Anda di halaman 1dari 106

FUNGSI LEGISLASI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DI DESA BUKIT TIGO KABUPATEN SAROLANGUN


BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

SKRIPSI

Oleh:
HASNUL GORIMAH
No. Mahasiswa: 14410683

PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM SARJANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2021
FUNGSI LEGISLASI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
DI DESA BUKIT TIGO KABUPATEN SAROLANGUN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna memperoleh
Gelar Sarjana (Strata-1) pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta

Oleh:
HASNUL GORIMAH
No. Mahasiswa: 14410683

PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM SARJANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR PRA PENDADARAN

“FUNGSI LEGISLASI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA


DI DESA BUKIT TIGO KABUPATEN SAROLANGUN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
6 TAHUN 2014 TENTANG DESA”

Telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbung Tugas Akhir untuk
diajukan ke Depan Tim Penguji dalam Ujian Tugas Akhir/Pendadaran

Pada tanggal : 06 Juni 2021

Yogyakarta, 06 Juni 2021


Dosen Pembimbing Tugas Akhir,

(Dian Kus Pratiwi, S.H., M.H.)


NIK : 134101102

i
SURAT PERNYATAAN

ORISINALITAS KARYA TULIS ILMIAH BERUPA TUGAS AKHIR


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Hasnul Gorimah
NIM : 14410683
Adalah benar-benar Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta yang telah melakukan Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Tugas Akhir)
berupa Skripsi dengan judul :

“FUNGSI LEGISLASI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DI DESA BUKIT TIGO KABUPATEN SAROLANGUN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR

6 TAHUN 2014 TENTANG DESA”

Karya ilmiah ini telah saya ajukan kepada Tim Penguji dalam Ujian Pendadaran
yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, saya menyatakan :
1. Bahwa Karya Tulis Ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri
yang dalam penyusunannya tunduk pada kaidah, etika, dan norma-norma
sebuah penulisan karya ilmiah sesuai engan ketentuan yang berlaku.
2. Meskipun secara prinsip Hak Milik Karya Tulis Ilmiah ini ada pada saya,
namun demi kepentingan akademik dan pengembangannya, saya
memberikan wewenang kepada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia dan Perpustakaan Pusat Univeristas Islam Indonesia untuk
mempergunakan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya berkaitan dengan hal di atas (terutama butir 1 dan 2) saya sanggup
menerma sankis administratrif maupun sanksi pidanan jika saya melakukan
pelanggaran atas pernyataan tersebut, saya juga akan bersikap kooperatif apabila

ii
iii
CURRICULUM VITAE

1. Nama Lengkap : Hasnul Gorimah


2. TTL : Singkut, 13 Desember 1996
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Alamat Terakhir : Dusun III Suka Damai, Bukit Tigo, Singkut
6. Alamat Asal : Dusun III Suka Damai, Bukut Tigo, Singkut
7. E-mail : HasnulKhorimah@gmail.com
8. Identitas Orang Tua
a. Nama Ayah : Maisar
b. Pekerjaan : Wiraswasta
c. Nama Ibu : Masnidar
d. Pekerjaan : Wiraswasta
9. Riwayat Pendidikan
a. Tk : Muhammadiya, Singkut
b. SD : Madrasah Iftidaya Negri, Singkut
c. SMP : SMP Negeri 3, Sarolangun
d. SMA : Piri 1, Yogyakarta
10. Organisasi
a. Anggota HPCI
11. Hobi : gaming, mendengarkan lagu, travelling

Yogyakarta, 06 Juni 2021

(Hasnul Gorimah)
NIM: 14410683

iv
HALAMAN MOTTO

“Sabar bukan tentang berapa lama kau bisa menunggu, melainkan


bagaimana prilakumu saat menunggu”

(Imam Husain)

“Mempersiapkan diri sendiri”

“The object of education is to prepare the young to educate themselves


throughout their lives”

v
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan

Teruntuk kedua orang tuaku Ayah dan Amak tercinta,

Kakakku tersayang,

Adikku tersayang,

Sahabat-sahabatku,

Almamaterku Universitas Islam Indonesia.

vi
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Alhamdulillahirabbil’alamin,

puji dan syukur atas segala berkah, rahmat, karunia dan hidayahnya yang telah

diberikan Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sholawat serta

salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya,

sahabatnya serta pengikutnya hingga akhir zaman dan juga berkat doa dan

dukungan orangorang yang berada disekeliling penulis hingga penulis dapat

menyelesaikan Tugas Akhirnya.

Tugas Akhir yang berjudul: “FUNGSI LEGISLASI BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DI DESA BUKIT TIGO KABUPATEN

SAROLANGUN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN

2014 TENTANG DESA” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Terdapat banyak kesulitan yang penulis hadapi dan lewati dalam perjalanan

menyelesaikan proses penulisan tugas akhir guna meraih gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang tidak mungkin dapat

penulis selesaikan sendiri. Berkat kuasa dan kemurahan hati Allah SWT tugas

akhir ini dapat diselesaikan oleh penulis. Terselesaikannya tugas akhir ini juga

berkat bantuan dari dosen-dosen pembimbing, juga teman-teman penulis yang

memberikan doa, dukungan, mengorbankan waktu, pikiran, tenaga dan

vii
mencurahkan ilmu dan pemikirannya dalam membantu penulis melewati tiap-tiap

kesulitan yang ada.

Untuk itu perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan

tugas akhir ini:

1. Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang senantiasa

memberikan rahmat dalam segala hal kepada penulis.

2. Ayah Maisar dan Amak masnidar yang sangat penulis cintai yang

senantiasa memberikan kasih sayang, doa, nasehat, dan mengorbankan

segalanya untuk memberikan segalanya kepada penulis.

3. Kakak dari penulis Yeli Suiana, Rini Rita,Donaliza,Danil,Firmansah,Mela

Marisa yang sangat penulis sayangi dan selalu mendorong penulis untuk

menyelesaikan skripsi.

4. Yang terhormat, Dian Kus Pratiwi S.H MH. selaku Dosen Pembimbing

yang telah berkenan memberikan waktu, tenaga, dan mencurahkan

ilmunya kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

5. Yang Terhormat, Fathul Wahid S.T., M.Sc., Ph.D selaku Rektor

Universitas Islam Indonesia.

6. Yang terhormat, Dr. Abdul Jamil S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, beserta seluruh Pimpinan Universitas dan

Pimpinan Fakultas Universitas Islam Indonesia, almamater tercinta

penulis yaitu Universitas Islam Indonesia yang menjadi tempat penulis

dalam menimba ilmu hingga lulus.


viii
7. Sahabat-sahabat selama masa perkuliahan di kampus Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, Asep Ridwanul Hakim, Reno Satya, Oka,

Magfi, Jecinda Rizqyah, Fitri Widyaningsih, Astried Puspa W, Nisa,

yang selalu mendukung, memberikan semangat dan telah memberikan

warna-warni di kehidupan perkuliahan bagi penulis.

8. Teman dan saudara penulis selama tinggal di Yogyakarta, Fitri

WidyaNingsih, Nisa, Jecinda Rizqiyah, Reno.

9. Semua teman dan sahabat Fakultas Hukum yang tidak bisa disebutkan satu

persatu yang telah memberikan warga di masa perkuliahan.

Penulis menyadarai bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Disamping

itu penulis berharap dapat memberikan manfaat dan perkembangan ilmu

pengetahuan. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 06 Juni 2021


Penulis,

(Hasnul Gorimah)
NIM: 14410683

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR PRA PENDADARAN ................ i

SURAT PERNYATAAN........................................................................................ ii

CURRICULUM VITAE ........................................................................................ iv

HALAMAN MOTTO ............................................................................................. v

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vi

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii

ABSTRAK ............................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 10

C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 10

D. Kerangka Teori........................................................................................... 11

E. Orisinalitas Penelitian ................................................................................ 17

F. Metode Penelitian....................................................................................... 19

G. Kerangka Skripsi ........................................................................................ 23

BAB II TINJAUAN TEORI ................................................................................ 23

A. Otonomi Desa ............................................................................................ 23

B. Pemerintahan Desa ..................................................................................... 26

C. Pembentukan Peraturan Desa..................................................................... 32

D. Hukum Islam Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ....... 53

x
BAB III FUNGSI LEGISLASI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DI
DESA BUKIT TIGO KABUPATEN SAROLANGUN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA................. 56

A. PELAKSANAAN FUNGSI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DI


DESA BUKIT TIGO KABUPATEN SAROLANGUN DARI TAHUN 2019
SAMPAI 2020 ................................................................................................... 56

B. FAKTOR PENGHAMBAT TIDAK TERLAKSANANYA FUNGSI


LEGISLASI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DI DESA BUKIT
TIGO KABUPATEN SAROLANGUN ............................................................ 73

BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 84

A. Kesimpulan ................................................................................................ 84

B. Saran ........................................................................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 87

A. Buku ........................................................................................................... 87

B. Jurnal .......................................................................................................... 89

C. Elektronik ................................................................................................... 90

D. Peraturan Perundang-Undangan................................................................. 90

xi
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan fungsi legislasi Badan


Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun dan untuk
mengetahui faktor pengahambat tidak terlaksananya fungsi legislasi Badan
Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun. Rumusan
masalah yang diajukan yaitu bagaimana pelaksanaan fungsi legislasi Badan
Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun dari tahun
2019-2020 dan Apa saja faktor penghambat tidak terlaksananya fungsi legislasi
badan permusyawaratan desa di desa bukit tigo kabupaten sarolangun. Penelitian
ini termasuk tipologi penelitian hukum empiris. Pokok kajianya adalah hukum
yang dikonsepkan sebagai prilaku nyata sebagai gejala sosial yang tidak tertulis,
yang dialami setiap orang dalam hubungan masyarakat. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Pertama Pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa
di Desa Bukit Tigo dari tahun 2019-2020 tidak berjalan dengan baik, disebabkan
masih terdapat banyak kelemahan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan
desa. Kedua faktor penghambat tidak terlaksanaya fungsi legislasi Badan
Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun disebabkan
karena lemahnya komunikasi anatara Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala
Desa, rendahnya pemahaman anggota Badan Permusyawaratan Desa terkait
peraturan desa serta kurangnya bimbingan teknis dari Pemerihan Daerah dalam
bidang legisalsi. Penelitian ini merekomendasikan perlunya penyempurnaan dan
pembaruan terkait Peraturan Daerah dan perlunya perhatian daerah dalam
meningkatkan kinerja pemerintah desa serta perlunya sosialisi yang lebih
menyeluruh dan secara rutin kepada masyarakat mengenai keberadaan Badan
Permusyawaratan Desa.

Kata Kunci: legislasi, Badan Permusyawaratan Desa,

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Desa merupakan lingkup organisasi atau merupakan susunan

pemerintahan terkecil dan lebih dekat dengan masyarakat mempunyai peran

penting dalam menjalankan otonomi yang diamanatkan oleh konstitusi sebagai

jalan menuju rakyat yang sejahtera. Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa

diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Lahirnya

Undang-Undang tentang Desa, secara yuridis lahir berdasarkan amanat Pasal

18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang menentukan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Sebagaimana dikutip dari CST.Kansil menerangkan bahwa:

Di dalam satuan pemerintah terendah atau yang disebut dengan desa


merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk
sebagai kesatuan masyarakat termasuk kesatuan masyarakat hukum
didalamnya yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah
langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.1

Terkait dengan keberadaan desa, sebagaimana dikutip dari jurnal yang

ditulis oleh Yusnani Hasjimzoem menyatakan bahwa:

1
CST.Kansil, Desa Kita Dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa, Ghalia Indonesia,
1984, hlm 25.
1
Keberadaan desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum memberi
pemahaman yang mendalam bahwa institusi desa bukan hanya sebagai
entitas administratif belaka tetapi juga entitas hukum yang harus
dihargai, diistimewakan, dilestarikan, dan dilindungi dalam struktur
pemerintahan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Pasal 18B ayat (2)
dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
yang menjelaskan bahwa, desa diartikan bukan saja sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat, tetapi juga sebagai hierarki pemerintahan yang
terendah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.2

Pengertian desa mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menentukan bahwa:

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Adapun kewenangan desa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menentukan bahwa:

“kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan

pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan

kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan

prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa”.

Selanjutnya dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa ditenutkan pula bahwa kewenangan desa meliputi:

a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;


b. Kewenangan lokal berskala desa;
c. Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan

2
Yusnani Hasjimzoem, “Dinamika Hukum Pemerintahan Desa”, Jurnal Justisia Jurnal
Hukum, Volume 8 No. 3, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Juli-September, 2014, hlm. 464.
d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan kewenangan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa

kewenangan desa terdiri atas kewenangan desa yang mutlak menjadi

kewenangan desa atas kekuasaan sendiri, yang didasarkan pada ketentuan Pasal

20 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang ditentukan

bahwa “Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan

lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b

diatur dan diurus oleh Desa”, dan juga terdapat kewenangan desa yang

merupakan pelimpahan dari pemerintah lebih tinggi yang dilaksanakan dengan

asas otonomi.

Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat


terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui
otonomi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.3
Dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa, dipimpin oleh Kepala Desa,

hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa yang menentukan bahwa “Pemerintah Desa adalah

Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa

sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa”.

3
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Daerah Luas dengan Pemilihan Kepala
Daerah secara Langsung, Raja Grafika Persada, Jakarta, 2005, hlm. 54.
Adapun tugas dan kewenangan kepala desa sebagaimana diatur dalam

Pasal 26 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa yang ditentukan bahwa:

1) Kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa,


melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa,
dan pemberdayaan masyarakat desa.
2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kepala desa berwenang:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa;
b. Mengangkat dan memberhentikan perangkat desa;
c. Memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan aset desa;
d. Menetapkan peraturan desa;
e. Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa;
f. Membina kehidupan masyarakat desa;
g. Membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa;
h. Membina dan meningkatkan perekonomian desa serta
mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala
produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat desa;
i. Mengembangkan sumber pendapatan desa;
j. Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan
negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa;
k. Mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat desa;
l. Memanfaatkan teknologi tepat guna;
m. Mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
n. Mewakili desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
o. Melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Negara Indonesia yang menganut pada sistem demokrasi, dimana dalam

pemerintahan maka selain lembaga eksekutif sebagai pembuat dan pelaksana

kebijakan maka dibentuk pula kelembagaan legislatif, yang dalam hal

pemerintahan desa disebut dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Pengertian Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana ditentukan dalam Pasal

1 angka 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang

menentukan bahwa:
“Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain

adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya

merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan

ditetapkan secara demokratis”.

Adapun fungsi Badan Permusyawatan Desa sebagamana ditentukan

dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, bahwa:

Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:


a. Membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama
kepala desa;
b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan
c. Melakukan pengawasan kinerja kepala desa.

Dari pengaturan di atas dapat dikatakan bahwa Badan Permusyawaratan

Desa (BPD) dapat membuat Rancangan Peraturan Desa yang secara bersama-

sama Pemerintah Desa ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Dalam hal ini, BPD

sebagai lembaga pengawasan memiliki kewajiban untuk melakukan kontrol

terhadap implementasi penyelenggaran pemerintah desa oleh Kepala Desa dan

perangkat desa.

Pemerintah desa sebagai ujung tombak dalam sistem pemerintahan

daerah akan berhubungan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Karena itu, sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah

sangat didukung dan ditentukan oleh pemerintah desa dan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai bagian dari Pemerintah Daerah.

Struktur kelembagaan dan mekanisme kerja di semua tingkatan pemerintah,

khususnya pemerintahan desa harus diarahkan untuk dapat menciptakan


pemerintahan yang peka terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi

dalam masyarakat.

Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem


penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa mempunyai kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. sama halnya
dengan tingkat daerah maupun pusat di dalam menjalankan
pemerintahan di bantu dan bekerja sama dengan badan eksekutif
maupun legislatif dengan adanya pembagian kekuasaan.4
Penyelenggaraan pemerintah desa, Kepala Desa tidaklah bekerja

sendiri, namun dibantu oleh perangkat dan stafnya. Selanjtunya Badan

Permusyawaratan Desa merupakan perwujudan dari sistem demokrasi, dimana

dalam Undang-Undang Tentang Desa menyatakan bahwa BPD merupakan

lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan

wakil penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan di tetapkan secara

demokratis.

