Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN KASUS Ny.

A DENGAN SLE+ FEBRIS


DI RUANG BAJI NYAWA RSUD LABUANG BAJI
MAKASSAR

Kelompok IV A:
 Winda Puspita ( 2204005 )
 Vebe Siska Sampe Alik ( 2204006 )
 Stevanny Andreaana ( 2204023 )
 Novi ( 2204022 )
 Mulyati ( 2204030 )
 Nurlia ( 2204018 )
 Widiah Samsir ( 2204038 )

CI INSTITUSI CI LAHAN

(……………………….) (…………………………)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
2022/2023
I. Konsep Medis
I.1. Defenisi
1. SLE
SLE (Systemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang atau
inflamasi multisistem  yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and
Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun
berupa peningkatan sistem   imun   dan    produksi    autoantibodi    yang   
berlebihan    (Albar, 2003).
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandaiadanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh.Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun sehinggamengakibatkan kerusakan jaringan.( Lamont, David E,
DO ;2006 )
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suaru penyakit yang tidak jelas
etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan
kompleks imun yang ditujukan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel.
(Leveno, Kenneth J. ; 2009)
2. Febris
Febris (demam) yaitu meningkatnya temperature tubuh secara
abnormal (Asuhan Keperawatan Anak 2001).
Febris (demam) yaitu meningkatnya suhu tubuh yang melewati batas
normal yaitu lebih dari 38 0C (Fadjari Dalam Nakita 2003).
Febris (demam) yaitu merupakan rspon yang sangat berguna dan
menolong tubuh dalam memerangi infeksi (KesehatanAnak 1999).
Menurut Suriadi (2001), demam adalah meningkatnya temperatur suhu
tubuh secara abnormal.
Tipe demam yang mungkin kita jumpai antara lain :
a. Demam septic
Suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam
hari dan turun kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Sering disertai
keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun
ketingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
b. Demam remiten
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu
badan normal. Penyebab suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua
derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat demam septik.
c. Demam intermiten
Suhu badan turun ketingkat yang normal selama beberapa jam dalam
satu hari. Bila demam seperti ini terjadi dalam dua hari sekali disebut tersiana
dan bila terjadi dua hari terbebas demam diantara dua serangan demam disebut
kuartana.
d. Demam kontinyu
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada
tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
e. Demam siklik
Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh
beberapa periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti
oleh kenaikan suhu seperti semula.
Suatu tipe demam kadang-kadang dikaitkan dengan suatu penyakit tertentu
misalnya tipe demam intermiten untuk malaria. Seorang pasien dengan
keluhan demam mungkin dapat dihubungkan segera dengan suatu sebab yang
jelas seperti : abses, pneumonia, infeksi saluran kencing, malaria, tetapi
kadang sama sekali tidak dapat dihubungkan segera dengan suatu sebab yang
jelas. Dalam praktek 90% dari para pasien dengan demam yang baru saja
dialami, pada dasarnya merupakan suatu penyakit yang self-limiting seperti
influensa atau penyakit virus sejenis lainnya. Namun hal ini tidak berarti kita
tidak harus tetap waspada terhadap inveksi bakterial.
JENIS DEMAM CIRI-CIRI
Demam septik Malam hari suhu naik sekali, pagi hari turun hingga
diatas normal, sering disertai menggigil dan berkeringat
Demam remitten Suhu badan dapat turun setiap hari tapi tidak pernah
mencapai normal. Perbedaan suhu mungkin mencapai 2
derajat namun perbedaannya tidak sebesar demam
septik.

Demam Suhu badan turun menjadi normal selama beberapa jam


intermiten dalam satu hari. Bila demam terjadi dua hari sekali
disebut tertiana dan apabila terjadi 2 hari bebas demam
diantara 2 serangan demam disebut kuartana.
Demam kontinyu Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu
derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi
sekali disebut hiperpireksia
Demam siklik kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti
oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang
diikuti kenaikan suhu seperti semula

         (Nelwan, 2007).


