: Improving
Global Outcomes merekomendasikan pemberian Eritropoetin Stimulazing
Agent (ESA) mulai diberikan pada kisaran Hb 9-10 mg/dl untuk mencegah
penurunan Hb <9 mg/dl. Target hemoglobin (Hb) pada pasien HD yang
mendapat ESA adalah 10-12 g/dl. Agar respon eritropoesis optimal, maka
status besi (serum Fe) harus cukup sebelum mulai pemberian ESA. Status
besi cukup menurut standar Pernefri (2011), yaitu saturasi transferin ≥20
%, feritin serum ≥200 ng/ml.

Menurut konsensus Pernefri, penatalaksanaan anemia dengan


transfusi darah hanya dilakukan pada kondisi khusus, seperti : Hb <7 g/dl,
perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik, pasien yang akan
menjalani operasi. Pemberian ESA tetap lebih diutamakan daripada
transfusi pada anemia renal. Target capaian Hb dengan transfusi adalah 7-
9 g/dl (berbeda dengan target ESA). Transfusi diberikan secara bertahap
untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan
hiperkalemi. Terapi nutrisi berperan dalam pengelolaan anemia renal,
asupan besi harus adekuat.

Manajemen Komplikasi Kardiovaskular

Penyakit jantung koroner adalah komplikasi yang paling sering


terjadi pada pasien diabetes (46,4%) dibanding non-diabetes (32,2%). Jika
pasien diabetes dengan HD mengalami sindroma koroner akut, maka
diprediksi tingkat survivalnya rendah (Herzog, Ma & Collins, 1998).
Terdapat beberapa prediktor terjadinya kematian akibat komplikasi
kardiovaskular pada individu diabetes, yaitu: riwayat penyakit vascular

1
(miokard infark atau angina pectoris), retinopati dan polineuropati
(ketidakseimbangan persarafan otonom di jantung), kadar lipid serum.
Studi prostektif melaporkan prediktor terkuat kematian akibat penyakit
jantung adalah merokok seperti halnya dan kontrol glikemik yang buruk
pada pasien diabetes dengan dialisis.

Tahapan Nefropati Diabetikum Oleh Mogensen


Tahap Kondisi Ginjal AER LFG TD Prognosis
1 Hipertrofi Hiperfungsi N > N Reversible
2 Kelainan Struktur N >/N >/N Mungkin Reversible
3 Mikroalbuminuria persisten 20-200 > > Mungkin reversibel
>200 <10
4 Makroalbuniauria proteinuria hipertensi Mungkin bisa stabilisasi
mg/menit ml/menit
5 Uremia Tinggi/renda hipertensi Kesintasan 20 tahun+50%
AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus (GFR), N = Normal, TD = Tekanan
Darah

1
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Menurut (Robert Priharjo, 2007)

1. Identitas

Nama, usia (jenis kelamin, status, agama, alamat, tanggal MRS, diagnosa
masuk. Pendidikan dan pekerjaan, orang dengan pendapatan tinggi
cenderung mempunyai pola hidup dan pola makan yang salah. Cenderung
untuk mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan lemak
yang berlebihan. Penyakit ini biasanya banyak dialami oleh orang yang
pekerjaannya dengan aktivitas fisik yang sedikit

2. Keluhan utama

Penglihatan kabur, lemas, rasa haus dan banyak kencing, dehidrasi, suhu
tubuh meningkat, sakit kepala. Tremor, perspirasi, takikardi, palpitasi,
gelisah, rasa lapar, sakit kepala, susah konsentrasi, vertigo, konfusi,
penurunan daya ingat, patirasa di daerah bibir, pelo, perubahan emosional,
penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang

Dominan muncul adalah sering kencing, sering lapar dan haus, berat badan
berlebih. Biasanya penderita belum tahu kalau itu penyakit DM, baru tahu
setelah memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.
4. Riwayat kesehatan dahulu

DM dapat terjadi saat kehamilan, penyakit pankreas, gangguan


penerimaan insulin, gangguan hormonal, konsumsi obat-obatan seperti

1
glukokortikoid, furosemid, thiazid, beta bloker, kontrasepsi yang
mengandung estrogen
5. Riwayat kesehatan keluarga