Pemerintah Desa memiliki peran yang sangat signifikan dalam


pengelolaan proses sosial di dalam masyarakat. Tugas utama yang harus
diemban Pemerintah Desa adalah bagaimana menciptakan kehidupan
demokratis, dan memberikan pelayanan sosial yang baik, sehingga
dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, tentram,
aman dan berkeadilan.5

Badan Permusyawaratan Desa di lihat dari wewenangnya sebagai

lembaga legislatif di tingkat Desa , sedangkan pemerintah desa dan perangkat

desa yang lainnya adalah lembaga eksekutif. Dibentuknya BPD merupakan

hasil dari reformasi dari perwujudan demokrasi di tingkat desa. BPD

mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pemerintahan desa yaitu


4
HAW Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan Utuh, Cet. Ke 2,
Raja grafindo persada, Jakarta, 2004, hlm. 3.
5
Erga Yuhandra, “Kewenangan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) Dalam Menjalankan
Fungsi Legislasi (Sebuah Telaah Sosiologis Proses Pembentukan Perdes di Desa Karamatwangi
Kec. Garawangi Kab. Kuningan)”, Jurnal Unifikasi. Vol. 3 No. 2, Juli 2016, hlm. 4.
untuk menggali ,menampung, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi

masyarakat, sehingga BPD di tingkat desa menjadi tumpuan harapan

masyarakat terhadap program-program yang akan di laksanakan oleh

pemerintah desa.

Dikatakan bahwa, antara BPD dan kepala Desa harus bisa bekerja sama

dalam penyelenggaraan pemerintah desa dalam merumuskan dan menetapkan

kebijakan dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan desa dalam

bentuk pembentukan Peraturan Desa. Selain itu BPD juga memiliki fungsi

perwakilan masyarakat dalam mewujudukan aspirasi masyarakat desa dan

fungsi untuk menjamin penyelenggaraan Pemerintah Desa dengan baik oleh

Kepala Desa dengan mengawasi kinerja Kepala Desa.

Badan Permusyawatan Desa dalam menjalankan fungsi pemerintahan

desa yaitu sebagai lembaga pengawas penyelenggaran pemerintah desa yang

dilaksanakan oleh kepala desa dan perangkat desa, bahwa BPD memiliki hak,

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa, bahwa:

Badan Permusyawaratan Desa berhak:


a. Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada pemerintah desa;
b. Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan pemerintahan desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa,
dan pemberdayaan masyarakat desa; dan
c. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya
dari anggaran pendapatan dan belanja desa.

Selanjutnya anggota Badan Permusyawaratan Desa juga memiliki hak,

sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa, bahwa:


Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a. Mengajukan usul rancangan peraturan desa;
b. Mengajukan pertanyaan;
c. Menyampaikan usul dan/atau pendapat;
d. Memilih dan dipilih; dan
e. Mendapat tunjangan dari anggaran pendapatan dan belanja desa.

Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi masih

mempertahankan adat istiadat yang dibuktikan dengan masih terjaga dan

terlaksananya hukum adat dan juga keberadaan masyarakat yang mayoritas

berprofesi sebagai petani, ketertarikan penulis untuk melakukan kajian

terhadap peran Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten

Sarolangun didasarkan pada hasil observasi penulis dalam bentuk wawancara,

didapatkan fakta bahwa keberadaan Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit

Tigo Kabupaten Sarolangun dalam melaksanakan fungsinya tidak ada bukti

nyata yang konkrit, hal ini dibuktikan dari hasil wawancara penulis kepada

Hendri Gunawan selaku ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit Tigo

Kabupaten Sarolangun yang menerangkan bahwa: “belum adanya peraturan

Desa yang dibentuk dalam kurun waktu 10 Tahun trakhir”.6

Pernyataan tersebut di atas juga diperkuat dengan pernyataan dari

wawancara penulis kepada Akhayar selaku Kaur Pembangunan Desa

Pemerintah Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun yang menerangkan bahwa:

“memang dalam waktu 10 Tahun ini belum ada Peraturan Desa yang dibentuk

di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun”.7

6
Wawancara Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit Tigo
Kabupaten Sarolangun, tanggal 2 September 2020
7
Wawancara Akhayar, Kaur Pembangunan Desa Pemerintah Desa Bukit Tigo Kabupaten
Sarolangun, tanggal 5 September 2020
Ketertarikan penulis dalam melakukan penelitian terkait dengan fungsi

legislasi Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten

Sarolangun didasarkan pada masalah yang telah diuraikan di atas bahwa dalam

kenyataannya Pemerintah Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun dalam kurun

waktu 10 Tahun terakhir sama sekali tidak ada membentuk Peraturan Desa, hal

ini tentu terkait dengan fungsi dalam membahas dan menyepakati rancangan

peraturan desa bersama kepala desa.

Berdasarkan uraian masalah tersebut di atas maka penulis berpendapat

bahwa keberadaan Badan Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo

Kabupaten Sarolangun dalam menjalankan fungsinya belum menunjukkan

manfaat yang besar dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Desa Bukit

Tigo Kabupaten Sarolangun, mengingat bahwa fungsi Badan Permusyawaratan

Desa dalam penyelenggaran Pemerintah Desa memiliki kewenangan yang

besar sebagai ketentuan fungsi Badan Permusyawaratan Desa dalam Pasal 55

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yaitu membahas dan

menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat desa dan melakukan pengawasan kinerja

kepala desa. Padahal dalam melaksanakan fungsinya, Badan Permusyawaratan

Desa memiliki hak sebagaimana diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2014 Tentang Desa antara lain dengan mengawasi dan meminta

keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa kepada pemerintah

desa dan menyatakan pendapat atas penyelenggaraan pemerintahan desa.


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk

mengetahui lebih jauh dan meneliti permasalahan mengenai “Fungsi Legislasi

Badan Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun”.

Mengingat bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa mengamanatkan agar Badan Permusyawaratan Desa yang memiliki

fungsi dan wewenang dalam penyelenggaran pemerintahan desa dapat

mencapai tujuan pengaturan tentang desa sebagaimana diatur dalam Pasal 4

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan

diteliti:

1. Bagaimanakah pelaksanaan fungsi legislasi Badan Permusyawaratan Desa

di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun dari tahun 2019 sampai 2020?

2. Apa faktor penghambat tidak terlaksananya fungsi legislasi Badan

Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa di

Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun


2. Untuk mengetahui faktor penghambat tidak terlaksananya fungsi legislasi

Badan Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun.

D. Kerangka Teori

1. Pemerintahan desa

Istilah “Desa” secara etimologis berasal dari kata “swadesi” bahasa

sansekerta berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom.8

Sebagaimana dikutip dari Ni’matul Huda menyatakan bahwa:

Jika berbicara mengenai desa di Indonesia, sekurang-kurangnya akan


menimbulkan tiga (3) macam penafsiran atau pengertian. Pertama,
pengertian secara sosiologis, yang menggambarkan suatu bentuk
kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang tinggal dan
menetap dalam suatu lingkungan, dimana di antara mereka saling
mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen,
serta banyak bergantung kepada kebaikan-kebaikan alam. Dalam
pengertian sosiologis tersebut, desa diasosiasikan dengan suatu
masyarakat yang hidup secara sederhana, pada umumnya hidup dari
sektor pertanian, memiliki ikatan sosial dan adat atau tradisi yang
masih kuat, sifatnya jujur dan bersahaja, pendidikannya relatif
rendah dan lain sebagainya.9

Pengertian pemerintahan menurut Ridwan HR menyatakan bahwa

“pemerintahan adalah Besctuurvoering atau pelaksanaan tugas pemerintah,

sedangkan Pemerintah adalah organ/alat atau alat yang menjalankan

pemerintahan”.10

Selanjutnya menurut Bagir Manan menyatakan bahwa:

8
Ateng Syarifuddin, Republik Desa, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 2.
9
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa dalam Konstitusi Indonesia sejak
Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang, 2015, hlm. 32.
10
Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 2.
Pemerintahan adalah sebagai alat kelengkapan negara dapat diartikan
secara luas dan dalam artis sempit. Pemerintahan dalam arti luas
mencangkup semua alat kelengkapan negara, yang terjadi dari
cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial atau alat-
alat kelengkapan negara lain yang bertindak untuk dan atas nama
negara. Sedangkan Pemerintah juga dapat diartikan dalam arti sempit
yaitu pemangku jabatan sebagai pelaksanaan eksekutif atau secara
lebih penting, pemerintah sebagai penyelenggara administrasi
Negara.11

Sebagaimana juga dikutip dari Didik Sukaryono yang menyatakan

bahwa:

Istilah pemerintahan dan pemerintah dalam masyarakat secara umum


diartikan sama, di mana kedua kata tersebut diucapkan bergantian
(pemerintah atau perintahan). Sebutan kedua kata atau istilah
tersebut menunjuk pada penguasa atau pejabat. Mulai dari Presiden
hingga Kepala Desa, artinya semua orang yang memegang jabatan
disebutlah pemerintah atau pemerintahan, tetapi orang yang bekerja
di dalam lingkungan pemerintah atau pemerintahan disebut orang
pemerintah(an).12

Adapun dengan pemerintahan yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah pemerintahan desa, mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyatakan bahwa

“Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 3 ditentukan

pula bahwa “Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan

nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara

Pemerintahan Desa”.

11
Bagir Manan, Menyongsong Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas
Hukum UII Yogyakarta, Yogyakarta, 2001, hlm. 101.
12
Didik Sukaryono, Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa, Setara Press, Malang, 2010,
hlm. 57.
Mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah

Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa ditentukan bahwa “Pemerintahan Desa

adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia”.

Pemerintah desa adalah unsur penyelenggaraan Pemerintahan desa,

menurut Hanif Nurcholis menyatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas

pokok 13 :

1. Melaksanakan urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan

umum, membangun dan membina masyarakat

2. Menjalankan tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten.

Adapun asas penyelenggaran Pemerintahan Desa sebagaimana diatur

dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

ditentukan bahwa:

Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asas:


a. Kepastian hukum;
b. Tertib penyelenggaraan pemerintahan;
c. Tertib kepentingan umum;
d. Keterbukaan;
e. Proporsionalitas;
f. Profesionalitas;
g. Akuntabilitas;

13
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Erlangga, Jakarta,
2011, hlm. 5
h. Efektivitas dan efisiensi;
i. Kearifan lokal;
j. Keberagaman; dan
k. Partisipatif.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, tidak lepas dari tujuan

pembentukan Undang-Undang tentang Desa, Adapun tujuan pengaturan

desa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa ditentukan bahwa:

Pengaturan desa bertujuan:


a. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah
ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya
negara kesatuan republik indonesia;
b. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa
dalam sistem ketatanegaraan republik indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat indonesia;
c. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya
masyarakat desa;
d. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa
untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan
bersama;
e. Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan
efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
g. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna
mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h. Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Terkait dengan pembentukan Undang-Undang Tentang Desa,

sebagaimana dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Darmini Roza dan

Laurensius Arliman S menerangkan bahwa:

UU Desa ini membawa semangat dan harapan baru untuk


mewujudkan desa yang mandiri. Diharapkan segala kepentingan dan
kebutuhan masyarakat desa dapat diakomodasi dengan lebih baik.
Pemberian kesempatan yang lebih besar kepada desa untuk
mengurus tata pemerintahannya sendiri serta pemerataan
pelaksanaan pembangunan diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa, sehingga
permasalahan seperti kesenjangan antar wilayah, kemiskinan dan
masalah sosial budaya lainnya dapat diminimalisasi. UU Desa
beserta peraturan pelaksananya telah mengamanatkan pemerintah
desa untuk lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan dan
berbagai sumber daya alam yang dimiliki.14

2. Lembaga perwakilan desa

Adapun fungsi lembaga perwakilan sebagaimana dikutip dari

fatmawati menerangkan bahwa 15 :

Fungsi utama dari sebuah lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi


membuat undang-undang (UU). Dalam menjalankan fungsi legislasi
tersebut, anggota lembaga perwakilan rakyat melakukan serangkaian
kegiatan hingga undang- undang tersebut disahkan. Adapun fungsi
lembaga perwakilan adalah sebagai berikut :
1) Fungsi Pengaturan (Legislasi)
2) Fungsi Pengawasan (Control)
3) Fungsi Perwakilan (Representasi)

Di dalam pemerintahan desa, adapun lembaga pemerintahan yang

dibentuk untuk mewakili rakyat disebut dengan Badan Permusyawaran

Desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa menentukan bahwa “Badan Permusyawaratan

Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang

melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari

penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara

demokratis”.

14
Darmini Roza dan Laurensius Arliman S, “Peran Badan Permusyawaratan Desa di
Dalam Pembangunan Desa dan Pengawasan Keuangan Desa”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas
padjadjaran, Volume 4 Nomor 3, 2017, hlm. 4.
15
Fatmawati, Hukum Tata Negara, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, 2014, hlm. 7
Berdasarkan fungsi dan pengertian tersebut di atas dapat

dikemukakan bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan

lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa

yang terdiri dari perwakilan masyarakat desa yang berfungsi mengayomi

masyarakat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan

aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

Pemerintah Desa.

Karena pentingnya keberadaan Badan Permusyawaratan Desa dalam

Pemerintahan Desa, maka fungsi dan kewenangan dari Badan

Permusyawaratan Desa ini sangat besar terutama dalam jalannya Pemerintah

Desa.

Selanjutnya fungsi dan wewenang Badan Permusyawaratan Desa

pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2014 Tentang Desa, bahwa:

Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:


a. Membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama
kepala desa;
b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan
c. Melakukan pengawasan kinerja kepala desa.

Selanjutnya hak Badan Permusyawaratan Desa yang menjadi

wewenangnya pula diatur Pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa, bahwa:

Badan Permusyawaratan Desa berhak:


a. Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada pemerintah desa;
b. Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan pemerintahan desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa,
dan pemberdayaan masyarakat desa; dan
c. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya
dari anggaran pendapatan dan belanja desa.

Selanjutnya anggota Badan Permusyawaratan Desa juga memiliki hak

lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa, bahwa:

Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:


a. Mengajukan usul rancangan peraturan desa;
b. Mengajukan pertanyaan;
c. Menyampaikan usul dan/atau pendapat;
d. Memilih dan dipilih; dan
e. Mendapat tunjangan dari anggaran pendapatan dan belanja desa.

E. Orisinalitas Penelitian

Penulis telah melakukan penelusuran terhadap judul “Implementasi

Peran Badan Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten

Sarolangun Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa”

pada berbagai sumber penelusuran baik itu perpustakaan fakultas hukum

Universitas Islam Indonesia maupun pencarian melalui internet, ditemukan

bahwa terdapat penelitian skripsi terkait dengan fungsi Badan

Permusyawaratan Desa, sebagai berikut:

Nama Judul Tulisan fokus/objek Isi Penulisan


Penulis penelitian
Munawir Analisis Yuridis hubungan fungsi BPD dalam
Kadir Hubungan Pemerintah menetapkan Peraturan
Pemerintah Desa Dan BPD Desa bersama dengan
Desa Dan Badan dalam Kepala Desa yaitu dimulai
Permusyawarata pembangunan dari Tahap perancangan,
n Desa Dalam desa di Desa perumusan, dan
Pembangunan Pa’nakkukang, penyusunan Peraturan
Desa (Studi Kecamatan Desa telah dilaksanakan
Kasus Desa Pallangga, dengan baik dan juga
Pa’nakkukang, Gowa dan juga melibatkan partisipasi
Kecamatan membahas masyarakat, fungsi
Pallangga, tentang faktor pengawasan dari BPD
Gowa) yang menjadi terhadap jalannya
kendala pemerintahan desa yang di
Pemerintah laksanakan pemerintah
Desa dan BPD desa sudah cukup baik
dalam rangka dalam hal mengawasi
menjalankan peraturan desa dan Kepala
hubungan Desa, dan pemerintah desa
Pemerintahan di pun saat ini masih
Desa menjalankan tugasnya
Pa’nakkukang, sesuai dengan ketentuan-
Kecamatan ketentuan yang telah di
Pallangga, atur, Namun partisipasi
Gowa masyarakat dalam hal
pengawasan jalannya
peraturan desa masih
sangat kurang. Dan terkait
dengan implementasi
fungsi Badan
Permusyawaratan Desa
(BPD) sebagai wadah
aspirasi masyarakat desa
Pa’nakkukang belum
sepenuhnya berjalan
sesuai yang diharapkan.
faktor yang menjadi
kendala pemerintah desa
dan BPD dalam
menjalankan hubungan
pemerintahan di antaranya
yaitu: Partisipasi
Masyarakat, Tingkat
pendidikan anggota BPD,
dan erjasama dengan
Kepala Desa.