I.2. Anatomi Fisiologi
I.3. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi Klinis SLE
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas
gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus
hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ
lainnya.
1) Sistem Muskuloskeletal
- Artralgia
- artritis (sinovitis)
- pembengkakan sendi,
- nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan
- rasa kaku pada pagi hari.
2) Sistem Integument (Kulit)
- Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi, dan
- Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3) Sistem kardiak
- Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4) Sistem pernafasan
- Pleuritis atau efusi pleura.
5) Sistem vaskuler
- Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
- eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6) Sistem perkemihan
- Glomerulus renal yang biasanya terkena
7) Sistem saraf
- Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup
seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
2. Manifestasi Klinik Febris
- Demam.
- Suhu meningkat > 37,10 C.
- Menggigil.
- Lesu, gelisah dan rewel serta sulit tidur.
- Berkeringat, wajah merah dan mata berair.
- Selera makan turun.
I.4. Etiologi
1. Etiologi SLE
Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui dengan pasti. Selain factor
keturunan (genetis) dan hormon, diketahui bahwa terdapat beberapa hal lain
yang dapat menginduksi SLE, diantaranya adalah virus (Epstain Barr), obat
(contoh : Hydralazin dan Procainamid), sinar UV, dan bahan kimia seperti
hidrazyn yang terkandung dalam rokok, mercuri dan silica.
Hormon estrogen dapat meningkatkan ekspresi system imun, sedangkan
androgen menekan ekspresi system imun. Hal ini menjelaskan mengapa SLE
cenderung lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria. virus (Epstain
Barr), obat obatan, dan bahan kimia dapat menyebabkan produksi antinuclear
antibody (ANA) yang menjadi salah satu autoantibodi. Bagaimana sinar
matahari dapat menyebabkan SLE masih belum dapat dimengerti sepenuhnya.
Salah satu penjelasan adalah DNA yang tekena sinar UV secara normal akan
bersifat antigenic, dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena
paparan sinar.
Penyebab utama terjadinya SLE adalah karena produksi antibody dan
pembentukan kompleks imun yang abnormal, sehingga dapat terbentuk
antibody terhadap multiple nuclear, sitoplasmik, dan komponen permukaan sel
dari berbagai tipe sel di berbagai system organ, dengan bantuan suatu penanda
Ig G dan factor koagulan. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa SLE
dapat menyerang berbagai system organ.
Pembentukan antibody yang berlebihan dapat dihasilkan oleh sel limfosit
B yang hiperaktif. Hal-hal yang dapat menyebabkan hiperaktifnya sel limfosit
B diantaranya adalah hilanya toleransi sel imun terhadap tubuh, bahan atau
cemaran dari lingkungan yang bersifat antigenic, adanya antigen terhadap sel
B dari sel B lainnya atau dari antigen pesaing cells (APCs), perubahan sel Th1
menjadi sel Th2 yang kemudian memicu produksi antibody sel B, dan supresi
sel B yang tidak sempurna.
Autoantibodi yang terbentuk umumnya menyerang bagian-bagian
penyusun nucleus dalam sel yang sering disebut antinuclear antibody (ANA).
Pada pasien SLE dapat ditemukan lebih dari satu macam ANA, yang dapat
menyerang berbagai system organ. Antibody yang terbentuk juga dapat
menyerang bagian fosfolipid dari activator kompleks protrombin
(antikoagulan lupus) dan kardiolipin (antikardiolipin). Antikoagulan lupus dan
antikardiolipin merupakan dua antibody yang termasuk kedalam golongan
antibody antifosfolipid. Beberapa antibody tersebut dapat muncul bertahun-
tahun sebelum diagnosis dapat ditegakkan, namun ada juga beberapa antibody
yang muncul dalam hitungan bulan sebelumnya.
Serangkaian reaksi akibat kerusakan regulasi system imun yang kemudian
memacu sel B untuk memproduksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun
yang diikuti oleh aktivasi komplemen, akan menyebabkan inflamasi dan
kerusakan pada berbagai jaringan serta organ.

2. Etiologi Febris
Penyebab demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan
toksemia, keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat, juga pada gangguan
pusat regulasi suhu sentral (misalnya: perdarahan otak, koma). Pada dasarnya
untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam diperlukan antara lain:
ketelitian penggambilan riwayat penyakit pasien, pelaksanaan pemeriksaan
fisik, observasi perjalanan penyakit dan evaluasi pemeriksaan
laboratorium.serta penunjang lain secara tepat dan holistik.
Beberapa hal khusus perlu diperhatikan pada demam adalah cara timbul
demam, lama demam, tinggi demam serta keluhan dan gejala lain yang
menyertai demam.
Demam belum terdiagnosa adalah suatu keadaan dimana seorang pasien
mengalami demam terus menerus selama 3 minggu dan suhu badan diatas 38,3
derajat celcius dan tetap belum didapat penyebabnya walaupun telah diteliti
selama satu minggu secara intensif dengan menggunakan sarana laboratorium
dan penunjang medis lainnya.
I.5. Patofisiologi
1. Fatofisiologi SLE
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Prosesnya
diawali dengan faktor pencetus genetik, serta faktor yang berasal dari
lingkunagan seperti kuman dan virus, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau
bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam
tubuh yaitu:
 Sel T dan B menjadi otoreaktif
 Pembentukan sitokin yang berlebihan

Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain


 Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
 Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
 Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di
dalam tubuh yang di sebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang
membentuk kompleks imun . kompleks imun tersebut terdeposisi pada
jaringan /organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan
jaringan.
Antibodi2 yang terbentuk pada SLE sangat banyak, antara lain 
Antinuclear antibodi (ANA), anti double staranded DNA (ds DNA), anti-ss A
(Ro), anti-ss B (La), antiribosomal P antibody, anti Sm, sd-70 Selain itu
hilangnya kontrol sistem imun pada patogenesis lupus juga diduga berperan
pada timbulnya gejala klinis pada SLE
2. Fatofisiologi Febris
Demam dapat disebabkan gangguan otak atau akibat bahan toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan suhu. Zat yang dapat menyebabkan efek
perangsangan terhadap pusat pengaturan suhu sehingga menyebabkan demam
disebut pirogen. Zat pirogen ini dapat berupa protein, pecahan protein, dan zat
lain, terutama toksin polisakarida, yang dilepas oleh bakteri toksik yang
dihasilkan dari degenerasi jaringan tubuh menyebabkan demam selama
keadaan sakit.
Mekanisme demam dimulai dengan timbulnya reaksi tubuh terhadap
pirogen. Pada mekanisme ini, bakteri atau pecahan jaringan akan difagositosis
oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh bergranula
besar.
Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri ke dalam
cairan tubuh, yang disebut juga zat pirogen leukosit. Zat ini ketika sampai di
hipotalamus akan menimbulkan demam dengan cara meningkatkan
temperature tubuh dalam waktu 8-10 menit. Zat ini juga menginduksi
pembentukan prostaglandin E2 zat ini, yang selanjutnya bekerja di
hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam.

I.6. Pemeriksaan Diagnostic


1. Pemeriksaan Diagnostic SLE
1) Tes Anti ds-DNA
 Batas normal : 70 – 200 IU/Ml
 Negatif          : < 70 IU/mL
 Positif             :  > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif
dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi
merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang
dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi
ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat  dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya
mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus
(ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-
stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA
(anti ss-DNA).  Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi
positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada
penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana,
2002).
2) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti
dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE,  hasil
yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik
untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang
lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan
keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak
lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes
negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika
hasil tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan  tes serologi yang lain untuk
menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat
meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-
SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
3) Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa
serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah
antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-
histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau
C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood
Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase
(Pagana and Pagana, 2002).
4) Pemeriksaan penunjang
- Ruam kulit atau lesi yang khas.
- Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
- Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya
gesekan pleura atau jantung.
- Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari atau +++.
- Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel
darah.
- Biopsi ginjal.
- Pemeriksaan saraf.
2. Pemeriksaan Diagnostik Febris
Sebelum meningkat ke pemeriksaan yang lebih mutakhir yang siap
untuk digunakan seperti ultrasonografi, endoskopi atau scanning, masih dapat
diperiksa uji coba darah, pembiakan kuman dari cairan tubuh/lesi permukaan
atau sinar tembus rutin. Dalam tahap melalui biopsi pada tempat-tempat yang
dicurigai. Juga dapat dilakukan pemeriksaan seperti anginografi, aortografi
atau limfangiografi.