Menurun menurut silsilah karena kelainan gen yang mengakibatkan


tubuhnya tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik.
6. Pemeriksaan Fisik

a. Aktivitas dan Istirahat

Gejala: lemah, letih, sulit bergerak atau beijalan, kram otot, tonus otot
menurun, gangguan istirahat dan tidur.
Tanda: takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan
aktivitas, letargi, disorientasi, koma.
b. Sirkulasi

Gejala: adanya riwayat penyakit hipertensi, inpark miokard akut,


klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki,
penyembuhan yang lama. Tanda: takikardia, perubahan TD postural,
nadi menurun, disritmia, krekels, kulit panas, kering dan kemerahan,
bola mata cekung.
c. Integritas ego

Gejala: stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang


berhubungan dengan kondisi.
Tanda: ansietas, peka rangsang.

d. Eliminasi

Gejala: perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri


terbakar, kesulitan berkemih, ISK, nyeri tekan abdomen, diare.
Tanda: urine encer, pucat, kuning, poliuri, bising usus lemah,
hiperaktif pada diare.

1
e. Makanan dan cairan

Gejala: hilang nafsu makan, mual muntah, tidak mengikuti diet,


peningkatan masukan glukosa atau karbohidrat, penurunan berat
badan, haus, penggunaan diuretik.
Tanda: kulit kering bersisik, turgor jelek, kekakuan, distensi abdomen,
muntah, pembesaran tiroid, napas bau aseton.
f. Neurosensori

Gejala: pusing, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parastesia,


gangguan penglihatan.
Tanda: disorientasi, mengantuk, letargi, stupor/koma, gangguan
memori, refleks tendon menurun, kejang.
g. Pernapasan

Gejala: merasa kekurangan oksigen, batuk dengan atau tanpa sputum.


Tanda: pernapsan cepat dan dalam, frekuensi meningkat.
h. Seksualitas

Gejala: rabas vagina, impoten pada pria, kesulitan orgasme pada


wanita.
B. Diagnosa Keperawatan

Menurut PPNI, 2017.


1. Defisit Nutrisi

Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan


metabolik.
2. Ketidak Stabilan Kadar Glukosa darah

Defenisi : Variasi kadar glukosa darah naik/turun dari rentang normal

3. Nyeri akut

1
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari
3 bulan.
4. Perfusi perifer tidak efektif

Definisi : Penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat menggangggu


kesehatan.
5. Keletihan

Defenisi : Penurunan kapasitas kerja fisik dan mental yang tidak pulih
dengan istirahat.
6. Gangguan integritas kulit/jaringan.

Definisi : Kerusakan kulit (dermis atau epidermis).

7. Ansietas

Definisi : Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai


respon otonom, atau perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi
terhadap bahaya.
8. Kelebihan volume cairan/ hipervolemia

Defenisi : Beresiko mengalami penurunan, peningkatan atau percepatan


cairan dari intravaskuler, interstisial atau intraseluler.
9. Resiko infeksi

Definisi : Rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik


yang dapat mengganggu kesehatan.

B. Rencana Keperawatan

Berikut ini tabel yang akan menggambarkan diagnose keperawatan yang


mungkin dapat ditemukan pada kasue DKD dengan Hd kronik.