Mohammad Kedudukan, peran dan Bahwa kehadiran UU


Sudwi Peran Dan kedudukan BPD Nomor 6 Tahun 2014
Mingharyos Fungsi Badan di dalam UU No Tentang Desa sekaligus
Permusyawarata 32 Tahun 2004 menggantikan dasar
n Desa (BPD) dan UU No 6 hukum Pemerintahan
Pasca Reformasi Tahun 2014 Desa dalam pengaturan
(Ditinjau Dari mengalami kewenangan dan
Undangundang perubahan dan kedudukannya.
Nomor 32 kelebihan dan Sebagaimana sebelumnya
Tahun 2004 kekurangan diatur di dalam UU
Tentang pengaturan Nomor 32 Tahun 2004
Pemerintahan kedudukan dan Tentang Pemerintah
Daerah peran BPD Daerah. Apabila ditinjau
Terhadap menurut UU No dari segi kedudukannya di
Undang-Undang 22 Tahun 1999, dalam Pemerintahan Desa,
Nomor 6 Tahun UU No 32 Kedudukan BPD di dalam
2014 Tentang Tahun 2004, dan UU Nomor 6 Tahun 2014
Desa) UU No 6 Tahun Tentang Desa cenderung
2014 mengalami pengurangan
power terhadap kepala
desa, hal ini dapat dilihat
salah satunya dalam
konteks pemberhentian
kepala desa serta
pembentukan peraturan
desa

Dari beberapa karya tulis yang menjadikan Badan Permusyawaratan

Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun sebagai objek penelitian, tidak

terdapat pembahasan tentang bagaimana fungsi Badan Permusyawaratan Desa

di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun serta faktor pendukung dan

penghambat Badan Permusyawaratan Desa dalam mencapai tujuan

penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik di Desa Bukit Tigo Kabupaten

Sarolanguu ditinjau dari analisis yuridis dan prakteknya.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis Penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris

yaitu suatu studi hukum yang menggunakan kasus studi empiris berupa
perilaku hukum masyarakat. Pokok kajiannya adalah hukum yang

dikonsepkan sebagai perilaku nyata sebagai gejala sosial yang tidak tertulis,

yang dialami setiap orang dalam hubungan masyarakat.

Dalam Bahasa lain penelitian dengan adanya data data lapangan

sebagai sumber data utama, seperti hasil wawancara dan observasi.

Penelitian empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat

sebagai prilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang

selalu berinterkasi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.16

Penelitian ini disebut sebagai penelitian empiris karena penulis

melakukan penelitian ini berdasarkan latar belakang yang telah penulis

jelaskan hingga terbentuk rumusan masalah dengan tujuan untuk melihat

bagaiman pelaksanaan fungsi legislasi Badan Permusyawaratan Desa di

Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun dari tahun 2019 sampai 2020 serta

fakor penghambat tidak terlaksananya fungsi legislasi tersebut.

2. Objek penelitian

Objek penelitian adalah mengkaji Implementasi muatan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 terhadap peran Badan Permusyawaratan Desa

(BPD) di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun.

3. Subjek penelitian

a) Pemerintah Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun

b) Masyarakat Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun

16
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta : PT Raja Grafindo Persadaa,
2003), hlm 43
4. Sumber data penelitian

a. Data primer yaitu data dari subyek penelitian

b. Sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer; bahan

hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.

1) Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang mengikat

karena dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam penelitian ini meliputi:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah

c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

d) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

2) Bahan Hukum Sekunder, diartikan sebagai sumber hukum yang tidak

mengikat tetapi menjelaskan bahan hukum primer yang merupakan

hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang

mempelajari bidang tertentu, berupa buku-buku, makalah-makalah.

3) Bahan Hukum Tersier, diartikan sebagai sumber yang memberi

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Dalam penelitian ini berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia dan

Kamus Hukum.

5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui metode

penelitian library research dan penelitian lapangan. Metode library

research yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur


(kepustkaan), baik berupa buku-buku, jurnal ilmiah, risalah sidang, media

massa dan internet serta referensi lain yang relevan guna menjawab berbagai

rumusan permasalahan. Sedangkan penelitian lapangan yaitu melalui

metode wawancara yang di maksudkan untuk memperoleh informasi

tentang hal-hal yang tidak dapat diperoleh melalui pengamatan yaitu

mendapatkan informasi dengan cara observasi dan melakukan wawancara

kepada Pemerintah Desa serta Masyarakat Desa Desa Bukit Tigo Kabupaten

Sarolangun.

Dalam melaksanakan observasi penulis mengunjungi kantor desa desa

bukit tigo, observasi masyarakat observasi tokoh, BPD Desa Bukit Tigo,

Kadus, Kades, dan beberapa masyarakat sebagai sampel.

6. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris.

Pendekatan yuridis empiris dipilih karena penelitian ini merupakan

penelitian yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyrakat,

badan hukum atau badan pemerintahan. Melalui pendekatan ini diharapkan

dapat menemukan jawaban. Disamping itu juga digunakan pendekatan

yuridis normatif yang beranjak dari Peraturan Perundang-Undangan,

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di ilmu hukum

sebagai norma hukum positif yang berkaitan dengan peran Badan

Permusyawaratan Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa.
G. Kerangka Skripsi

Penelitaian ini disusun 4 bab (empat bab) secara garis besar yang terdiri

dari:

BAB I: yaitu pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, orisinalitas penelitian,

metode penelitian dan kerangka skripsi

BAB II: menguraikan tinjauan pustaka, pada bagian ini akan

menguraikan tentang Otonomi Desa, Pemerintahan Desa, Peraturan Desa dan

Hukum Islam Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Digunakannya ke empat tinjauan pustaka tersebut sangat relevan dengan topik

permasalahan serta menjadi pisau analisis untuk menghasilkan kesimpulan dan

saran terkait permasalahan yang diangkat.

BAB III: akan menjelaskan tentang pelaksanaan fungsi Badan

Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun dan faktor

penghambat tidak terlaksananya fungsi legislasi Badan Permusyawaratan Desa

di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun.

BAB IV: Penutup. Bagian ini menguraikan kesimpulan dan saran yang

ditarik dari penjelasan BAB III


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Otonomi Desa

Istilah “Desa” secara etimologis berasal dari kata “swadesi” bahasa

sansekerta berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom.17

Sebagaimana dikutip dari Ni’matul Huda menyatakan bahwa 18 :

Jika berbicara mengenai desa di Indonesia, sekurang-kurangnya akan


menimbulkan tiga (3) macam penafsiran atau pengertian. Pertama,
pengertian secara sosiologis, yang menggambarkan suatu bentuk
kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang tinggal dan
menetap dalam suatu lingkungan, dimana di antara mereka saling
mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen,
serta banyak bergantung kepada kebaikan-kebaikan alam. Dalam
pengertian sosiologis tersebut, desa diasosiasikan dengan suatu
masyarakat yang hidup secara sederhana, pada umumnya hidup dari
sektor pertanian, memiliki ikatan sosial dan adat atau tradisi yang
masih kuat, sifatnya jujur dan bersahaja, pendidikannya relatif rendah
dan lain sebagainya.

Menurut Nurcholis menyatakan bahwa otonomi desa merupakan

kewenamgan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri,

yang hanya masyaraka desa yang bersangkutan boleh mengantur dan

mengurus urusannya. Orang-orang luar yang tidak berkepentingan tidak boleh

ikut campur mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang

bersangkutan19

17
Ateng Syarifuddin, Op. Cit, hlm. 2.

18
Ni’matul Huda, Op. Cit, hlm. 32.

19
Hanif Nurcholis, Op. Cit, hlm. 19

23
Selajutnya menurut Widjaja menyatakan bahwa 20 :

otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan
merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah
berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa
tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan
perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata,
memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di
muka pengadilan.

Adapun penyelenggaraan otonomi di dalam suatau negara sebagai satu

sistem yang dianut di dalam pemerintahan tidak terlepas dari alasan-alasan 21 :

1. Efisiensi efektifitas penyelenggaraan pemerintahan


2. Pendidikan politik
3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan karir politik lanjutan
4. Stabilitas politik
5. Kesetaraan politik
6. Akuntabillitas publik.

Konsepsi otonomi antara desa dan daerah merupakan dua konsep yang

berbeda. Otonomi yang dimiliki pemerintah daerah provinsi dan

kabupaten/kota adalah otonomi formal/resmi. Artinya, kewenangan

pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengatur dan mengurus urusan

masyarakat setempat (memiliki otonomi) yang berasal dari peraturan

perundang-undangan formal. Oleh karena itu, urusan-urusan yang akhirnya

menjadi kewenangannya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Sedangkan otonomi yang dimiliki desa bukan berasal dan akibat dari

peraturan perundang-undangan tapi berasal dari asal usul dan adat istiadat.

Artinya otonomi desa bearasal dari asal usul dan adat istiadat yang

20
HAW Widjaja, Op. Cit, hlm. 165

21
Syaukrani. HR dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Ctk. Ketiga, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 20-30
dikembangkan, dipelihara, dipertahankan masyarakat setempat dari dulu

sampai sekarang, dengan kata lain urusan-urusan yang secara adat diatur dan

diurus diakui undang-undang. Jadi undang-undang hanya mengakui urusan-

urusan yang diatur dan diurus oleh desa tersebut, bukan mengatur seperti

urusan-ursan yang dimiliki provinsi dan kabupaten/kota.22

Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada

pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan

desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang

menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan

pengaturannya kepada desa.

Namun perlu dipahami bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada

kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh

karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam

penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai

tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan

menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan

negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa

menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan

bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab

22
Hanif Nurcholis, Op. Cit, hlm. 64
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor

peraturan perundangundangan yang berlaku.23

Dengan prinsip otonomi desa maka desa sebagai suatu pemerintahan

yang disebut dengan pemerintahan desa yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dalam Pasal 18 diatur kewenangan desa

yang ditentukan bahwa “Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang

penyelenggaraan pemerintah desa, pembinaan kemasyarakat desa dan

pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakasa masyarakat, hak asal-

usul, dan istiadat Desa”. Selanjutnya kewenangan desa diatur dalam Pasal 19

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang ditentukan

“kewenangan desa meliputi”:

a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;


b. Kewenangan lokal berskala Desa;
c. Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah
Povinsi atau Pemerintah Daerah Kabupate/Kota; dan
d. Kewenangan lain yang ditugasakan oleh pemerintah, pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota sesuai
dengan kententuan peraturan perundang-undangan.

B. Pemerintahan Desa

Pemerintahan desa Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyatakan bahwa

“Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 3 ditentukan

23
HAW Widjaja, Op. Cit, hlm. 166
pula bahwa “Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan

nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan

Desa”.

Dalam penyelenggaran Pemerintahan Desa yang dipimpin oleh kepala

desa juga terdapat unsur pemerintahan lain yaitu Badan Permusyawaratan

Desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa menyatakan bahwa “Badan Permusyawaratan Desa

atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan

fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa

berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis”.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Desa meliput beberapa bagian berikut ini:

1. Kepala Desa

2. Perangkat Desa, yang terdiri atas:

a. Sekretaris Desa

b. Pelaksana Kewilayahan; dan

c. Pelaksana Teknis.

3. Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Kepala Desa sebagai pimpinan pemerintahan desa dibantu oleh

perangkat desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,

antara lain pengaturan kehidupan masyarakat sesuai dengan kewenangan desa

seperti, pembuatan peraturan desa, pembentukan lembaga kemasyarakatan,


pembentukan Badan Usaha Milik Desa, dan kerja sama antar desa, urusan

pembangunan, dan urusan kemasyarakatan.

Selanjutnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai unsur

pemerintahan desa merupakan lembaga untuk melaksanakan demokrasi

berdasarkan Pancasila, yang melaksankan fungsi pemerintahan desa yang

anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa yang terdiri atas pemuka-

pemuka masyarakat di desa yang di pilih berdasarkan keterwakilan wilayah

dan ditetapkan secara demokratis. Dalam sistem pemerintahan desa,

pemerintahan desa akan berjalan efektif apabila unsur-unsur atau lembaga-

lembaga penyelanggara pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik. Dari

prospektif politik BPD memiliki otoritas politik yang sangat kuat, otonom, dan

independent dalam menjalankan fungsinya yaitu fungsi legislasi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

dalam Pasal 55 ditentukan bahwa Badan Permusyawaratan Desa mempunyai

tiga fungsi, yaitu:

1. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama

Kepala Desa,

2. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa dan

3. Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa

Adapun fungsi Badan Permusyawaratan Desa tersebut di atas dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Fungsi membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa bersama

dengan Kepala desa


Dalam fungsi ini dapat dijelaskan bahwa dalam penyelenggaran

Pemerintah Desa berkaitan dengan kewenanagn dengan membentuk

Peraturan Desa maka dalam hal ini Badan Permusyawaratan desa sebagai

perwakilan masyarakat desa memiliki peran yang sangat penting dalam

proses pembentukannya yaitu dapat mengusulkan peraturan desa,

membahas rancangan peraturan desa dan mengesahkan peraturan desa.

2. Fungsi Menampung dan menyampaikan aspirasi masyarakat.

Tugas dan fungsi menampung dan menyampaikan aspirasi

masyarakat, meliputi menggali aspirasi masyarakat, menampung aspirasi

masyarakat, mengelola aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi

masuyarakat, menyelenggarakan musyawarah BPD, menyelenggarakan

musyawarah Desa, dan menyelenggarakan musyawarah Desa

3. Fungsi Pengawasan

Tugas dan fungsi pengawasan oleh Badan Permusyawaratan Desa

meliputi melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa,

melaksanakan pengawasan terhadap proses jalannya pembangunan di

Desa, melakukan evaluasi laporan keterangan penyelenggaraan

Pemerintahan Desa dan menciptakan hubungan kerja yang harmonis

dengan pemerintahan Desa dan lembaga Desa lainnya

Pengawasan yang di lakukan BPD bertujuan untuk mengetahui

apakah pelaksanaan kinerja Kepala Desa sesuai dengan rencana yang telah

di tetapkan atau tidak dan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa saja


yang dijumpai oleh para pelaksana agar kemudian dapat diambil Langkah-

langkah perbaikan. 24

Dengan adanya pengawasan maka tugas pelaksana atau kepala

desa dapatlah diperingan oleh karena para pelaksana tidak mungkin dapat

melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang diperbuatnya dalam

kesibukan sehari-hari dengan tanggung jawab lain yang besrsifat peronal.

Pengawasan bukanlah untuk mencari kesalahan akan tetapi untuk

memperbaiki kesalahan,25 maka pemerintahan yang bersih dan efektif akan

terlaksana dalam penyelengaraanya.

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan desa, menurut Hanif Nurcholis

menyatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas pokok26:

1. Melaksanakan urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan

umum, membangun dan membina masyarakat

2. Menjalankan tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten.

Selanjutnya pemerintahan desa yaitu Kepala desa Bersama dengan

Badan Permusyawaratan desa dalam menyelenggarakana pemerintahan desa

haruslah berdasarkan asas penyelenggaran Pemerintahan Desa sebagaimana

24
Y.W Sunindhia, SH, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Rineka Cipta, Jakarta,
1996, hlm 103

25
Drs. Riwu Kaho, MPA, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Bima
Aksara, Jakarta,1982, hlm 194
26
Hanif Nurcholis, Loc. Cit
diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

ditentukan bahwa:

Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asas:


a. Kepastian hukum;
b. Tertib penyelenggaraan pemerintahan;
c. Tertib kepentingan umum;
d. Keterbukaan;
e. Proporsionalitas;
f. Profesionalitas;
g. Akuntabilitas;
h. Efektivitas dan efisiensi;
i. Kearifan lokal;
j. Keberagaman; dan
k. Partisipatif.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, tidak lepas dari tujuan

pembentukan Undang-Undang tentang Desa, Adapun tujuan pengaturan desa

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa ditentukan bahwa:

Pengaturan desa bertujuan:

a. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah


ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya
negara kesatuan republik indonesia;
b. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam
sistem ketatanegaraan republik indonesia demi mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat indonesia;
c. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat
desa;
d. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa
untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan
bersama;
e. Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan
efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
g. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna
mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h. Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Terkait dengan pembentukan Undang-Undang Tentang Desa,

sebagaimana dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Darmini Roza dan

Laurensius Arliman S menerangkan bahwa:

UU Desa ini membawa semangat dan harapan baru untuk mewujudkan


desa yang mandiri. Diharapkan segala kepentingan dan kebutuhan
masyarakat desa dapat diakomodasi dengan lebih baik. Pemberian
kesempatan yang lebih besar kepada desa untuk mengurus tata
pemerintahannya sendiri serta pemerataan pelaksanaan pembangunan
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat desa, sehingga permasalahan seperti kesenjangan antar
wilayah, kemiskinan dan masalah sosial budaya lainnya dapat
diminimalisasi. UU Desa beserta peraturan pelaksananya telah
mengamanatkan pemerintah desa utantuk lebih mandiri dalam
mengelola pemerintahan dan berbagai sumber daya alam yang
dimiliki.27

C. Pembentukan Peraturan Desa28

Salah satu tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat

dengan cara meningkatkan taraf hidup masyarakat, namun seringkali usaha

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat tersebut tidak tercapai

terutama bagi masyarakat pedesaan. Di samping banyak terjadi kerusakan

lingkungan, karena pendayagunaan yang berlebihan dalam mengejar target

pembangunan tertentu dan juga terjadi pelanggran norma norma kehidupan

27
Moch, Solekhan, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi
Mayarakat, Setara, Malang, 2012, hlm. 44.
28
Saputra, Prayoza, Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa Dalam
Pembentukan Peraturan Desa (Studi Kasus Di Desa Tridayasakti Kecamatan Tambun Selatan
Kabupaten Bekasi), 2015, hlm. 34.
masyarakat pedesaan. Hal terebut dikarenakan perencanaan pembangunan

bersifat dari atas kebawah (top down planning), dimana pendekatan tersebut

menjadikan masyarakat sasaran pembangunan (obyek) bukan sebagai pelaku

(subyek).29 Maka diperlukan suatu alternatif baru berupa paradigma

pembangunan. Pendekatan ini didasarkan pada pengalaman desa-desa yang

masyrakatnya bekerja secara efektif dalam mengelola sumberdaya yang ada di

desa tersebut dan lingkungannya. Oleh karena itu perlu dibentuk suatu aturan

dalam rangka mewujudkan hal diatas, yaitu melalui peraturan desa.