II. Konsep Asuhan Keperawatan


II.1. Pengkajian
1. Pengkajian SLE
a) Identitas
Umur : pada usia 15-40 tahun
Jenis kelamin : penderita penyakit pada wanita dan pria atau 9:1 dan
Kasus ini menyerangn wanita dalam usia produktif
b) Riwayat Keperawatan
- Keluhan Utama
Pasien dengan SLE mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup
serta citra diri pasien.
 Riwayat penyakit sekarang
Pasien biasanya mengeluh sama dengan keluhan utamanya, akan tetapi
respon tiap orang berbeda terhadap tanda dan gejala SLE tergantung
imunitas masing-masing
c) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu walaupun tidak terlalu spesifik biasanya akan
didapatkan adanya keluhan mudah lelah, nyeri, anoreksia dan penurunan
berat badan secara signifikan.

d) Riwayat penyakit keluarga


Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit Lupus ini
akan dicurigai berkecenderungan untuk terkena penyakit ini, >/ 5-12% lebih
besar dibandingkan orang normal.
Pengkajian pola fungsional Gordon
1) Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan
Klien baru pergi ke RS setelah demam yang dirasakannya tidak hilang
sudah semenjak 1 bulan yang lalu. hal ini bisa terjadi karena klien tdak
mengetahui tentang penyakitnya sehingga klien merasa kalau dia hanya
demam biasa dan tidak perlu berobat ke RS.
2) Pola nutrisi metabolic
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya samapi
beberapa kg, penyakit ini diseratai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
Pada kasus SLE, biasanya pasien mengeluh sariawan yang hilang
timbul, serta tidak nafsu makan.
3) Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif
mesangial, namun secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
4) Pola aktivas latiha
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan
sering mengalami nyeri pada persendian nya.
5) Pola istirahat tidur
Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri yang
dirasakannya
6) Pola kognitif persepsi
Pada penderita SLE, Daya perabaannya akan sedikit terganggu bila
pada jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
Pada sistem neurologis, penderita bisa mengalami depresi, psychosis,
neuropathies.
7) Pola persepsi diri dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan
bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan
membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
8) Pola peran hubugan
Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan yang biasa
dilakukan selama sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit
pasien tidak dapat melakukan perannya sehari-hari dengan baik.
9) Pola reproduksi dan seksualitas
Biasanya penderita LES tidak mengalami gangguan dalam pola seksual
reproduksi.
10) Pola koping dan toleransi stress
Biasanya klien merasa depresi dengan penyakitnya dan juga stress
karena nyeri yang dihadapi. Untuk menghadapi semua ini klien perlu
selalu diberi dukungan oleh keluarga dan tetangganya sehingga klien
semangat untuk sembuh.
11) Pola nilai dan kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas
akibat kelemahan dan nyeri sendi.
Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
b. Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan amnesa, sikap dan perilaku
pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat
kecemasan dan ketegangan pasien.
Head to toe
 Kepala (wajah):
- Terdapat ruam (malar) pada pipi yang tampak kemerah-merahan
- Terdapat lesi pada kulit kepala
- Rambut rontok/tidak
- Terdapat butterfly rash bersisik pada wajah terutama pipi dan sekitar
hidung, telinga, dagu, daerah V pada leher.
- Hidung mimisan / tidak.
- Kulit gatal/tidak.
 Mata: Anemis/an anemis, gangguan penglihatan.
 Mulut/bibir: terdapat sariawan, nyeri pada mukosa, gangguan, menelan.
 Punggung: terdapat butterfly rash (bersisik) pada punggung atas.
 Ekstremitas: kulit seperti terbakar, pembengkakan pada tangan, kaki , bahu,
pinggang, Kulit berwarna kemerah-merahan, Kulit teraba dingin, Pada
sendi terdapat Arthtitis+/- (bengkak pada sendi).
 Dada: bila bernapas nyeri/tidak.
 Jantung: Perikarditis, endokarditis, miokarditis.
 Abdomen: lymfadenopati, splenomegali, hepatomegali.
 Ruam :eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
 Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
 Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
 Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
 Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
 Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
 Sistem Renal
Edema dan hematuria.
 Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea
ataupun manifestasi SSP lainnya.
 System otot dan tulang
Sakit pada sendi pada kedua sisi (kiri ataupun kanan) tanpa merusak sendi
tersebut gejal ini sering menyerang bagian tangan , lutut dan pegelangan
tangan .
 Kulit dan rambut
Serangan pada kulit dan rambut 90% terjadi pada odapus , pada serangan
ini ditemukan seperti kemerahan pada wajah (butterfly rash) yang
dicetuskan karena sinar matahari, selain itu juga terdapat serang discoid
pada kulit ,rambut menjadi rontok dengan pengobatan yang baik insya allah
serangan pada kulit dan rambut dapat dihilangkan/disembuhkan
 Darah
Setengah penderita lupus mengidap anemia selain itu juga terdapat jumlah
trombosit dan lekosit yang rendah dari pada orang sehat , hal ini
menyebabkan pendarahan dan mudah terinfeksi.
 Mata
Kerusakan pada mata jarang didapati pada odapus kerusakan retina dapat
terjadi karena akibat pengobatan lupus dengan menggunakan antimalaria
(chloroquine) jika menggunakan obat yang demikian hendaklah teratur
periksa ke dokter mata juga.
 Ginjal
Kerusakan ginjal didapati pada hampir separuh odapus jika kerusakan pada
ginjal ini berat biasanya odapus memeriksakan urinnya secara berkala
karena stadium awal dari kerusakan ginjal ditandai adanya protein dalam
urin . pengobatan yang diperlukan pengobatan imunosupresif
 Jantung dan pembuluh darah
Kerusakan jantung dan pembuluh darah yang diderita odapus berupa cairan
pada selaput jantung,vegetasi pada katup jantung ,perkapuran
(atelrosklerosis)pada pembuluh darah dan nyeri pada ujung-ujung jari dan
perubahan warna dari putih menjadi kebiruan jika terkena udara dingin dan
emosi yang meningkat disebut dengan fenomena reynaud
 Susunan saraf
15 % Gangguan otak,saraf dan kejiwaan didapati pada odapus, kelainana
dapat berupa kejang-kejang ,kelemahan otot ,depresi,gelisah dan stroke.
 Paru-paru
Sesak nafas yang dirasakan pada odapus dapat disebabkan karena adanya
cairan pada selaput parunya dan juga karena akibat infeksi paru(pneumonia) .