1
Diagnosis Keperawatan (SDKI) Luaran Keperawatan Intervensi (NIC) Rasional

Defisit Nutrisi; b.d. gangguan nutris membaik 1. Kaji status nutris 1. pengkajian penting dilakukan untuk mengetahu
penyerapan nutrisi di sel, insufisiensi 2. Monitor adanya penurunan berat badan status nutrisi pasien sehingga dapat menentuka
asupan nutrisi, asupan berlebih dalam 3. Berikan makanan yang terpilih (sudah intervensi yang diberikan
kaitannya dengan kebutuhan metabolic dikonsultasikan dengan ahli gizi) : diet pasien 2. penurunan BB menandakan asupan makana
diabetes mellitus yang tidak terkontrol ataupun gangguan pad
4. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi penyerapan nutrisi
5. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang diet Yakinkan 3. untuk membantu memenuhi kebutuhan nutris
diet yangdibutuhkan pasien
4. untuk menyesuaikan berapa jumlah nutrisi yan
dibutuhkan pasien
5. untuk mengatur nutrisi dan diet gula
Ketidakstabilan kadar glukosa darah Kadar glukosa dalam 1. Pemantauan kadar glukosa darah 1. untuk mengetahui kondisi glukosa dalam darah
b.d.resistensi insulin, ketidakmampuan darah membaik (stabil) 2. Monitoring tanda-tanda hiperglikemia apakah mengalami peningkatan atau
pankreas mensekresi insulin, kurangnya seperti poliuri, polidipsia, polifagi dan penurunan
kepatuhan manajemen diabetes, keletihan 2. Poliuri, polidipsia, polifagi dapat memperparah
monitoring kadar glukosa darah yang 3. Pemberian karbohidrat sederhana kondisi keletihan yang dialami pasien
inadekuat, manajemen terapi yang 4. Managemen hiperglikemi 3. menjaga keseimbangan glukosa dalam darah
inadekuat 5. Konsultasikan dengan dokter jika tanda dan 4. dapat memanajemen diabetes yang
gejala hiperglikemik memburuk dialami pasien dan mengetahui bagaimana
cara penanganan terhadap hiperglikemi
5. Mengantisipasi dan menghambat keparahan
yang diakibatkan oleh hiperglikemik

2
Kelebihan volume cairan/ hiervolemia Keseimbangan cairan 1. monitoring status hidrasi pasien 1. kelembaban mukosa menandakan bahwa
b.d. perubahan status cairan, kelebihan membaik 2. Batasi intake cairan intake cairan telah adekuat (kelembaban
volume cairan, kegagalan mekanisme 3. Timbang berat badan pasien membrane mukosa dan nadi adekuat.
regulator, diuresis hyperglikemia, 4. kolaborasi dengan dokter jika ada tanda cairan 2. mempertahankan keseimbangan cairan
poliuri, muntah,diare,perunan berlebih muncul memburuk 3. peningkatan BB menandakan asupan
asupan oral, dehidrasi . makanan dan cairan yang tidak terkontrol
4. Agar dapat menghambat dan mencegah
keparaha yang ditimbulkan karena kesalahan
masukan
cairan
Risiko infeksi b.d. peningkatan kadar Status imun dan 1. Mencuci tangan setiap sebelum dan 1. tindakan aseptic meminimalkan terjadinya infeksi
glukosa darah, menurunnya fungsi Pengetahuan tentang sesudah tindakan keperawatan
2. untuk mengetahui pada daerah mana saja
leukosit, gangguan sirkulasi, cara menghindari infeksi
2. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local berresiko terhadap infeksi serta penyebaran dari
mekanisme pertahanan primer membaik
infeksi tersebut
inadekuat 3. Monitor hitung granulosit, WBC
3. untuk mengetahui jumlah kadar leukosit
4. Inspeksi kulit dan membrane mukosa
akibat adanya gangguan system kekebalan
terhadap kemerahan, panas, drainase
tubuh
5. Berikan terapi antibiotic
4. kemerahan merupakan tanda adanya infeksi
6. Ajarkan pasien cara menghindari infeksi
5. untuk proteksi terhadap infeksi
6. mencegah terpapar ataupun kembali terinvasi
infeksi