Peraturan desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat

oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan

mengurus urusan masyarakat setempat sesuai dengan asal usul dan adat

istiadatnya. Sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, desa

atau sebutan lain diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat

setempat yang diakui.

Dalam rangka mengatur urusan masyarakat setempat, desa dapat

membuat peraturan desa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Desa adalah bentuk regulasi

yang di keluarkan pemerintah desa sebagaimana kabupaten membuat

peraturan daerah.

Pengertian Peraturan desa berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 7

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ditentukan bahwa

29
HAW Widjaya, Op.Cit, hlm 22
“Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh

Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan

Desa”. Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

desa yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya

masyarakat desa setempat.30

Dalam Peraturan Daerah (PERDA) kabupaten Sarolangun Nomor 10

Tahun 2015 bab V pasal 133 jenis peraturan di desa meliputi peraturan desa,

peraturan bersama kepala desa dan peraturan kepala desa.

Isi peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

umum/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta norma

kesusilaan masyarakat. Peraturan desa dibentuk berdasarkan asas

pembentukan peraturan-peraturan perundang-undangan yang baik meliputi :

1. Kejelasan tujuan;

2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

4. Dapat dilaksanakan

5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6. Kejelasan rumusan; dan

7. Keterbukaan

Peraturan desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

desa, dengan demikian maka pemerintahan desa harus menerapkan penjabaran

30
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaran Pemerintahan Desa, hlm. 113
lebih lanjut dari peraturan-peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan

tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana ketentuan Pasal 69 Ayat 2

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa serta harus

memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat dalam upaya

mencapai tujuan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat

jangka panjang, menengah dan jangka pendek.

Agar peraturan desa benar-benar mencerminkan hasil

permusyawaratan dan pemufakatan antara pemerintahan desa dengan Badan

Perwakilan Desa, maka diperlukan pengaturan yang meliputi syarat-syarat dan

tata cara pengambilan keputusan bentuk peraturan desa, tata cara pengesahan,

pelaksanaan dan pengawasan serta hal-hal lain yang dapat menjamin

terwujudnya demokrasi di desa.31

Mekanisme atau tata cara pembentukan Peraturan desa selanjutnya

diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

yang ditentukan sebagai berikut:

Pasal 83

1) Rancangan peraturan Desa diprakarsai oleh Pemerintah Desa.


2) Badan Permusyawaratan Desa dapat mengusulkan rancangan
peraturan Desa kepada pemerintah desa.
3) Rancangan peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa untuk
mendapatkan masukan.

31
Ibid, hlm. 59.
4) Rancangan peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh kepala Desa setelah dibahas dan disepakati
bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Pasal 84

1) Rancangan peraturan Desa yang telah disepakati bersama


disampaikan oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa kepada
kepala Desa untuk ditetapkan menjadi peraturan Desa paling
lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak tanggal kesepakatan.
2) Rancangan peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib ditetapkan oleh kepala Desa dengan membubuhkan tanda
tangan paling lambat 15 (lima belas) Hari terhitung sejak
diterimanya rancangan peraturan Desa dari pimpinan Badan
Permusyawaratan Desa.
3) Peraturan Desa dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat sejak diundangkan dalam lembaran Desa
dan berita Desa oleh sekretaris Desa.
4) Peraturan Desa yang telah diundangkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disampaikan kepada bupati/walikota sebagai bahan
pembinaan dan pengawasan paling lambat 7 (tujuh) Hari setelah
diundangkan.
5) Peraturan Desa wajib disebarluaskan oleh Pemerintah Desa.

Peraturan desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial

budaya masyarakat setempat. Peraturan desa dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Secara teoritis, pembuatan produk hukum dalam bentuk peraturan perundang-

undangan salah satunya dalam hal ini adalah peraturan desa harus didasari

oleh paling tidak empat dasar pemikiran antara lain:

1. Dasar filosofis, merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup


yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat kedalam
suatu rancangan/draft peraturan perundang-undangan sehingga
hukum yang dibentuk tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral
atau nilai-nilai adat yang dijunjung tinggi dimasyarakat.
2. Landasan sosiologis, bahwa Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat dan harus sesuai
dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Aturan
hidup yang dibuat harus sesuai dengan keutuhan, keyakinan dan
kesadaran masyarakat.
3. Landasan yuridis, bahwa yang menjadi landasan dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan adalah peraturan atau
sederet peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan
dasar kewenangan seorang pejabat atau badan membentuk
Peraturan Perundang-undangan.
4. Dasar hukum, Tolak ukur di atas dapat memberikan jaminan
bahwa rancangan peraturan perundang-undangan yang dibuat
merupakan cikal bakal peraturan perundang-undangan yang
diterima oleh masyarakat, populis dan efektif. Populis, karena
mengakomodir sebanyak-banyaknya keinginan penduduk di
daerah. Efektif, karena peraturan yang dibuat itu operasional dan
jangkauan peraturannya mencakup sebanyak-banyaknya
kepentingan masyarakat dan senantiasa sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman sehingga setiap kebutuhan masyarakat pada
setiap era, mampu diwadahinya.32

Dalam penyusunan peraturan desa dapat diparkasai oleh pemerintah

desa dan dapat berasal dari usul inisiatif BPD. Jika berasal dari pemerintah

desa maka kepala desa yang menyiapkan rancangan Peraturan Desa tersebut.

Terhadap rancangan Peraturan Desa baik dari pemerintah desa maupun BPD,

masyarakat berhak memberikan masukan baik secara tertulis maupun lisan.

Selanjutnya rancangan peraturan desa di bahas secara bersama oleh

pemerintah desa dan BPD. Rancangan peraturan desa yang berasal dari

pemerintah desa dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama BPD.

Kedudukan BPD dalam pasal 55 undang-undang No 6 tahun 2014

tentang Desa menyatakan bahwa BPD berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintah desa. BPD mempunyai fungsi:

32
Hamzah Halim dan Kemal Redindo. Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan
Daerah. Kencana Media Group. Jakarta, 2009, hlm. 47
a. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama

Kepala Desa;

b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan

c. Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Badan Permusyawaratan Desa memiliki fungsi yang sangat strategis

dalam rangka mendukung pembangunan desa dan penyelenggaraan

pemerintah serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

pemerintah desa, pengelolaan keunagan dan asset desa, serta penetapan

kebijakan strategis lainya.

Fungsi BPD dalam bidang legislasi adalah merumuskan dan

menetapkan peraturan desa bersama dengan pemerintah desa. Fungsi legislasi

ini terlihat pelaksanaanya oleh BPD dalam hal sebgai berikut :

1. Merumuskan Peraturan Desa bersama-sama dengan pemerintah desa.

Proses yang dilakukan oleh BPD dan Kepala Desa di dalam merumuskan

peraturan dea antara lain sebagai berikut :

a. Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa) mengundang

anggota BPD untuk menyampaikan maksudnya membentuk

peraturan desa dengan menyampaikan pokok-pokok peraturan desa

yang di ajukan.

b. BPD terlebih dahulu mengajukan rancangan peraturan desa, demikian

halnya dengan pemerintah desa yang juga mengajukan rancangan

peraturan desa.
c. BPD memberikan masukan atau usul untuk melengkapi atau

menyempurnakan rancangan peraturan desa.

d. Ketua BPD menyampaikan usulan terebut kepada pemerintah desa

untuk di agendakan.

e. BPD mengadakan rapat dengan pemerintah desa kurang lebih satu

sampai dua kali untuk memperoleh kesepakatan bersama.

2. Menetapkan Peraturan Desa bersama-sama dengan Pemerintah Desa

Setelah BPD dan Kepala Desa mengajukan rancangan Peraturan

Desa kemudian dibahas berasama-sama di dalam rapat BPD dan setelah

mengalami penambaha dan perubahan, kemudian rancangan Peraturan

Desa terebut disahkan dan disetujui serta ditetapkan sebgai Peraturan

Desa.

Dalam menetapkan peraturan desa antara BPD dan Kepala Desa

sama-sama memiliki peran yang sangat penting antara lain sebagai berikut:

a. BPD menyetujui dikeluarkanya Peraturan Desa;

b. Kepala Desa menandatangaini Peraturan Desa tersebut;

c. BPD membuat berita acara tentang Peraturan Desa yang baru di

tetapkan; dan

d. BPD mensosialisasikan Peraturan Desa yang telah disetujui kepada

masyarakat melalui Ketua Rukun Tetangga (RT) untuk diketahui dan

dipatuhi serta pula mulai keterbelaksanaanya aturan.

Dalam mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat desa, masing-

masing unsur pemerintahan desa, Pemerintah Desa dan BPD dapat


menjalankan fungsinya dengan mendapat dukungan dari unsur lain. Oleh

karena itu hubungan yang bersifat kemitraan antara BPD dan Pemerintah

Desa harus di dasari pada filosofi antara lain:

1. Adanya kedudukan yang sejajar diantara yang bermitra;

2. Adanya kepentingan bersama yang ingin dicapai;

3. Adanya prinsip saling menghormati;

4. Adanya niat baik untuk saling membantu dan saling

mengingatkan. 33

BPD merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan

pemerintah desa sebagai unsur penyelenggara desa. Keberadaan BPD

dalam pemerintahan desa adalah bukti keterlibatan masyarakat dalam

bidang penyelenggaraan pemerintah. Hal ini di tegaskan dalam Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan diatur lebih rinci lagi

dalam Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa. Dalam Peraturan undang-undang yang berlaku ini

disebutkan dan dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa berfungsi

menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat dan disamping itu BPD berfungsi

mengawasi pelaksanaan peraturan desa dalam rangka menetapkan

pelaksanaan kinerja pemerintahan desa.

33
Wasistiono Sadu dan Irwan Tahir, Prospek Pengembangan Desa, Fokusmedia, Bandung, 2007,
hlm 35-36.
Selanjutnya dijelaskan dalam Peraturan Daerah (PERDA)

Kabupaten Sarolangun No. 10 Tahun 2015 pengertian Badan

Permusyawartan Desa (BPD) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi

pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa

berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Kemudian penyusunan peraturan desa oleh Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) di desa Bukit Tigo juga di muat dalam

peraturan Peraturan Daerah (Per-Da) Kabupaten Sarolangun No. 10 -Th-

2015 pada Bagian ke-tiga pasal 138 yakni:

1) BPD dapat Menyusun dan mengusulkan rancangan peraturan desa.


2) Rancangan peraturan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kecuali untuk rancangan peraturan desa tentang rencana
pembangunan jangka menengah desa, rancangan peraturan desa
tentang rencana kerja pemerintah desa, rancangan peraturan desa
tentang anggaran pendapatan belanja desa dan rancangan peraturan
desa tentang laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan
Anggaran Pendapatan Belanja Desa.
3) Rancangan peraturan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat di usulkan oleh anggota BPD kepada pemimpin BPD untuk
ditetapkan sebagai rancangan peraturan desa usulan BPD.
Setelah peraturan desa di susun oleh BPD kemudian Langkah
selanjutnya adalah pembahsan sebgaimana yang tertera dalam Per-Da
No 10 Tahun 2015 pada bagian ke-4 Pembahasan Pasal 139
1) BPD mengundang Kepala Desa untuk membahas dan menyepakati
rancangan peraturan Desa.
2) Dalam hal terdapat rancangan peraturan desa prakarsa pemerintah
desa dan usulan BPD mengenai hal yang sama untuk dibahas dalam
waktu pembahasan yang sama, maka didahulukan rancangan
peraturan desa usulan kepala desa digunakan sebagai bahan untuk di
persandingkan.
Selanjutnya berdasarkan Pada Pasal 140 Perda No 10 Tahun 2015
menjelaskan:
1) Rancangan peraturan desa yang belum dibahas dapat ditarik kembali
oleh pengusul
2) Rancangan peraturan desa yang telah di bahas tidak dapat di Tarik
kembali kecuali ats kesepakatan bersama antara pemerintah desa dan
BPD

Pasal 141
1) Rancangan peraturan desa yang telah disepakati bersama di sampaikan
oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa kepada Kepala Desa
untuk di tetapkan menjadi peraturan desa paling lambat 7 (tujuh) Hari
terhitung sejak tanggal kesepakatan.
2) Rancangan peraturan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
di tetapkan menjadi peraturan desa paling lambat 15 (lima belas) Hari
terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan Desa dari pimpinan
Badan Permusyawaratan Desa.
Bagian Kelima Penetapan
Pasal 142
1) Rancangan peraturan desa yang telah dibubuhi tanda tangan
sebgaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Sekertaris
Desa untuk diundangkan.
2) Dalam hal Kepala Desa tidak menandatangani rancangan peratuaran
desa sebgaimana dimaksud pada ayat (1), rancangan peraturan desa
tersebut wajib diundangkan dalam lembaran desa dan sah menjadi
peraturan desa.
Bagian ke engam pengundangan
Pasal 143
1) Sekertaris Desa mengundang peraturan desa dalam lembaran desa.
2) Peraturan Desa dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat sejak di undangkan.
Bagian Ketujuh Penyebarluasan
Pasal 144
1) Penyebarluasan dilakukan oleh Pemerintah Desa dan BPD sejak
penetapan rencana penyusunan rancangan Peraturan Desa, penyusunan
Rancangan Peraturan Desa, Rancangan Peraturan Dea, hingga
Penundangan Peraturan Desa.
2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan
para pemangku kepentingan.

Dalam perjalanannya perwujudan tujuan peraturan desa tidak tercapai

dengan mudah, terdapat problematika terhadap penerapan Undang-Undang No. 6


Tahun 2014 Tentang Desa. RUU No. 6 Tahun 2014 tentang desa di tanda tangani oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 15 Januari 2014 dan menjadi

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014.

Berikut Problematika yang terjadi dengan berlakunya Undang-Undang No 6

tahun 2014, baik dari aspek Hukum, Politik, Ekonomi, maupun Sosial Budaya.34

1. Problem Hukum

Undang Undang No. 6 Tahun 2014 merupakan Undang Undang

yang paling lengkap dalam mengatur Pemerintahan Desa, yakni

terdapat sebanyak 15 bab dan 122 pasal. Hingga akhir tahun 2014

pemerintah baru mengeluarkan dua PP, yakni no. 43/2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa dan no. 60/2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Di samping itu masih

banyak persoalan hukum bukan saja masih sedikitnya peraturan

pelaksananya, akan tetapi juga tumpang tindih antar pasal dalam

peraturan yang ada. Misalnya pada pasal 20 dan 21 dari PP no. 60/2014,

dimana pada pasal 20 dijelaskan bahwa penggunaan dana desa mengacu

RPJMDesa dan DKPDesa, sementara pasal 21 ayat 2 menjelaskan

prioritas penggunaan dana desa mengacu pada ketetapan menteri.

Kemudian juga pasal 53 ayat 1 dan 2 UU No. 6/2014

menyiratkan kewenangan Kades untuk memberhentikan perangkatnya

34
Pudjiono Santoso 2018 Problematika Penerapan UU No. 6/2014 Tentang Desa
yang telah berusia 60 tahun lebih, atas permintaan sendiri dan

berhalangan tetap, melanggar larangan sebagai perangkat desa serta

tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat desa. Namun pada ayat 3

disebutkan bahwa penetapan pemberhentian perangkat desa oleh Kades

dilakukan setelah berkonsultasi dengan Camat sebagai perwakilan

Bupati. Hal ini makin diperjelas pada ayat 4 bahwa semua aturan

pemberhentian tersebut akan diatur dan dituangkan dalam Peraturan

Pemerintah. Sementara itu Peraturan Pemerintah yang mengatur hal itu

belum ada. Kasus ini sama dengan masalah pengangkatan Sekretaris

Desa oleh Kades sebagaimana bunyi pasal 26 ayat 2 (b) bahwa Kades

memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan

perangkat desa. Selanjutnya pada pasal 48 jelas disebutkan bahwa

sekretaris desa merupakan salah satu bagian dari perangkat desa. Sejak

tahun 2007 pemerintah mengeluarkan aturan mengenai hak

pengangkatan sekretaris desa ada pada Camat dan diangkat menjadi

Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di desa. Namun karena atasan

langsung bukan ada pada Kades tapi pada Camat, maka tidak jarang

sekretaris desa ini tidak fungsional di desa.

Penyelesaian alternatif yaitu problematika teoritik peraturan

perundang-undangan, selalu ada kesenjangan dalam hukum anatra teori

dan fakta, yaitu tidak adanya hukum yang mengatur atau hukum tidak

lengkap dalam mengatur (Insuficiency gab), sesama undang—undang

tidak sejalan (inconsistency gab), aturan kabur atau tidak jelas


(Interminacy Gab) dan secara moral tidak dapat diterima (axiolgical

gab). 35

2. Problem Politik

Dari aspek politik, UU desa ini menegaskan adanya kemauan

pemerintah untuk memberikan otonomi dan kemandirian yang lebih

pada desa untuk mengatur dan menjalankan pemerintahan desa,

pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan

prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa. Peluang yang

diberikan pada desa ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin

dengan memperkuat perencanaan pembangunan dan kinerja

pemerintahan desa. Di samping itu, UU Desa ini secara politis

memperkuat kehidupan berdemokrasi di desa, misalnya melalui

musyawarah desa, pengembangan kelembagaan desa baik untuk

kepentingan ekonomi maupun sosial budaya masyarakat. Kemudian

juga melalui kewenangan yang dimilikinya kepala desa harus mampu

meningkatkan peran serta masyarakat dalam setiap kegiatan desa

dengan semangat transparansi dan akuntabel.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hingga saat ini

pemerintah baru mengeluarkan 2 (dua) Peraturan Pemerintah dengan

harapan pada tahun 2015 ini Undang Undang Desa dapat dilaksanakan.

Akan tetapi ada pihak yang menganggap terbitnya dua PP ini tergesa-

35
Prayoza Saputra 2014 Optimalisasi Badan Permusyawartan Desa dalam Pembentukan
Peratruan Desa
gesa karena tidak ada pembahasan publik dan secara hukum ada

beberapa pasal yang kontradiktif seperti yang telah dijelaskan di bagian

atas. Sekalipun Undang Undang Desa beserta Peraturan Pemerintah

tersebut jelas menyebutkan pemberian kewenangan bagi kepala desa

untuk mengelola keuangan secara mandiri, namun belum

mencerminkan semangat reformatif. Misalnya dalam hal pengelolaan

keuangan, pemerintah desa—dalam hal ini kepala desa—tidak dituntut

untuk mempertanggungjawabkan secara horisontal (kepada BPD) dan

pada masyarakat. Pemerintah desa hanya mempertanggungjawabkan

secara politis pada BPD dan menginformasikan pada masyarakat

tentang penggunaan keuangan. Pertanggungjawaban administratif

hanya diberikan pada Bupati (vertikal). Proses akuntabilitas yang

vertikal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan tawar menawar

ekonomis (rente atau penyuapan/gratifikasi) maupun politis (pada saat

pilihan Bupati). Bahkan dalam kegiatan Sosialisasi dan Bintek UU No.

6/2014 yang lalu muncul kekhawatiran dari beberapa kepala desa

bahwa mereka akan dihambat dalam proses pencairan dana desa yang

diajukan bahkan mulai dari saat pembahasan di tingkat rapat dewan di

DPRD kabupaten. Sehingga pemerintah desa “harus” mengeluarkan

biaya untuk mensahkan anggaran tersebut. Demikian pula pada tingkat

kabupaten, mereka percaya pasti ada biaya yang harus dikeluarkan

untuk pencairan dana desa.


Pada tingkat politik lokal (desa), tambahnya kesempatan kepala

desa untuk bisa dipilih kembali sebanyak 3 (tiga) kali dengan masa

jabatan selama 6 tahun tidak serta merta disambut dengan gembira.

Mereka lebih senang dengan memperpanjang masa jabatan selama 8

(delapan) tahun dan bisa dipilih kembali sebanyak banyak 2 (dua) kali.

Pertimbangannya adalah biaya ekonomi dan sosial yang dikeluarkan

pada setiap pilihan kepala desa (pilkades) sangat tinggi.

Berdasarkan diskusi yang dilakukan pada beberapa kepala desa

di Jawa Timur beberapa waktu lalu, rata-rata setiap calon kepala desa

pada saat pilkades mengeluarkan biaya antara 300 ribu hingga 2 milyar.

Besar kecilnya biaya ini pada umumnya tergantung pada besar kecilnya

tanah bengkok yang bisa dikuasai oleh kades. Namun ada juga mereka

yang mengeluarkan biaya hingga 300 juta rupiah meskipun tanah

bengkok yang dikuasai hanya seluas 1,5 hektar lebih disebabkan

pertarungan harga diri dalam upaya untuk bisa mengalahkan kepala

desa incumbent.ang tidak kalah krusial dalam pilkades adalah konflik

yang timbul di antara calon kepala desa yang mengikuti kontestasi

beserta para anggota tim suksesnya. Acapkali kondisi permusuhan ini

tidak berhenti pada saat sudah dipastikan pemenangnya dan sudah

resmi diangkat menjadi kepala desa. Ada beberapa kepala desa di Jawa

Timur yang mengatakan bahwa ia hingga 9 bulan menjabat sebagai

kades ini masih dimusuhi oleh calon kades pesaingnya, bahkan dengan

anggota tim suksesnya.


Beberapa kepala desa di kepulauan Madura mengatakan bahwa

setiap pilkades pasti akan menghasilkan permusuhan yang permanen

dengan para calon kepala desa. Sehingga bisa dipastikan jika dalam

setiap pilkades ada 3 (tiga) calon, maka akan ada dua kelompok yang

memusuhi kepala desa pemenang, dan jika pada periode berikutnya

kades incumbent mencalonkan kembali dan bersaing dengan dua calon

yang baru lagi maka akan ada dua kelompok lagi yang memusuhi kades

tersebut jika terpilih kembali. Hal ini terus berlangsung hingga saat ini

di desa-desa tersebut. Kondisi permusuhan tersebut makin permanen

jika calon kades yang kalah itu masuk menjadi anggota BPD. Acapkali

ia mengganggu jalannya pemerintahan desa dengan mencari-cari

kesalaanh dari kepala desa. Bahkan tidak jarang ia memanfaatkan jasa

wartawan “bodrek” (tidak jelas surat kabarnya atau kebanyakan berupa

koran online) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang banyak

berkeliaran di desa. Menariknya lagi para wartawan dan LSM ini akan

berjalan sendiri mendatangi kepala desa manakala mereka mengendus

adanya indikasi korupsi atau kesalahan pengelolaan keuangan desa.Jika

selama ini desa memperoleh alokasi dana desa (ADD) dengan kisaran

50 juta hingga 500 juta rupiah per tahun, maka ketika desa memperoleh

tambahan anggaran Dana Desa antara 700 juta hingga 1,4 milyar rupiah

per tahun, maka bisa dibayangkan bagaimana tekanan politis yang

dilakukan oleh BPD dan pihak luar (wartawan dan LSM) kepada

pemerintahan desa. Beberapa kepala desa yang mengikuti kegiatan


Sosialisasi dan Bintek banyak yang mengatakan bahwa daripada

urusannya semakin ribet maka para wartawan dan LSM tersebut diberi

uang. Namun mereka tidak mengatakan apakah kepala desa tersebut

telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak. Apabila tidak ada

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kepala desa, maka seharusnya

tidak perlu mengeluarkan uang buat wartawan dan LSM tersebut.

Jika diperhatikan secara seksama pasal demi pasal, baik Undang

Undang maupun Peraturan Pemerintah, desentralisasi kewenangan dari

pemerintah pusat dan yang ada di bawahnya ke pemerintahan Desa

tidak serta merta desa bisa leluasa untuk merencanakan program dan

pengalokasian anggaran secara mandiri, sebab dalam penyusunan

anggaran dan prioritas program, kepala desa masih diharuskan untuk

berkonsultasi pada bupati dan bupati berhak untuk melakukan

pendampingan. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya pemerintah masih

menyimpan kekhawatiran ketidakmampuan pemerintah desa untuk

mengelola dana desa yang jumlahnya sangat besar tersebut. Atau

sesungguhnya pemerintah ingin menjalankan transisi desentralisasi

kewenangan dan pengelolaan keuangan pada pemerintahan desa secara

baik, sehingga tidak ada penyimpangan-penyimpangan akibat salah

prosedur dan salah kelola keuangan.


3. Problem Ekonomi

Sekalipun desa memperoleh anggaran keuangan yang sangat

besar (antara 700 juta hingga 1,4 milyar rupiah per tahun), justru

menuntut tanggung jawab yang sangat besar dari kepala desa. Dana

besar yang diperoleh dari Alokasi Dana Desa dan Dana Desa tersebut

akan memperkuat sumber pendapatan APBDesa. APBDesa yang besar

tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah desa.

Desa dalam hal ini kepala desa dituntut untuk mampu melakukan tata

kelola keuangan yang baik mulai dari perencanaan, implementasi,

pengawasan hingga pertanggung jawabannya. Kompetensi tersebut

harus dimiliki oleh pemerintah desa agar terhindar dari segala

penyimpangan keuangan dan tidak terserapnya seluruh anggaran

keuangan. Kompetensi tersebut bersinergi dengan komposisi perangkat

desa yang dimiliki oleh setiap desa. Perbaikan sistem manajemen dan

tata kelola pemerintahan desa merupakan syarat mutlak yang harus

dilakukan oleh desa. Untuk melaksanakan semuanya ini tentu

dibutuhkan adanya petunjuk teknis pelaksanaan khususnya berkaitan

dengan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa. Namun

apabila petunjuk teknis pelaksanaan sudah diterbitkan, maka kepala

desa harus melakukan rekruitmen perangkat desa secara transparan dan

akuntabel, dan bukannya menciptakan nepotisme baru dengan

mengangkat orang-orang yang dekat dengan kepala desa, baik keluarga

maupun anggota tim suksesnya.


Jumlah dana yang besar tersebut sesungguhnya memberi

peluang bagi pemerintah desa untuk meningkatkan kesejahteraan

warganya melalui peningkatan potensi ekonomi desa. Misalnya, melalui

pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk

menggerakkan potensi ekonomi yang ada di desa serta pelayanan

masyarakat desa.

Problem ekonomi dari penerapan UU Desa ini adalah keragu-

raguan publik akan kemampuan Kepala Desa dalam mengelola

keuangan sehingga potensi terjerat kasus korupsi semakin besar. Ini

salah satu ketakutan yang dihadapi oleh kepala desa. Ada beberapa

kepala desa di Jawa Timur yang mengatakan bahwa jumlah anggaran

yang besar tersebut justru menimbulkan pandangan yang negatif dari

masyarakat desa terhadap kepala desa.

Masalah lainnya adalah pasal yang mengatakan kepala desa

beserta perangkat desa mendapatkan penghasilan tetap yang diambilkan

dari anggaran keuangan desa. Tidak semua kepala desa menanggapi

dengan senang hal itu, karena adanya penafsiran dari kepala desa bahwa

seluruh tanah kas desa yang selama ini dikenal dengan tanah bengkok

dan dibagi-bagi kepada kepala desa beserta perangkat desa sebagai

penghasilan jabatan akan ditarik dan menjadi tanah kas desa (TKD) dan

dikelola untuk menambah penghasilan desa.


Andaikata setiap kepala desa memperoleh 15 juta rupiah per

bulan pun mereka lebih memilih penghasilan dari mengelola tanah

bengkok. Di beberapa daerah di Jawa Timur seperti kabupaten Jember,

ada kepala desa yang mendapatkan tanah bengkok seluas 50 hektar.

Dari luasan tersebut sekurang kurangnya kepala desa bisa memperoleh

penghasilan sebanyak antara 500 juta hingga 750 juta rupiah per tahun.

Angka ini tentunya sangat jauh bila dibandingkan dengan penghasilan

tetap 15 juta rupiah per bulan. Oleh karena itu seyogyanya pemerintah

segera mengeluarkan peraturan yang tegas dan jelas mengenai

pengelolaan tanah kas desa agar tidak menimbulkan polemik di tingkat

desa.

4. Problem Sosial Budaya

Undang Undang Desa no.6/2014 secara tegas memberi

pengakuan atas nilai-nilai budaya dan adat istiadat di tingkat lokal.

Undang Undang Desa mengamanahkan pentingnya melestarikan nilai-

nilai budaya dan adat istiadat yang hidup di desa. Banyak adat istiadat

yang pernah hidup dan berkembang di desa dapat dihidupkan kembali

sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Misalnya, kesenian

tradisional yang dimiliki oleh suatu kelompok di desa dapat

dikembangkan lagi jika memang masih ada pendukungnya. Demikian

pula dengan berbagai adat kebiasaan yang ada di desa seperti upacara

bersih desa, upacara petik laut, Nyadran, dan beberapa tradisi lainnya.
Problem yang acapkali terjadi dan tidak sesuai dengan semangat

pelestarian nilai-nilai budaya seperti yang diamanhkan dalam UU Desa

adalah tekanan kelompok tertentu di desa yang menganggap adat

istiadat dan tradisi yang dimiliki oleh desa tidak sesuai dengan nilai-

nilai keislaman (tahayul, bid’ah dan qurofat). Meskipun jumlahnya

kecil di desa namun mereka pada umumnya sangat militan dan pantang

menyerah. Hal ini terjadi di beberapa desa di Bondowoso, dimana ada

beberapa kesenian tradisional dan upacara adat yang diminta oleh

kelompok agama tertentu untuk dihilangkan.

Problem sosial budaya lainnya adalah masih banyak masyarakat

desa yang memiliki pendidikan rendah dan bahkan belum pernah

sekolah. Rendahnya pendidikan dan pengetahuan warga masyarakat

akan menghambat partisipasi mereka dalam pembangunan desa.

Mereka cenderung apatis dengan semua program pemerintah desa jika

tidak secara langsung berhubungan dengan dirinya.(Santoso, 2018)

D. Hukum Islam Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam

landasan Konstitusional Negara yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada kenyataannya bahwa

masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, dan karenanya dapat


dipahami apabila ada keinginan dalam penyusunan hukum nasional Indonesia

yang sumber hukumnya berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-Ijtihad.36

Sebagaimana dikutip dari Ichtijanto bahwa eksistensi hukum Islam

dalam hukum nasional sebagai berikut:

a. Hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional


Indonesia.
b. Hukum Islam adalah hukum yang mandiri dan diakui
keberadaannya, dan karena kekuatan dan wibawanya, maka hukum
nasional memberikan status sebagai hukum nasional. Norma
hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum
nasional Indonesia.
c. Hukum Islam sebagai bahan utama dan unsur utama hukum
nasional Indonesia.37

Pada dasarnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

tidak menyebutkan bahwa Islam adalah agama resmi negara. Namun hukum

Islam di Indonesia hidup di tengah-tengah masyarakat (living law). Hukum

Islam merupakan hukum material yang menjadi sumber pembentuk hukum di

Indonesia, di samping sumber-sumber lainnya seperti hukum adat dan hukum

barat. Karena hukum Islam sudah dikenal di Indonesia jauh sebelum

masuknya pemerintah Kolonial Belanda di samping hukum Adat yang

merupakan hukum asli Indonesia. Dalam konteks ini, tentunya keberadaan

hukum Islam di Indonesia simultan dengan menyebarnya agama Islam di

nusantara dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam.38

36
Ichtijanto, Hukum Islam dan Hukum Nasional Ind-Hill Co, Jakarta, 1990, hlm. 68
37
Ibid, hal-86-87
38
Said Agil Husein Al Munawwar, Islam dalam Pluralitas Masyarakat Indonesia, Kaifa,
Jakarta, 2004, hlm. 74.
Perspektif hukum Islam dalam sistem pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia guna melaksanakan pembangunan hukum

sekurang-kurangnya bisa tampil dalam tiga bentuk:

1. Hukum Islam tampil dalam bentuk hukum positif yang hanya


berlaku bagi umat Islam. Dalam hal ini hukum Islam berperan
mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif.
2. Hukum Islam berkontribusi bagi penyusunan hukum nasional
sebagai sumber nilai.
3. Hukum Islam bertujuan untuk rahmatan lil alamin.39

Dalam kenyataannya bahwa bentuk kedua dan ketiga lebih cocok

untuk diterapkan karena dalam bentuk ini hukum Islam mudah terlaksana dan

atau terintegrasi.40

39
Ichtijanto, Op. Cit, hlm. 94
40
Ibid
BAB III

FUNGSI LEGISLASI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DI DESA

BUKIT TIGO KABUPATEN SAROLANGUN BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

A. PELAKSANAAN FUNGSI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DI DESA BUKIT TIGO KABUPATEN SAROLANGUN DARI

TAHUN 2019 SAMPAI 2020

Desa sebagai pemerintahan terkecil dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diharapkan mengandaikan setiap warganya

memiliki hak untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan, Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggarn

pemerintahan dan pembangunan desa melahirkan BPD sebagai unsur

dalam Pemerintahan Desa yang menempatkan BPD sebagai lembaga

legislatif dalam lingkup Pemerintahan Desa sebagaimana tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Badan permusyawaratan desa sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan desa memiliki fungsi dan kedudukan BPD semakin jelas

dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sebagaimana

ketentuan dalam Pasal 55 yang menentukan bahwa Badan

Permusyawaratan Desa memiliki fungsi membahas dan menyepakati

Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; menampung dan

56
57

menyalurkan aspirasi masyarakat desa; serta melakukan pengawasan

kinerja Kepala Desa.

Badan permusyawaratan desa sebagai salah satu unsur

pemerintahan desa tentulah berperan penting dalam penyelenggaran

pemerintah desa yang dalam hal ini berkaitan dengan penyelenggaran

pemerintahan desa oleh kepala desa yang dalam hal ini maka keberadaan

badan permusyawaratan desa berperan penting dalam mencapai tujuan

pengaturan tentang desa sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang ditentukan sebagai

berikut:

a. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah


ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa
dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
c. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat
Desa;
d. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa
untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan
bersama
e. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan
efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum
g. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna
mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional
h. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
58

Melihat tujuan pembentukan desa yang secara umum adalah untuk

mensejahterakan masyarakat di desa, maka pelaksaaan fungsi badan

permusyawaratan desa haruslah dapat dimaksimalkan.

Di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi telah

terbentuk BPD sebagai salah satu unsur penyelenggara Pemerintahan Desa

yang memiliki peran penting dalam mendukung perwujudan

penyelenggaraan pemerintahan Desa yang baik. Dengan kata lain untuk

mewujukan penyelenggaraan pemerintah desa yang baik maka fungsi BPD

haruslah dapat dilaksanakan secara maksimal sesuai dengan fungsi yang

diatur dalam Undang-Undang Tentang Desa.

Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi penelitian di wilayah

Desa Bukit Tigo yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Singkut

Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi dengan luas wilayah desa lebih

kurang 843 Hektar. Jarak dari Pusat Pemerintah Daerah Kabaputaen

Sarolangun lebih kurang 50 Km,. Selanjutnya untuk kepengurusan desa

terdiri dari satu orang Kepala Desa, satu orang Sekretaris Desa, tiga orang

Kepala Urusan (Kaur), dan 5 (lima) orang Ketua RT serta tujuh orang

anggota Badan Permusyawaratan Desa. Penduduk desa Bukit Tigo

berjumlah sekitar 3140 jiwa. dimana setiap keluarga memperoleh

pendapatan rata-rata dari kepemilikan kebun kelapa sawit dan pekerja

lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan kelapa sawit dan serta

bekerja sebagai pegawai Negeri Sipil. Disadari bahwa Desa Bukit Tigo

merupakan wilayah penyebaran transmigrasi di wilayah Kabupaten


59

Sarolangun sehingga rata-rata pendapatan masyarakat diperoleh dari

perkebunan kelapa sawit.41

Berikut penulis uraikan pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaraan

Desa berkaitan dengan fungsi legislasi Badan Permusyarawatan Desa di

Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi pada tahun 2019

sampai 2020.

1. Membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa bersama Kepala

Desa

Peraturan Desa merupakan peraturan yang dibentuk dan

disepakati bersama oleh Badan Permusyawaratan Desa serta Kepala Desa

dan merupakan unsur penting dalam penyelenggaran Pemerintahan Desa

sebagai salah satu landasan pelayanan publik bagi warga masyarakat

Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan bagi masyarakat di

Desa.

Mengingat pentingnya kedudukan peraturan desa dalam

penyelenggaraan pemerintahan desa, maka dalam penyusunan peraturan

desa tersebut harus didasarkan kepada kebutuhan dan kondisi desa

setempat, mengacu pada peraturan perundangundangan desa, dan tidak

boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta

tidak boleh merugikan kepentingan umum.

Dalam merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa, Badan

Permusyawaratan Desa berpedoman pada Peraturan Mentri Dalam

41
Pemerintah Desa Bukit Tigo Kecamatan Singkut Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi
tahun 2020
60

Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa.

bersama-sama dengan pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat

Desa), melalui beberapa proses antara lain sebagai berikut:

a. Pemerintah Desa mengundang anggota BPD untuk

menyampaikan maksudnya membentuk peraturan desa dengan

menyampaikan pokok-pokok peraturan desa yang diajukan.

b. BPD terlebih dahulu mengajukan rancangan Peraturan Desa,

demikian halnya dengan pemerintah Desa yang juga mengajukan

rancangan Peraturan Desa.

c. BPD memberikan masukan atau usul untuk melengkapi atau

menyempurnakan rancangan Peraturan Desa.

d. Ketua BPD menyampaikan usulan tersebut kepada pemerintah

desa untuk diagendakan.

e. BPD mengadakan rapat dengan pemerintah desa kurang lebih

satu sampai dua kali untuk memperoleh kesepakatan bersama.

Kemudian Juga BPD Berpedoman pada turunan Undang-Undang

Dari pengaturan tersebut di atas dapat dipahami bahwa dalam

menetapkan Peraturan Desa bersama-sama dengan Pemerintah Desa.

Setelah BPD dan Kepala Desa mengajukan rancangan Peraturan Desa

kemudian akan dibahas bersama dalam rapat BPD dan setelah mengalami

penambahan dan perubahan, kemudian rancangan Peraturan Desa tersebut

disahkan dan disetujui serta ditetapkan sebagi Peraturan Desa. Dengan

kata lain dapat dikatakan bahwa dalam pembentukan peraturan desa maka
61

dalam pemerintahan desa, BPD sejajar dan menjadi mitra kerja pemerintah

desa. Pengertian sejajar disini adalah bahwa kedudukan BPD tidak lebih

rendah dan tidak juga lebih tinggi.

Berkaitan dengan pelaksanaan fungsi membahas dan menyepakati

rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa oleh Badan

Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi

Jambi pada tahun 2019 sampai tahun 2020 faktanya tidak berjalan cukup

baik, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya Peraturan Desa yang terbentuk

pada tahun 2019 sampai tahun 2020.

Sebagaimana hasil penelitian penulis melalui wawancara kepada

Hendri Gunawan selaku ketua BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun

Provinsi Jambi mengatakan bahwa:

“Memang kami selaku BPD pada 2 tahun terakhir memang


melakukan musyawarah desa bersama dengan unsur kepala Desa.
Namun memang disadari sampai hari ini dalam 2 tahun terakhir
belum ada peraturan Desa yang terbentuk, hal ini disebabkan waktu
musyawarah desa yang dilakukan hanya beberapa kali saja mungkin
setiap tahun hanya terlaksana 3 sampai 4 kali, hal ini juga disebabkan
tingkat keseriusan anggota BPD dan juga dari unsur pemerintah desa
sendiri yang tidak maksimal karena dalam beberapa pertemuan
tersebut tidak dapat semua hadir dan beberapa saja, sehingga
musyawarah desa yang terjadi hanya sebagai pembahasan rancangan
saja, dan juga rancangan tersebut memang saya akui hanya datang
dari pemerintah desa bukan dari BPD lebih jauh pula terdapat
beberapa anggota BPD yang tidak memahami fungsinya dengan baik
dan tidak begitu mengerti mengenai bentuk dan isi dari Peraturan
Desa”.42

42
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit
Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
62

Hal tersebut di atas juga sesuai dengan wawancara peneliti dengan

Riswan selaku Kepala Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi

Jambi mengatakan bahwa:

Saya berpendapat bahwa dalam penyelenggaran kemitraan dengan


BPD di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi berkaitan
dengan pembahasan dan menyepakati rancangan Peraturan Desa
bersama Kepala Desa faktanya BPD kurang maksimal dalam
melaksanakan fungsinya, karena upaya-upaya rapat yang kita
jadwalkan sering diundur karena beberapa hal, sehingga intensitas
rapat pemerintah desa dengan BPD sangat jarang berkaitan dengan
pembentukan Peraturan Desa. Lebih jauh pula pada saat rapat yang
terlaksana bahwa suasana rapat juga tidak maksimal karena tingkat
kehadiran yang sedikit dan tidak maksimalnya tanggapan dari BPD
berkaitan dengan pembahasan rapat dan tidak sependapatnya mereka,
bahkan terdapat pula anggota BPD yang tidak mengerti berkaitan
dengan substansi Peraturan Desa43.

Dari penyataan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan

fungsi BPD berkaitan dengan pembahasan dan menyepakati rancangan

Peraturan Desa bersama Kepala Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten

Sarolangun Provinsi Jambi tidak berjalan dengan baik yang didasarkan fakta

bahwa tidak adanya peraturan desa yang terbentuk pada tahun 2019 sampai

2020 hal ini disebabkan karena BPD dalam melaksanakan fungsi tidak

maksimal yang disebabkan karena beberapa faktor seperti intensitas rapat

yang rendah pada 2 tahun terakhir serta kurangnya partisipasi ide dan

gagagsan dalam rapat.

2. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa

Dalam pembentukan Peraturan desa maka fungsi BPD dalam

menampung aspirasi masyarakat kemudian menyalurkan aspirasi tersebut

43
Wawancara Kepada Riswan, Kepala Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal
21 Januari 2021
63

menjadi suatu hal landasan dalam pembentukan Peraturan Desa, karena

Peraturan Desa di dasarkan pada kondisi atau keadaan di lingkungan

masyarakat desa.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai wakil rakyat di desa

merupakan tempat bagi masyarakat desa untuk menyampaikan aspirasinya

dan untuk menampung segala keluhan-keluhan dan kemudian

menindaklanjuti aspirasi tersebut untuk disampaikan kepada instansi atau

lembaga terkait yaitu pemerintah desa.

Terkait dengan hal menampung dan menyalurkan aspirasi

masyarakat desa sebagaimana hasil penelitian penulis melalui wawancara

kepada Hendri Gunawan selaku ketua BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten

Sarolangun Provinsi Jambi menerangkan bahwa “Penyaluran aspirasi

masyarakat dilakukan dalam bentuk lisan dan atau tulisan, yang dimaksud

dengan penyampaian dalam bentuk lisan seperti penyampaian aspirasi

masyarakat oleh BPD dalam musyawarah BPD yang dihadiri Kepala Desa,

sedangkan dalam bentuk tulisan yaitu penyampaian aspirasi melalui surat

dalam rangka penyampaian masukan bagi penyelenggaraan Pemerintahan

Desa”.44

Lebih lanjut secara umum dikatakan oleh Hendri Gunawan selaku

ketua BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi terkait

dengan pelaksanaan fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi msyarakat

desa dapat dilakukan dengan masyarakat dengan cara Penyampaian

44
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa
Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
64

langsung kepada BPD oleh warga kepada BPD bahkan tidak jarang pula

dilakukan baik secara individu maupun bersama-sama dengan

menyampaikan langsung kepada anggota BPD yang ada di lingkungan

terdekat warga tersebut. Biasanya jenis aspirasi yang disampaikan melaui

cara seperti ini cenderung bukanlah masalah yang sangat mendesak bagi

kepentingan desa. Namun metode penyampiaan aspirasi seperti ini sangat

efektif pada tahapan pengawasan dan pelaksanaan sebuah program desa.45

Kemudian aspirasi masyarakat dapat disampaikan melalui forum

warga. Dalam forum warga BPD membuka ruang bagi masyarakat dalam

bentuk musyawarah dalam waktu yang telah ditetapkan. Bahwa bisa saja

anggota BPD diundang dalam forum warga yang telah terbentuk untuk

menyampaikan aspirasi mereka seperti dalam perkumpulan semisal arisan

dan atau pengajian dan lain sebagainya.46

Selanjutnya aspirasi masyarakat dalam dilakukan melalui pertemuan

tingkat desa. Penyampaian aspirasi melalui forum musyawarah desa atau

rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa bersama

dengan BPD. Pada forum ini pemerintah mengundang perwakilan dari

masyarakat yaitu ketua RT/RW, tokoh agama, tokoh adat, dan warga

masyarakat yang cukup terpandang yang kemudian musyawarah ini akan

45
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit
Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
46
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit
Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
65

lebih membahas mengenai permasalahan maupun program yang sedang atau

akan dijalankan oleh Pemerintah Desa.47

Namun faktanya dalam pelaksanaan fungsi BPD terkait dengan

menerima dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa di Desa Bukit Tigo

Kabupaten Sarolangun tidak berjalan maksimal. Tidak berjalannya fungsi

tersebut karena beberapa hal. Terkait tidak jalannya aspirasi masyarakat

karena seiring kali aspirasi masyarakat tidak terealisasi oleh Pemerintah

Desa sehingga dengan kata lain dalam penyaluran aspirasi masyarakat, BPD

hanya menerima masukan dan keluhan warga tapi hal itu belum terlaksana,

hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara penulis kepada Andri Gunawan

Selaku Ketua Karang Taruna di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun

yang menerangkan bahwa:

Kami melihat bahwa fungsi BPD di di Desa Bukit Tigo Kabupaten


Sarolangun dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
desa tidak berjalan maksimal, karena BPD sangat jarang membuka
ruang bagi kami masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan
saran-saran, sehingga sering kali keluhan disampaikan bukan pada
forum resmi atau pada perkumpulan biasa seperti perkumpulan di
warung kopi dimana salah diantranya ada anggota BPD, bahkan
kami selaku organisasi kemasyarakat di Desa tidak jarang
menyampaikan aspirasi kepada BPD, seperti terkat dengan
keterbukaan akses pengelolaan dana desa, dan juga keluhan kami
terkait pemberdayaan masyarakat yang tidak berjalan dalam kurun
waktu 2 tahun trakhir. Yang faktanya segala aspirasi yang kami
sampaikan sampai saat ini tidak ada yang terealisasi, ketika kami
tanyakan kepada anggota BPD mereka hanya menerangkan bahwa
hal tersebut telah disampaikan pada Pemerintahan Desa dan sedang
agar terealisasi.48

47
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit
Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
48
Wawancara Andri Gunawan, ketua Karang Taruna Desa Bukit Tigo Kabupaten
Sarolangun, Tanggal 21 Januari 2021
66

Terkait tidak terlaksananya fungsi BPD menerima dan menyalurkan

aspirasi masyarakat desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun

sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Miftah selaku wakil Ketua Karang

Taruna di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun yang menerangkan

bahwa:

Akibat tidak tersalurkan aspirasi yang telah kami sampaikan kepada


BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun salah satu upaya yang
kami lakukan adalah dengan menyurati kepala Desa Kemudian
karena tidak mendapatkan jawaban kami juga melakukan
demonstrasi di Kantor Desa, hal ini disebabkan tidak adanya
transparansi pengelolaan dana desa dan tidak terlaksananya
pemberdayaan masyarakat desa disini.49

Dari hasil wawancara tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa

bahwa faktanya dalam 2 tahun terakhir Badan Pemusyawaratan Desa tidak

melaksanakan fungsi menerima dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa

di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangan, hal ini didasarkan kenyataan

bahwa dari keterangan Karang Taruna bahwa BPD tidak membukan ruang

yang cukup bagi masyarakat dalam menyalurkan aspirasi masyarakat dan

juga aspirasi masyarakat yang telah disampaikan tidak ditindaklanjutin

dengan baik oleh Badan Permusyawaratan Desa.

3. Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa

Pengawasan diarahkan untuk menghindari adanya kemungkinan

penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai yang

dalam hal ini pengawasan yang dilakukan BPD dilakukan terhadap

penyelenggaraan Pemerintah Desa oleh Kepala Desa. melalui pengawasan

49
Wawancara Ahmad Miftah, Wakil Ketua Karang Taruna Desa Bukit Tigo Kabupaten
Sarolangun, Tanggal 21 Januari 2021
67

diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan

untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien.

Pengawas sebagai salah satu fungsi BPD dalam hal ini seperti

pengawasan yang dilakukan BPD terkait dengan pelaksanaan peraturan

Desa, penggunaan anggaran dan juga belanja daerah serta keputusan Kepala

Desa. Terkait dengan fungsi BPD sebagai pengawas posisi BPD dengan

desa bersifat lebih kepada koordinasi, sebagaimana mengacu pada ketentuan

dalam Pasal 46 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016

tentang Badan Permusyawaratan Desa ditentukan bahwa:

1) BPD melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa


2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui :
a. Perencanaan kegiatan Pemerintah Desa
b. Pelaksanaan kegiatan, dan
c. Pelaporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa
3) Bentuk pengawasan BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa monitoring dan evaluasi.

Dipahami bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan

merupakan salah satu alasan terpenting terbentuknya BPD dalam

Pemerintahan Desa. Pengawasan oleh BPD terhadap pelaksanaan

pemerintahan desa yang dipimpin Kepala Desa merupakan tugas BPD.

Upaya pengawasan dimaksudkan untuk mengurangi adanya penyelewengan

atas kewenangan dan khususnya keuangan desa dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa.

Adapun terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh BPD Desa

Bukti Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi terkait dengan kinerja

kepala desa. Sebagaimana dikatakan oleh Hendri Gunawan selaku ketua


68

BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi menerangkan

bahwa:

Terkait dengan fungsi BPD dalam mengawasi kinerja kepala desa,


bahwa BPD desa Bukit Tigo sudah ditentukan dilakukan terhadap
beberapa hal, seperti berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Desa
yang telah ada, dengan cara mengawasi semua tindakan yang
dilakukan oleh pelaksana peraturan desa, dan Jika terjadi
penyelewengan, BPD memberikan teguran untuk pertama kali secara
lisan. Selanjutnya BPD akan melakukan evaluasi dalam rapat BPD.
Selanjutnya BPD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang dapat dilihat dalam
laporan pertanggungjawaban Kepala Desa setiap akhir tahun
anggaran yang terdiri dari Memantau semua pemasukan dan
pengeluaran kas desa. Memantau secara rutin mengenai dana-dana
yang digunakan untuk pembangunan desa. Serta memantau secara
langsung ke lapangan pada saat proses pembangunan yang ada di
desa.50

Akan tetapi pada kenyataannya BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten

Sarolangun Provinsi Jambi dalam melaksanakan fungsi pengawasan

terhadap kinerja kepala desa tidak terlaksana dengan baik, hal ini dibuktikan

dengan hasil wawancara penulis kepada Andri Gunawan Selaku Ketua

Karang Taruna di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun yang

menerangkan bahwa:

Kami sebagai bagian dari masyarakat yang mewakili unsur pemuda,


kami melihat dalam kurun waktu 2 tahun terakhir yaitu dalam waktu
2 tahun terakhir, kami tidak melihat secara nyata fungsi BPD dalam
melakukan pengawasan, karena ini didasarkan fakta bahwa BPD
seperti tidak terlihat mengawasi kinerja Kepala khususnya terkait
pengelolaan dana desa. Seperti diketahui bahwa polemik desa yang
kami hadapi saat ini tidak adanya laporan kepada masyarakat oleh
BPD terkiat dengan pengawasan pengelolaan dana desa oleh Kepala
Desa. Kami tidak tahu persis apa yang terjadi, namun fakta dalam 2

50
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit
Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
69

tahun terakhir tidak ada pembangunan yang maksimal di desa


kami.51

Lebih lanjut hal ini pula disampaikan oleh Akhayar selaku Kaur

Pembangunan Desa Pemerintah Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun

yang menerangkan bahwa:

Bagi kami memang kurang maksimalnya pelaksanaan fungsi BPD


terkait dengan kinerja Kepala Desa di Desa kami, padahal kami
sangat menghargai BPD sebagai mitra kami dalam menjalankan
Pemerintahaan Desa. Terkait dengan kinerja kepala desa kami selalu
menyampaikan laporan kepada BPD dalam bentuk laporan
pertanggungjawaban akhir tahun dalam pengelolaan anggaran,
namun yang dilakukan BPD dalam 2 Tahun terakhir ya hanya itu
saja, atau misalnya dalam proses pelaksanaan memang jarang sekali
BPD melakukan pengawasan dalam proses pembangunan. Padahal
kami sangat membuka ruang bagi BPD untuk mengawasi kinerja
Kepala Desa.52

Dari hasil wawancara tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa

pelaksanaan fungsi pengawasan oleh BPD terhadap kinerja kepala desa di

Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun belum terlaksana secara maksimal,

hal ini didasarkan apda kenyataan bahwa berbagai kegiatan atau pelaksanaan

pemerintah Desa oleh Kepala Desa seperti pengelolaan dana desa kurang

ada pengawasan langsung oleh BPD dalam proses pelaksanannya.

Melihat dari persepektif teoritis terdapat tumpang tindih peraturan

dari peraturan Kemendagri, kemudian Peraturan Daerah Kabupaten

Sarolangun, serta Peraturan Bupati Sarolangun yang kesemuanya terebut

mengatur tentang Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) kemudian

51
Wawancara Andri Gunawan, ketua Karang Taruna Desa Bukit Tigo Kabupaten
Sarolangun, Tanggal 21 Januari 2021
52
Wawancara Akhayar, Kaur Pembangunan Desa Pemerintah Desa Bukit Tigo Kabupaten
Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
70

tidak adanya peraturan terbaru mengenai Badan Permusyawaratan Desa

untuk Kabupaten Sarolangun yang membahas khusus Tentang Badan

Permusyawaratan Desa. Jika dilihat, peraturan terbaru hanya ada pada

Peraturan Daerah Kabupaten Sarolangun No 10 Tahun 2015 Tentang

Peraturan Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Sarolangun No 10 Tahun

2015 Tentang Peraturan Desa ini lah yang setelah penulis amati terdapat

secara khusus tetapi tidak sepenuhnya mengatur peraturan Desa ataupun

Badan Permusyawaratan Desa, jika dilihat untuk mengatur Tentang Desa

dan Badan Permusyawaratan Desa yaitu hanya memuat tentang Definisi

Desa, Pemerintah Desa, Kawasan Pedesaan, Badan Permusyawaratan Desa,

Musyawarah Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa, Lembaga

Kemasyarakatan, Bakal Calon Kepala Desa, Pejabat Kepala Desa, Panitia

Pemilihan, Pemilih, Penjaringan, Penyaringan, Kampanye, dan Panitia

Penyelenggara. Kemudian tentang Pedoman Tata Cara Pencalonan,

Pemilihan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Desa. Kemudian Pada

bagian Badan Permusyawaratan Desa hanya membahas kedudukan dan

persyaratan, jumlah anggota, mekanisme musyawarah dan mufakat

penetapan anggota, musyawarah desa, panitia musyawaarah, pelaksanaan

musyawarah penetapan anggota, hasil musyawarah, penegasan dan sumpah

janji, pembiayaan, keanggotaan BPD, kedudukan keuangan, fungsi BPD,

hak dan wewenang BPD, kewajiban BPD, pengambilan keputusan,

pemberhentian dan masa jabatan, tata tertib BPD, mekanisme kerja BPD,

tata cara menggali, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat,


71

menyalurkan aspirasi masyarakat, hubungan kerja, tindakan penyidikan, dan

pengawasan.

Dalam Peraturan Perda Daerah Kabupaten Sarolangun No. 10 Tahun

2015 yang penulis bandingakan dengan peraturan terbaru yaitu Peraturan

Daerah Kabupaten Halmahera Barat Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Badan

Permusyawaratan Desa setelah proses analisis perbandingan, di Perda

Daerah Kabupaten Sarolangun No. 10 Tahun 2015 tidak terdapat:

1. Kelembagaan BPD

Kelembagaan BPD berfungsi untuk keterbelaksanaan tugas dari tiap-

tiap anggota BPD, hal ini bersifat penting karean dengan jelasnya

tupoksi yang diatur dalam kelembagaan menjadi mempermudah tugas

dari titap-tiap anggota BPD.

Kebutuhan akan penegakan hukum dan “aturan main” untuk

mendorong ekonomi

2. Pengelolaan Aspirasi Masyarakat

Pengelolaan aspirasi masyarakat, sebenarnya di butuhkan keahlian

individu dari tiap-tiap anggota BPD yakni proses menganalisa, dan

merumuskan aspirasi untuk disampaikan kepada kepala desa dalam

rangka mewujudkan tata Kelola penyelenggaraan pemerintah yang baik

dan kesejahteraan masyarakat Desa.

3. Penyaluran Aspirasi Masyarakat


72

Penyaluran Aspirasi Masyarakat dilakukan dalam bentuk lisan atau

tulisan, dilakukan dalam rangka penyampaian masukan bagi

penyelenggara pemerintahan desa, permintaan keterangan dari kepala

desa, ataupun penyampaian rancangan Peraturan Desa yang berasal dari

usulan BPD. Menurut hemat penulis penyampaian aspirasi masyarakat

ini sangatlah penting untuk menjaga interaksi sosial dan kepercayaan

masyarakat terhadap Pemerintahan Desa. serta inilah ruang yang di

berikan Pemerintah Pusat untuk pemerintah daerah memainkan peran

Bottom-Up yang merupakan proses konsultasi “Dimana setiap tingkat

pemerintahan menyusun draf proposal pembangunan tahunan

berdasarkan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintah

dibawahnya, ataupun tingkat yang paling bawah yakni masyarakat.

Proses ini dimulai dari musyawarah pembangunan dusun

(Musbangdus), Musyawarah Pembangunan Desa (Musbanngdes) yang

di pimpin oleh Kepala Desa dan di hadiri Badan Permusyawaratan

Desa, LKMD, LSM, dan perwakilan Kecamatan”. 53

4. Pembinaan dan pengawasan

Bentuk Pembinaan dan Pengawasan berupa pemberian pedoman

standar pelaksanaan perencanaan penelitian, pengembangan bimbingan

Pendidikan dan pelatihan, konsultasi supervise monitoring, pengawasan

umum dan evaluasi penyelenggaraan pemeintah desa.54 Dengan adanya

53
Mudrajad Kuncoro, Perencanaan Pembangunan Daerah Teori dan Aplikasi, Gramedia Pustaka,
Jakarta, Hal 41.
54
Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Barat No.1 Tahun 2019
73

Pembinaan yang tidak hanya pengawasan BPD dapat memberikan dan

menjadikan Pemerintahan yang lebih berkualitas dalam hal ini berarti

kematangan individu dari BPD dalam menjalankan tugas menjadi lebih

berkompeten.

5. Pendanaan

Anggaran pendanaan pelaksanaan kegiatan BPD berdasarkan Perda

Halmahera Barat Nomor 1 Tahun 2019 Tentang BPD di bebankan pada:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten

c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan

d. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat

B. FAKTOR PENGHAMBAT TIDAK TERLAKSANANYA FUNGSI

LEGISLASI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DI DESA

BUKIT TIGO KABUPATEN SAROLANGUN

Peran BPD dengan fungsi dan wewenangnya dalam membahas

rancangan serta menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa merupakan

sebagai kerangka kebijakan dan hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan Desa. Penyusunan peraturan Desa merupakan penjabaran

atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa, tentu berdasarkan kepada

kebutuhan dan kondisi Desa setempat, serta mengacu pada peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi.


74

Keberadan BPD dalam pemerintahan Desa menjadi sangat penting

apalagi kewenangan yang telah ada pada BPD melalui pengaturan fungsi BPD

dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa memberikan

ruang yang sangat terbuka untuk meningkatkan partisipasi masyarakat melalui

unsur BPD dalam Pemerintahan Desa sehingga tercapai kesejahteraan

masyarakat di Desa secara menyeluruh.

Keberadaan peraturan desa sebagai wewenang dari Pemerintahan Desa

dalam hal ini Kepala Desa bersama dengan BPD sudah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Adapun materi muatan dari

sebuah peraturan desa menurut Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 yaitu:

pembentukan dusun atau dengan sebutan lain (Pasal 3), susunan organisasi

dan tata kerja pemerintah desa (Pasal 12), APBDes (Pasal 61 dan 73) Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Desa (Pasal 64), Pengelolaan Keuangan

Desa (Pasal 76), Pembentukan Badan Usaha Milik Desa (Pasal 78), dan

Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan (Pasal 89).

Namun faktanya dalam kenyataan bahwa BPD dalam melaksanakan

fungsi legislasi di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi

tidak secara keseluruhan berjalan dengan baik atau masih rendah karena

disebabkan berbagai faktor penghambat, adapun faktor penghambat yang

dimaksud diantaranya sebagai berikut:

1. Komunikasi

Dalam pembentukan Peraturan Desa tidak hanya menjadi tanggung

jawab Badan Permusyawaratan Desa dan tidak pula menjadi sepenuhnya


75

menjadi kewenangan Kepala Desa sebagai pimpinan Pemerintah Desa.

Karena dalam menyepati sebuah rancangan peraturan desa menjadi

Peraturan Desa haruslah dibahas dan disepakati bersama-sama.

Adapun faktor penghambat tidak terlaksananya fungsi legislasi

Badan Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun

karena komunikasi antar lembaga pemerintah desa yaitu kepala desa

dengan lembaga Badan Permusyawaratan Desa yang tidak berjalan dengan

baik.

Sebagaimana wawancara penulis kepada Hendri Gunawan selaku

ketua BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi

menerangkan bahwa:

Salah satu lainnya hambatan kami BPD dalam melaksanakan fungsi


legislasi karena tidak adanya hubungan yang sangat baik antara kami
dengan kepala desa, karena dalam 2 tahun terakhir ini dari tahun
2019 dan 2020, kami sangat jarang untuk sekedar membuka ruang
musyawarah secara non formal dengan kepala desa, dan dalam acara
musyawarah formal pun kepala desa sering tidak hadir dan
diwakilkan oleh sekretasis desa dan kaur-kaur yang ada, sehingga
kamipun dalam menyampaikan usulan menjadi terhalang karena
tidak sampai langsung kepada Kepala Desa.55

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa salah satu

faktor penghambat Badan Permusyawaratan Desa dalam mencapai tujuan

penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang baik di Desa Bukit Tigo

Kabupaten Sarolangun karena hubungan dan pola komunikasi Badan

Permusyawaratan Desa dengan Kepala Desa yang kurang baik, dengan

kata lain hubungan kemitraan yang seharusnya tejalin antara Pemerintah

55
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit
Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
76

Desa yaitu Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam

Pemerintahan Desa tidak dalam kondisi saling melengkapi dan saling

mendukung, atau dengan kata lain terkesan berjalan sendiri-sendiri.

Disisi lain berkaitan hambatan yang disebabkan karena hubungan

dan dan pola komunikasi Badan Permusyawaratan Desa dengan Kepala

Desa sebagaimana wawancara penulis kepada Hendri Gunawan selaku

ketua BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi

menerangkan bahwa:

Permasalahan lain juga karena pada umumnya hal-hal yang akan


menjadi kegiatan pengurus BPD biasanya mendapat tantangan
terlebih dahulu dari Bapak Kades kalau apa yang akan kami lakukan
tidak sesuai dengan pendapat dari pak Kades, sehingga segala
kegiatan ini akan terhambat hanya karena masalah keinginannya
yang harus dilaksanakan sehingga untuk hasil yang diharapkan
sesuai rencana tidak berdasarkan target yang telah ditentukan.56
Berdasarkan wawancara tersebut di atas dapat dikatakan bahwa

dalam hubungan dan pola komunikasi Badan Permusyawaratan Desa

dengan Kepala Desa pada kenyataannya tidak seluruh pandangan atau

kehendak Kepala Desa yang menjadi pedoman untuk berkarya, beberapa

hal mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis antara BPD

dengan Kepala Desa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa adanya tarik

menarik kepentingan dalam implementasi fungsi Badan Permusyawaratan

Desa (BPD) yang terjadi di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun

Provinsi Jambi merupakan wujud ketidak matangan dari kualitas dan

56
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit
Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
77

profesonalisme para penyelenggara pemerintahan dalam menyikapi suatu

proses demokrasi.

Padahal disadari bahwa salah satu faktor terwujudnya pelaksanaan

peran dan fungsi BPD secara maksimal di desa adalah karakter Kepala

Desa yang kooperatif dan berkomitmen bersinergi dengan BPD, sehingga

BPD dalam melaksanakan fungsi legislasi dalam pembentukan peraturan

desa dapat lebih diberdayakan dengan maksimal.

Jika dilihat dari persepktif teoritis prihal komunikasi BPD dan

Kepala Desa Desa bukit Tigo adalah komunikasi politik antara Badan

Legislatif dengan Kepala Pemerintah.

Komunikasi politik didefenisikan McNair (2003:4) sebagai

purposeful communication about politics, yang mencakup : (a) seluruh

bentuk komunikasi yagn dilakukan politisi dan actor politik yang lain

(selain politisi) dengan tujuan mencapai suatu tujuan tertentu; (b)

komunikasi yang mengarah pada actor-aktor diluar politisi seperti

kosntituen atau kolumnis surat kabar; serta (c) komunikasi tentang actor

dan aktivitasnya seperti terdapat pada laporan berita, editorial, dan diskusi

lain mengenai politik di media. Aktivitas komunikasi politik ini terjadi

dalam lingkup politik yang menurut Kaid (1999) melingkupi berbagai hal,

seperti; berkenaan dengan realitas objektif sebuah politik dengan

membandingkan kejadian-kejadian politik yang sedang berlangsung,

realitas subjektif politik sebgaimana yang ditafsirkan oleh actor dan

masyarakat, dan kontruksi sosial relitas politik yang dilakukan oleh media.
78

Sementara itu Moertopo (1974;19) menjelaskan tugas pokok

legislatif (dalam hal ini BPD) melakukan proses legislasi dalam

menentukan pokok-pokok kebijakan pemerintah dalam membentuk

undang-undang, di bidang anggaran legislatife menentukan anggaran

belanja dan penerimaan negara atau daerah yang telah dissepakti dengan

pemerintah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, dan dalam hal

pengawasan legislatif berperan memonitoring pemerintah dengan berbagai

alat atau hak yang mereka miliki.

Mengingat peran dan fungsi BPD ini sangat penting, maka

komunikasi politik BPD sebagai lembaga terhadap masyarakat tidak dapat

dikesampingkan, tujuanya tidak lai adalah untuk meningkatkan peran

legislative itu sendiri. Tidak terkecuali dengan komunikasi politik antara

BPD dan Kepala Desa beserta Perangkatnya dalam meningkatkan peran

legislative di Desa Bukit Tigo.

Aktifitas komunikasi politik yang dilakukan BPD Desa Bukit Tigo

pada dasarnya berlangsung dalam sebuah proses politik.

Proses Politik ini ditandai dengan dua hal: (1) stabilitas politik,

yang memungkinkan keterbelangsungan pengharapan masyarakat dan

penampilan pemerintah yang penting bagi proses politik itu sendiri; dan

(2) demokrasi, yang memungkinkan partisipasi yang luas dan bermakna

dari penduduk dalam menentukan kebijaksanaan umum.

Setiap anggota BPD Desa Bukit Tigo memiliki latar belakang

Pendidikan yang berbeda dan mereka juga datang dari suku yang berbeda-
79

beda. Dari perbedaan ini mendorong perlunya sebuah perencanaan

komunikasi politik yang akan disampaikan kepada masyarakat tentang

fungsi legislasi BPD. ‘

Perencanaan Komunikasi politik itu sendiri dilakukan guna

menjamin berlangsungnya interaktivitas anatara legislatif dengan

masyarakat Desa Bukti Tigo. Interaktivitas sendiri meliputi lima dimensi

yaitu; arah proses komunikasi, fleksibilitas waktu dan peran dalam

pertukaran akan lokasi dalam lingkungan komunikasi, level control

terhadap lingkungan komunikasi, dan tujuan proses komunikasi yang

tercapai berorientasi pada pertukaran dan persuasi.

Hal terbaik yang bisa dilakukan menurut Gun gun Heryanto oleh

semua pihak pada saat memunckanya ketegangan akibat perbedaan

pandangan adalah memfungsikan komunikasi konstruktif. Pengondisian

instrumental dalam konteks ini, dipahami sebagai ikhtiar menaikan

probabilitas munculnya repon yang diinginkan dan sebaliknya

menurunkan kesempatan munculnya respon yang tidak diinginkan.

Komunikasi untuk rekonssiliasi sebagai pengondisian instrumental bisa

dilakukan melalui beberapa cara:

Pertama, pesan atau narasi peneguhan (reinforcement) rekonsilisai

dari yang bersangkutan, mereka harus menghindari diksi yang

memperkeruh suasana, terlebih jika ekspresinya mengarah ketindakan

inkonstitusional.
80

Kedua, menciptakan ruang-ruang dialog guna menghindari

communication apprehetion (CA). Istilah ini merujuk pada teorinya James

McCroskey, yakni keengganan bahkan ketakutan berkomunikasi yang

disebabkan faktor-faktor keadaan tertentu. Misalnya, karena kuat

terbentuknya kubu-kubuan atar pendukung, ataupun suku-sukuan (sejenis

person-group communication apprention). Silaturahmi menjadi kunci

untuk berkomunikasi dan menuntaskan tahapan-tahapan konflik seseuai

aturan yang berlaku. Ide untuk mengirim utusan dari satu perwakilan kubu

ataupun suku ke kubu dan suku lain bukan semata diperlukan dalam

konteks ZOPA (zone of possible agreement) lobi dan negosiasi, melainkan

lebih dari itu, yakni menjaga keutuhan dalam berbangsa dan bernegara.

Ketiga, peran-peran informasi (information roles) yang dilakukan

pihak yang terkait (BPD, Pemerintahan Desa dan Masyarakat) harus jelas,

tegas, professional dan proporsional. Semua mata dan telinga masyarakat

tertuju kepada Pemerintahan Desa. Meminjam istilah dari pakar

komunikasi Janet Beavin Bavelas (1990) jangan sampai terlalu sering

melakukan equivocal communications atau komunikasi yang samar, tidak

terlalu jelas ditengah suasana para pihak yang mbutuhkan informasi terang

benderang.57

2. Pemahaman pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

57
Gun Gun Heryanto, Realitas Komunikasi Politik Indonesia Kontemporer IRCiSoD, 2020 Hal,
33-34
81

Selanjutnya salah satu penghambat Badan Permusyawaratan Desa

dalam melaksanakan fungsi legislasi di Desa Bukit Tigo Kabupaten

Sarolangun karena tingkat pengetahuan anggota Badan Permusyawaratan

Desa yang kurang memahami asas-asas dan materi dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan dalam bentuk peraturan desa.

Sebagaimana wawancara penulis kepada Hendri Gunawan selaku

ketua BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi

menerangkan bahwa:

Salah satu faktor lainnya yang menghambat tidak terlaksananya


fungsi legislasi BPD secara maksimal di Desa ini karena disadari
bahwa terdapat beberapa aggota BPD yang tidak memahami
bagaimana dan apa isi dari peraturan desa sehingga untuk
mendapatkan usulan-usulan dari anggota mengenai hal-hal yang
dapat dijadikan objek pengaturan dalam pembentukan peraturan desa
itu kurang dapat terpenuhi.58
Berdasarkan wawancara tersebut di atas dapat dikatakan bahwa

terkait faktor penghambat Badan Permusyawaratan Desa di Desa Bukit

Tigo Kabupaten Sarolangun dalam melaksanakan fungsi legislasi karena

tingkat pengetahuan anggota Badan Permusyawaratan Desa yang kurang

memahami mekanisme dalam dan hal-hal yang dapat diatur dalam

Peraturan Desa.

Hal ini jika diruntut berdasarkan fakta yang penils temui dan telah

penulis jelaskan pada bagian peranan fungsi legislasi BPD di dDesa Bukit

Tigo Kabupaten Sarolangun yakni diawali dari tumpang tindih atau kurang

58
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit
Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
82

nya detail aturan yang di buat, dari mulai Permendagri, turun ke Peraturan

Daerah, dan Peraturan Bupati.

3. Bimbingan teknis dari Pemerintah Daerah dalam bidang legislasi

Selanjutnya faktor penghambat kurangnya efektivitas Badan

Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun dalam

melaksanakan fungsi legislasi dalam bentuk pembentukan Peraturan Desa

disebabkan karena teknis bimbingan dari Pemerintah Daerah dalam bidang

legislasi.

Dari hasil wawancara penulis kepada Hendri Gunawan selaku ketua

BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi menerangkan

bahwa:

Dengan lemahnya kemampuan anggota Badan Permusyawaratan


Desa dalam membentuk Peraturan desa hal ini juga diperparah
dengan kurangnya atau bahkan tidak adanya pembinaan dari aparatur
Pemerintah Daerah baik dari Pemerintah Daerah Kabupaten
Sarolangun maupun dari pihak Kecamatan Singkut.59

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa salah satu

faktor penghambat Badan Permusyawaratan Desa dalam melaksanakan

fungsi legislasi karena kurangnya atau bahwa tidak adanya pembinaan dari

aparatur Pemerintah Daerah baik dari Pemerintah Daerah Kabupaten

Sarolangun maupun dari pihak Kecamatan Singkut dalam memberikan

teknis pembentukan Peraturan Desa. Padahal Pemerintah Daerah sebagai

organisasi Pemerintahan lebih tinggi dari Pemerintahan Desa haruslah

59
Wawancara Kepada Hendri Gunawan, ketua Badan Permusyawatan Desa di Desa Bukit
Tigo Kabupaten Sarolangun, tanggal 19 Januari 2021
83

mampu memberdayakan masyarakat khususnya dalam memberikan arahan

kepada pemerintahan desa dalam pembentukan Peraturan Desa.

Hal ini sesuai dengan temuan penulis seperti yang telah penulis

jelaskan pada bagian pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa,

bahwa mulai dari kelembagaan BPD, pengelolaan aspriasi masyarakat,

penyaluran aspirasi masyarakat, pembinaan dan pengawasan tidak terdapat

dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sarolangun No 10 Tahun 2015

maupun Perubahan Peraturan Kabupaten Sarolangun Nomor 7 tahun 2017

Tentang Perubahan atas Peraturan Daerah No 10 Tahun 2015 Tentang

Pemerintahan Desa.

Jadi bila dikaitkan dengan ketentuan peraturan-peraturan beserta

penjelasannya dengan konsep penyelenggaraan pemerintah di atas maka

peraturan desa berfungsi dalam rangka untuk melaksanakan kewenangan

pemerintahan desa yang berasal dari peraturan-peraturan perundang-

undangan, wewnang yang berasal dari kabupaten/kota yang diserahkan

kepada desa, wewenang dalam rangka tugas pembantuan yang berasal dari

pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota,

atau wewenang yang berasal dari hak asal-usul desa.

Dengan demikian menurut penulis perlu adanya revisi peraturan

Daerah Kabupaten Sarolangun yang berkaitan dengan Desa, dimana

memperjelas status BPD sistem Pemerintahan Desa, berkaitan dengan

wewenang dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di desa.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian analisis di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Pelaksanaan fungsi legislasi Badan Permusyawaratan Desa di Desa

Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun dari tahun 2019 sampai 2020

tidak berjalan sepenuhnya dengan baik karena masih terdapat

banyak kelemahan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan

desa yang dibuktikan dengan tidak adanya Peraturan Desa yang

dibentuk di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun dalam kurun

waktu 2019 sampai 2020 yang berkaitan pula dengan lemahnya

peran BPD dalam menampung dan menyalurkan aspirasi

masyarakat desa dimana BPD tidak membuka ruang yang cukup

bagi masyarakat dalam menyalurkan aspirasi masyarakat dan juga

aspirasi masyarakat yang telah disampaikan tidak ditindaklanjutin

dengan baik, selanjutnya berkaitan pula dengan lemahnya

pengawasan BPD dalam mengawasi kinerja Kepala Desa.

2. Faktor penghambat tidak terlaksananya fungsi legislasi Badan

Permusyawaratan Desa di Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun

disebabkan karena lemahnya komunikasi antara Badan

Permusyawaratan Desa dengan Kepala Desa, Rendahnya

84
85

pemahaman anggota Badan Permusyawaratan Desa dalam terkait

Peraturan Desa serta kurangnya bimbingan teknis dari Pemerintah

Daerah dalam bidang legislasi. Kemudian pelaksanaan

pembangunan dilakukan oleh apparat pemerintahan desa.

Sedangkan fungsi Badan Permusyawartan Desa (BPD) dalam

tahap pelaksanaan ini hanyalah sebgai mengawasi pelaksanaan

pembangunan tersebut sesuai dengan yang direncanakan. Dalam

hal kualitas kerja yang dihasilkan oleh aparatur desa sebagai

pelaksana pemerintahan juga muncul masalah kesalahan

administrative yang menunjukkan adanya kurang profesionalisme.

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis rekomendasikan dari hasil

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya perhatian pemerintah daerah dalam meningkatkan kinerja

pemerintahan Desa yang bertujuan untuk peningkatan kompetensi Sumber

Daya Manusia anggota BPD Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun agar

Pembentukan Peraturan Desa yang baik sesuai keadaan dan kebutuhan

Masyarakat desa Dapat terpenuhi.

2. Perlu adanya sosialisasi yang lebih menyeluruh dan secara rutin kepada

masyarakat mengenai keberadaan BPD serta tugas dan fungsi BPD di

Desa Bukit Tigo Kabupaten Sarolangun sehingga masyarakat dapat

memanfaatkan keberadaan Badan Pemeritahan Desa sehingga tercapai


86

tujuan bersama dalam pembangunan desa yaitu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat desa, pembangunan sarana dan prasarana desa,

serta pemanfaatan sumber daya alam, secara berkelanjutan.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ateng Syarifuddin, Republik Desa, Alumni, Bandung, 2010

Didik Sukaryono, Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa, Setara Press,

Malang, 2010

CST.Kansil, Desa Kita Dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa, Ghalia

Indonesia, 1984

Fatmawati, Hukum Tata Negara, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan,

2014

Hamzah Halim dan Kemal Redindo. Cara Praktis Menyusun dan Merancang

Peraturan Daerah. Kencana Media Group. Jakarta , 2009

Hanif Nurcholis, Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,

Erlangga, Jakarta, 2011

HAW Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan

Utuh, Cet. Ke 2, Raja grafindo persada, Jakarta, 2004

Ichtijanto, Hukum Islam dan Hukum Nasional Ind-Hill Co, Jakarta, 1990

Maringan Masri Simbolon, Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 2004

Moch, Solekhan, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi

Mayarakat, Setara, Malang, 2012

Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa dalam Konstitusi Indonesia sejak

Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang, 2015

87
88

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Daerah Luas dengan Pemilihan

Kepala Daerah secara Langsung, Raja Grafika Persada, Jakarta,

2005

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cet. 11, Rajawali Persada, Jakarta,

2014

Said Agil Husein Al Munawwar, Islam dalam Pluralitas Masyarakat

Indonesia, Kaifa, Jakarta, 2004

Syaukrani. HR dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Ctk. Ketiga,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003

Cosmas Batubara, Panjangnya Jalan Politik, Jala Permata 2008

Rob Koudstal dan Vijay Paranjye, Melibatkan Masyarakat Niewe

Keizersgracht 45, Amsterdam, Belanda 2011

Soehino, Ilmu Negara, Liberty Yogyakarta, 2008

Muradrajad Kuncoro, Perencanaan Pembangunan Daerah Teori dan Aplikasi,

Gramedia Pustaka, Jakarta, 2018

Tampublon G.M Report, Report to the Country Mobilitas Kemampuan

Teknologi Guna Mencapai Tingkat Keberhasilan Yang Tinggi Dalam

Pembangunan, Center Of Technology and Industry Developmnet

Jakarta, 2000

The Liang Gie, Keadilan Sebagai Landasan Bagi Etika Administrasi

Pemerintahan Dalam Negara Indonesia, Liberty Yogyakarta, 1993

Wahyono S.K, Kepemimpinan Dalam Sejarah Bangsa Indonesia, Yayasan

Kejuangan Panglima Besar Jendral Sudirman, 1992


89

B. Jurnal

Darmini Roza dan Laurensius Arliman S, “Peran Badan Permusyawaratan

Desa di Dalam Pembangunan Desa dan Pengawasan Keuangan

Desa”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas PADJADJARAN Volume 4

Nomor 3, 2017

Erga Yuhandra, “Kewenangan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) Dalam

Menjalankan Fungsi Legislasi (Sebuah Telaah Sosiologis Proses

Pembentukan Perdes di Desa Karamatwangi Kec. Garawangi Kab.

Kuningan)”, Jurnal Unifikasi. Vol. 3 No. 2 Juli 2016

Yusnani Hasjimzoem, “Dinamika Hukum Pemerintahan Desa”, Jurnal Justisia

Jurnal Hukum, Volume 8 No. 3, Fakultas Hukum Universitas

Lampung, Juli-September, 2014

Adi Fauzanto, “Problematika Korupsi Dana Desa Pada Pelaporan

Pertanggung Jawaban Keuangan Desa Berdasarkan Prinsip

Transparasi, Akuntabilitas, dan Partisipatif” Jurnal Hukum P-ISSN:

2615-7585, E-ISSN: 2620-5556 Vol 3, Nomor 1, Juni 2020

Nur Fitrah, “Problematika Pelaksanan Musyawarah Rencana Pembangunan

Desa (Musrenbang Desa) Studi Kasus Desa Rumpa Kecamatan

Mapili” Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Komunikasi Vol 2, No 2

2017
90

C. Elektronik

Santoso, P. (2018). Problematika Penerapan UU No. 6/2014 tentang Desa.

Center For Security and Welfare Studies.

https://csws.fisip.unair.ac.id/2018/03/problematika-penerapan-uu-no-62014-

tentang-desa-pudjio-santoso/

D. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Peraturan Daerah (Per-Da) Kabupaten Sarolangun No.10 Tahun 2015 Tentang

Pemerintahan Desa

Peraturan Daerah (Per-Da) Kabupaten Sarolangun No. 7 Tahun 2017 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2015 Tentang

Pemerintahan Desa
91

Peraturan Bupati (Per-Bup) Kabupaten Sarolangun No. 4 Tahun 2016 Tentang

Penghasilan Tetap/Tunjangan Kepala Desa dan Perangkat Desa,

Insentif Badan Permusyawaratan Desa dan Insentif Rukun Tetangga.

Anda mungkin juga menyukai