2. Pengkajian Pebris
1) Melakukan anamnese riwayat penyakit meliputi: sejak kapan timbul
demam, gejala lain yang menyertai demam (miasalnya: mual muntah, nafsu
makan, diaforesis, eliminasi, nyeri otot dan sendi dll), apakah anak
menggigil, gelisah atau lhetargi, upaya yang harus dilakukan.
2) Melakukan pemeriksaan fisik.
3) Melakukan pemeriksaan ensepalokaudal: keadaan umum, vital sign.
4) Melakukan pemeriksaan penunjang lain seperti: pemeriksaan laboratotium,
foto rontgent ataupun USG.
II.2. Diagnosa Keperawatan
1. Diagnosa Keperawtan SLE
a)  Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
b)  Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c)   Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
2. Diagnosa Keperawatan Febris
a) Hyperthermia berhubungan dengan proses infeksi.
b) Resiko infeksi berhubungan dengan factor resiko infeksi mikroorganisme.
c) Resiko kurang cairan berhubungan dengan intake yang kurang dan
diaporsis.
II.3. Perencanaan Keperawatan
1. Perencanaan Keperawatan SLE
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
- Gangguan nyeri dapat teratasi
- Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
b) Kriteria Hasil :

- Skala Nyeri : 1-10

c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)

Mandiri :
1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas
(skala nyeri 1-10).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan
dan debridemen.
2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode
pemajanan pada udara terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada
pemajanan ujung saraf.
3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat,
penutup tubuh hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas
eksternal perlu untuk mencegah menggigil.
4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat
dan/atau pada hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan
penggantian balutan dan debridemen.
5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat
meningkatkan mekanisme koping.
6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi
progresif, napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan
meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan
farmakologis.
7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan
memfokuskan kembali perhatian.

Kolaborasi
8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.
2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
b) Kriteria Hasil :
Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
c) Rencana Tindakan dan Rasional
Mandiri
1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi.
Gambarkan lesi dan amati perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di
bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh
kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan
masase dengan menggunakan lotion atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi
barier infeksi.
3) I : Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau
barrier protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses
penyembuhan.
Kombinasi :
5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai
indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber


informasi.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien
dan keluarga klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).
b) Kriteria Hasil :
Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari
informasi yang diberikan
c) Rencana Tindakan dan Rasional
1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di
masa depan.
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat
pilihan berdasarkan informasi.
2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan ,
mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.
3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi
pasien.
R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa
sejahtera.
4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi
kebutuhan perubahan/individu.
5) I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit
sebelumnya/pusat perawatan tempat tinggal.
R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut;
mendukung pemulihan dan kemandirian.

2. Rencana Tindakan Keperawatan Febris

N Diagnosa Rencana Keperawatan


o Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
1 Hypertermi  b/d Setelah dilakukan1.  Pantau suhu klien (derajat dan pola)
proses infeksi tindakan keperawatan
perhatikan menggigil/diaforsis
selama….x24jam
menujukan temperatur2.  Pantau suhu lingkungan,
dalan batas normal dengan
batasi/tambahkan linen tempat tidur
kriteria:
-Suhu Tubuh dalam sesuai indikasi
  batas normal
3.  Berikan kompres hangat hindri
-bebas dari kedinginan
-suhu tubuh stabil 360- penggunaan akohol
370c
4.  Berikan miman sesuai kebutuhan
-termoregulasi dbn
-nadi dbn 5.  Kolaborasi untuk pemberian
    <1 bln : 90-170
antipiretik (parasetamol)
    <1 thn : 80-160
    2 thn   : 80-120
    6 thn   : 75-115
    10 thn : 70-110
    14 thn : 65-100
    >14thn : 60-100
-respirasi dbn
   BBL : 30-50 x/m
  Anak-anak : 15-30 x/m
  Dewasa : 12-20 x/m
2 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan1.  Kaji tanda-tanda komplikasi lanjut
factor resiko tindakan keperawatan
2.  Kaji status kardiopulmonar
infeksi selama .....x 24 jam anak
mikroorganisme bebas dari cidera dengan3.  Kolaborasi untuk pemantauan
kriteria:
laboratorium: monitor darah rutin
- menunjukan homeostatis
- tidak ada perdarahan4.  Kolaborasi untuk pembereian
mukosa dan bebas dari
antibiotik
komplikasi lain
3 Resiko kurang Setelah dilakukan1.  Ukur/catat haluaran urine dan berat
volume cairan b/d tindakan perawatan
jenis. Catat ketidak seimbangan
intake yang kurang selama ….x 24 jam
dan deperosis volume cairn adekuat masukan dan haluran kumulatif
dengan kriteria:
2.  Pantau tekanan darah dan denyut
- tanda vital dalam batas
normal jantung ukur CVP
- nadi perifer teraba kuat
3.  Palpasi denyut perifer
- haluran urine adekuat
- tidak ada tanda-tanda4.  Kaji membran mukosa kering, tugor
dehidrasi
kulit yang kurang baik dan rasa halus
5.  Kolaborasi untuk pemberian cairan
IV sesuai indikasi
6.  Pantau nilai laboratorium, Ht/jumlah
sel darah merah, BUN,cre, Elek,LED,
GDS
4 Cemas Setelah dilakukan1.  Kaji dan identifikasi serta luruskan
berhubungan tindakan perawatan
informasi yang dimiliki klien
dengan hipertermi, selama 2 x 24 jam cemas
efek proses hilang dengan kriteria: mengenai hipertermi
penyakit - klien dapat
2.  Berikan informasi yang akurat
mengidentifikasi hal-hal
yang dapat meningkatkan tentang penyebab hipertermi
dan menurunkan suhu
3.  Validasi perasaan klien dan yakinkan
tubuh
- klien mau berpartisipasi klien bahwa kecemasam merupakan
dalam setiap tidakan yang
respon yang normal
dilakukan
- klien mengungkapkan4.  Diskusikan rencana tindakan yang
penurunan cemas yang
dilakukan berhubungan dengan
berhubungan dengan
hipertermi, proses hipertermi dan keadaan penyakit
penyakit
         

DAFTAR PUSTAKA

Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM 2002, Systemic Lupus Erythematosus,

Yayasan Lupus Indonesia, Jakarta.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku PatofisiologiCorwin. Jakarta: Aditya Media

Kenneth J. Leveno et.,al. 2009. Obstetric Williams, Panduan Ringkas, Edisi 21. Jakarta: EGC

Price A. Sylvia, 2006, Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6, Penerbit


buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Wallace DJ. 2007. The lupus book, panduan lengkap bagi penderita lupus dan keluarganya.
Yogyakarta: B – First

Komite medik RSUP Dr. Sardjito, 2000. Standar Pelayanan Medis, Edisi 2, Cetakan I,
Medika FK UGM, Yogyakarta
Mc Closkey, Joanne C and Bulechek, Gloria M, 1996, Nursing Intervention Classification
(NIC), Second edition, Mosby Year Book Inc, St. Louis

Nanda, 2001, Nursing Diagnosis: Definitions & Classification 2001-2002, Ed-, United States
of America

Anda mungkin juga menyukai