2
Keletihan b.d. penurunan produksi Keletihan yang dirasakan 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam 1. untuk mengetahui batasan aktivitas klien
energi metabolik, hipermetabolisme Berkurang melakukan aktivitas 2. sebagai landasan membuat intervensi selanjutnya
(infeksi), gangguan kimiawi tubuh 2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan ketihan 3. nutrisi yang adekuat menghasilkan energy
3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat 4. untuk memenuhi kebutuhan klien
4. Bantu aktivitas sehari-hari sesuai dengan 5. untuk memenuhi kebutuhan energi
kebutuhan
5. Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan
asupan makanan yang berenergi tinggi : untuk
pasien DM
Nyeri akut/kronik b.d. agen cedera Nyeri yang dirasakan 1. Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif 1. menegtahui tingkatnyeri yang dirasakan klien da
(biologis, kimia, fisik), berkurang termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi dan untuk menentukan intervensi selanjutnya
kerusakanjaringan, dan disfungsi saraf kualitas 2. reaksi nonverbal dapat menun jukkan tingka
perifer /neuropati, 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan nyeri yang dirasakan klien
3. Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, 3. teknik non-farmakologi dapat membantu pasie
distraksi dll) untuk mengetasi nyeri untuk mengurangi nyeri yang dirasakan
4. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 4. pemberian obat analgetik dapat mengurangi nyeri
5. menambah pengetahuan klien dan keluarg
5. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
tentang penyakit yang dialami
nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang

Perfusi perifer tidak efektif (ginjal) b.d. Perfusi perifer membaik 1. Pantau tanda-tanda vital 1. terjadi perubahan pada TD, respirasi dan Nad
kerusakan transport oksigen melalui 2. Kaji secara komprehensif sirkulasi perifer menandakan terjadinya gangguan pada tubuh
membrane kapiler, asidosis metabolic, 3. Evaluasi nadi perifer dan edema 2. sirkulasi perifer dapat menunjukan tingka
Hipovolemia 4. Monitor laboratorium ( Hb, Hmtc) keparahan penyakit
3. pulsasi yang lemah menimbulkan ↓ cardiac outpu
4. nilai laboratorium dapat menunjukan komposis
darah

Gangguan integritas kulit/jaringan b.d. Gangguan integritas kulit 1. Monitor kulit akan adanya kemerahan 1. kemerahan menandakan adanya peradangan ata
gangguan sirkulasi, gangguan mobilitas membaik 2. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering kerusakan berarti pada kulit

2
fisik, faktor mekanik (tekanan, gesekan) 3. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang 2. kulit bersih dapat menghindari pembentuka
longgar ataupun perkembangan kuman dan bakteri yan
4. Bersihkan area sekitar jahitan, menggunakan lidi memicu kerusakan pada kulit
kapas steril 3. karena pakaian yang longgar tidak akan meneka
5. Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau kulit yang memicu timbul rasa nyeri ataupun
biarkan luka tetap terbuka sesuai program gata
6. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua 4. mencegah terjadinya infeksi dan mempercepa
jam sekali proses penyembuhan
5. mencegah terjadinya infeksi
6. melancarkan sirkulasi darah ke bagian tubuh da
mencegah dekubitus
Ansietas b.d. perubahan satatus Cemas pasien berkurang 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan 1. memberikan rasa nyaman kepada pasien
kesehatan. 2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan 2. agar klien dapat mengerti dan memaham
selama prosedur prosedur yang akan dilaksanakan
3. Instruksikan kepada pasien untuk menggunakan 3. dapat mengurangi kecemasan pasien
teknik relaksasi 4. support dari keluarga dapat mengurang
4. Libatkan keluarga untuk mendampingi pasien kecemasan pasien
5. Kolaborasi pemberian obat anti cemas 5. pemberian obat cemas dapat menurunka
kecemasan pasien

2
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC

Hananta, P. Yuda Dan Harry Freitag. 2011. Deteksi Dini Dan Pencegahan

7 Penyakit Penyebab Mati Muda. Medpress: Yogyakarta.

Kawano, T. (2014). A Current Overview of Diabetic Neuropathy -


Mechanisms, Symptoms, Diagnosis, and Treatment. INTECH

Mansjoer, A. 2007. Kapita selekta kedokteran. Media aeskulapius: Jakarta.

Robert Priharjo, 2007. Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi 2. Jakarta:


ECG

Subekti I., 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam: Neuropati Diabetik, Jilid III,
Edisi 4, Jakarta: FK UI pp. 1948.

Sukandar,Enday.2011.Nefrologi klinik edisi III. Pusat informasi ilmiah


bagian ilmu penyakit dalam kedokteran UNPAD/R.S. Dr. Hasan
Sadikin. BandungSundoyo, Ari W, dkk. (Juni 2016),

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonsia, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai