PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Penerbit
smartmedia utama
Penulis : Sumaryanta
ISBN : 978-602-17084-6-0
Puji syukur penulis panjatkan atas segala rahmat dan nikmat-NYA sehingga
penulisan buku berjudul ‘RAGAM PENILAIAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA” ini bisa terselesaikan. Kehadiran buku ini diharapkan
dapat memberikan referensi dan perspektif baru bagi para guru, mahasiswa,
peneliti, dan praktisi pendidikan matematika dalam pelaksanaan penilaian
pendidikan matematika.
iii
iv
DAFTAR ISI
v
BAB VI. PENILAIAN ATAS, UNTUK, DAN SEBAGAI
PEMBELAJARAN ................................................................................. 58
A. Pendahuluan ...................................................................................... 58
B. Assessment of Learning ................................................................... 59
C. Assessment For Learning .................................................................. 60
D. Assessment As Learning .................................................................... 61
E. Penilaian Sebagai Satu Kesatuan Sistem ......................................... 63
F. Penutup .............................................................................................. 69
vi
DAFTAR TABEL
vii
Tabel 9.3 Indikator dan Soal Pemecahan Masalah SMA ........................ 170
Tabel 9.4 Indikator dan Soal Pemecahan Masalah SMK ....................... 172
Tabel 9.5 Tabel Stratagi Penyelesaian Masalah ...................................... 175
Tabel 9.6 Proses Pemecahan Masalah Polya ........................................... 176
Tabel 10.1 Bobot soal sama, dengan skala 0 sampai dengan 100 ........... 196
Tabel 10.2 Bila STP tidak sama dengan Total Bobot Soal dan
Skala 100 ................................................................................. 196
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 The Iceberg Model and Central and Surface Competencies .. 17
Gambar 3.2 Keterkaitan Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi,
Kompetensi Dasar, dan Indikator Pencapaian Kompetensi .. 19
Gambar 3.3 Skema penilaian pengetahuan ................................................ 22
Gambar 3.4 Skema penilaian keterampilan .............................................. 23
Gambar 3.5 Skema penilaian sikap ............................................................ 25
Gambar 3.6 Skema penilaian pengetahuan ............................................... 27
Gambar 6.1 Traditional Assessment Pyramid ............................................ 64
Gambar 6.2 Reconfigured Assessment Pyramid ........................................ 64
Gambar 7.1 Five-dimensional model for authentic instruction ................. 76
Gambar 7.2 Sketsa pergerakan lumba-lumba dalam pengamatan
Tertentu ................................................................................. 94
Gambar 7.3 Sketsa pergerakan naik/turun lumba-lumba dalam
pengamatan tertentu ............................................................. 94
Gambar 7.4 Garis singgung di interval fungsi naik/turun ......................... 95
Gambar 8.1 Tren pencapaian Indonesia di PISA 2009 - 2015 ................... 100
Gambar 8.2 Performa percentil k2-25, 50, dan 75 pada penilaian PISA tahun
2015 ...................................................................................... 101
Gambar 8.3 Ilustrasi konstrusi soal HOTs ................................................. 100
Gambar 8.4 Piramida penilaian oleh Jan de Lange .................................... 111
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
penilaian, perluasan dimensi sasaran pembelajaran matematika tersebut
sangat sulit diwujudkan.
3
berlari mengejar target dan menyelesaikan proyek perolehan nilai sehingga
tidak memiliki kesempatan berimprovisasi dalam pembelajaran. Siswa juga
tidak memiliki kesempatan menikmati kegiatan belajarnya. Yang ada
kontrol, tekanan, dan target sehingga mereka kehilangan kebebasan dan
kebahagiaan belajar.
4
kebutuhan melakukan refleksi berkelanjutan tentang sistem penilaian yang
diterapkan dalam pembelajaran matematika. Sudahkah penilaian benar-
benar dapat memotret proses dan hasil belajar siswa, apakah penilaian
mampu mendorong siswa belajar dan guru mengajar dengan lebih baik,
adakah kelemahan sistem penilaian yang diterapkan, bagaimana sistem
penilaian yang mampu mendorong kinerja belajar optimal siswa, dan masih
banyak lagi pertanyaan reflektif lain yang perlu dan bisa dimunculkan.
Seluruhnya bermuara pada terwujud-laksananya sistem penilaian
pembelajaran matematika yang lebih baik.
5
BAB II
KONSEP DASAR PENILAIAN
1. Pengertian penilaian
6
Pada Permendiknas No 23 tahun 2016 tentang standar penilaian dijelaskan
bahwa penilaian Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian
tidak sekedar pengumpulan data siswa, tetapi juga pengolahannya untuk
memperoleh gambaran proses dan hasil belajar siswa. Penilaian tidak sekedar
memberi tes atau soal kepada siswa kemudian selesai. tetapi guru harus
menindaklanjutinya untuk kepentingan pembelajaran. Penilaian juga meliputi
kegiatan yang lebih luas lebih dari sekedar tes. Pengumpulan data dengan teknik
lain, seperti pengamatan, wawancara, penilaian diri, dan lain-lain perlu dilakukan
dalam melaksanakan penilaian. Pemanfaatan beragam teknik pengumpulan data ini
akan memberikan kesempatan guru memperoleh data yang lebih komprehensif.
7
2. Objek penilaian
Objek penilaian yang dimaksudkan disini merujuk pada apa yang menjadi
sasaran dari penilaian pembelajaran matematika. Sampai saat ini
pembelajaran matematika banyak yang lebih menekankan pada penguasaan
materi matematika dan aplikasinya untuk memecahkan masalah yang
berhubungan dengan materi matematika. Situasi ini menyebabkan penilaian
pembelajaran matematika hanya berorientasi pada pengukuran domain yang
dangkal dan sempit, tidak menyasar kompetensi matematis yang lebih tinggi.
Praktek ini berdampak tidak optimalnya hasil belajar matematika.
3. Teknik penilaian.
Penilaian proses dan hasil belajar matematika siswa dapat dilakukan dengan
teknik tes dan non tes. Teknik tes dapat berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes
praktik atau tes kinerja yang digunakan untuk mengukur proses dan hasil
belajar aspek kognitif. Teknik non tes dapat berupa observasi, penugasan
perseorangan atau kelompok, angket, dan bentuk lain yang sesuai dengan
karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Teknik
observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung
dan/atau di luar kegiatan pembelajaran untuk mengumpulkan data tentang
pemahaman siswa, sikap terhadap pelajaran, kemampuan memecahkan
masalah, kerjasama, kebutuhan bantuan dalam belajar, motivasi belajar, dan
lain-lain. Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat
berbentuk tugas rumah dan/atau proyek yang digunakan untuk
mengumpulkan data tentang penguasaan kompetensi serta
8
kecakapan/keterampilan tertentu. Teknik angket digunakan untuk menjaring
informasi berdasarkan pengakuan dan pendapat siswa melalui respon mereka
terhadap pernyataan/pertanyaan yang diajukan dalam angket.
B. Instrumen Penilaian
1. Instrumen tes
9
pada akhir sebuah unit pembelajaran, jangka waktu tertentu, akhir tahun
atau tingkatan pendidikan
a. Tes objektif
Tes objektif adalah tes dimana keseluruhan informasi yang diperlukan untuk
menjawab tes telah tersedia dan peserta harus memilih salah satu alternatif
yang disediakan tersebut. Terdapat beberapa bentuk tes objektif, yaitu:
Tes benar salah adalah tes yang memuat pernyataan benar atau salah.
Peserta bertugas menandai masing-masing pernyataan itu dengan
melingkari huruf “B” jika pernyataan benar, dan “S” jika pernyataan
salah.
Contoh:
Bentuk tes benar salah saat ini jarang digunakan guru matematika.
Padahal melalui tes benar salah ini banyak domain belajar matematika
yang bisa di gali, misal: pemahaman konsep, kemampuan bernalar,
analisis dan lain-lain. Dua butir pertanyaan benar salah di atas dapat
digunakan untuk mengetahui pemahaman konsep siswa tentang segitiga
dan lingkaran.
Tes pilihan ganda adalah tes yang memuat serangkaian informasi yang
belum lengkap, dan untuk melengkapinya dilakukan dengan memilih
berbagai alternatif pilihan yang disediakan. Ada empat variasi tes pilihan
ganda, yaitu: tes pilihan ganda biasa, asosiasi, hubungan antar hal, dan
menjodohkan.
10
a) Tes pilihan ganda, adalah soal yang disertai beberapa alternatif
jawaban dimana hanya tersedia 1 pilihan benar, dan siswa tugasnya
adalah memilih mana dari alternatif-alternatif tersebut yang benar.
Saat ini bentuk tes ini jarang digunakan. Padahal bentuk tes ini tidak
kalah potensialitasnya dibanding tes pilihan ganda biasa. Dibanding
tes pilihan ganda biasa, tes bentuk ini lebih menuntut siswa bernalar,
melihat semua kemungkinan jawaban, dan juga melihat hubungan
antar bagian.
c) Tes hubungan antar hal, adalah soal yang memuat pernyataan dan alasan,
dengan pola memuat pernyataan dan memuat alasan. Petunjuk pilihan:
(a) Jika pernyataan benar, alasan benar, dan ada hubungan sebab akibat
(b) Jika pernyataan benar, alasan benar, dan tidak ada hubungan sebab
akibat
(c) Jika pernyataan benar, alasan salah
(d) Jika pernyataan salah, dan alasan salah
(e) Baik pernyataan maupun alasan salah
Tes ini jarang digunakan, padahal tes hubungan antar hal ini sangat baik
digunakan untuk mengukur banyak dimensi belajar matematika, antara
lain: kemampuan bernalar siswa, pemahaman konsep, hubungan antar
konsep, kemampuan berpikir matematis, dan lain-lain.
11
d) Tes menjodohkan, dalam bentuk tradisional item tes menjodohkan terdiri
dari dua kolom yang pararel. Tiap kata, bilangan, atau simbol dijodohkan
dengan kalimat, frase, atau kata dalam kolom yang lain. Item pada kolom
di mana penjodohan dicari disebut premis, sedangkan kolom di mana
pilihan dicari disebut respon. Tugas siswa adalah memasangkan antara
presmis dan respon berdasarkan aturan yang ditentukan.
b. Tes esay
Tes esay adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari pertanyaan atau perintah
yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang.
Tes ini dirancang untuk mengukur hasil belajar di mana unsur yang
diperlukan untuk menjawab soal dicari, diciptakan dan disusun sendiri siswa.
Siswa harus menyusun sendiri kata dan kalimat untuk menjawabannya.
Tes esay diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, yiatu: uraian bebas (non
objektif), uraian terstruktur (objektif), jawaban singkat, dan isian
(melengkapi).
12
4) Bentuk melengkapi (isian)
Item tes melengkapi hampir sama dengan jawaban singkat, yaitu
merupakan item tes yang dapat dijawab dengan kata, frasa, bilangan atau
simbol. Bedanya, item tes melengkapi merupakan pernyataan tidak
lengkap, siswa diminta untuk melengkapi pernyataan tersebut.
Ada beberapa macam instrumen non tes yang dapat digunakan dalam
penilaian pembelajaran matematika, antara lain:
a. Angket/kuesioner
13
b. Lembar observasi
c. Pedoman wawancara
14
BAB III
PENILAIAN BERBASIS KOMPETENSI
A. Pengertian Kompetensi
15
1. Garcia-Barbero (1998), menyebutkan bahwa kompetensi adalah
kombinasi dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan
untuk melaksanakan tugas profesional.
2. Finch dan Crunkilton (1999), mendefinisikan kompetensi sebagai
penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang
diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Menurut definisi ini
kompetensi memiliki agregat pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
dapat mendukung keberhasilan dalam melakukan pekerjaan, dan untuk
mencapai kompetensi lulusan diperlukan kurikulum.
3. Robert A. Roe (2001), menyatakan bahwa kompetensi dapat digambarkan
sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu peran atau tugas,
kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan,
sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun
pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan
pembelajaran yang dilakukan.
4. Dobson (2003) memberikan defenisi kompetensi, yaitu: kompetensi
didefinisikan bahwa seseorang diharuskan untuk melakukan suatu
pekerjaan (kinerja), dimana hal tersebut harus dilakukan sesuai dengan
kondisi yang telah ditentukan dan apa yang dikerjakan tersebut memenuhi
ketentuan yang telah ditetapkan (standar).
16
yang memicu tindakan (Maisah, 2011). Sedangkan Spencer dan Spencer
(1993; dalam Vathanophas, 2007), mengidentifikasi 5 tipe karakteristik
kompetensi yang meliputi: motif (motives), ciri-ciri (traits), konsep diri (self-
concept), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills). Motif adalah
sesuatu yang dipikirkan dan diinginkan secara konsisten oleh seseorang dan
mendorongnya melakukan tindakan. Ciri-ciri merujuk pada karakteristik fisik
dan respon konsisten terhadap suatu situasi atau informasi. Konsep diri
merupakan sikap individual, nilai atau citra diri. Pengetahuan merupakan
informasi yang dimiliki seseorang pada area tertentu. Keterampilan
merupakan kemampuan menyelesaikan tugas fisik atau mental tertentu.
Pengetahuan dan keterampilan cenderung dapat diamati dan dapat
dikembangkan, sedangkan konsep diri, sifat, dan motivasi lebih tersembunyi
dan sulit dikembangkan, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
17
B. Kompetensi dalam Penilaian Pembelajaran
Pada awal KBK sampai menjadi KTSP yang disusun berdasarkan Permen no
22, 23, dan 24 tahun 2006, dalam berbagai buku pedoman kurikulum dari
pemerintah dinyatakan beberapa terminologi tentang kompetensi, yaitu:
kompetensi, kurikulum berbasis kompetensi, kompetensi lulusan, standar
kompetensi, kompetendi dasar, dan indikator pencapaian kompetensi.
a. Kompetensi
Kompetensi adalah kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara
konsisten sebagai perwujudan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
dimiliki peserta didik
b. Kurikulum berbasis kompetensi
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan perangkat rencana dan
pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,
penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya
sekolah dalam pengembangan kurikulum
c. Kompetensi lulusan
Kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
pengetahuan, sikap, dan keterampilan
d. Standar kompetensi
Standar kompetensi adalah ukuran kompetensi minimal yang harus dicapai
peserta didik setelah mengikuti suatu proses pembelajaran pada satuan
pendidikan tertentu. Standar kompetensi dikembangkan untuk mendukung
pencapaian kompetensi lulusan
e. Kompetensi dasar
Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta
didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun
18
indikator kompetensi. Kompetensi dasar dikembangkan untuk mendukung
pencapaian standar kompetensi
f. Indikator pencapaian kompetensi
Indikator pencapaian kompetensi adalah penanda bahwa peserta didik telah
menguasai kompetensi dasar tertentu, dan merupakan jabaran dari
kompetensi dasar tertentu.
Kompetensi Lulusan
19
Dalam perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini, yaitu
Kurikulum 2013, beberapa terminologi tentang kompetensi di atas masih tetap
dipertahankan, kecuali standar kompetensi yang tidak muncul lagi, diganti
dengan kompetensi inti. Kompetensi inti adalah kompetensi yang bersifat
generik terdiri atas 4 (empat) dimensi yang merepresentasikan sikap spiritual,
sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi Inti merupakan
terjemahan atau operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas yang harus
dimiliki mereka yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu atau jenjang pendidikan tertentu, gambaran mengenai kompetensi
utama yang dikelompokkan ke dalam aspek sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Kompetensi inti ini dikembangkan secara spefisik untuk setiap
jenjang sekolah, baik untuk aspek sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan,
maupun keterampilan.
Penilaian hasil belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan pendidikan
menengah meliputi aspek sikap; pengetahuan; dan keterampilan
(Permendiknas No. 23 Tahun 2016). Penilaian sikap merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh pendidik untuk memperoleh informasi deskriptif mengenai
perilaku peserta didik. Penilaian pengetahuan merupakan kegiatan yang
20
dilakukan untuk mengukur penguasaan pengetahuan peserta didik. Penilaian
keterampilan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengukur
kemampuan peserta didik menerapkan pengetahuan dalam melakukan tugas
tertentu.
1. Penilaian Pengetahuan
21
Penilaian pengetahuan dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian. Teknik yang biasa digunakan adalah tes tertulis, tes lisan, dan
penugasan. Skema penilaian pengetahuan dapat dilihat pada gambar berikut.
Penilaian
Tes lisan Kuis dan Tanya jawab
Pengetahuan
2. Penilaian Keterampilan
22
Penilaian keterampilan menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu
kompetensi tertentu. Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah
pengetahuan (KD pada KI-3) yang sudah dikuasai peserta didik dapat
digunakan untuk mengenal dan menyelesaikan masalah dalam kehidupan
sesungguhnya (real life). Ketuntasan belajar untuk keterampilan ditentukan
oleh satuan pendidikan, secara bertahap satuan pendidikan terus
meningkatkan kriteria ketuntasan belajar dengan mempertimbangkan potensi
dan karakteristik masing-masing satuan pendidikan sebagai bentuk
peningkatan kualitas hasil belajar. Hasil penilaian kompetensi keterampilan
selama dan setelah proses pembelajaran dinyatakan dalam bentuk angka
rentang 1-100 dan deskripsi.
Teknik lain
23
3. Penilaian Sikap
Pada mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dan mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), KD pada KI-1 dan KD
pada KI-2 disusun secara koheren dan linier dengan KD pada KI-3 dan KD
pada KI-4. Dengan demikian aspek sikap untuk mata pelajaran Pendidikan
Agama dan Budi Pekerti dan PPKn dibelajarkan secara langsung (direct
teaching) maupun tidak langsung (indirect teaching) yang memiliki dampak
instruksional (instructional effect) dan memiliki dampak pengiring (nurturant
effect). Sedangkan untuk mata pelajaran lain, tidak terdapat KD pada KI-1 dan
KI-2. Dengan demikian aspek sikap untuk mata pelajaran selain Pendidikan
Agama dan Budi Pekerti dan PPKn tidak dibelajarkan secara langsung dan
memiliki dampak pengiring dari pembelajaran KD pada KI-3 dan KD pada
KI-4.
Meskipun demikian penilaian sikap spiritual dan sikap sosial harus dilakukan
secara berkelanjutan oleh semua guru, termasuk guru Bimbingan dan
Konseling (BK) dan wali kelas, melalui observasi dan informasi lain yang
valid dan relevan dari berbagai sumber. Penilaian sikap merupakan bagian dari
pembinaan dan penanaman/pembentukan sikap spiritual dan sikap sosial
peserta didik yang menjadi tugas dari setiap pendidik. Penanaman sikap
diintegrasikan pada setiap pembelajaran KD dari KI-3 dan KI-4. Selain itu,
dapat dilakukan penilaian diri (self assessment) dan penilaian antarteman
(peer assessment) dalam rangka pembinaan dan pembentukan karakter peserta
didik, yang hasilnya dapat dijadikan sebagai salah satu data untuk konfirmasi
hasil penilaian sikap oleh pendidik. Hasil penilaian sikap selama periode satu
24
semester dilaporkan dalam bentuk predikat sangat baik, baik, cukup, atau
kurang serta deskripsi yang menggambarkan perilaku peserta didik.
Dilaksanakan
Observasi
selama proses
oleh guru
pembelajaran dan
MP selama
di luar
1 semester
Utama
Dilaksanakan di luar
Observasi
jam pelajaran baik
oleh guru
Penlaian secara langsung
BK dan Wali
Sikap maupun
kelas
berdasarkan
selama 1
informasi/ laporan
Penilaian
Penunjang diri dan Dilaksanakan
Penilaian sekurang-kurangnya
antar teman 1X dalam satu
25
D. Acuan Kriteria
26
kompleksitas materi/kompetensi, intake (kualitas peserta didik), serta guru dan
daya dukung satuan pendidikan.
KKM sebaiknya dibuat sama untuk semua mata pelajaran pada semua tingkat
kelas, artinya nilai KKM sama untuk semua mata pelajaran pada suatu
sekolah. Nilai KKM ditulis dalam dokumen Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan disosialisasikan kepada semua warga sekolah.
KKM KKM
KKM KKM
TINGKAT SEKOLAH
KD MP
KELAS
27
Secara singkat gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
Untuk memudahkan analisis setiap KD, perlu dibuat skala penilaian yang
disepakati oleh guru mata pelajaran.
28
Misalkan aspek daya dukung mendapat skor 90; aspek kompleksitas mendapat
skor 70; aspek intake mendapat skor 65. Jika bobot setiap aspek sama, nilai
KKM untuk KD tersebut
ͻͲ Ͳ ͷ
ൌ ൌ ͷ
͵
Dalam menetapkan nilai KKM per KD, pendidik/satuan pendidikan dapat juga
memberikan bobot berbeda untuk masing-masing aspek.
Jika KD memiliki kriteria kompleksitas tinggi, guru dan daya dukung tinggi,
serta intake peserta didik sedang, maka nilai KKM-nya adalah:
ͳ͵ʹ
ൌ ͳͲͲ ൌ Ǥ
ͻ͵
Nilai KKM merupakan angka bulat, maka nilai KKM-nya adalah 67.
۸ܐ܉ܔܕܝ۹۹۾ۻܚ܍ܘۻ
۹۹ ܛ܉ܔ܍ܓܖ܉ܜ܉ܓܖܑܜۻൌ
۸ܛ܉ܔ܍ܓܜ܉ܓܖܑܜ܉܌܉ܘ۾ۻܐ܉ܔܕܝ
29
4) Menentukan KKM satuan pendidikan dengan rumus:
۸ܐ܉ܔܕܝ۹۹ܛ܉ܔ܍ܓܜ܉ܓܖܑܜܚ܍ܘۻ
۹۹ ܖ܉ܓܑ܌ܑ܌ܖ܍ܘܖ܉ܝܜ܉ܛۻൌ
Predikat
KKM
D C B A
N <N N≤… … …≤100
Satuan pendidikan menentukan satu KKM untuk semua mata pelajaran baik
pada satu tingkat kelas maupun tingkat sekolah. Setelah KKM setiap mata
pelajaran ditentukan, satuan pendidikan dapat menetapkan satu KKM yang
sama dengan mempertimbangkan nilai terendah, rata-rata, atau modus dari
seluruh KKM mata pelajaran. Misalnya, SMA Indonesia Cerdas memiliki
KKM mata pelajaran terendah= 63 dan tertinggi= 65. Jika ditentukan
reratanya maka diperoleh 64. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka SMA
Indonesia Cerdas dapat menentukan satu KKM yang berlaku untuk semua
mata pelajaran berdasarkan rata-rata yaitu 64, atau berdasarkan nilai terendah
yaitu 63, atau bisa juga nilai diantara 63 dan 65 sesuai kesepakatan bersama
melalui rapat Dewan Guru.
Model interval nilai dan predikat menggunakan satu ukuran. Pada contoh di
atas SMA “Indonesia Cerdas” memiliki satu KKM yaitu 64, maka interval
nilai dan predikat untuk semua mata pelajaran menggunakan tabel yang sama,
sebagaimana ditunjukkan di bawah ini.
30
Tabel 3.4 Contoh Interval Predikat untuk Satu KKM = 64
Interval Predikat
88 – 100 A
76 – 87 B
64 – 75 C
< 64 D
Contoh tabel interval predikat di atas mengunakan pendekatan rata-rata
ିࡷࡷࡹ
dengan rumus interval : .
E. Tindaklanjut Penilaian
1. Pembelajaran Remidial
Istilah remedial berasal dari kata remedy (bahasa Inggris) yang berarti obat,
memperbaiki, atau menolong (Majid, 2015). Kata remedial adalah kata sifat
yang artinya berhubungan dengan perbaikan, yaitu bersifat mengobati,
menyembuhkan membetulkan, atau membuat menjadi baik
(Suprihatiningrum, 2016). Dalam pembelajaran, remedial diperlukan untuk
31
menyembuhkan atau membuat baik materi dari pelajaran yang dikiranya sulit
untuk dipahami, maka peserta didik harus mengulang materi tersebut untuk
memahaminya (Khouluqo, 2017).
Dalam buku panduan penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan jenjang
SMP (Kemdikbud, 2017) dijelaskan bahwa remedial merupakan program
pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik yang belum mencapai
KKM. Dalam pembelajaran remedial, pendidik membantu peserta didik untuk
memahami kesulitan belajar yang dihadapi secara mandiri, mengatasi
kesulitan dengan memperbaiki sendiri cara belajar dan sikap belajarnya yang
dapat mendorong tercapainya hasil belajar yang optimal.
32
terdapat peserta didik yang mengalami kendala atau keterlambatan dalam
menguasai kompetensi, maka program remedial hadir sebagai wahana
membantu peserta didik mengatas kendala dan mengejar ketertinggalan
tersebut.
33
juga tidak perlu lagi mengulang mengajarkan semua bahan ajar yang sudah
disampaikan. Pembelajaran dipusatkan pada kompetensi dasar dan bahan-
bahan pelajaran yang belum dikuasai dengan baik oleh peserta didik (Majid,
2009).
Dalam penduan penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan jenjang SMP
(Kemdikbud, 2017) dijelaskan bahwa metode yang digunakan guru dalam
pembelajaran remedial dapat bervariasi sesuai dengan sifat, jenis, dan latar
belakang kesulitan belajar yang dialami peserta didik. Tujuan pembelajaran
juga dirumuskan sesuai dengan kesulitan yang dialami peserta didik. Pada
pelaksanaan pembelajaran remedial, media pembelajaran juga harus betul-
betul disiapkan pendidik agar dapat mempermudah peserta didik dalam
memahami KD yang dirasa sulit itu.
Dalam panduan penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan jenjang SMP
(Kemdikbud, 2017) dijelaskan bahwa pelaksanaan pembelajaran remedial
disesuaikan dengan jenis dan tingkat kesulitan peserta didik yang dapat
dilakukan dengan cara:
34
isi/materi pembelajaran untuk KD tertentu; penyederhanaan cara penyajian
(misalnya: menggunakan gambar, model, skema, grafik, memberikan
rangkuman yang sederhana, dll); dan penyederhanaan soal/pertanyaan yang
diberikan. Jika dilihat dari faktor-faktor yang terdapat pada kegiatan perbaikan
itu sendiri, seperti tempat, waktu, metode, dan lain-lain, maka dapat dipilih
dan ditentukan kegiatan perbaikan, antara lain:
35
remedial dilaksanakan secara klasikal. Bila kegagalan terjadi pada sebagian
besar peserta didik dan program remedial dilaksanakan secara klasikal maka
kepada sebagian peserta didik yang telah berhasil menguasai target diberi
program pengayaan. Demikian pula sebaliknya, bila kegagalan terjadi hanya
pada sebagian kecil peserta didik maka pembelajaran remedial hanya
dikenakan pada mereka yang gagal sedangkan sebagian besar peserta didik
diberikan program pengayaan.
Remedial bukan mengulang tes (ulangan harian) dengan materi yang sama,
tetapi guru memberikan perbaikan pembelajaran pada KD yang belum
dikuasai oleh peserta didik melalui upaya tertentu (Kemdikbud, 2013). Peserta
didik difasilitasi untuk mempelajari kembali materi yang diajarkan dengan
harapan akan dapat menguasai kompetensi yang ditetapkan seperti peserta
didik lainnya. Dengan demikian, esensi utama remedial adalah fasilitasi ulang
peserta didik untuk “belajar kembali”. Setelah perbaikan pembelajaran
dilakukan tersebut dilakukan, guru kemudian baru melakukan pengukuran
kembali ketercapaian kompetensi untuk mengetahui apakah peserta didik telah
memenuhi kompetensi minimal dari KD yang diremedialkan.
36
1) Model pembelajaran di luar jam sekolah
37
Program pembelajaran remedial dilaksanakan sampai peserta didik menguasai
kompetensi dasar yang diharapkan (tujuan tercapai). Ketika peserta didik telah
mencapai kompetensi minimalnya (setelah program remedial dilakukan),
maka pembelajaran remedial tidak perlu dilanjutkan (Sumantri, 2015).
Apabila hasil remedial ternyata masih belum memenuhi nilai standar
minimum, maka peserta didik tersebut diremedial ulang. Setelah remedial
dilakukan dua kali ternyata nilanya masih dibawah standar minimum, maka
penanganannya melibatkan orangtua atau wali murid dari peserta didik
tersebut.
Dalam hal penilaian pada program remedial, pada panduan penilaian oleh
pendidik dan satuan pendidikan jenjang SMP (Kemdikbud, 2017) dijelaskan
bahwa pemberian nilai KD bagi peserta didik yang mengikuti pembelajaran
remedial yang dimasukkan sebagai hasil penilaian harian (PH), dapat dipilih
beberapa alternatif berikut.
a) Alternatif 1
Peserta didik diberi nilai sesuai capaian yang diperoleh peserta didik setelah
mengikuti remedial. Misalkan, suatu matapelajaran memiliki KKM sebesar
64. Seorang peserta didik, Andi memperoleh nilai PH-1 (KD 3.1) sebesar 50.
Karena Andi belum mencapai KKM, maka Andi mengikuti remedial untuk
KD 3.1. Setelah Andi mengikuti remedial dan diakhiri dengan penilaian, Andi
memperoleh hasil penilaian sebesar 80. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
nilai PH-1 (KD 3.1) yang diperoleh Andi adalah sebesar 80.
38
Kelemahan menggunakan ketentuan ini:
9 Peserta didik yang telah tuntas (misalnya, Wati dengan nilai 75) dan
nilainya dilampaui oleh peserta didik yang mengikuti remedial (misalnya,
Andi dengan nilai 80), kemungkinan Wati mempunyai perasaan
diperlakukan “tidak adil” oleh pendidik. Oleh karena itu, pendidik
disarankan memberikan kesempatan yang sama pada peserta didik yang
telah mencapai KKM untuk memperoleh nilai yang maksimal.
b) Alternatif 2
Peserta didik diberi nilai dengan cara merata-rata antara nilai capaian awal
(sebelum mengikuti remedial) dan capaian akhir (setelah mengikuti remedial),
dengan ketentuan:
c) Alternatif 3
Peserta didik diberi nilai sama dengan KKM yang ditetapkan oleh sekolah
untuk suatu mata pelajaran, berapapun nilai yang dicapai peserta didik tersebut
telah melampaui nilai KKM.
39
2. Pembelajaran Pengayaan
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam merancang program pengayaan
(Passow, 1993; Bafadal, 2013; Sumantri, 2015), yaitu:
40
1) Keluasan dan kedalaman dari pendelatan dari pendekatan yang digunakan
dan materi yang diberikan tidak hanya berisi dari luarnya (kulitnya) saja,
tetapi diberikan lebih menyeluruh dan lebih mendalam. Contoh,
membahas mengenai prinsip Phytagoras, tidak hanya memberikan rumus
dan pemecahan soal saja, tetapi juga memberikan pemahaman yang luas
dari mulai sejarah terbentuknya hukum-hukum Phytagoras dan bagaimana
penerapan prindip tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
2) Tempo dan kecepatan dalam membawakan program. Sesuaikan cara
pemberian materi dengan tempo dan kecepatan peserta didik dalam
menangkap materi yang diajarkan. Hal ini berkaitan dengan kecepatan
daya tangkap yang dimiliki peserta didik sehingga dapat diberikan dengan
lebih mendalam dan lebih dinamis untuk menghindari kebosanan karena
peserta didik yang telah menguasai materi pelajaran yang diberikan di
kelas.
3) Memperhatikan isi dan tujuan yang diberikan. Hal ini bertujuan agar
kurikulum yang dirancang tepat guna dan responsif terhadap kebutuhan
peserta didik.
41
pendayagunaan kemampuan maupun pemerolehan hasil belajar (Khuluqo,
2017).
Menurut Haryati (2013), cara yang dapat dilakukan pada progam pengayaan
antara lain:
Dalam panduan penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan jenjang SMP
(Kemdikbud, 2017) dijelaskan bahwa bentuk pelaksanaan pembelajaran
pengayaan dapat dilakukan melalui:
42
2) Belajar mandiri, yaitu secara mandiri peserta didik belajar mengenai
sesuatu yang diminati, menjadi tutor bagi teman yang membutuhkan.
Kegiatan pemecahan masalah nyata, tugas proyek, ataupun penelitian
ilmiah juga dapat dilakukan oleh peserta didik secara mandiri jika kegiatan
tersebut diminati secara individu.
Dalam panduan penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan jenjang SMP
dijelaskan bahwa fokus pengayaan adalah pendalaman dan perluasan dari
kompetensi yang dipelajari (Kemdikbud, 2017). Materi pokok yang diberikan
pada program pengayaan pada prinsipnya bisa sama dengan materi pokok
yang diajarkan di kelas, namun lebih diperdalam atau diperluas. Bisa juga guru
memberikan materi dan kompetensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
materi dan kompetensi yang diberikan dalam pembelajaran biasa. Sekolah
juga dapat memfasilitasi peserta didik dengan kelebihan kecerdasan dalam
bentuk kegiatan pengembangan diri dengan spesifikasi pengayaan kompetensi
tertentu, misalkan bidang sains. Pembelajaran seperti ini diselenggarakan
untuk membantu peserta didik mempersiapkan diri mengikuti kompetisi
tingkat nasional maupun internasional.
43
tes/ujian KD atau blok terakhir pada semester tertentu. Apabila dari hasil
analisis ditemukan bahwa sebagian besar peserta didik belum tuntas sehingga
perlu dilakukan remedial klasikal, maka bagi peserta didik yang telah tuntas
bisa diberikan pengayaan. Jangan sampai ketika peserta didik diberikan
remedial klasikal, peserta didik yang tuntas dibiarkan menunggu tanpa
melakukan apa-apa.
44
BAB IV
PENILAIAN DIDAKTIF
A. Konsep Dasar
Isi bersifat didaktis, yaitu isi penilaian tidak hanya khusus (terbatas) pada
ketrampilan yang mudah dinilai, tetapi beberapa tujuan pembelajaran
yang lebih mendalam. Penilaian harus mampu memberikan pengetahuan
mendalam tentang aktivitas matematis siswa. Penilaian didaktik pada
dasarnya memprioritaskan pada penilaian proses, bukan semata-mata
hasil. Keluasan, kedalaman, dan hubungan antara proses dan hasil
diformulasikan oleh De Lange (1987a): “The third principle is that the
task should operationalize the goals as much as possible. [...] This also
45
means that we are not interested in the first place in the product (the
solution) but in the process that leads to this product”.
46
B. Penilaian Didaktik di Indonesia
48
membuat keputusan-keputusan pembelajaran. Hal ini selaras dengan yang
diungkapkan Gouveia & Valadares (2004) yang menyatakan bahwa
pengembangan penilaian harus didasarkan asumsi bahwa penilaian
memegang peranan penting dalam mengorganisasi dan mengatur proses
pembelajaran, penguatan kontrol siswa terhadap belajarnya, dan
memfasilitasi pembelajaran yang bermakna. Dengan demikian penilaian
pendidikan matematika di Indonesia harus didisain tidak semata-mata
sebagai wahana untuk menghakimi keberhasilan atau kegagalan
pembelajaran, melainkan harus menjadi instrumen yang mendukung
terselenggaranya pembelajaran dengan sebaik-baiknya.
49
relatif sulit dilaksanakan. Oleh karena itu, penilaian pendidikan matematika
juga membutuhkan teknik penilaian selain tes. Observasi selama
pembelajaran, mengajukan pertanyaan, serta wawancara merupakan
sebagian teknik penilaian yang diperlukan dalam penilaian pendidikan
matematika. Beberapa teknik penilaian tersebut dapat mendorong
terlaksananya penilaian yang terintegrasi dalam proses pembelajaran.
Observasi, bertanya, dan wawancara dapat dilakukan selama pembelajaran
berlangsung, sehingga siswa dapat merasakan hadirnya proses penilaian
selama proses pembelajaran.
50
BAB V
PENDEKATAN KUALITATIF
DALAM PENILAIAN
51
equity” (Froese-Germain, 2001), “an adverse effect on job satisfaction”
(Rotberg, 2001), dan “measuring what students have learned in school [...] is
not the measuring function of traditional achievement tests” (Popham,
2001) .
52
pemanfaatannya. Selain itu, paradigma kuantitatif juga memungkinkan generalisasi
hasil lebih terjamin. Banyak generalisasi harus dinyatakan dalam konsep statistika
berdasarkan teori probabilitas yang hanya mungkin dilakukan kalau digunakan
pengukuran baku.
53
yang holistik (NCTM, 1995; Reys, dkk., 1998). Pembelajaran yang efektif
hanya dapat diupayakan dengan penilaian yang berkelanjutan terhadap respon
siswa dalam pembelajaran (DES 1985; Tanner dan Jones, 2000). Penilaian
pembelajaran matematika seharusnya terintegrasi dengan proses, bukan
sesuatu yang terpisah (Reys, dkk., 1998). Tes saja tidak cukup untuk penilaian.
Meskipun mampu menyiapkan informasi yang hebat, tetapi tes perlu didukung
cara-cara alternatif untuk memperoleh informasi (Marks, dkk, 1975).
54
D. Implementasi Pendekatan Kualitatif dalam Penilaian Pembelajaran
Matematika
55
mengidentifikasi aspek mana yang penting untuk dinilai (Tanner dan Jones,
2000). Dengan menganalisis jawaban siswa maka guru akan dapat
menemukan apa dan bagaimana permasalahan siswa sehingga guru juga dapat
menentukan pemberian bantuan (scaffolding).
Beragamnya teknik penilaian yang dapat digunakan tidak berarti tes tidak
boleh digunakan lagi. Sesuai dengan karakteristik dasar matematika, tes tetap
menjadi salah satu cara pengumpulan data belajar matematika siswa. Namun
jika tes digunakan, kualitas tes seharusnya tidak sekedar dilihat dari
objektivitas dalam penskoran, tetapi lebih difokuskan perhatian pada konten
dari tes tersebut (De Lange, 1987a; Van den Heuvel-Panhuizen, 1996). Isi tes
harus diarahkan pada penggalian informasi yang bervariasi dan berorientasi
tingkat berpikir yang lebih tinggi dari siswa. Tes penilaian hasil belajar yang
hanya berorientasi keobjektifan akan terjebak pada penggalian infomasi yang
miskin. Spektrum domain belajar matematika yang luas membutuhkan tes
yang lebih terbuka dan memberi kesempatan lebih luas bagi siswa
menunjukkan bagian-bagian kompetensi matematis yang sudah dan belum
dikuasai.
56
instrumen penilaian (human instrument). Guru bertindak sebagai perancang
penilaian, menentukan sumber-sumber data, mengolah data, menganalisis
data, menafsirkan data dan mengambil kesimpulan dari semua proses yang
telah dijalani. Jika kembali pada paradigma kuantitatif, peran dominan guru
ini dianggap merupakan ancaman terhadap objektivitas penilaian. Namun,
dalam perpektif kualitatif, subjektivitas bukanlah kelemahan, melainkan
potensi yang jika dapat dimanfaatkan secara optimal memungkinkan
pemerolehan data lebih komprehensif dan bermakna. Peran langsung guru
dalam penilaian diharapkan dapat menutup lubang data yang tidak dapat
dihasilkan dengan pengukuran. Tentu saja, guru harus senantiasa
meningkatkan kemampuan dan ketajaman dalam melakukan penilaian. Guru
harus mampu memilih dan meramu berbagai teknik penilaian sesuai dengan
aspek belajar matematika yang akan dinilai. Hal ini membutuhkan kreativitas
dan kejelian guru dalam mengambil keputusan.
57
BAB VI
PENILAIAN ATAS, UNTUK, DAN
SEBAGAI PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Setiap guru matematika harus memiliki pemahaman dan wawasan yang luas
tentang berbagai pendeatan penilaian, sehingga dapat merancang dan
melaksanakan penilaian pembelajaran matematika dengan baik. Assessment
of learning, assessment for learning, dan assessment as learning merupakan
tiga pendekatan penilaian yang sedang marak dibicarakan. Selama ini dalam
penilaian lebih banyak dikenal penilaian formatif dan sumatif untuk
membedakan penilaian yang dilaksanakan dalam proses dengan penilaian
yang dilaksanakan di akhir pembelajaran. Assessment of learning,
assessment for learning, dan assessment as learning hadir dalam diskursus
sistem penilaian di Indonesia, termasuk dalam penilaian pembelajaran
matematika.
58
B. Assessment Of Learning
59
Nilai penting assessment of learning menuntut guru mempersiapkan dengan
baik pelaksanaannya sehingga hasil yang diperoleh benar-benar dapat
menggambarkan profil capaian siswa. Guru dapat memilih berbagai bentuk
penilaian assessment of learning disesuaikan dengan perkembangan dan
kebutuhan penilaian. Berbagai bentuk penilaian sumatif seperti ulangan akhir
semester, ujian sekolah, dan ujian nasional merupakan contoh assessment of
learning (Kemdikbud, 2017).
60
berikutnya dalam pengamatan, lembar kerja, pertanyaan lisan di kelas, atau
hal-hal lain yang bermanfaat untuk perbaikan pembelajaran yang
dikelolanya, termasuk tentu untuk mendorong perbaikan belajar siswa.
D. Assessment As Learning
61
belajar yang telah dilakukan (Earl dan Katz, 2016). Siswa, sebagai penilai
aktif kritis, dapat membuat kepekaan dan kepedulian terhadap informasi
kemajuan belajarnya. Dalam assessment as learning, siswa menempati
posisi sebagai penilai terbaik terhadap prograss belajarnya, serta memonitor
dirinya sendiri dan teman sekelasnya tentang apa yang telah mereka pelajari
dan menggunakan umpan balik dari hasil monitoring ini untuk membuat
penyesuaian diri, adaptasi, dan perubahan perbaikan lainnya untuk
meningkatkan keberhasilan belajarnya.
62
adil. Penilaian antar teman dapat memberikan tambahan data penting bagi
guru karena melalui penilaian antar teman guru dapat memperoleh informasi
tentang kegiatan kelompok melalui anggota kelompok dan siswa saling
memberikan penilaian sesuai peran yang diberikan tiap anggota kelompok,
sehingga siswa aktif tidak dirugikan karena mendapat nilai sesuai dengan
kompetensinya.
63
akhir pembelajaran. Oleh karena itu, perlu pergesaran fokus dalam penilaian
pembelajaran matematika, tidak seperti penilaian tradisional yang hanya
menekankan pada penilaian akhir (assessment of learning), tetapi perlu
pergeseran fokus penilaian dimana penilaian juga harus diarahkan pada
pemerolehan informasi dalam proses (assessment as-for learning).
Dari gambar 6.1 dan gambar 6.2 di atas terlihat bahwa ada pergeseran
prioritas penilaian, dari penilaian yang lebih banyak diarahkan untuk
mengukur hasil belajar (gambar 6.1) ke arah penilaian yang lebih diarahkan
untuk dan sebagai pendukung pembelajaran (gambar 6.2). Pada gambar 6.1,
guru lebih banyak mengalokasikan perhatian pada penilaian akhir
(assessment of learning) dari pada penilaian proses. Pada penilaian
konvensional, assessment of learning paling dominan dibandingkan
assessment for learning dan assesment as learning. Pada gambar 6.2,
penilaian proses (assessment for and as learning) mendapatkan porsi yang
lebih besar dibandingkan assessment of learning. Terlihat disini bahwa telah
terjadi pergeseran pandangan dalam menempatkan posisi penilaian di
tengah-tengah proses pembelajaran. Penilaian tidak sekedar ditempatkan
64
sebagai tagihan akhir pembelajaran, tetapi menjadi bagian integral dan
simultan dari awal, tengah, sampai akhir pembelajaran.
65
Tabel 6.1 Karakteristik assessment of, for, and as learning
Penilai
Pendekatan Tujuan Poin Referensi
Kunci
Keputusan tentang
Assessment of
penempatan, promosi, Siswa lain Guru
Learning
mandat, dan lain-lain.
Assessment Informasi untuk
Standar atau
for keputusan Guru
harapan eksternal
Learning pembelajaran guru
Monitoring diri dan Tujuan personal
Assessment as
koreksi diri atau dan standar Siswa
Learning
penyesuaian diri eksternal
Dari tabel 6.1 di atas terlihat bahwa Assessment of Learning, Assessment for
Learning, dan Assessment as Learning, ketiganya memiliki penekanan
tujuan, point utama, dan penilai kunci yang berbeda. Perbedaan tersebut
merepresentasikan keragaman penilaian yang jika dilakukan secara simultan
dan berkesinambungan dalam keseimbangan yang baik diantara ketiganya
maka fungsi penilaian yang juga merupakan pendorong keberhasilan belajar
akan dapat dilakukan dengan lebih baik. Pelaksanaan penilaian akan dapat
menjadi variabel yang mendorong siswa belajar sejak awal pembelajaran,
selama pembelajaran, sampai akhir pembelajaran. Pelibatan siswa dalam
penilaian juga dapat menempatkan siswa sebagai pelaku belajar sekaligus
penilai sehingga siswa dapat menempatkan dirinya sebagai pelaku, pematau,
penilai, sekaligus penindaklanjut pembelajaran dan/atau penilaian.
66
Tabel 6.2 Kerangka assessment for learning, assessment as learning dan
assessment of learning
67
Assessment Assessment Assessment
for Learning as Learning of Learning
Penjaminan • akurasi dan • akurasi dan • akurasi, konsisteni,
mutu konsistensi dari konsistensi dari dan kejujuran
pengamatan serta refleksi diri siswa, penilaian
interpretasi monitoring diri, berdasarkan
terhadap belajar dan penyesuaian informasi yang
siswa diri berkualitas
• harapan belajar • pelibatan siswa • harapan
yang jelas, detail dalam memandang pembelajaran yang
• catatan yang dan menantang jelas dan detail
akuran dan detail berpikir siswa • pelaporan sumatif
untuk feetback •catatan siswa yang akurat dan adil
deskriptif setiap tentang belajar
siswa mereka
Penggunaa • menyediakan • menyediakan setiap • mengindikasikan
n informasi setiap siswa siswa dengan tingkatan belajar
feetback deskriptif feetback deskriptif setiap siswa
yang akurat untuk yang akuran yang • menyediakan dasar
pembelajaran dapat membantu untuk diskusi atau
mereka mereka penempatan
selanjutnya mengembangkan • laporan yang adil,
• membedakan kebiasaan belajar akurat, dan informasi
pengajaran dengan yang independen detail yang dapat
pemeriksaan yang • memfokuskan setiap digunakan untuk
kontinu dimana siswa terhadap memutuskan langkah
setiap siswa teriat tugas dan pembelajaran siswa
dengan outcomes pembelajaran selanjutnya
kurikuler mereka (bukan
• menyediakan sekedar
orang tua dan wali mendapatkan
dengan feetback jawban benar)
deskriptif tentang • menyediakan setiap
pembelajaran siswa dengan
siswa dan pemikiran untuk
pemikiran untuk mengatur,
68
Assessment Assessment Assessment
for Learning as Learning of Learning
mendukungnya memikirkan ulang,
dan
mengartikulasikan
pembelajaran
mereka
• menyediakan
kondisi guru dan
siswa untuk
mendiskusikan
alternatif-alternatif
• laporan siswa
tentang
pembelajaran
mereka
Dari tabel di atas dapat diketahui dengan jelas alasan, sasaran, metode,
kontrol kualitas, dan penggunaan informasi dari assessment for learning,
assessment as learning dan assessment of learning. Ketiganya memiliki
rincian masing-masing, namun tetap men-support penilaian sebagai satu
kesatuan. Guru tidak perlu me-nisbi-kan satu sama lainnya, tetapi
mensinergikan pelaksanaannya sehingga konsep penilaian yang utuh dari
proses dan hasil belajar siswa dapat terlaksana dengan baik.
F. Penutup
Sistem penilaian merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari
sistem pendidikan matematika sehingga setiap usaha memperbaiki sistem
pendidikan matematika tanpa disertai perbaikan sistem penilaian tidak akan
dapat memberikan hasil yang optimal, bahkan mungkin akan sia-sia.
Assessment for learning, assessment as learning dan assessment of learning
merupakan tiga pendekatan yang dapat dioptimalkan perannya dalam
mendukung keberhasilan pembelajaran matematika. Assessment of learning,
assessment for learning, dan assessment as learning merupakan tiga
69
pendekatan yang secara simultan penting untuk mendukung penguatan
pendidikan matematika kita saat ini.
70
BAB VII
PENILAIAN AUTENTIK
A. Konsep Dasar
Hari-hari ini ada kecenderungan besar pergeseran penilaian dari soal isian
singkat dan pilihan ganda tradisional menuju ke arah penilaian yang fokus
pada situasi riil-sehari-hari, matematika autentik, dan aktivitas performance
(Lesh & Lemon, 1992). Penilaian tradisional, yang mengandalkan soal tipe
pilihan ganda atau isian singkat, dirasa tidak lagi memadai sebagai instrumen
pengumpulan data pada penilaian pembelajaran matematika. Pembelajaran
matematika yang semakin mengarah pada pembelajaran yang holistik, yang
mengembangkan berbagai kompetensi siswa secara utuh tidak hanya
pemahaman terhadap konten materi matematika, membutuhkan instrumen
penilaian yang memberikan ruang lembih longgar untuk pemerolehan
informasi komprehensif perkembangan belajar matematika siswa.
71
(Hart, 1994; Torrance, 1995; Gulikers, Bastioens & Kirschner, 2010),
sedangkan yang lain menekankan penilaian autentik dikaitkan dengan nilai
realistik dari tugas dan konteks yang diberikan (Herrington & Herrington,
1998; Gulikers, Bastioens & Kirschner, 2010).
72
kompetensi yang dibutuhkan dalam dunia nyata. Siswa dapat menunjukkan
apa yang telah dipelajari dan kompetensi yang telah dikuasai setelah proses
pembelajaran.
73
4. Penilaian autentik menyediakan banyak sisi untuk didemonstrasikan
Tugas autentik cenderung memberikan siswa kebebasan yang lebih besar
dalam bagaimana mereka akan mendemonstrasikan apa yang telah
dipalajari. Hati-hati dalam mengidentifikasi kriteria untuk performance
yang baik dalam tugas autentik, guru tetap dapat membuat penilaian yang
dapat diperbandingkan dari performance siswa meskipun siswa
performance siswa ditunjukkan berbeda antara siswa satu dengan siswa
lainnya.
Selain alasan di atas, Gielen, Dochy, & Dierick, 2003 (Gulikers, Bastioens,
& Kirschner, 2010) memberikan dua alasan penting lain mengapa penilaian
autentik penting digunakan, yaitu terkait dengan: validitas konstruk
(construct validity) dan dampak terhadap belajar siswa (consequential
validity). Construct validity berhubungan dengan apakah yang dilakukan
mengukur apa yang seharusnya diukur. Pada penilaian kompetensi, maka (a)
tugas harus merefleksikan dengan tepat kompetensi yang perlu diukur, (b)
konten dari penilaian memuat tugas otentik yang merefleksikan masalah
dalam kehidupan nyata dimana domain diukur, dan (c) proses berpikir yag
digunakan untuk menyelesaikan masalah nyata juga diperlukan dalam tugas
penilaian.
74
B. Karakreristik Penilaian Autentik
75
Secara skematis kelima dimensi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Authentic
asessment
Multiple
No (or less) Positive
indicators of
support independency
learning Criterion-
referenced
scoring leading
to profile score
Individual
accountability
1. Tugas
76
2. Konteks fisik
3. Konteks sosial
Hasil dan bentuk penilaian autentik dicirikan dengan 4 elemen, yaitu: (a)
kualitas produk dan penampilan yang mana siswa dapat diminta
menghasilkannya dalam kehidupan sesungguhnya, (b) demonstrasi yang
memungkinkan dapat menghasilkan simpulan valid tentang kompetensi,
(c) penuh dengan susunan tugas dan indikator beragam dari
pembelajaran, dan (d) mempresentasikan pekerjaan mereka untuk
menjamin ketuntasan mereka tampak dengan jelas.
5. Kriteria
77
dengan perkembangan kompetensi profesional yang relevan dan
seharusnya berbasis pada kriteria yang digunakan dalam kehidupan
nyata.
78
penguasaan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang siswa. Pada kasus
tertentu tes pilihan ganda juga lebih efisien jika digunakan untuk mengetahui
kompetensi siswa. Tetapi pada kasus lain, siswa yang mendapatkan nilai
tinggi pada tes pilihan ganda tidak mampu menyelesaikan tugas kinerja
tertentu yang berhubungan dengan kompetensi tersebut. Sebaliknya, siswa
yang mampu merancang dan melaksanakan suatu tindakan belum tentu dapat
menjawab pertanyaan tertulis tentang keterampilan proses tersebut. Selain
itu, penilaian tradisional pada umumnya memisahkan antara proses
pembelajaran dan proses penilaian, dimana penilaian dilakukan setelah
pembelajaran selesai dilakukan. Sedangkan penilaian autentik
mengintegrasikan proses penilaian dengan kegiatan belajar mengajar.
79
Fokus pada pengetahuan dan Menenkankan pada hasil belajar dan
10
keterampilan tingkat rendah keterampilan berpikir tingkat tinggi
Melarang siswa untuk Mendorong pembelajaran kolaboratif
bekerjasama (dalam ujian) dan membandingkan capaian
11
sehingga ada perbendingan antar terhadap kemampuan siswa
peserta
Siswa belajar untuk memperoleh Siswa belajar untuk kebutuhannya
12
nilai yang baik
Pada level tugas, penilaian autentik cenderung merujuk pada hakekat dari
aktivitas matematik. Matematika adalah aktivitas kreatif, sehingga tugas
autentik seharusnya memberikan ruang pada siswa untuk kreatif, bukan
sekedar mengingat prosedur (Morgan. 2013). Dengan demikian, dalam
penilaian pembelajaran matematika guru harus mampu mendisain tugas yang
memungkinkan siswa menunjukkan kinerja kreatifnya, tidak sekedar mampu
menunjukkan apa yang sudah dihafalnya. Tentu guru matematika perlu
menjadi kreatif terlebih dahulu. Tanpa guru matematika kreatif tidak akan
pernah muncul tugas kreatif yang mengkreatifkan siswa dalam
penyelesaiannya.
80
autentik cukup beragam, yang diharapkan mampu mengungkapkan data
kompehensif tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Berikut beberapa teknik dan contoh butir instrumen penilaian autentik dalam
penilaian pembelajaran matematika
1. Penilaian kinerja
81
pedoman penyekoran. Instrumen penilaian kinerja dapat terdiri dari lembar
pengamatan (observasi) dengan daftar cek (check list) dan dengan skala
rentang (rating scale) (Wardani, 2010)
Contoh instrumen
Uraian tugas:
Pedoman penilaian
Skor 4: tanpa kesalahn
Skor 3: ada sedikit kesalahan
Skor 2: ada banyak kesalahan
Skor 1: tidak melakukan
Skor maksimal 16
82
Selain model penilaian di atas, guru juga dapat membuat pedoman penilaian
dengan daftar cek (check list), seperti berikut.
Pedoman penilaian
Skor 1 : ya
Skor 0 : tidak
Skor maksimum 4
Skor minimal 0
Penilaian unjuk kerja adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui apa
yang siswa ketahui dan apa yang dapat mereka kerjakan. Tugas unjuk kerja
harus mengarahkan pada tujuan pembelajaran, memberi kesempatan siswa
mengemukakan pikiran dan pemahamannya dalam situasi (masalah)
83
matematika dan tidak hanya meminta jawaban tunggal, memberikan
kesempatan untuk menilai proses-proses yang ada dalam tugas, realistis,
menarik dan merangsang berpikir, mewakili tujuan yang akan dinilai,
menekankan pada kedalaman materi daripada keluasannya dan penguasaan
daripada kecepatannya, lebih open ended dari pada terstruktur yang ketat,
tidak algoritmis, dan dapat menimbulkan pertanyaan baru atau masalah lain
(Kusrini & Siswono, 2002).
Contoh instrumen
84
Penyelesaian akan bervariasi, tergantung pada ukuran dan kapasitas wadah
yang dipilih sebagai tempat berondong. Pendekatan yang dilakukan siswa
juga bervariasi, mungkin akan dilakukan hal-hal berikut.
Untuk menentukan nilai siswa dari tugas kinerja di atas, guru dapat membuat
pedoman penskoran dengan pendekatan holistik, seperti berikut.
Kriteria 1 2 3 4
Pendekatan Tidak Ada usaha Terorganisir, Sangat
pemecahan terorganisir, untuk sistematik, terorganisir
masalah tidak mengorganisir dengan dan
sistematis tetapi tidak pendekatan sistematik,
dilakukan tunggal dengan
dengan baik perencanaan
yang baik
85
Ketepatan Operasi Beberapa Hanya Tidak ada
perhitungan hitung tidak perhitungan sedikit kesalahan
layak dan masih salah, kesalahan perhitungan,
banyak mengakibatkan dalam dan hasil
kesalahan ada hasil yang perhitungan, yang
sehingga salah dengan hasil diperoleh
mendapatkan yang benar
kesimpulan diperoleh
yang salah bisa diterima
Pendekatan Tidak ada Ada Penjelasan Penjelasan
prosedur penjelasan penjelasan ada tetapi memuaskan
atau hanya tetapi sukar proses dan proses
sedikit dimengerti berpikir berpikir
penjelasan kadang- yang mudah
yang kadang tidak diikuti
diberikan selalu
mudah
diikuti
(Sumber: Iryanti, 2004)
3. Penilaian Portofolio
86
Contoh Instrumen portofolio
87
2. Tampak bahwa pemahamannya sangat
terbatas tentang konsep dan prinsip dalam
pembelajaran geometri
3. Membuat kesalahan besar dalam
menyelesaikan algoritma
1. Sama sekali tidak memahami konsep dan
0
prinsip dalam pembelajaran geometri
Keterangan:
Kriteria Skala
No
1 2 3 4
Keteraturan Banyak Ada usaha Ada Tidak ada
/ tata letak/ kesalahan tetapi belum beberapa kesalahan
1 kebenaran fatal sampai pada kesalahan penulisan
penulisan penulisan kecil dalam
yang benar penulisan
Sistematika Tidak Cukup untuk Terorganisir Sangat
penulisan terorganisir mengorganisi dan terorganisir
2 dan tidak r informasi sistematis dan
sistematis kompleks sistematis
88
Kerapian Penulisan Sedikit rapi Rapi tetapi Sangat rapi
dan sangat tetapi tidak masih belum dan menarik
keindahan tidak rapi memenuhi memenuhi diikuti
3 (sembrono) tata aturan tata aturan dengan tata
penulisan penulisan aturan;
penulisan
yang tepat
Pemahaman Tidak ada Ada tetapi Menuliskan Menuliskan
konsep sama sekali hanya contoh yang contoh yang
menuliskan diberikan diberikan
contoh yang dan mampu dan mampu
4
diberikan membuat membuat
contoh contoh
sendiri tetapi sendiri dan
belum tepat tepat
Gambar/ Sembarang Ada tabel Tabel jelas Tabel jelas
tabel an dan tetapi ada tetapi belum dan tepat
5 kebenaran tidak jelas kesalahan tepat dalam
memberikan memberikan
keterangan keterangan
Keterangan Kriteria:
x Kebenaran penulisan catatan harian siswa berdasarkan keteraturan/tata
letak sesuai dengan kaidah penulisan yang benar
x Sistematisasi siswa dalam mengorganisir semua informasi yang
diberikan secara kompleks
x Kerapian penulisan catatan siswa
x Kebenaran dalam menuliskan definisi, rumus, teorema, hubungan suatu
konsep dengan konsep lain dalam pembelajaran geometri disertai dengan
contoh penyelesaian
x Kemampuan siswa dalam menggambar/melukis berdasarkan informasi
yang telah diberikan
(Sumber: Jaelani, 2013)
4. Penilaian Proyek
89
berupa penyelidikan terhadap sesuatu yang mencakup perencanaan,
pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data.
Penilaian proyek dimaksudkan untuk mengetahui: pemahaman siswa dalam
bidang tertentu, kemampuan siswa mengaplikasikan pengetahuan tertentu
melalui suatu penyelidikan, kemampuan siswa memberi informasi tentang
sesuatu yang menjadi hasil penyelidikannya. Penilaian hasil karya dalam
proyek dilakukan dari proses perencanaan, proses pengerjaan tugas sampai
hasil akhir proyek. Oleh karena itu perlu ditetapkan hal-halatau aspek yang
perlu dinilai, seperti penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data dan
penyiapan laporan tertulis. Instrumen penilaian proyek dapat terdiri dari
lembar pengamatan (observasi) dengan daftar cek (check list) dan skala
rentang (rating scale). Kegiatan siswa yang termasuk proyek antara lain:
penelitian sederhana tentang air di rumah, perkembangan harga sembako
dalam suatu periode tertentu (Wardani, 2010).
Contoh proyek
90
2) Penjelasan tentang:
a) Pedagang mana yang persentase keuntungan/kerugiannya paling
banyak dan besarnya persentase. Dalam kondisi yang bagaimana
keuntungan/kerugian biasa terjadi.
b) Kegiatan yang pada umumnya harus dilalui para pedagang dalam
berdagang.
d. Laporan dipresentasikan atau dipamerkan. Laporan dikumpulkan paling
lambat enam minggu setelah diberikan tugas ini.
91
Selain model penilaian di atas, guru juga dapat membuat pedoman penilaian
dengan daftar cek (check list), seperti berikut.
Pedoman penilaian
Skor 1 : ya
Skor 0 : tidak
Skor maksimum 3
Skor minimal 0
Jumlah skor dapat ditransfer ke nilai dengan skala 0 – 100, dengan
formula:
Nilai = (skor yang dicapai : skor maksimum) x 100
Keterangan:
a. Aspek yang dinilai pada tahap persiapan adalah: persiapan format-
format untuk pengumpulan data secara langsung maupun dengan lembar
isian
b. Aspek yang dinilai pada tahap pelaksanaan adalah: proses pencatatan
data, pengelompokan data dan analisis data.
c. Aspek yang dinilai pada tahap pelaporan adalah: ketepatan isi laporan
dan bentuk sajian laporan.
(Sumber: Wardani, 2010)
92
terintegrasi pada proses pembelajaran kompetensi dasar: Menggunakan
konsep aljabar dalam pemecahan masalah aritmetika sosial yang sederhana.
Berbagai macam tekni penilaian autentik di atas tidak berarti tes tidak boleh
digunakan. Tes tetap menjadi salah satu cara potensial sebagai instrumen
pengumpulan data belajar matematika siswa. Namun jika tes digunakan, isi
tes diarahkan pada penggalian informasi yang bervariasi dalam konteks
kehidupan nyata siswa. Tes tidak sebaiknya hanya melulu pengukuran
kemampuan siswa dalam hal konsep-konsep dasar matematika, tetapi tes
juga menggali kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan yang
dimiliki tersebut untuk pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahan:
93
Alternatif penyelesaian
94
Amati beberapa garis singgung yang menyinggung kurva di saat fungsi naik
atau turun di bawah ini. Garis singgung 1 dan 3 menyinggung kurva pada
saat fungsi naik dan garis singgung 2 dan 4 menyinggung kurva pada saat
fungsi turun.
6. Penilaian Produk
95
desain/pola baju, desain rumah, desain perlengkapan rumah, pembuatan
pintu dan jendela, kuda-kuda rumah, dll (Wardani, 2010).
Contoh instrumen
Uraian Tugas:
Pada kertas karton dengan ukuran 35 cm × 45 cm (lebar 35 cm dan panjang
45 cm) akan dibuat jaring-jaring kubus sehingga diperoleh kubus dengan
ukuran maksimal.
1. Pilihlah bentuk jaring-jaring kubus yang paling tepat untuk digambar pada
kertas karton tersebut.
2. Gambarlah jaring-jaring kubus yang dipilih itu.
3. Buatlah daerah lekukan (lidah) dengan ukuran 2cm yang akan berfungsi
sebagai penghubung antar bidang sisi kubus.
4. Setelah jaring-jaring terbentuk, guntinglah dan bentuklah kubusnya.
5. Ukurlah panjang setiap rusuk dari kubus yang kamu buat. Berapa
panjangnya?
96
Tabel 7.10 Pedoman Penilaian Produk
Proses Skor
Persia- Penilaian
No Nama pembuatan yang Nilai
pan akhir
produk dicapai
Sekor maks = 27
Sekor min = 7
Jumlah skor dapat ditransfer ke nilai skala 0 - 100, dengan formula:
Nilai = (skor yang dicapai : skor maksimum) x 100
98
BAB VIII
PENILAIAN HOTs
A. Pendahuluan
99
Indonesia bahkan lebih rendah dari semua negara ASEAN peserta PISA 2015,
yaitu: Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Tabel 8.1 Nilai PISA tahun 2015 Indonesia, Vietnam, Thailand, dan
Singapura
Dilihat dari bidang penilaiannya, dalam kurun 3 periode penilaian PISA (tahun
2009, 2012, dan 2015), capaian matematika peserta didik Indoensia paling
rendah dibandingkan dengan penilaian aspek lain (bahasa dan sains), seperti
terlihat pada Gambar 1.1.
Dari gambar di atas jelas terihat bahwa dalam rentang tahun 2009 sampai
2015, hasil capaian peserta didik Indonesia pada biang matematika selalu lebih
bahasa dan sains. Bukan saja dari sisi posisi lebih rendah, nilai yang
100
didapatkan peserta didik untuk bidang matematika juga relatif “jauh”
dibandingkan nilai yang diperoleh peserta didik pada bidang bahasa dan sains.
Dari laporan di atas terlihat betapa posisi capaian peserta didik Indonesia jauh
dibawah negara-negara OECD. Bahkan, dari data tersebut terlihat bahwa
capaian nilai terbaik dari peserta didik Indonesia hanya sama dengan nilai
101
terjelek dari negara-negara OECD. Hal ini patut menjadi perhatian bersama
Dalam soal PISA, jenjang berpikir yang di uji adalah high orde thinking,
penerapan konten dalam kehidupan sehari hari, menganalisa, membuat
hipotesis, menyimpulkan dan menilai suatu kondisi serta pemecahan masalah.
Ketika peserta didik di Indonesia diukur dengan soal PISA hasilnya jelek
dimungkinkan karena peserta didik Indonesia kurang cukup memiliki
kecakapan yang menjadi fokus penilaian PISA tersebut.
102
Bahan ajar ini diharapkan dapat membantu guru memahami konsep penilaian
HOTs, penyusunan instrumen penilaian HOTs, dan prosedur beserta
pengelolaan hasil penilaian HOTs dan tindaklanjutnya. Tentu modul ini
bukanlah satu-satunya referensi yang dapat digunakan guru untuk
mempelajari materi tentang penilaian HOTs dalam pembelajaran matematika.
Guru dipersilahkan mengkaji penilaian HOTs dari berbagai referensi lain yang
relevan. Kemampuan guru dalam mengimplementasikan penilaian HOTs
dalam pembelajaran matematika di kelas diharapkan dapat mendorong peserta
didik mengembangkan kapasitas berpikirnya melalui matematika sehingga
bermanfaat untuk mendukung pembelajaran materi yang lain serta
pemanfaatan hasil belajar matematika dalam studi lanjut dan dalam kehidupan
sehari-hari.
B. Konsep Dasar
103
Selain pengertian di atas, masih cukup banyak ahli memberikan
pengertiannya, seperti yang dirangkum Goethals (2013) antara lain tersaji
dalam tabel berikut.
104
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HOTs merupakan terminologi
yang mencakup beragam kemampuan berpikir, antara lain: kemampuan
berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, kreatif, pemecahan masalah tidak
rutin, non-algoritmatik, analisis, evaluasi, mencipta, melibatkan
"pembentukan konsep, pemikiran kritis, kreativitas/brainstorming,
penyelesaian masalah, representasi mental, penggunaan aturan, penalaran, dan
pemikiran logis, dan/atau membutuhkan pemikiran ke tingkat yang lebih
tinggi daripada hanya menyatakan kembali fakta.
105
1. Ilustrasi 1
106
2. Ilustrasi 2
107
Dari dua ilustrasi di atas terlihat dengan jelas bagaimana jauhnya
ketertinggalan peserta didik Indonesia dibandingkan peserta didik dari negara
lain peserta TIMSS, bahkan dibandingkan dari negara tetangga di ASEAN
yang juga mengikuti TIMSS. Hal ini perlu menjadi permenungan bersama
untuk kemudian dilakukan upaya-upaya serius sehingga ketertinggalan
tersebut dapat dikejar.
Salah satu langkah krusial yang saat ini sedang dilakukan pemerintah
Indonesia adalah melalui kebijakan perbaikan pembelajaran matematika di
Indonesia mengarah pada pengembangan HOTs. Pembaharuan sistem
pembelajaran dan penilaian matematika perlu berpijak pada pemikiran bahwa
pendidikan matematika seharusnya tidak hanya berorientasi pada pengetahuan
dasar dan kemampuan menampilkan ketrampilan matematis yang terbatas,
tetapi lebih difokuskan pada pengembangan kemampuan berpikr pada level
yang lebih tinggi (HOTs). Matematika memiliki potensi yang kaya dalam
rangka untuk mengembangkan HOTs dimana selama ini belum terlalu
dioptimalkan dalam praktek pendidikan matematika di Indonesia.
108
matematika. Pembelajaran matematika diharapkan dapat mendorong
pengembangan kemampuan berpikir level lebih tinggi pada peserta didik
sehingga mampu menyiapkan generasi Indonesia yang cakap dan mampu
bersaing dengan banga lain. Dengan demikian, penilaian HOTs merupakan
implikasi langsung dari amanat pengembangan HOTs melalui pembelajaran
matematika.
Dalam penilaian, tidak semua soal yang digunakan harus soal HOTs semua,
tetapi diantara soal yang digunakan perlu diberikan sebagian soal HOTs.
Untuk sasaran penilaian tetap pada ketercapaian kompetensi yang diajarkan.
Misalkan, pada penilaian KD 4.3 kelas X SMA di atas, yaitu: “Menyelesaikan
masalah kontekstual yang berkaitan dengan sistem persamaan linear tiga
variabel” guru menggunakan tes uraian dengan 6 butir soal, maka dari 6 butir
soal tersebut sebagian diantaranya adalah soal HOTs. Misalkan guru akan
menggunakan 3 butir soal HOTs dan 3 butir soal tidak HOTs, dapat
diilustrasikan seperti gambar berikut.
109
SOAL URAIAN
Soal HOTs
Butir 4
Meskipun banyak kajian dan penelitian tentang HOTs, tetapi sampai saat ini
masih terdapat kesalahpahaman tentang soal HOTs. Banyak ahli dan praktisi
yang menganggap bahwa soal HOTs dipersamakan dengan soal yang komplek
atau sulit (Abosalem, 2016). Soal HOTs tidak terkait langsung dengan tingkat
kesulitan, tetapi terkait dengan level berpikir yang diperlukan peserta didik
untuk menyelesaikan soal tersebut. Tingkat kesukaran dalam butir soal tidak
sama dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Widana, 2017). ‘Difficulty’
is NOT same as higher order thinking. Bisa saja soal HOTs komplek dan sulit,
tetapi tidak harus seperti itu. Tidak juga setiap soal mudah bukan soal HOTs.
Sebagai contoh, untuk mengetahui arti sebuah kata yang tidak umum
(uncommon word) mungkin memiliki tingkat kesukaran yang sangat tinggi,
tetapi kemampuan untuk menjawab permasalahan tersebut tidak termasuk
higher order thinking skills. Contoh lain, ditanyakan tanggal lahir salah
seorang pahlawan nasional, mungkin pertanyaan ini termasuk kategori sulit,
atau bahkan sangat sulit, banyak peserta didik yang tidak bisa menjawab.
Tetapi, soal seperti itu tidak termasuk soal HOTs karena hanya menanyakan
sesuatu yang terkait dengan hafalan.
110
Soal HOTs tidak hanya dapat didesain gradasi tingkat kesukarannya, namun
soal HOTs juga dapat dikembangkan untuk beragam materi matematika. Hal
ini selaras dengan pemikiran bahwa soal HOTs tidak selalu identik dengan
soal “sulit”. Ilustrasi untuk hal ini dapat dilihat pada piramida penilaian dari
Jan de Lange (1999) berikut.
111
Pemilihan kata kerja operasional (KKO) untuk merumuskan indikator soal
HOTS hendaknya tidak terjebak pada pengelompokkan KKO (Widana, 2017).
Sebagai contoh kata kerja ‘menentukan’ pada Taksonomi Bloom ada pada
ranah C2 dan C3. Dalam konteks penulisan soal-soal HOTS, kata kerja
‘menentukan’ bisa jadi ada pada ranah C5 (mengevaluasi) apabila untuk
menentukan keputusan didahului dengan proses berpikir menganalisis
informasi yang disajikan pada stimulus lalu peserta didik diminta menentukan
keputusan yang terbaik. Bahkan kata kerja ‘menentukan’ bisa digolongkan C6
(mengkreasi) bila pertanyaan menuntut kemampuan menyusun strategi
pemecahan masalah baru. Jadi, ranah kata kerja operasional (KKO) sangat
dipengaruhi oleh proses berpikir apa yang diperlukan untuk menjawab
pertanyaan yang diberikan.
Tidak semua soal atau tugas dapat termasuk kategori HOTs. Soal atau tugas
dapat menjadi HOTs apabila soal atau tugas tersebut meminimalkan
mengingat kembali informasi (recall atau ingatan) dan lebih menekankan pada
mentransfer informasi dari satu konteks ke konteks lainnya, memproses dan
menerapkan informasi, melihat keterkaitan antara informasi yang berbeda-
beda, menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah, dan secara kritis
mengkaji/menelaah ide atau gagasan dan informasi. Selain itu, Resnick (1987;
Budiman & Jailani, 2014) menyatakan bahwa soal-soal yang bersifat non
algoritmik, bersifat kompleks, multiple solutions (banyak solusi), melibatkan
variasi pengambilan keputusan dan interpretasi, penerapan multiple criteria
(banyak kriteria), dan/atau bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha)
termasuk dalam kategori soal-soal HOTs.
112
Selain memiliki karakteristik di atas, peniaian HOTs juga dapat dilakukan
melalui penilaian autentik dan/atau kontekstual. Banyak pendidik percaya
bahwa untuk mengajar kecapakan higher-order thinking, diperlukan penilaian
autentik yang memiliki kemampuan merefleksikan dan mengukur hasil
pembelajaran dengan komprehensif (Abosalem, 2016). Penilaian autentik
mengarahkan peserta didik menghasilkan ide, mengintegrasikan pengetahuan,
dan menyempurnakan tugas terkait kompetensi yang dibutuhkan untuk dunia
nyata. Peserta didik dapat menunjukkan apa yang telah dipelajari dan
kompetensi apa yang telah dikuasai. Selain itu, soal-soal HOTS dapat berbasis
situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, dimana peserta didik diharapkan
dapat menerapkan konsep-konsep pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan
masalah (Widana, 2017). Terdapat 5 (lima) karakteristik asesmen kontekstual,
yang disingkat REACT.
113
D. Contoh Soal HOTs
a. Soal HOTs
Contoh 1.
Salah satu satu cara membuat soal HOTs adalah dengan menyajikan suatu
konteks (atau stimulus) kemudian peserta didik diminta menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan konteks (atau stimulus) yang diberikan, seperti
contoh berikut.
Memasukkan-
TIM Main Menang Seri Kalah
kemasukan
PS Sleman 2 2 0 0 5–1
PS Gunung
2 1 1 0 1–0
Kidul
PS Kulon
2 0 1 1 0–1
Progo
PS Bantul 2 0 0 2 1–5
Tentukan skor pertandingan antara PS Sleman dan PS Bantul
114
Alternatif penyelesaian:
Perhatikan, PS Sleman main 2 kali, menang 2 kali, tidak pernah seri dan
tidak pernah kalah. Dua tim yang pernah mengalami kekalahan adalah
PS Kulon Progo dan PS Bantul, sehingga PS Sleman main 2 kali pasti
dengan PS Kulon Progo dan PS Bantul. PS Kulon Progo main 2 kali,
dimana 1 kali seri dan 1 kali kalah, dengan tidak pernah memasukkan
bola dan 1 kali kemasukan bola. Artinya, ketika bermain seri PS Kulon
Progo bermain imbang dengan lawannya dengan skor 0 – 0, dan ketika
main kalah dengan lawannya skor PS Kulon Progo – lawannya adalah 0
– 1. Dengan demikian ketika PS Sleman lawab PS Kulon Progo berarti
skornya adalah 1 – 0 untuk kemenangan PS Sleman. Selanjutnya, ketika
PS Sleman main dengan PS Bantul, dimenangkan oleh PS Sleman.
Karena pada tabel akhir rekapitulasi permainan PS Sleman memasukkan
bola ke gawang lawan 5 kali dan kemasukan bola 1 kali, sedangkan pada
saat PS Sleman main melawan PS Kulon Progo dengan PS Sleman
memasukkan 1 kali dan tidak kemasukan, berarti ketika PS Sleman
menang melawan PS Bantul skor PS Sleman memasukkan bola 4 kali dan
kemasukan 1 kali. Dengan demikian, skor pertandingan PS Sleman dan
PS Bantul adalah 4 – 1, untuk kemenangan PS Sleman.
Perhatikan sekali lagi proses penyelesaian soal di atas. Soal tersebut bukan
soal jenis rutin yang bisa diselesaikan dengan prosedur yang biasa. Soal
tersebut tidak bisa diselesaikan dengan suatu rumus statistik tertentu, tetapi
soal yang membutuhkan kemampuan peserta didik menemukan prosedur baru
dalam penyelesaiannya. Alur penyelesaian di atas menunjukkan bagaimana
proses berpikir yang diperlukan, dimana penyelesaian soal tersebut
membutuhkan kemampuan analisis data permainan antar tim,
mengidentifikasi skor pertandingan antar tim yang diperlukan untuk
menemukan skor pertandingan PS Sleman dan PS Bantul seperti yang
ditanyakan dalam soal, melihat hubungan antar informasi data yang tersaji,
kemudian menentukan point-point kunci untuk penemukan skor pertandingan
yang ditanyakan. Disinilah kemampuan berpikir tingkat tinggi dibutuhkan.
115
Contoh 2.
Alternatif penyelesaian:
Untuk peserta didik yang belum dikenalkan rumus deret aritmatika,, tentu
soal di atas tidak bisa langsung menggunakan rumus untuk
menyelesaikannya. Soal ini sesungguhnya juga bukan penjumlahan biasa
dimana penyelesaiannya semata-mata dengan menjumlahkan satu persatu
angka dalam soal tersebut. Walaupun langkah tersebut mungkin bisa
dilakukan, tetapi menjumlahkan satu persatu angka dari 1 sampai 100
kemudian ditambah lagi dengan 200 tentu menimbulkan masalah
tersendiri. Masalah ini adalah masalah tentang menemukan suatu cara
atau strategi yang dapat digunakan untuk mensiasati problematika
hitungan yang muncul apabila menjumlahkan satu persatu angka.
116
= 5250
Jadi 1 + 2 + 3 + … + 100 + 200 = 5250
1 + 2 + 3 + … + 100 + 200
100 + 99 + 98 + … + 1 + 200
101 +101+101+ … + 101 + 400
(100 × 101) + 400 = 10.100 + 400
= 10.500
Mungkin ada cara lain lagi yang bisa digunakan untuk menemukan hasil dari
1 + 2 + 3 + … + 100 + 200. Demikianlah, soal HOTs memungkinkan multi
cara penyelesaian, bahkan bisa multi jawaban.
117
Contoh 3
Contoh soal 3 ini merupakan contoh lain soal matematika non kontekstual
yang dapat dikategorikan soal HOTs karena termasuk dalam soal non rutin
(masalah):
Alternatif penyelesaian:
Soal di atas terlihat seperti soal perkalian biasa dari dua bilangan
puluhan. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal
tersebut tentu adalah pengetahuan tentang perkalian bersusun. Tetapi,
tentu soal di atas tidak sekedar tentang mengalikan dua bilangan puluhan
secara bersusun seperti yang biasa dilakukan. Problem soal ini bukan
sekedar menemukan hasil perkalian dua bilangan puluhan yang
dilakukan secara bersusun. Tetapi menemukan angka-angka yang
digunakan untuk menyusun bilangan tersebut, sedemikian hingga apabila
angka-angka tersebut dimasukkan menggantikan dalam bilangan yang
dikalikan menghasilkan dengan tepat 3397. Disinilah kemampuan
bernalar peserta didik diperlukan. Tidak sekedar pra syarat pengetahuan
tentang perkalian yang dibutuhkan, tetapi soal ini menuntut kemampuan
menganalisa, menemukan, dan memformulasikan strategi penyelesaian
berdasarkan informasi dari soal yang telah disediakan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan, peserta didik terlebih dahulu dapat
menemukan suatu angka (X) yang apabila dikalikan dengan 9 maka
angka satuan pada hasil kalinya adalah 7. Dalam hal ini yang
memungkainkan adalah 3, sehingga dapat ditemukan X = 3.
118
Andaikan X = 3, maka bentuk perkalian dari soal dapat diubah menjadi:
4 3
Y9
×
3 87
- - -
+
33 97
Sebaliknya apabila tidak tepat seperti yang ditetapkan dalam soal, maka
perlu dicari alternatif lain.
4 3
Y9
3 87 ×
28 1
33 97 +
Jadi X + Y = 10.
119
Tentu soal yang demikian bukanlah soal yang terlalu sulit. Akan tetapi
dibutuhkan kreativitas tersendiri untuk menemukan alur pikir
penyelesaiannya. Peserta didik perlu menganalisis fakta informasi yang
tersedia dalam soal, didukung pengetahuan yang dimiliki tentang perkalian
bersusun, kemudian memformulasikan prosedur penyelesaiannya. Beragam
cara mungkin bisa dilakukan peserta didik untuk menyelesaikan soal di atas.
Cara di atas hanyalah salah satunya. Misal, ketika telah ditemukan X = 3, maka
4X adalah 43, sehingga apabila dikalikan Y9 hasilnya 3397, tentu Y9 adalah
3397 dibagi 43, hasilnya adalah 79. Dengan demikian Y9 = 79, yang artinya
Y = 7. Menghasilkan penyelesaian yang sama, yaitu X = 3 dan Y = 7, sehingga
X + Y = 10.
Mana cara yang benar diantara kedua cara di atas? Keduanya benar. Bahkan
mungkin apabila diberikan kepada peserta didik mereka dapat menemukan
cara yang lain. Jika demikian, cara lain tersebut harus diterima sebagai
penyelesaian yang benar walaupun berbeda dengan alternatif jawaban yang
dimiliki guru.
Contoh 4.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penyusunan soal HOTs bahwa soalnya
tidak harus berbentuk soal uraian terbuka. Bisa saja soal HOTs berupa soal
pilihan ganda, urian singkat, pilihan bersyarat, atau bahkan soal benar-salah.
Perhatikan soal pilihan ganda berikut.
120
Perhatikan gambar di bawah ini!
A C
B
D
Soal berbentuk pilihan ganda di atas dapat dikategorikan sebagai salah satu
soal HOTs mengingat bahwa untuk menyelesaikan soal tersebut peserta didik
dituntut untuk melakukan analisis terhadap situasi yang mungkin terjadi
apabila ember tersebut diisi dengan air dengan debit air tetap. Peserta didik
harus dapat memahami kemungkin hubungan yang terjadi antara ketinggian
air dan waktu pengisian, yang kemudian diinterpretasikan dalam bentuk
121
grafik. Peserta didik kemudian dapat memilih salah satu grafik hubungan
antara tinggi – waktu dari alternatif jawaban yang tersedia.
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa soal PISA menguji high orde
thinking, dari penerapan konten dalam kehidupan sehari hari, menganalisa,
membuat hipotesis, menyimpulkan dan menilai suatu kondisi serta pemecahan
masalah. Berikut beberapa contoh soal dari PISA.
a) Contoh – PISA 1
Soal ini membutuhkan penalaran dari data-data yang disajikan. Ada dua
jawaban benar yang diberikan peserta didik yaitu: (1) menggambar
diagram batang dengan data itu sangat sulit, karena datanya 1-3, 1-3, 0,5,
beberapa hari, dan lebih dari 100 tahun, dan (2) ada perbedaan yang sangat
besar antara beberapa hari dan lebih dari 100 tahun. Peserta didik usia 15
tahun (SMP) di Indonesia sebenarnya telah mempelajari kemampuan dasar
yang diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut sejak di SD. Namun
demikian, banyak peserta didik Indonesia yang belum berhasil menjawab
dengan benar soal tersebut kemungkinan disebabkan dalam proses belajar
122
sehari-hari peserta didik yang kurang dibiasakan untuk menyelesaikan soal
dengan cara memberi argumentasi.
b) Contoh – PISA 2
123
ditempati 1 orang, karena ruangnya jadi longgar. Untuk jawaban C,
karena ada 20.000 orang, maka tiap 1 m2 ditempati oleh 4 orang (diperoleh
dari 20.000 : 5.000), dan jawaban ini masuk akal. Untuk jawaban D dan
E, peserta didik mestinya melihat bahwa pilihan D menunjukkan tiap 1 m2
ditempati 10 orang, ini jelas tidak mungkin, kecuali orangnya bertumpuk-
tumpuk, padahal informasinya tidak demikian dan jawaban E lebih tidak
mungkin karena berarti ada 20 orang dalam 1 m2.
Contoh 1) BERJALAN
124
Contoh 2) KECEPATAN MOBIL
180
160
140
120
100
80
60
40
20 0.5 1.5 2.5
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8 3.0
A 0,5 km
B 1,5 km
C 2,3 km
D 2,6 km
125
Pertanyaan 2: KECEPATAN MOBIL BALAP M159Q02
126
F B
J
I C
H
D
G
S: Titik awal
Perhatikanlah soal-soal PISA tahun 2014 di atas. Dari sisi konsep matematika
yang diperlukan untuk menyelesaikan soal-soal tersebut relatif tidak terlalu
kompleks. Dari sisi hitungan matematisnya, soal-soal tersebut juga tidak
memuat hitung-hitungan yang kompleks. Penyelesaian soal-soal tersebut lebih
membutuhkan daya analisis dan penalaran. Peserta didik perlu mencermati
dengan seksama stimulan (informasi) yang disediakan, memahami dengan
cermati pertanyaan yang diajukan, selanjutnya mencari pemecahannya. Soal-
soal yang demikian merupakan soal yang menutut HOTs peserta didik,
sehingga walaupun tidak terlalu kompleks dari sisi konsep dan hitung-
hitungan matematis, tetapi apabila peserta didik tidak hati-hati akan kesulitan
dan/atau salah memberikan jawabannya.
127
Contoh 6 – Belajar dari TIMSS
Contoh soal HOTs juga dapat dilihat dari beberapa soal yang digunakan dalam
TIMMS. Berikut beberapa soal TIMMS:
a) Contoh – TIMSS 1
Tempatkan empat digit 3, 5, 7, dan 9 ke dalam kotak-kotak di bawah ini
sedemikian hingga hasil kali dua angka dikalikan.
b) Contoh – TIMSS 2
Perhatikan pola berikut:
3–3=0
3–2=1
3–1=2
3–0=3
Tentukan pola pada baris berikutnya.
(TIMSS, 2011, nomor butir M042186)
c) Contoh – TIMSS 3
Jo memiliki tiga blok logam yang memiliki berat sama. Ketika dia
menimbang satu blok melawan 8 gram anak timbangan, inilah yang
terjadi.
Ketika dia menimbang tiga blok dengan 20 gram, inilah yang terjadi.
128
Manakah dari pilihan berikut ini yang dapat menjadi bobot satu blok
logam?
A. 5 kg
B. 6 kg
C. 7 kg
D. 8 kg
(TIMSS, 2011, nomor butir M032424)
Perhatikanlah tiga butir soal TIMSS di atas. Ketiga butir soal di atas
merupakan soal yang menuntut penalaran peserta didik untuk
menyelesaikannya. Konsep matematik pada ketiga soal di atas tidak terlalu
kompleks, yaitu hanya konsep berhitung sederhana saja. Tetapi menuntut
peserta didik bernalar dalam memecahkan soal-soal tersebut. Sebagai catatan,
dari ketiga butir soal tersebut peserta didik-peserta didik Indonesia memiliki
persen kebenaran sangat rendah (10% benar pada butir M042002, 4% benar
pada butir M042186, dan 18% benar pada butir M032424)
Penilaian unjuk kerja adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui apa
yang peserta didik ketahui dan apa yang dapat mereka kerjakan. Tugas unjuk
kerja harus mengarahkan pada tujuan pembelajaran, memberi kesempatan
peserta didik mengemukakan pikiran dan pemahamannya dalam situasi
(masalah) matematika dan tidak hanya meminta jawaban tunggal,
memberikan kesempatan untuk menilai proses-proses yang ada dalam tugas,
realistis, menarik dan merangsang berpikir, mewakili tujuan yang akan dinilai,
menekankan pada kedalaman materi daripada keluasannya dan penguasaan
daripada kecepatannya, lebih open ended dari pada terstruktur yang ketat,
tidak algoritmis, dan dapat menimbulkan pertanyaan baru atau masalah lain
129
(Kusrini & Siswono, 2002). Dalam konteks penilaian HOTs, guru dapat
mendesain instrumen penilaian unjuk kerja yang dapat mendorong
pengembangan HOTs. Dalam hal ini, instrumen tersebut didesain sedemikian
peserta didik perlu menggunakan HOTs dalam menyelesaikannya.
Tugas ini menuntut peserta didik untuk membuat rencana bagaimana menaksir
bilangan yang besar. Tugas ini akan menantang peserta didik sebab banyak
peserta didik yang merasa bahwa tugas ini sangat berat karena banyak yang
melakukannya dengan cara menghitung berondong jagung satu persatu. Oleh
karena itu mereka harus menciptakan strategi berdasarkan konsep luas,
volume, berat, dan pembagian berurutan.
130
b. Menimbang sampel berondong dan menimbang keseluruhan berondong.
Menghitung berapa berondong yang terdapat dalam sapel dan
membandingkan berat keseluruhan berodong dengan berat sampel.
Terakhir mengalikan banyak berondong yang terdapat dalam sampel
degnan dasar perhitungan.
c. Membagi berondong menjadi setengah, kemudian seperempat, kemudian
seperdelapan, dan seterusnya sampai akhirnya bagian terakhir itu dapat
dengan mudah dihitung jumlahnya. Selanjutnya mengalikan jumlah itu
dengan banyak proses pembagian.
d. Menumpahkan berondong jagung dan meratakannya pada kertas grafik.
Selanjutnya menentukan banyak petak kerjas grafik yang ditempati semua
berondong. Kemudian menghitung jumlah berondong dalam satu petak.
Terakhir mengalikan jumlah berodong dalam satu petak dengan banyak
petak yang ditempeli semua berondong.
Soal di atas dapat mendorong kreativitas berpikir peserta didik. Peserta didik
harus mencari statregi penyelesaian yang tepat sehingga peserta didik dapat
menemukan taksiran banyaknya jagung dalam wadah-wadah tersebut. Tentu
strategi tersebut bukan dengan menghitung satu persatu jagung yang ada
diwadah, karena kalau demikian peserta didik tidak akan membutuhkan waktu
yang sangat lamauntuk menemukan jawabanya.
Proyek adalah rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan saat penyelesaian
yang tegas. Penilaian proyek adalah penilaian terhadap suatu tugas yang harus
diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa
penyelidikan terhadap sesuatu yang mencakup perencanaan, pengumpulan
data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Penilaian proyek
dimaksudkan untuk mengetahui: pemahaman peserta didik dalam bidang
tertentu, kemampuan peserta didik mengaplikasikan pengetahuan tertentu
melalui suatu penyelidikan, kemampuan peserta didik memberi informasi
tentang sesuatu yang menjadi hasil penyelidikannya. Penilaian hasil karya
dalam proyek dilakukan dari proses perencanaan, proses pengerjaan tugas
sampai hasil akhir proyek. Oleh karena itu perlu ditetapkan hal-halatau aspek
yang perlu dinilai, seperti penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data
dan penyiapan laporan tertulis. Instrumen penilaian proyek dapat terdiri dari
131
lembar pengamatan (observasi) dengan daftar cek (check list) dan skala
rentang (rating scale). Kegiatan peserta didik yang termasuk proyek antara
lain: penelitian sederhana tentang air di rumah, perkembangan harga sembako
dalam suatu periode tertentu (Wardani, 2010).
Contoh proyek
132
Menurut Wardani (2010), instrumen penillaian tugas proyek pada contoh di
atas adalah instrumen penilaian yang utamanya digunakan untuk mengukur
kemampuan peserta didik dalam pemecahan masalah. Dalam menyelesaikan
proyek tersebut peserta didik tidakcukup hanya menggunakan konsep aljabar
dalam soal aritmatika sosial, tetapi sebagai sebuah proyek, peserta didik harus
menyusun rencana yang matang bagaimana tugas tersebut diselesaikan,
menganalisis situasi, mengumpulkan data, menyusun laporan, kemudian
membuat presentasi, dan melakukan pameran. Tidak sekedar kemampuan
memahami konsep atau menerapkan suatu konsep aljabar dalam soal
aritmatika sosial, tetapi peserta didik harus menggunakan keterampilan
berpikir yang lebih tinggi (HOTs), seperti analisis, sintesis, dan mencipta.
Dengan demikian, melalui suatu proyek peserta didik dapat dilatih
pengembangan kemampuan HOTs-nya.
133
E. Penilaian HOTs dalam Kurikulum 2013
Pada Permendiknas No. 20 Tahun 2016 dijelaskan bahwa setiap lulusan satuan
pendidikan dasar dan menengah memiliki kompetensi pada tiga dimensi yaitu
sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Misalnya, dalam dimensi sikap, peserta
didik SMP diharapkan memiliki perilaku yang mencerminkan sikap beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME, berkarakter, jujur, dan peduli,
bertanggungjawab, pembelajar sejati sepanjang hayat, dan sehat jasmani dan
rohani sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan
regional. Dalam dimensi pengetahuan, peserta didik SMP diharapkan
memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada
tingkat teknis dan spesifik sederhana berkenaan dengan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan budaya, serta mampu mengaitkan pengetahuan di atas
dalam konteks diri sendiri, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan
alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional. Dalam dimensi
keterampilan, peserta didik SMP diharapkan memiliki keterampilan berpikir
dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif
melalui pendekatan ilmiah sesuai dengan yang dipelajari di satuan pendidikan
dan sumber lain secara mandiri.
Dalam dimensi sikap, peserta didik SMA diharapkan memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap: beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME; berkarakter,
jujur, dan peduli; bertanggungjawab; pembelajar sejati sepanjang hayat; dan
sehat jasmani dan rohani sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan
keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara,
kawasan regional, dan internasional. Dalam dimensi pengetahuan, peserta
didik SMA diharapkan: 1) memiliki pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis, spesifik, detil, dan kompleks
berkenaan dengan: ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora;
dan 2) mampu mengaitkan pengetahuan di atas dalam konteks diri sendiri,
keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara,
serta kawasan regional dan internasional. Dalam dimensi keterampilan,
peserta didik SMA diharapkan memiliki keterampilan berpikir dan bertindak:
kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif melalui
pendekatan ilmiah sebagai pengembangan dari yang dipelajari di satuan
pendidikan dan sumber lain secara mandiri.
134
Apabila dicermati dengan seksama, target-target kompetensi di atas
mengindikasikan bahwa dalam pembelajaran di kelas peserta didik tidak
sekedar diharapkan menguasai materi, tetapi mampu mengembangkan dirinya
secara komprehensif, termasuk dalam pengembangan pemikiran HOTs,
sehingga setelah menyelesaikan studi peserta didik mampu menguasai
berbagai kompetensi yang ditargetkan tersebut. Peserta didik diharapkan
mampu bersikap sebagai pembelajar sepanjang hayat, memiliki pengetahuan
dan mengkaitkannya dengan konteks kehidupan, serta memiliki keterampilan
berpikir dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan
komunikatif.
Pada Permendikbud No. 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar
dan Menengah kemampun HOTs juga menjadi target pembelajaran. MIsalkan,
berikut dijelaskan bahwa untuk tingkat kompetensi inti jenjang SMA.
135
g. pro-aktif,
Dalam berinteraksi secara efektif sesuai dengan
perkembangan anak di lingkungan, keluarga,
sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar,
bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan
internasional
Pengetahuan Memahami, menerapkan, menganalisis dan
mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis,
spesifik, detil, dan kompleks berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang
a. ilmu pengetahuan,
b. teknologi,
c. seni,
d. budaya, dan
e. humaniora
Dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab
fenomena dan kejadian, serta menerapkan
pengetahuan pada bidang kajian yang spesifik
sesuai dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah
Keterampilan Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah,
dan menyaji secara:
a. efektif,
b. kreatif,
c. produktif,
d. kritis,
e. mandiri,
f. kolaboratif,
g. komunikatif, dan
h. solutif,
Dalam ranah konkret dan abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah,
serta mampu menggunakan metoda sesuai dengan
kaidah keilmuan
136
Dari rumusan kompetensi pada tabel di atas jelas terlihat bahwa kemampuan
HOTs merupakan bagian dari kompetensi inti yang harus dikuasai peserta
didik. Tuntutan pengembangan HOTs ini semakin terlihat apabila dicermati
breakdown lanjutan dari kompetensi inti ke target kompetensi dan ruang
lingkup materi yang juga diuraiakan pada Permendikbud No. 21 Tahun 2016.
Berikut disajikan tingkat kompetensi, kompetensi dan ruang lingkup materi
jenjang SMP dan SMA, yaitu:
Tabel 8.4. Tingkat kompetensi, kompetensi dan ruang lingkup materi SMP
137
- Memahami konsep himpunan dan
operasinya serta fungsi dan menyajikan
(diagram, tabel, grafik).
- Memahami bangun datar berdasarkan sifat-
sifat atau fitur- fitur (banyak sisi, keteraturan,
ukuran), dan transformasi yang
menghubungkannya.
- Memberi estimasi penyelesaian masalah dan
membandingkannya dengan hasil
perhitungan.
- Menjelaskan dan memvisualisasikan
pecahan yang ekuivalen.
- Membandingkan, memberi interpretasi
berbagai metoda penyajian data.
- Memahami konsep peluang empirik.
- Menggunakan simbol dalam pemodelan,
mengidentifikasi informasi, menggunakan
strategi lain bila tidak berhasil.
- Menunjukkan sikap, logis, kritis, analitis,
kreatif, cermat dan teliti, bertanggung jawab, - Aljabar.
responsif, dan tidak mudah menyerah dalam - Geometri
memecahkan masalah. (termasuk
- Memiliki rasa ingin tahu, semangat belajar bangun tidak
yang kontinu, rasa percaya diri, dan beraturan).
ketertarikan pada matematika. - Statistika dan
- Memiliki rasa percaya pada daya dan Peluang
kegunaan matematika, yang terbentuk (termasuk
melalui pengalaman belajar. metode
- Memiliki sikap terbuka, objektif dalam statistik
interaksi kelompok maupun aktivitas sehari- sederhana).
hari.
- Memiliki kemampuan mengkomunikasikan
gagasan matematika dengan jelas.
- Mengidentifikasi kecenderungan dan
menyajikannya dalam aturan bilangan
(barisan dan deret) atau relasi lainnya.
138
- Memahami operasi pangkat, akar, bilangan
dan kaitannya dengan konsep urutan.
- Mengenal dan berbagai
manipulasi/transformasi aljabar
(mengkuadratkan dan memfaktorkan) dan
menggunakannya dalam penyelesaian
masalah seperti persamaan dan
pertidaksamaan.
- Menggunakan konsep diskriminan dalam
mengidentifikasi eksistensi solusi dan
interpretasi geometrisnya.
- Mengelompokkan bangun datar menurut
kesebangunan dan/atau kekongruenan.
- Memberi estimasi dengan menggunakan
perhitungan mental dan sifat-sifat aljabar.
- Visualisasi dan deskripsi proporsi
persentase, rasio, dan laju.
- Membandingkan, memberi interpretasi
berbagai metoda penyajian termasuk
penyajian data yang disertai statistik
deskriptif.
- Memahami konsep peluang empirik dan
teoritik.
- Menggunakan simbol dalam pemodelan,
mengidentifikasi informasi, memilih strategi
yang paling efektif.
Tabel 8.5. Tingkat kompetensi, kompetensi dan ruang lingkup materi SMA
139
(Kelas X- - Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, - Dasar-dasar
XII) semangat belajar yang kontinu, pemikiran Trigonometri.
reflektif, dan ketertarikan pada matematika. - Limit fungsi
- Memiliki rasa percaya pada daya dan Aljabar.
kegunaan matematika, serta sikap kritis yang - Matriks.
terbentuk melalui pengalaman belajar. - Kombinatorika.
- Memiliki sikap terbuka, objektif, dan - Statistika dan
menghargai karya teman dalam interaksi Peluang.
kelompok maupun aktivitas sehari-hari. - Turunan Fungsi
- Memiliki kemampuan mengkomunikasikan Aljabar.
gagasan matematika dengan jelas dan efektif. - Program
- Menjelaskan pola dan menggunakannya Linear.
untuk melakukan prediksi dan
kecenderungan jangka panjang;
menggunakannya untuk memprediksi
kecenderungan (trend) atau memeriksa
kesahihan argumen.
- Mengutarakan dan menggali sifat-sifat
fungsi pangkat dan logaritma, dengan
memanfaatkan hubungan saling inverse
keduanya.
- Mengenal dan menggunakan sifat-sifat
aljabar dalam menyelesaikan masalah sistem
persamaan dan pertidaksamaan, dibantu
dengan teknik geometri, dan memberikan
tafsiran geometrinya.
- Memahami dan menggunakan konsep
operasi aljabar fungsi termasuk komposisi.
- Menggunakan sifat-sifat transformasi untuk
menyelidiki kesebangunan dan
kekongruenan dan menggunakannya untuk
memahami perbandingan trigonometri.
- Memanfaatkan pendekatan koordinat dalam
menyelesaikan masalah geometri (dan juga
aljabar pada umumnya).
140
- Menggunakan konsep limit untuk memahami
kecenderungan fungsi dan menghampiri
fungsi.
- Menggunakan konsep turunan untuk
memahami kecenderungan dalam laju
perubahan serta menggunakannya dalam
pemodelan.
- Memberi estimasi dengan menggunakan
perhitungan mental dan sifat-sifat aljabar dan
data statistik.
- Pemanfaatan rasio dan proporsi dalam
menyederhanakan (scaling) masalah,
mengestimasi dan menghitung perubahan
rasio (turunan).
- Membandingkan dan menilai keefektifan
berbagai metoda penyajian data.
- Memahami dan menggunakan berbagai
teknik menghitung, dengan prinsip perkalian
sebagai prinsip perkalian sentral.
- Memahami konsep peluang yang didasarkan
frekuensi relatif; memanfaatkan teknik
kombinatorika dalam menentukan
- Menunjukkan sikap logis, kritis, analitis, - Bilangan Real.
kreatif, cermat dan teliti, bertanggung jawab, - Aljabar.
responsif, dan tidak mudah menyerah dalam - Geometri
memecahkan masalah. Ruang.
- Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, - Bunga
semangat belajar yang kontinu, pemikiran majemuk,
reflektif dan ketertarikan pada matematika. Angsuran,
- Memiliki rasa percaya pada daya dan Anuitas.
kegunaan matematika, serta sikap kritis yang - Pertumbuhan,
terbentuk melalui pengalaman belajar. dan Peluruhan.
- Memiliki sikap terbuka, objektif, dan - Matriks dan
menghargai karya teman dalam interaksi Vektor.
kelompok maupun aktivitas sehari-hari. - Induksi
matematika
141
- Memiliki kemampuan mengkomunikasikan - Integral.
gagasan matematika dengan jelas dan efektif. - Logika.
- Menggunakan pola untuk menjelaskan
kecenderungan jangka panjang dan
menggunakannya dalam konteks dunia
nyata, dan memanfaatkannya dalam
pemecahan masalah atau berargumentasi.
- Memahami konsep matriks dan operasinya
dan menggunakannya dalam pemecahan
masalah.
- Menganalisis sifat-sifat sederhana dari
bangun ruang seperti diagonal ruang,
diagonal bidang, dan bidang diagonal.
- Menggunakan konsep integral untuk
memahami masalah akumulasi dan
menghampirinya, dengan penerapan
misalnya pada masalah luas dan volume.
- Menggunakan hubungan turunan dan
integral.
- Memberi estimasi dengan menggunakan
perhitungan mental dan sifat-sifat aljabar,
visualisasi geometris dan data statistik.
- Pemanfaatan rasio dan proporsi untuk
menyederhanakan kompleksitas
perhitungan, dan mengestimasi.
- Mengevaluasi penyajian data dengan cara
membandingkan penyajian data, statistik,
dan data aktual.
- Menentukan strategi penyelesaian masalah
yang efektif, mengevaluasi hasil, dan
melakukan perumuman
Pada tabel di atas, semakin jelas terlihat bahwa kemampuan HOTs merupakan
target kompetensi yang harus dikuasai peserta didik melalui pembelajaran
matematika. Disebutkan, antara lain, bahwa melalui pembelajaran matematika
peserta didik diharapkan mampu menunjukkan sikap, logis, kritis, analitis,
142
kreatif, cermat dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah
menyerah dalam memecahkan masalah. Kemampuan ini jelas merupakan
komponen kunci HOTs. Selain itu, diuraikan juga bahwa peserta didik
diharapkan mampu bersikap terbuka, objektif, mengenali pola,
menginterpretasi, memanipulasi, dan lain-lain, yang tentu hal tersebut
merupakan bagian dari HOTs. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa
pembelajaran HOTs, yang sekarang ini seakan-akan dipahami sebagai tugas
tambahan dalam pembelajaran matematika, senyatanya dia telah ada dan
terumuskan secara eksplisit dalam kurikulum.
143
dengan kebutuhan penilaian metakognitif peserta didik yang merupakan
sasaran capaian belajar menurut Permendikbud No 21 seperti tersebut di atas.
144
mengembangkan keseluruhan dimensi berpikir sesuai kompetensi yang
ditetapkan, tentu HOTs menjadi bagian dalam hal tersebut.
Perhatikan beberapa penggalan materi matematika pada buku siswa SMP dan
SMA berikut.
Contoh 1.
(Sumber: Buku peserta didik SMP/MTs, kelas VII, semester I, hal. 13)
145
Contoh di atas sebenarnya hanya ingin memberi contoh tentang pengurangan
bilangan negatif, yaitu (−2) − (−5) = 3. Pada contoh tersebut tidak dilakukan
langsung dengan mengurangkan kedua bilangan, tetapi peserta didik diminta
mengamati permasalahan orang menyelam, yang kemudian berdasarkan
informasi yang tersedia tentang aktivitas menyelam tersebut peserta didik
diminta menentukan selisih kedalaman, yang pada sebenarnya hanya
pengurangan dua bilangan, yaitu (−2) dikurangkan dengan (−5).
146
Contoh 2
Penggalan buku di atas merupakan salah satu butir soal latihan 1.2 (Ayo
Berlatih 1.2) hal 20. Soal latihan tersebut merupakan contoh soal yang dapat
mengembangkan HOTs, seperti telah dijelaskan pada contoh 2 yang telah
dijelaskan sebelumnya. Dalam buku siswa model soal seperti itu cukup
banyak. Tantangan bagi guru adalah bagaimana guru mengenali lebih lanjut
soal-soal latihan yang tersedia pada buku peserta didik dan secara hati-hati
peserta didik difasilitasi menyelesaikan soal latihan tersebut sehingga
keberadaan soal latihan tersebut dapat lebih bermanfaat untuk mendorong
pengembangan HOTs peserta didik.
Contoh 3.
Berikut salah satu soal HOTs yang termuat dalam Uji Kompetensi 6 Buku
Matematika Peserta didik SMP kelas VIII (2016: 46).
147
Soal di atas merupakan salah satu soal pilihan ganda yang dalam
penyelesaiannya peserta didik tidak bisa langsung sekedar memasukkan
rumus. Peserta didik perlu memahami apa kaitan jarak dengan peta grafis pada
koordinat kartesius yang disajikan pada awal soal. Tentu dalam hal ini peserta
didik perlu menemukan cara bagaimana menemukan jarak antar posisi dengan
konsep jarak. Peserta didik juga perlu memanfaatkan triple pythagoras
dikaitkan dengan posisi pada koordinat kartesius. Oleh karena itu, untuk
menyelesaikan soal tersebut peserta didik perlu menemukan konsep apa yang
relevan, kemudian memanfaatkan konsep-konsep tersebut dalam perhitungan
operasional untuk menemukan jarak antar bangunan sehingga dapat diketahui
mana bangunan yang berjarak ξͶͲ satuan. Soal seperti ini bisa dikatan sebagai
salah satu contoh soal HOTs berbentuk pilihan ganda mengingat bahwa dalam
menyelesaikan soal tersebut peserta didik perlu melakukan analisis situasi,
kritis menemukan keterkaitan konsep jarak dan peta lokasi pada diagram
kartesius, bukan sekedar menggunakan rumus pythagoras untuk menentukan
jarak dua titik.
Contoh 4.
(Sumber: Buku Peserta didik, Matematika SMP Kelas VII, hal 40)
Soal di atas adalah salah satu soal pada Uji Kompetensi 1 Bab Pola Bilangan
pada buku siswa. Soal tersebut termasuk kategori masalah mengingat bahwa
untuk menyelesaikan soal tersebut peserta didik tidak bisa menggunakan cara
biasa dengan memangkatkan bilangan 2.012 satu demi satu sampai pangkat ke
1.012. Peserta didik harus menemukan alternatif strategi lain yang dapat
memudahkan mereka menemukan hasil perpangkatan yang ditanyakan. Salah
satu strategi yang dapat digunakan adalah strategi penyelesaian menggunakan
pola bilangan.
148
Pada soal tersebut yang ditanyakan adalah angka satuannya. Dengan
demikian, peserta didik tidak perlu menemukan hasil keseluruhan dari
nilai perpangkatan tersebut karena yang ditanyakan hanya angka
satuannya. Bahkan, peserta didik tidak harus memangkatkan 2.012
dengan pangkat 1.012 karena angka satuan ʹǤͲͳʹଵǤଵଶ sama dengan
angka satuan ʹଵǤଵଶ . Untuk menemukan angka satuan hasil dri ʹଵǤଵଶ
peserta didik juga tidak perlu memangkatkan 2 sampai 1.012 kali.
149
Mencermati proses pemerolehan jawaban ʹǤͲͳʹଵǤଵଶ , yaitu 6, seperti terurai
di atas, dapat dipahami bahwa dalam menyelesaikan soal seperti itu peserta
didik tidak cukup hanya memahami konsep bilangan berpangkat, tetapi
peserta didik harus mampu membuka pikirannya untuk menemukan
pendekatan lain dalam penyelesaian soal tersebut, dalam hal ini dengan pola
bilangan. Proses penyelesaian soal dengan pola tersebut, jelas membutuhkan
kemampuan berpikir yang lebih tinggi, tidak sekedar memahami atau
menerapkan konsep, tetapi peserta didik perlu menemukan strategi sendiri,
membutuhkan transfer satu konsep ke konsep lainnya, memproses dan
menerapkan informasi, mencari kaitan dari berbagai konsep yang berbeda,
menggunakan beragam konsep, dan menelaah ide dan informasi secara kritis.
Inilah salah satu soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah (HOTs)
dalam menyelesaikannya. Soal-soal seperti ini cukup banyak di buku siswa
Kurikulum 2013, tinggal kemudian guru mengoptimalkan pemanfaatannya
dalam mendorong pengembangan HOTs.
Contoh 5.
150
Tugas proyek di atas tentu dapat memfasilitasi pengembangan HOTs peserta
didik karena dalam menyelesaikan tugas proyek tersebut melibatkan level
kognitif yang lebih tinggi, tidak sekedar mengetahui, memahami, atau
menerapkan, tetapi juga menganalisis, mensintesis, dan mencipta. Peserta
didik dituntut untuk secara kreatif menemukan hubungan antara lingkaran,
hasil potongan lingkaran yang disusun menyerupai jajargenjang, kemudian
dikaitkan dengan luas lingkaran. Apabila peserta didik cukup kritis maka
peserta didik akan menemukan hubungan bahwa luas jajargenjang tersebut
mendekati luas lingkaran, karena jajargenjang terbentuk dari potongan-
potongan lingkaran yang dijejerkan sehingga membentuk jajargenjang.
Dengan mengingat rumus luas jajargenjang, maka peserta didik dapat
menemukan luas jajargenjang tersebut. Nah, luas jajargenjang ini merupakan
salah pendekatan terbaik untuk luas lingkaran. Dengan membayangkan
potongan lingkaran yang diperbanyak, maka luas jajargenjang yang terbentuk
akan semakin mendekati luas lingkaran.
Tugas-tugas proyek yang tersedia pada buku peserta didik Kurikulum 2013
jenjang SMP cukup banyak, sehingga guru memiliki altenatif cukup banyak
untuk mendorong pengembangan HOTs peserta didik. Jangan sampai wahana
yang telah disediakan pada buku peserta didik tersebut tidak dioptimalkan
pemanfaatannya hanya karena guru tidak biasa memberi tugas proyek, atau
karena khawatir akan kerepotan dalam mengoreksi. Dengan demikian, sekali
lagi dapat digarisbawai bahwa pengembangan HOTs bukanlah tambahan baru
dalam tugas pembelajaran matematika SMP, tetapi memang merupakan
bagian integral dalam kurikulum pembelajaran matematika SMP saat ini.
151
2. Buku siswa jenjang SMA
Contoh 1.
Penggalan buku di atas merupakan awal dari Bab I tentang materi Persamaan
dan pertidaksamaan nilai mutlak linear satu variabel. Untuk mengawali
penjelasan tentang nilai mutlak siswa tidak langsung diberikan definisi dan
contoh dari nilai mutlak, tetapi siswa dihadapkan pada suatu contoh kasus
kemudian mereka diminta menganalisis situasi tersebut untuk mampu
memahami konsep nilai mutlak. Pendekatan materi demikian akan
merangsang berkembangnya kemampuan bernalar (menganalisis) siswa, lebih
dari sekedar apabila mereka langsung diberikan definisi dan contoh.
152
Kemampuan menganalisis ini merupakan salah satu kemampuan yang
termasuk dalam HOTs.
Apabila dicermati lebih lanjut, penyajian materi pada buku siswa banyak
menggunakan pendekatan seperti itu, dimana siswa difasilitasi untuk
melakukan pengamatan atau analisis suatu situasi atau masalah, yang mana
melalui analisis situasi atau masalah tersebut siswa dibawa ke arah
pemahaman atas materi yang dipelajari. Dengan demikian, sesungguhnya
buku siswa memberikan wahana yang cukup banyak bagi pengembangan
kemampuan berpikir HOTs siswa.
Contoh 2
Penggalan buku di atas merupakan salah satu butir soal pada uji kompetensi
Bab III tentang fungsi. Pada soal tersebut siswa diberikan suatu situasi sebagai
stimulus, kemudian siswa diberikan masalah berdasarkan stimulus yang
diberikan. Tentu untuk menyelesaikan soal demikian siswa harus cermat
menganalisis situasi atau informasi yang diberikan pada stimulus sehingga
dapat menemukan jawaban yang ditanyakan. Soal seperti ini dapat dikatakan
sebagai soal HOTs dimana siswa dalam menyelesaikan soal tersebut tidak
cukup dengan memasukkan rumus yang dipahami, tetapi perlu secara kreatif
153
dan kritis menganalisis masalah yang diberikan, kemudian menemukan
jawaban pertanyaan berdasarkan hasil analisisnya terhadap stimulus yang
diberikan.
Contoh 3.
154
Soal-soal tantangan seperti contoh di atas tepat digunakan untuk mendorong
pengembangan kemampuan berpikir HOTs siswa. Dalam memecahkan soal
tantangan seperti itu tidak cukup siswa mengandalkan pengetahuan dan/atau
pemahaman mereka tentang suatu konsep, tidak cukup juga dengan
kemampuan menerapkan suatu rumus dalam suatu soal, tetapi siswa perlu
lebih kritis dan kreatif menganalisis masalah yang diberikan, kemudian
mencari pemecahannya. Cukup banyak soal-soal tantangan seperti itu dalam
buku matematika siswa Kurikulum 2013, sehingga guru memiliki banyak
kesempatan untuk menggunakannya dalam mendorong kemampuan berpikir
HOTs.
Contoh 5.
155
Tugas proyek di atas tentu dapat memfasilitasi pengembangan HOTs peserta
didik karena dalam menyelesaikan tugas proyek tersebut melibatkan level
kognitif yang lebih tinggi, tidak sekedar mengetahui, memahami, atau
menerapkan, tetapi juga menganalisis, mensintesis, dan mencipta. Tugas-
tugas proyek yang tersedia pada buku peserta didik Kurikulum 2013 cukup
banyak, sehingga guru memiliki altenatif cukup banyak untuk mendorong
pengembangan HOTs peserta didik. Jangan sampai wahana yang telah
disediakan pada buku peserta didik tersebut tidak dioptimalkan
pemanfaatannya hanya karena guru tidak biasa memberi tugas proyek, atau
karena khawatir akan kerepotan dalam mengoreksi. Dengan demikian, sekali
lagi dapat digarisbawai bahwa pengembangan HOTs bukanlah tambahan baru
dalam tugas pembelajaran matematika SMA, tetapi memang merupakan
bagian integral dalam pembelajaran matematika SMA yang saat ini
menggunakan Kurikulum 2013.
156
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jaelani dan Retnawati (2015)
ditemukan bahwa terdapat beberapa kendala dalam penerapan pembelajaran
dan penilaian HOTs di kelas, baik pada aspek peserta didik maupun aspek
guru.
Selain itu, peserta didik masih belum terbiasa untuk memahami masalah
hingga tahap berpikir tingkat tinggi. Pemahaman masalah sesunggunhnya
merupakan awal penting ibarat suatu pintu gerbang solusi. Peserta didik
wajib dapat menerjemahkan dan memahami maksud dari masalah tersebut
untuk mencari solusi. Mayoritas peserta didik dewasa ini psikisnya
cenderung mengalami kesulitan pada langkah awal. Masalahnya adalah
157
masalah berbasis HOTs melibatkan masalah kontekstual yang dipaparkan
dengan kalimat. Kesulitan memahami masalah akan merusak psikis
peserta didik sehingga peserta didik mudah putus asa. Fenomena di
lapangan, soal cerita menjadi momok yang menakutkan. Soal cerita adalah
soal sulit merupakan citra yang berkembang di lingkungan peserta didik.
Bahkan peserta didik langsung beranggapan soal sulit saat melihat soal
terpapar dengan kalimat panjang. Mudah putus asa dan citra soal cerita
yang berkembang di kalangan peserta didik memberikan hambatan besar
pada implementasi pembelajaran matematika berbasis masalah.
2. Masalah guru
158
diberikan materi pengayaan peserta didik mengeluh karena tidak ada
dalam kisi-kisi ujian.
159
pembelajaran beroentasi pada HOTS yang membutuhkan waktu
pembelajaran relatif lama.
160
BAB IX
PENILAIAN PEMECAHAN MASALAH
161
yang penting dan perlu dikuasai siswa yang belajar matematika, dengan
pertimbangan bahwa pemecahan masalah: 1) merupakan kemampuan yang
tercantum dalam kurikulum dan tujuan matematika (KTSP Matematika,
2006, Kurikulum Matematika 2013, NCTM 1995); 2) merupakan proses inti
dan utama dalam kurikulum matematika, bahkan sebagai jantungnya
matematika; 3) membantu individu berpikir analitik; 4) pada hakekatnya
adalah belajar berpikir, bernalar, dan menerapkan pengetahuan yang
dimiliki; dan 5) membantu berpikir kritis, kreatif, dan mengembangkan
kemampuan matematis lainnya.
Selain beberapa penjelasan di atas, seperti yang dikutip oleh Akhter, Akhtar,
Abaidullah (2015), beberapa ahli seperti Polya (1962), Schoenfeld (1992),
Chamberlin (2006), Ruseffendi (1988), Lester, dan Kroll (1990), Krulik dan
Rudnik (1995), dan Hudoyo (1998) juga memberikan pengertiannya tentang
pemecahan masalah. Polya (1962) mendefinisikan pemecahan masalah
sebagai: "menemukan jalan mengatasi kesulitan, dan solusi untuk masalah
yang tidak diketahui". Schoenfeld (1992) juga telah mendukung hal baru
sebagai komponen penting pemecahan masalah matematika. Pemecahan
masalah didefinisikan sebagai: "kemampuan untuk mengidentifikasi dan
memecahkan masalah dengan menerapkan keterampilan yang sesuai secara
sistematis". Chamberlin (2006) mendefinisikan pemecahan masalah secara
lebih umum sebagai: "proses kognitif tingkat tinggi yang memerlukan
modulasi dan pengendalian keterampilan yang lebih rutin atau mendasar.
Pemecahan masalah terjadi ketika organisme atau sistem kecerdasan buatan
perlu berpindah dari keadaan tertentu ke keadaan tujuan yang diinginkan".
Ruseffendi (1988) menyatakan bahwa suatu itu merupakan masalah bagi
seseorang bila suatu itu merupakan hal baru bagi yang bersangkutan dan
sesuai dengan kondisi dan tahap perkembangan mentalnya dan ia memiliki
pengetahuan prasyarat yang mendasarinya. Lester, dan Kroll (1990)
menyatakan bahwa masalah adalah situasi dimana seorang individu atau
sekolompok orang menghadapi suatu tugas di mana dia tidak tersedia
algoritma yang lengkap untuk menemukan solusinya. Krulik dan Rudnik
(1995) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan proses dimana
individu menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang
telah diperoleh untuk menyelesaikan masalah pada situasi yang belum
dikenalnya. Hudoyo (1998) menyatakan bahwa masalah dalam matematika
162
adalah persoalan yang tidak rutin, tidak terdapat aturan atau hukum tertentu
yang segera dapat digunakan untuk menemukan solusi atau penyelesaiannya.
Pemecahan masalah adalah aktivitas yang kompleks yang membutuhkan
lebih dari yang sekedar penggunaan ingatan tentang fakta dan prosedur
sederhana (Kolovou, 2011). Pemecahan masalah dianggap sebagai aktivitas
yang kompleks yang membutuhkan lebih dari sekedar mengingat fakta dan
prosedur yang sederhana. Memecahkan masalah ini adalah kegiatan kognitif
yang membutuhkan pendekatan wawasan terhadap situasi masalah dan
pemikiran strategis. Ini mencakup lebih dari satu aplikasi langsung dari
algoritma, rumus atau prosedur. Proses solusinya sering membutuhkan
banyak langkah maju mundur sampai siswa mampu mengungkap
kompleksitasnya situasi bermasalah (Kolovou, 2011).
Sangat sering istilah 'masalah' dan 'masalah non rutin' digunakan secara
bergantian secara berlawanan terhadap apa yang biasa disebut 'masalah
rutin'. Masalah rutin – biasanya satu atau dua langkah masalah - memerlukan
reproduksi dan penerapan solusi tetap prosedur, sedangkan masalah non rutin
memerlukan pemikiran produktif dan bisa mendekati dengan cara yang lebih
atau kurang canggih. (Kolovou, 2011). Masalah (non-rutin) muncul saat
seseorang menghadapi situasi tertentu, bermaksud mencapai stituasi yang
dibutuhkan, namun tidak mengetahui cara langsung mengakses atau
memenuhi tujuannya (Elia, Marja van den Heuvel-Panhuizen, & Kolovou,
2009). Berbeda dengan masalah rutin yang melibatkan penerapan
perhitungan rutin, masalah non rutin tidak memiliki solusi langsung, namun
membutuhkan pemikiran kreatif dan penerapan strategi heuristik tertentu
untuk memahami situasi masalah dan menemukan cara untuk memecahkan
masalah (Pantziara, Gagatsis & Elia; Elia, Marja van den Heuvel-Panhuizen,
& Angeliki Kolovou, 2009).
163
setiap jenjang, setiap kelas, selalu ada kompetensi yang berkaitan dengan
pemecahan masalah. Sebagai contoh, berikut beberapa kompetensi yang
secara ekplisit dirumuskan terkait dengan kemampuan pemecahan masalah.
Tabel 9.1 Beberapa Kompetensi terait pemecahan masalah
164
IX dengan transformasi geometri (refleksi, translasi, rotasi,
dan dilatasi)
4.1 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
SMA/K X persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak dari bentuk
linear satu variable
4.8 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan turunan
XI fungsi aljabar
4.3 Menyelesaikan masalah kontekstual yang berkaitan
XII dengan kaidah pencacahan (aturan penjumlahan, aturan
perkalian, permutasi, dan kombinasi)
Dari tabel di atas terlihat bahwa di setiap jenjang dan setiap kelas ada
kompetensi yang berkaitan dengan memecahkan masalah. Tentu tidak hanya
kompetensi yang tertulis pada tabel di atas kompetensi yang berkaitan
dengan pemecahan masalah pada mata pelajaran matematika di sekolah.
Kompetensi yang ditulisakan pada tabel di atas hanyalah sebagian kecil dari
lebih banyak lagi yang lain kompetensi pemecahan masalah pada
matematika.
Banyaknya kompetensi yang berkaitan dengan pemecahan masalah pada
mata pelajaran matematika sejak awal sekolah dasar sampai akhiri sekolah
menengah menunjukkan betapa pentingnya kompetensi ini dalam
pembelajaran matematika di sekolah. Hal ini tentu disebabkan oleh
potensialitas dari matematika itu sendiri yang memang sangat tepat untuk
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Selain itu, hal ini
berimplikasi pada perlunya perhatian serius guru dalam pengembangan
kemampuan pemecahan masalah selama pembelajaran matematika di kelas.
Guru tidak boleh hanya terjebak pada pengajaran material matematik semata,
tetapi menyasar pada domain kemampuan siswa yang lebih luas, yaitu
kemampuan pemecahan masalah. Kegagalan guru dalam dalam memberikan
perhatian pada pembelajaran untuk pengembangan kemampuan pemecahan
masalah akan berdampak pada kegagalan siswa dalam mengoptimalkan
belajar matematika untuk mengembangkan kemampuan kunci yang
dibutuhkan di masa mendatang, yaitu kemampuan pemecahan masalah.
Pemecahan masalah menempati porsi dalam pembelajaran matematika,
165
sehingga kegagalan pembelajaran aspek ini berimplikasi kegagalan pada
bagian besar target belajar matematika.
Penilaian kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu bagian
krusial dari proses pengembangan kemampuan pemecahan masalah siswa di
kelas. Sistem penilaian yang tidak tepat dapat berakibat upaya-upaya
pengembangan pemecahan masalah dalam pembelajaran menjadi tidak
efektif. Bagaimanapun guru berupaya mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah siswa melalui berbagai strategi dan instrumentasi akan
berujung mandek apabila penilaian yang dilakukan guru tidak berorientasi
pada penilaian terhadap kemampuan pemecahan masalah. Siswa tidak akan
termotivasi dan terarahkan dalam mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah apabila guru tidak mengkonfirmasi capaian siswa dalam
pengembangan kemampuan tersebut melalui penilaian yang tepat.
Ketidakpatan penilaian kemampuan pemecahan masalah disinyalir sebagai
salah satu masalah serius dalam implementasi pendidikan matematika
berbasis kompetensi yang saat ini diterapkan di Indonesia. Rumusan
kompetensi yang secara eksplisit memuat tentang kemampuan pemecahan
masalah sering tidak berhasil diakomodasi dalam penilaian guru. Penilaian
yang dilakukan guru masih banyak yang terjebak sekedar mengukur
penguasaan materi. Selain itu, guru terkadang hanya sekedar membuat soal
matematika terapan sehari-hari, tetapi soal tersebut sudah berulang kali
diajarkan sebelumnya, sehingga ketika siswa menemukan soal tersebut
diujian siswa tinggal mengulang cara penyelesaian yang sudah dihafalkan
sebelumnya. Hal ini tentu tidak sesuai dengan esensi penilaian kemampuan
pemecahan masalah, yaitu penilaian yang dilakukan untuk menilai
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah-masalah non rutin dan
membutuhkan kontruksi strategi baru oleh siswa.
Misal, seorang guru sekolah dasar kelas III akan melakukan penilaian
“Menyelesaikan masalah yang melibatkan penggunaan sifat-sifat operasi
hitung pada bilangan cacah”, kemudian guru membuat soal berikut.
Tono dibelikan buku oleh ibunya dari pasar 2 buah. Jika
sebelumnya Tono telah memiliki buku 3 buah, berapa
banyak buku Tono sekarang?
166
Hati-hati dengan soal seperti di atas. Soal di atas, walaupun merupakan soal
terapan sehari-hari, bisa saja tidak menjadi masalah, apabila soal seperti itu
telah berulang kali diajarkan oleh guru di kelas sebelum tes, sehingga siswa
telah sangat akrap dengan soal tersebut. Ketika siswa telah diajarkan
berulang tentang soal seperti itu sebelumnya, maka pada saat siswa
menemukan soal seperti itu di ujian, siswa tinggal menyalin cara
penyelesaian yang sebelumnya mereka telah akrab sebelumnya dalam
pembelajaran di kelas. Jika demikian yang terjadi, soal terapan sehari-hari
seperti itu tidak lagi termasuk soal non rutin (masalah), tetapi soal biasa,
yang kebetulan soal terapan sehari-hari.
Contoh lain, guru kelas X SMA akan melakukan penilaian kompetensi
“Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan persamaan dan
pertidaksamaan nilai mutlak dari bentuk linear satu variable”, kemudian guru
membuat soal berikut.
Gambarkanlah grafik g(x) = |3x–2| untuk 2 < x < 12!
Soal di atas tidak tepat. Kalau diperhatikan kembali soal di atas, walaupun
penyelesaiannya tidaklah mudah, akan tetapi cara menyelesaikan soal
tersebut pasti telah berulang kali diajarkan di kelas sebelum tes. Soal tersebut
bisa dikategorikan soal rutin karena langkah penyelesaian soal tersebut juga
sudah tertentu.
Contoh soal pemecahan masalah, guru kelas X SMA akan melakukan
penilaian kompetensi “Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
turunan fungsi aljabar” kemudian guru membuat soal berikut.
Anton akan membuat silinder tanpa tutup dengan volume
8.000π cm3 dari selembar aluminimun. Agar aluminium yang
digunakan seminimal mungkin, Anton memutuskan bahwa
diameter alas dibuat sama dengan tinggi silinder. Menurut
Anda, tepatkah langkah Anton tersebut?
Soal di atas cukup tepat digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan
masalah sesuai kompetensi yang telah ditentukan. Soal tersebut termasuk
kategori soal non rutin, dimana siswa perlu melakukan analisis dan
menemukan strategi pemecahannya sendiri. Soal tersebut juga dapat
diselesaikan mungkin tidak dengan satu cara. Siswa dapat menemukan cara
167
masing-masing untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Salah
satu alternatif penyelesaiannya adalah sebagai berikut.
Penyelesaian:
Langkah Anton tidak tepat. Yang meminimalkan bahan adalah
diameter alas sama dengan dua kali tinggi silinder.
Rasionalisasi:
Pengerjaan.
Misalkan, volume silinder = V(r), tinggi silinder = t, jari-jari alas
silinder = r, dan luas permukaan silinder = L(r).
V(r) = luas alas × tinggi
= πr² × t = 8.000π
଼Ǥగ ଼Ǥ
(a) Sehingga t = ൌ …(1)
గ; ;
L (r) = luas alas + luas selubung = πr² + 2πrt …(2)
Subsitusikan (1) ke (2) sehingga di peroleh
଼Ǥ
L (r) = πr² - 2πr ቀ ቁ ൌ ߨ ;ݎ ʹɎ
;
Nilai stasioner L (r) diperoleh jika nilai L’ (r) = 0, sehingga
ଵǤగ
L’ (r) = ʹߨ ݎെ
;
ଵǤగ
Ù ʹߨ ݎെ ൌͲ
మ
(b) ଵǤగ
Ù ʹߨ ݎൌ
;
(a) selembar alumunium
Ù r² = 8.000
(b) silinder yang akan di buat
Ù r² = 20 …(3)
Subsitusikan
S (3) ke (1), sehingga diperoleh
଼Ǥ ଼Ǥ
ݐൌ െ െ ʹͲ
మ ସ
Jadi, tinggi silinder t = 20cm, dan jari-jari alas r = 20cm.
168
masalah matematis. Selanjutnya, indikator dan langkah-langkah
pemecahan masalah matematika tersebut menjadi acuan peneliti untuk
menyusun instrumen dan bahan ajar dan LKS penelitian yang
bersangkutan.
Berikut beberapa contoh indikator pemecahan masalah matematis dan
butir soal yang dapat digunakan untuk menilai indikator tersebut
(Hendriana, Roheti, & Sumarno, 2017)
1. Jenjang SMP
Tabel 9.2 Indikator dan Soal Pemecahan Masalah SMP
Indikator Pemecahan Butir Soal
Masalah Matematis
Mengidentifikasi 1. Seorang petani mempunyai sebidang
unsur-unsur yang tanah berbentuk persegi panjang. Lebar
diketahui, tanah tersebut 6 m lebih pendek
ditanyakan, dan daripada panjangnya. Diketahui
kecukupan unsur keliling tanah 60 m.
yang diperlukan Cukupkah informasi di atas untuk
menentukan luas tanah? Kalau cukup,
selesaikanlah masalah tersebut. Kalau
tidak cukup, lengkapi kemudian
selesaikanlah.
Merumuskan 2. Diketahui harga sepasang sepatu dua
masalah matematika kali harga sepasang sandal. Seorang
atau menyusun pedagang membeli 4 pasang sepatu dan
model matematik 3 pasang sandal. Pedagang tersebut
harus membayar RP. 275.0000. Buatlah
model matematika dari keterangan
tersebut, kemudian selesaikanlah.
Menerapkan strategi 3. Sketsa sebuah meja berbentuk persegi
untuk menyelesaikan panjang dengan panjang 16x cm dan
masalah sehari-hari lebar 10x cm. luas permukaan meja
tidak kurang dari 40 dm2. Tentukan
ukuran minimum permukaan meja
tersebut. Jekaskan cara memperoleh
169
jawaban tersebut.
Menjelaskan atau 4. Harga 1 lusin pensin adalah
menginterpretasikan Rp.18.000,00.
hasil sesuai a. Berapakah harga 1 buah pensil?
permasalahan awal Jelaskan cara menghitungnya
b. Berapakah harga 5 buah pensil?
Jelaskan cara menghitungnya.
Menggunakan 5. Pak Putu memperoleh gaji
matematika secara Rp.950.000,00 sebulan. Dengan
bermakna penghasilan tidak kena pajak
Rp.380.000,00. Andaikan pajak
penghasilan (PPh) ditetapkan 10%,
berapakah besar gaji yang diterima Pak
Putu per bulan?
2. Jenjang SMA
Tabel 9.3 Indikator dan Soal Pemecahan Masalah SMA
170
masalah sesuai protein. Setiap kg daging mengandung
rencana 500 unit kalori dan 200 unit protein.
Sedangkan setiap kg ikan segar
mengandung 300 unit kalori dan 400
unit protein. Harga per kg daging sapi
dan ikan segar masing-masing
Rp25.000,00 dan Rp20.000,00.
a. Jelaskan cara menentukan
banyaknya daging sapi dan ikan
segar yang harus disediakan rumah
sakit supaya mengeluarkan biaya
sekecil mungkin.
b. Susun model matematiika masalah
di atas, kemudian selesaikanlah.
3. Dalam suatu pentas, panitia menjual dua
Menyelesaikan jenis tiket. Tiket yang tersedia hanya
masalah sesuai 200 lembar. Setiap penonton kelas VIP
rencana mendapat souvenir 30 buah,sedangkan
penonton biasa hanya 10 souvenir.
Souvenir yang disediakan panitia hanya
3.000 buah. Bila tiket penonton VIP
Rp100.000,00 dan penonton biasa
RP50.000,00, berapa banyak masing-
masing tiket yang harus terjual panitia
agar panitia memperoleh keuntungan
maksimum?
Membuat model 4. Sebuah toko sepeda menyediakan dua
matematika jenis sepeda gunung, yaitu sepeda
masalah, dengan diameter roda 26 inci dan 29
menyelesaikannya inci. Daya tampung maksimum toko
dan melakukan sebanyak 36 sepeda. Harga sepeda
pengecekan adalah Rp600.000,00 untuk ukurarn
jawaban roda 26 inci dan Rp800.000,00 untuk
ukuran roda 29 inci. Modal yang
tersedia tidak lebih dari
Rp24.000.000,oo dengan mengharap
171
keuntungan Rp100.000,00per unit roda
dengan diameter 26 inci dan
Rp120.000,00 dari sepeda dengan
diameter 29 inci.
Susun model matematika untuk
menentukan keuntungan yang akan
diperoleh. Perikasa benarkah
keuntungan maksimum yang diperoleh
adalah Rp3.840.000,00! Kemudian
benarkah bahwa keuntungan maksimum
diperoleh kalau toko mampu menjual 24
unit sepeda ukuran roda 26 inci dan 12
unit sepeda ukuran 29 inci. Jelaskan!
5. Fungsi f(x,y) = cx + 4y dengan kendala :
Merencanakan dan 3x + y ≤ 9, x + y ≤ 8, x ≥ 0, y ≥ 0.
menyelesaikan a. Bagaimana cara menentukan nilai c
masalah sesuai agar fungsi mencapai nilai
rencana maksimum di (3,2)?
b. Selesaikan soal di atas berdasarkan
cara yang kamu tulis pada bagian
(a).
3. Jenjang SMK
Tabel 9.4 Indikator dan Soal Pemecahan Masalah SMK
172
jarak dua bidang bidang PBQR dan ERG. Sertakan
disertai penjelasan penjelasan dan aturan yang digunakan
dalam penyelesaian masalah tersebut.
Memahami 2. Kubus ABCD. EFGH dengan panjang
masalah, rusuk AB = 6 cm
menggambar garis a. Lukislah perpotongan bidang ACGE
potong dua bidang dan bidang BDG dan tulis konsep
dna menghitung yang digunakan
besar sudut antara b. Jelaskan cara menentukan sudut
dua bidang disertai antara bidang BDG dan ABCD dan
penjelasan besar sudut tersebut
Memeriksa 3. Sebuah kardus berbentuk kubus
kebenaran hasil ABCD.EFGH. Joko ingin mengisi kardus
perhitungan tersebut dengan sterofoam berbentuk
kubus dan balok yang ukuran lebar dan
panjang sama tetapi tingginya berbeda.
173
EH dengan titik B pada kardus?
b. Konsep matematika apa yang terlibat
dalam persoalan di atas? Tuliskan
model matematika untuk
menentukan panjang rusuk kardus
tersebut!
Tuliskan pula langkah-langkah
penyelesaian tugas no. b diserta aturan
atau rumus yang digunakan, kemudian
selesaikan
Memahami 4. Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan
msalah, AB = 12 cm. Titik M adalah titik potong
menggambar dan diagonal bidang alas. Tentukan besar
menghitung sudut sudut antara garis MH dan bidang ADHE
antara garis dan dan antara garis BH dan bidang ADHE.
bidang disertai Jelaskan konsep yang digunakan dalam
penjelasan persoalan tersebut! Tuliskan langkah-
langkah penyelesaian asalah!
Memeriksa 5. Ardi dan Bardi membuat kerangka kubud
kebenaran jawaban ABCD.EFGH dari kawat. Mereka
diminta menghitung jarak antara AHF
dan bidang GDB. Namun jawaban
keduanya berbeda. Ari menjawab 2ξ͵
ଷξଵ
cm, sedangkan Bardi menjawab .
ଶ
Panjang CG adalah 4 cm. perikasa
jawaban siapa yang benar. Jelaskan
alasannya!.
174
menghadapi masalah matematika, siswa harus jeli dalam menentukan
strategi ataupun metode yang paling tepat.
Hartono (2014) menyatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah
matematika, sangat penting bagi kita untuk mengikuti cara berfikir dan
pendekatan yang sistematik dalam penyele-saiannya. Mengikuti beberapa
langkah dalam menyelesaikan permasalahan matematika, memungkinkan
kita dapat menemukan jawaban. Agar kita dapat menyelesaikan
permasalahan secara tepat, maka kita perlu terlebih dahulu memahami soal
serta mencari informasi dari permasalahannya. Ketika sudah memahami soal,
maka kita dapat menentukan metode penyelesaian yang sesuai dengan
permasalahan, kemudian dilanjutkan pada tahap proses penyelesaiannya.
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah,
diantaranya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 9.5 Tabel Stratagi Penyelesaian Masalah
175
Tabel 9.6 Proses Pemecahan Masalah Polya
Step 1: Understanding the Problem
1. Read/Reread (for 2. Paraphrase 3. Visualize 4. Work in pairs
understanding) (your own (mentally or or small groups
words) drawing)
5. Identify Goal or 6. Identify Required 7. Identify 8. Detect Missing
Unknown Information Extraneous Information
Information
9. Define/Translate 10. Check 11. Share Point of 12. Others as
Use a dictionary Conditions and/ View with Needed
or assumptions Others
Step 2: Devising a Plan to Solve the Problem
1. Estimate 2. Revise 1st 3. Share/Discuss 4. Work in pairs or
(quantity, Estimate, 2nd Strategies small groups
measure or estimate & so on
magnitude)
5. Explain why the 2. Allow for 3. Show all of my 4. Work in pairs
plan might “Mistakes”/Errors work Including or small groups
work partial solutions
Step 3: Implementing a Solution Plan
1. Experiment with 2. Allow for 3. Show all of my 4. Work in pairs
Different “Mistakes”/Errors work Including or small groups
Solution Plans partial solutions
5. Discuss with 6. Keep track and 7. Compare 8. Find solution
others Different save all attempts to solve Do not give up
Solution Plans results/data similar problems
9. Implement your 10. Attempts could 11. Check your 12. Others as
own solution plan be as important Answer(s)/ Needed
as the solution Solution(s)
Step 4: Reflecting on the Problem: Looking Back
1. Reflect on plan 2. Reflect on plan 3. Check if all 4. Make sure I can
after you have while finding the problem justify / explain
an answer answer conditions were my answer
made
5. Check if correct 6. Check that I 7. Check if answer 8. Reflect for
assumptions answer the is unique or possible
were made problem there are others alternative
question strategies
176
9. Reflect about 10. Look for ways to 11. Reflect on 12. Others as
possible more extend the problem similarity / Needed
efficient process difference to
other prob.
177
1. Bekerja mundur
Strategi ada pada permasalahan yang memiliki hasil akhir tunggal dan
memiliki beberapa macam alternatif Iangkah-langkah yang dapat diambil.
Permasalahan yang menggunakan strategi ini terjadi ketika hasil akhir
diketahui dalam soal dan kita diminta untuk menyatakan kejadian yang asli.
Contohnya, ketika kita mencoba menentukan berapa banyak uang yang kita
miliki jika kita telah menghabiskan beberapa uang selama beberapa waktu
sebelumnya.
Contoh
Saya memikirkan sebuah angka. Angka tersebut saya kalikan 3, saya kurangi
8, dan hasilnya saya lipat gandakan lalu saya tambah 14. Lalu saya punya
50% dari angka itu, selanjutnya saya tambah 11. Kemudian saya bagi 5.
Setelah semua operasi dilakukan, ternyata hasil akhirnya adalah 8.
Berapakah angka yang saya punya mula-mula?
Penyelesaian:
Untuk mengecek jawaban dapat dibuat tabel langkah dari bekerja mundur
sebagai berikut:
2. Menemukan pola
Penemuan pola adalah salah satu strategi dalam problem solving dimana kita
dapat mengamati informasi yang diberikan seperti gambar, angka, huruf,
178
kata, warna, atau suara. Dengan mengamati beberapa elemen yang diberikan
tersebut, kadang-kadang secara berurutan kita dapat memecahkan masalah
yang diberikan dengan menentukan apa yang menjadi elemen selanjutnya
dan elemen tersebut akan membentuk pola yang diberikan. Beberapa
masalah matematika yang dapat diselesaikan dengan menggunakan strategi
penemuan pola memiliki karakteristik tertentu, yaitu:
9 Masalah yang berhubungan dengan perpangkatan yang cukup besar dan
bisaanya diminta menentukan digit terakhir, digit tengah, atau banyaknya
digit.
9 Masalah yang melibatkan sebuah bentuk bangun dan kita diminta
menentukan banyaknya bangun satuan yang membentuk bangun tersebut.
9 Menentukan suku tertentu pada sebuah barisan.
9 Menentukan jumlah bilangan atau rumusnya yang membentuk suatu
barisn.
9 Menyelesaikan masalah tentang operasi aijabar pada suatu pecahan.
9 Menentukan hasil bagi suatu bilangan yang Iebih dari 10 digit.
9 Masalah yang dapat disederhanakan dan dianalogikan sampai ditemukan
pola yang terbentuk.
9 Masalah yang melibatkan banyaknya sudut yang terbentuk oleh garis
yang ditentukan jumlahnya dari sebuah titik
Contoh
Hitunglah jumlah dari deret berikut.
ͳ ͳ ͳ ͳ
ڮ
ͳǤʹ ʹǤ͵ ͵ǤͶ ͶͻǤͷͲ
(Posamentier & Krulik, 1998)
Penyelesaian:
Untuk menjumlahkan keseluruhan suku di atas, perhatikan pola berikut
ଵ ଵ
Penjumlahan 1 suku pertama
ଵǤଶ
ൌଶ
ଵ ଵ ଶ
Penjumlahan 2 suku pertama ଵǤଶ
ଶǤଷ ൌ ଷ
ଵ ଵ ଵ ଷ
Penjumlahan 3 suku pertama ൌ
ଵǤଶ ଶǤଷ ଷǤସ ସ
179
ଵ ଵ ଵ ଵ ଶ
Penjumlahan 4 suku pertama ଵǤଶ
ଶǤଷ ଷǤସ ସǤସ ൌ ଷ
Berdasarkan pola di atas, maka kita bisa menemukan pola jumlah deret
pecehan tersebut.
ଵ ସଽ
Jadi, penjumlahan deret di atas sampai ସଽǤହ sebagai suku terakhir adalah ହ .
Penyelesaian alternatif lainnya, yaitu dengan mengenali pola bentuk lain dari
pecahan berikut ini :
ͳ ͳ ͳ
ൌ െ
ͳǤʹ ͳ ʹ
ͳ ͳ ͳ
ൌ െ
ʹǤ͵ ʹ ͵
ͳ ͳ ͳ
ൌ െ
͵ǤͶ ͵ Ͷ
ͳ ͳ ͳ
ൌ െ
ͶͻǤͷͲ Ͷͻ ͷͲ
ͳ ͳ ͳ ͳ
ڮ
ͳǤʹ ʹǤ͵ ͵ǤͶ ͶͻǤͷͲ
ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ ૢ
ൌ ൬ െ ൰ ൬ െ ൰ ൬ െ ൰ ڮ ൬ െ ൰ ൌ െ ൌ
ʹ ʹ ʹ ͵ ͵ Ͷ Ͷͻ ͷͲ ͳ ͷͲ
180
Contoh
Carilah luas daerah yang diarsir antara segitiga ABC dan segitiga GHI, jika
jarak yang berdekatan adalah 1 satuan luas. Segitiga DEF terletak tepat di
tengah kedua segitiga lainnya. Panjang ketiga sisi segitiga def adalah 5,6, dan
7 satuan luas.
C
F
I
G H
D E
A B
(Posamentier & Krulik, 1998)
Penyelesaian:
Daripada mencari luas masing-masing segitiga, bagilah daerah yang diarsir
menjadi 3 trapesium. Dalam kasus ini, tinggi dari tiap trapesium adalah 2.
Gunakan rumus luas trapesium C
182
variabel konstan (tetap seperti sedia kala) dan mengubah variabel yang
lainnya menjadi ekstrim, akan membantu kita untuk dengan mudahnya
memahami situasi yang terjadi. Hanya saja kita perlu berhati-hati dalam
mengubah variabel, pastikan variabel yang diubah itu tidak mempengaruhi
situasi masalah yang sesungguhnya atau dengan kata lain tidak menyebabkan
perubahan pada variabel lainnya yang menyebabkan karakteristik variabel
lain berubah. Strategi ini sangat tepat digunakan apabila kita dihadapkan
pada masalah-masalah yang kelihatannya sangat rumit, tapi sebenarnva bisa
didekati pada nilai-nilai ekstrimnya.
Contoh
Terdapat 38 finalis kontes kecantikan di Indonesia yang memperebutkan
gelar Finalis Favorit. Gelar ini diperoleh melalui perolehan polling sms. Jika
di malam Grand Final terakumulasi ada 3535 buah sms yang masuk, berapa
perolehan terbanyak yang pasti diterima oleh salah satu kontestan?
Penyelesaian:
Karena kita mencari sms terbanyak yang pasti diterima, kita akan
pertimbangkan kemungkinan ekstrimnya, dimana hanya ada 1 orang yang
memiliki perolehan lebih tinggi dari pada yang lain. Untuk itu, kita bagi
3535 ini merata kepada 38 orang, diperoleh bahwa setiap orang mendapatkan
93 sms. Sisa satu sms (karena 38 x 93 - 3534) akan menjadi poin lebih bagi 1
orang yang dimaksud tadi. Dengan demikian, banyak sms maksimum yang
pasti dimiliki oleh seorang kontestan adalah 94 sms.
183
Contoh
Sebuah lingkaran dengan jari-jari r berada di dalam sebuah persegi dan tepat
bersinggungan dengan sisi persegi tersebut. Jika sebuah titik diambil secara
acak di dalam persegi, berapa peluang titik tersebut tidak berada di dalam
lingkaran?
Penyelesaian:
Informasi pada soal dapat divisualisasikan sebagai berikut.
2r
r
Jika sebuah titik diambil secara acak di dalam persegi tetapi tidak berada di
dalam Iingkaran maka titik tersebut akan berada di daerah yang diarsir.
Untuk mengetahui peluang terambilnya titik tersebut, yang perlu kita
lakukan adalah mencari luas daerah yang diarsir dan luas daerah persegi.
Luas persegi :
L = s x s = (2r)2 = 4r2
Luas Iingkaran :
L = ߨ. r2
Luas daerah yang diarsir adalah selisih antara Juas persegi dan luas
Iingkaran, sehingga;
Luas daerah berarsir
L = 4r2 – . r2 = (4 –ߨ)r2
Jadi, peluang terambilnya titik di dalam persegi dan di luar lingkaran yaitu:
ሺͶ െ ߨሻ ݎଶ Ͷെߨ
ଶ
ൌ
Ͷݎ Ͷ
184
memperkirakan tebakan kita supaya sesuai dengan persyaratan dalam soal.
Teknik penyelesaian masalah ini sering juga disebut sebagai metode
trial-and-error. Akan tetapi, perlu dibedakan antara guessing atau asal
menebak dengan intelligent guessing atau menebak dengan cerdas. Kalau
hanya sekedar guessing, bisa jadi kita membutuhkan banyak sekali
pengetesan sehingga tidak efektif. Oleh karena itu, dalam strategi ini, kita
tidak hanya sekedar menebak tetapi menggunakan inteligensi kita supaya
efektif dan tidak berkali-kali melakukan pengetesan.
Contoh
Bintang mengerjakan 20 soal tes pilihan ganda. Tiap jawaban benar
mendapat skor +5, tiap jawaban salah mendapat skor -2, dan tiap jawaban
yang tidak dikerjakan mendapat skor 0. Bintang mendapat total skor 44
meskipun ada beberapa soal yang tidak ia kerjakan. Berapa banyak soal yang
tidak dikerjakan Bintang?
(diadaptasi dari Posamentier & Krulik, 1998)
Penyelesaian
x Jawaban benar tidak mungkin kurang dari 10 (kalau hanya 9, jumlah skor
nya hanya 9 x. 5 = 45 dan jika dikurangi dengan bilangan genap, tidak
akan mendapatkan 44)
x Jawaban benar tidak mungkin lebih dari 10 (11 tidak mungkin karena
ganjil. 12 tidak mungkin karena ada soal yang tidak dikerjakan)
x Jadi, jawaban benar ada 10. Maka skor jawaban benar 10 x 5 = 50.
x Supaya skor nya 44, jawaban salah harus berjumlah 3
(karena skor jawaban salah = 3 x (-2) = -6)
Jadi, soal yang tidak dijawab = 20 - 10 - 3 = 7
185
diselesaikan dengan cara seperti ini ketika cara yang lain tidak menjanjikan
sebuah jawaban atau terlalu abstrak untuk diselesaikan.
Strategi ini disebut juga dengan "mengeliminasi/menghilang kemungkinan"
yakni strategi di mana pemecah masalah menghilangkan kemungkinan
jawaban sampai menyisakan jawaban yang benar. Proses pengeliminasian
kemungkinan jawaban dapat terjadi secara mental (tanpa melibatkan tulisan)
maupun tertulis. Efektif atau tidaknya strategi ini sangat ditentukan oleh si
pemecah masalah itu, yang bergantung pada:
186
dalam bilangan asli. Hal ini membuat kemungkinan-kemungkinan
penyelesaian semakin mengerucut maka metode menghitung semua
kemungkinan dapat diterapkan.
Daftar kemungkinan ukuran halaman (bilangan asli)
9. Mengorganisasi data
Organisasi data pada bab ini dapat diartikan sebagai pengaturan data.
Pengaturan ini bisa bermakna banyak hal, mulai dari mengatur data yang
ada, atau mengubah urutan data yang ada. Bab ini akan mengungkapkan
bahwa organisasi data juga bisa digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan
per-masalahan. Akan tetapi, sebelum itu alangkah baiknya jika lebih dulu
mengenal lebih jauh, mengenai apa itu pengaturan data.
Strategi ini termasuk strategi yang harusnya cukup diperhitungkan, karena
bisa saja dari sebuah data yang sama didapatkan kesimpulan yang berbeda,
tergantung dari cara pengelompokkan datanya.
Contoh
Sebelum melangkah Iebih jauh, perlu dicermati bahwa strategi yang satu ini
tidak mempunyai ciri khusus dalam penggunaannya. Namun, secara garis
besar penggunaan strategi ini bisa dibagi menjadi 3 cara.
a. Strategi ini digunakan untuk mengelompokan data yang diperoleh
dalam soal. Tabel, daftar, diagram bisa digunakan untuk mempermudah
pengelompokan data sehingga permasalahan bisa diselesaikan dengan
187
lebih mudah.
Contoh:
Setelah dilakukan ujian matematika, diperoleh nilai sebagai berikut:
7, 8, 9, 6, 8, 6, 9, 7, 8, 9 10, 5, 7, 9, 8, 6, 6, 8, 9, 7 7, 6, 9, 8, 7, 6, 8, 9, 6, 8
Jika siswa yang dinyatakan lulus adalah yang mempunyai nilai di atas
rata-rata, tentukan jumlah siswa yang tidak lulus.
(Masduki, 2008)
Penyelesaian
Untuk mempermudah pengerjaan soal statistika di atas, data yang
diperoleh dapat dikelompokan dalam table.
ʹʹ
ݔ ൌ ǡͷͲ͵
͵Ͳ
Jadi, siswa yang lulus adalah siswa yang nilainya di atas 7,5 artinya
siswa yang lulus adalah siswa yang memiliki nilai 8, 9, dan 10. Dari
tabel terlihat siswa yang nilainya 8, 9, atau 10 ada 16 orang.
b. Strategi ini digunakan untuk menyusun ulang data yang diperoleh
selama menyelesaikan masalah. Seperti sebelumnya, tabel dan daftar
dapat digunakan untuk mengelompokan data yang diperoleh.
Contoh:
Dari sebuah kantong yang berisi banyak uang koin (limaratusan,
duaratusan, seratusan) diambil 3 buah koin tanpa melihat koin yang akan
diambil. Berapa sajakah jumlah uang yang mungkin terambi l?
(diadaptasi dari Posamentier & Krulik, 2009)
188
Penyelesaian
Untuk menjawab pertanyaan di atas bisa digunakan tabel untuk
mempermudah pendaftaran kemungkinan yang mungkin. Secara
sepintas cara ini sama saja dengan strategi pada bab sebelurnnya yaitu
mendaftar (listing). Organisasi data yang dimaksudkan adalah
bagaimana cara mendaftar sehingga jawaban menjadi lebih teratur.
Untuk itu hal yang paling mudah dilakukan adalah membuat tabel.
Dari tabel jelas terlihat bahwa jumlah uang yang mungkin terambil
adalah Rp 1500, Rp 1200, Rp 1100, Rp 900, Rp 800, Rp 700, Rp 600,
Rp 500, Rp 400, Rp 300
189
Penyelesaian
Untuk menjawab soal semacam ini pengorganisasian data dilakukan
dengan memanipulasi dan menyesuaikan letak data pada soal sehingga
mempermudah penyelesaiannya.
ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ
൬ͳ െ ൰ ൬ͳ െ ൰ ൬ͳ െ ൰ ൬ͳ െ ൰ ڮ൬ͳ െ ൰
Ͷ ͻ ͳ ʹͷ ʹʹͷ
ͳ ଶ ͳ ଶ ͳ ଶ ͳ ଶ
ൌ ቆͳଶ െ ൬ ൰ ቇ ቆͳଶ െ ൬ ൰ ቇ ቆͳଶ െ ൬ ൰ ቇ ڮቆͳଶ െ ൬ ൰ ቇ
ʹ ͵ Ͷ ͳͷ
ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ ͳ
ൌ ൬ͳ െ ൰ ൬ͳ ൰ ൬ͳ െ ൰ ൬ͳ ൰ ൬ͳ െ ൰ ൬ͳ ൰ ڮ൬ͳ െ ൰ ൬ͳ ൰
ʹ ʹ ͵ ͵ Ͷ Ͷ ͳͷ ͳͷ
ͳ ͵ ʹ Ͷ ͵ ͷ ͳ͵ ͳͷ ͳͶ ͳ
ൌ ή ή ή ή ή ڮή ή ή
ʹ ʹ ͵ ͵ Ͷ Ͷ ͳͶ ͳͶ ͳͷ ͳͷ
ͳ ͳ
ൌ ή
ʹ ͳͷ
ͺ
ൌ
ͳͷ
190
Mari bernalar secara logis
Semua bilangan prima adalah bilangan asli. Setiap bilangan asli merupakan
bilangan ganjil atau genap (tidak mungkin keduanya). Penjumlahan yang
menghasilkan bilangan ganjil (999) pastilah ganjil + genap. Satu-satunya
bilangan prima genap adalah 2.
Jadi, satu-satunya pasangan bilangan prima yang jumlahnya 999 adalah 2
dan 997.
191
BAB X
PEDOMAN PENYEKORAN
A. Pendahuluan
Dalam Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan
Standar Kompetensi Guru dinyatakan bahwa salah satu kompetensi inti guru
adalah menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
Kompetensi inti tersebut dijabarkan dalam tujuh kompetensi, yaitu: 1)
memahami prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, 2) menentukan
aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan dievaluasi
sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, 3) menentukan
prosedur penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, 4) mengembangkan
instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, 5)
mengadministrasikan penilaian proses dan hasil belajar secara
berkesinambungan dengan mengunakan berbagai instrumen, 6) menganalisis
hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk berbagai tujuan, dan 7)
melakukan evaluasi proses dan hasil belajar.
Memperhatikan tuntutan kompetensi guru pada Permendiknas di atas, dapat
diketahui bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru adalah
mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
Kompetensi ini tidak terpisah dengan kompetensi lainnya. Kompetensi ini
sangat penting untuk mendapatkan keakuratan dan keadilan penilaian pada
siswa. Hanya dengan instrumen penilaian yang baik, guru dapat memperoleh
hasil penilaian yang baik. Instrumen penilaian yang baik harus dilengkapi
ketentuan-ketentuan yang diperlukan untuk menentukan skor perolehan siswa.
Ketentuan-ketentuan inilah yang dikenal dengan pedoman penyekoran.
Pedoman penyekoran diperlukan sebagai pedoman menentukan skor hasil
kerja siswa sehingga diperoleh skor seobjektif mungkin. Oleh karena itu,
penting bagi guru mempelajari dengan baik pedoman penyekoran serta
langkah mengembangkannya sehingga hasil penilaian yang diperoleh lebih
akuran dan berkeadilan.
192
B. Pengertian Pedoman Penyekoran
Pedoman penyekoran adalah pedoman yang digunakan untuk menentukan
skor hasil penyelesaian pekerjaan siswa. Skor ini kemudian ditafsirkan
sehingga menjadi nilai. Kesulitan yang dihadapi adalah menetapkan skor
dengan tepat. Disinilah pentingnya pedoman penyekoran. Dengan pedoman
penyekoran, guru akan lebih mudah menentukan skor siswa. Pedoman
penyekoran diperlukan baik untuk tes bentuk pilihan maupun uraian (Mardapi,
2008), yang antara lain seperti diuraikan berikut.
1. Penyekoran Tes Bentuk Pilihan
Cara penyekoran tes bentuk pilihan ada dua, yaitu tanpa koreksi terhadap
jawaban tebakan dan dengan koreksi terhadap jawaban tebakan.
1) Penyekoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan
Untuk memperoleh skor dengan teknik penyekoran ini digunakan rumus
sebagai berikut:
Skor = 100
ே
Keterangan:
B : banyaknya butir yang dijawab Benar
N : banyaknya butir soal
Penyekoran tanpa koreksi saat ini banyak digunakan dalam penilaian
pembelajaran. Namun teknik penyekoran ini sesungguhnya mengandung
kelemahan karena kurang mampu mencegah peserta tes berspekulasi
dalam menjawab tes. Hal ini disebabkan tidak adanya resiko bagi siswa
ketika memberikan tebakan apapun dalam memilih jawaban sehingga jika
mereka tidak mengetahui jawaban mana yang paling tepat maka mereka
leluasa memilih salah satu pilihan secara sembarang. Benar atau salahnya
jawaban sembarang tidak menunjukkan kemampuan siswa. Semakin
banyak jawaban tebakan semakin besar penyimpangan skor dengan
penguasaan kompetensi siswa yang sesungguhnya.
193
2) Penyekoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan
Untuk memperoleh skor siswa dengan teknik penyekoran ini digunakan
rumus sebagai berikut:
ܵ
ቀ ܤെ ቁ
ൌ ܲ െ ͳ ൈ ͳͲͲ
ܰ
Keterangan
B : banyaknya butir soal yang dijawab benar
S : banyaknya butir yang dijawab salah
P : banyaknya pilihan jawaban tiap butir.
N : banyaknya butir soal
Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0.
భర
ቀଵି ቁ
రషభ
=ቈ ൈ ͳͲͲ
ଷ
= 37,777778
ൎ 38
194
2. Penyekoran Bentuk Uraian
Pada tes bentuk uraian cara pemberian skor adalah sebagai berikut.
a. Menggunakan penyekoran analitik
Penyekoran analitik digunakan untuk permasalahan yang batas jawabannya
sudah jelas dan terbatas. Biasanya teknik penyekoran ini digunakan pada
tes uraian objektif yang mana jawaban siswa diuraikan dengan urutan
tertentu. Jika siswa telah menulis rumus yang benar diberi skor,
memasukkan angka ke dalam formula dengan benar diberi skor,
menghasilkan perhitungan yang benar diberi skor, dan kesimpulan yang
benar juga diberi skor. Jadi, skor suatu butir merupakan penjumlahan dari
sejumlah skor dari setiap respon pada soal tersebut.
b. Menggunakan penyekoran dengan skala global (holistik)
Teknik ini cocok untuk penilaian tes uraian non objektif. Caranya adalah
dengan membaca jawaban secara keseluruhan tiap butir kemudian
meletakkan dalam kategori-kategori mulai dari yang baik sampai kurang
baik, bisa tiga sampai lima. Jadi tiap jawaban siswa dimasukkan dalam
salah satu kategori, dan selanjutnya tiap jawaban tiap kategori diberi skor
sesuai dengan kualitas jawabannya. Kualitas jawaban ditentukan oleh
penilai secara terbuka, misalnya harus ada data atau fakta, ada unsur
analisis, dan ada kesimpulan.
Penyekoran soal uraian kadang menggunakan pembobotan. Pembobotan soal
adalah pemberian bobot pada suatu soal dengan membandingkan terhadap
soal lain dalam suatu perangkat tes yang sama. Pembobotan soal uraian hanya
dilakukan dalam penyusunan perangkat tes. Apabila soal uraian berdiri sendiri
tidak dapat ditetapkan bobotnya. Bobot setiap soal mempertimbangkan faktor
yang berkaitan materi dan karakteristik soal itu sendiri, seperti luas lingkup
materi yang hendak dibuatkan soalnya, esensialitas dan tingkat kedalaman
materi yang ditanyakan serta tingkat kesukaran soal. Hal yang juga perlu
dipertimbangkan adalah skala penyekoran yang hendak digunakan, misalnya
skala 10 atau skala 100. Apabila digunakan skala 100, maka semua butir soal
dijawab benar, skornya 100; demikian pula bila skala yang digunakan 10. Hal
ini untuk memudahkan perhitungan skor. Skor akhir siswa ditetapkan dengan
jalan membagi skor mentah yang diperoleh dengan skor mentah
195
maksimumnya kemudian dikalikan dengan bobot soal tersebut. Rumus yang
dipakai untuk penghitungan skor butir soal (SBS) adalah :
SBS = xc
Keterangan SBS : skor butir soal
a : skor mentah yang diperoleh siswa untuk butir soal
b : skor mentah maksimum soal
c : bobot soal
Setelah diperoleh SBS, maka dapat dihitung total skor butir soal berbagai
skor total siswa (STP) untuk serangkaian soal dalam tes yang bersangkutan,
dengan menggunakan rumus : ࡿࢀࡼ ൌ σ ࡿࡿ
Keterangan STP : skor total peserta
SBS : skor butir soal
Tabel 10.1 Bobot soal sama, dengan skala 0 sampai dengan 100
Tabel 10.2 Bila STP tidak sama dengan Total Bobot Soal dan Skala 100
196
Pada dasarnya STP merupakan penjumlahan SBS, bobot tiap soal sama
semuanya. Contoh ini berlaku untuk soal uraian objektif dan uraian non-
objektif, asalkan bobot semua butir soal sama.
Pembobotan juga digunakan dalam soal bentuk campuran, yaitu pilihan dan
uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian
ditentukan oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat
berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi
soal bentuk pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir yang terlibat
dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri dari N1 soal pilihan ganda dan N2 soal uraian. Bobot
untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika
seorang siswa menjawab benar n1 pilihan ganda dan n2 soal uraian, maka siswa
itu mendapat skor:
భ మ
ݓଵ ൈ ቂ ൈ ͳͲͲቃ ݓଶ ൈ ቂ ൈ ͳͲͲቃ
ேభ ேమ
Misalkan, suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan
dan 4 buah soal bentuk uraian. Soal pilihan ganda dijawab benar 16 dan
dijawab salah 4, sedang bentuk uraian dijawab benar 20 dari skor maksimum
40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, skor
dapat dihitung:
ଵ
a) Skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan: ଶ × 100 =80
ଶ
b) Skor bentuk uraian adalah: ସ ×100 = 50.
c) Skor akhir adalah: 0,4 × (80) + 0,6 × (50) = 62.
197
1) Menentukan tujuan
Tujuan akan mengarahkan pada langkah pengembangan selanjutnya. Tes
dikembangkan sesuai kebutuhan pengumpulan data aspek-aspek yang
memang menjadi tujuan pengukuran. Misalkan, akan mengembangkan
pedoman penyekoran tes uraian non objektif untuk mengukur kemampuan
pemecahan masalah siswa, akan berbeda dengan pedoman penyekoran tes
untuk mengukur kreativitas berpikir. Tes untuk pengukuran kemampuan
pemecahan masalah harus mampu menggali informasi terkait kompetensi
pemecahan masalah, antara memahami masalah, merumuskan penyelesaian
masalah, melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan menarik
kesimpulan. Begitu juga tes untuk mengukur pemahaman konsep, harus
mampu mengukur domain-domain tentang kreativitas berpikir, misal: berpikir
lancar, luwes, orisinil, terperinci, dan keterampilan menilai.
2) Identifikasi atribut secara spesifik yang ingin dinilai
Pada tahap ini harus diidentifikasi aspek-aspek apa saja yang akan menjadi
fokus penilaian. Jika tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah
maka harus ditetapkan indikator-indikator kunci kemampuan pemecahan
masalah. Contoh lain, jika akan tes untuk mengukur kemampuan kreativitas
berpikir siswa, maka harus ditetapkan apa saja indikator kunci kreativitas
berpikir.
3) Menjabarkan karakteristik yang menggambarkan setiap atribut
Setelah atribut yang akan diukur secara jelas telah teridentifikasi, langkah
selanjutnya adalah menjabarkan karakteristik atribut tersebut. Karakteristik
ini inilah yang selanjutnya akan menjadi poin pencermatan utama dalam
penetapan skor. Misalkan pada pedoman penyekoran tes untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah, karakteristiknya antara lain: kemampuan
memahami masalah, kemampuan merumuskan penyelesaian, kemampuan
melaksanakan penyelesaian, kemampuan menyimpulkan/menafsirkan
penyelesaian
4) Menentukan teknik penyekoran
Agar skor yang diperoleh dapat menggambarkan atribut yang diukur dengan
baik, harus menentukan teknik penyekoran yang tepat. Dapat dipilih salah satu
disesuaikan kebutuhan, analitik atau holistik. Untuk penyekoran tes uraian
198
objektif menggunakan pedoman penyekoran analitik, sedang tes uraian non
objektif menggunakan pedoman penyekoran holistik. Jika pada tes tersebut
terdapat soal uraian objektif sekaligus non objektif, maka dapat digunakan
kedua teknik penyekoran tersebut sesuai dengan masing-masing soal.
5) Menyusun pedoman penyekoran
Penyusunan pedoman penyekoran disesuaikan dengan teknik penyekoran
yang digunakan. Jika teknik penyekoran menggunakan teknik penyekoran
analitik, langkah awalnya adalah membuat kunci jawaban seluruh butir soal.
Selanjutnya menentukan skor setiap soal. Skor setiap soal ditetapkan dengan
menetapkan skor setiap unit. Skor tiap butir diperoleh dengan menjumlah skor
semua unit. Penetapan skor juga perlu memperhatikan bobot masing-masing
butir, sehingga skor akhir mewakili secara proporsional keseluruhan dimensi
yang diukur. Jika menggunakan teknik penyekoran holistik, penyusunan
penyekoran dapat diawali dengan menyusun atribut dan indikator kunci dari
aspek yang diukur. Atribut dan indikator kunci tersebut kemudian dirumuskan
menjadi kategori-kategori untuk menentukan skor jawaban.
6) Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penyekoran
Piloting/ujicoba terbatas penggunaan pedoman penyekoran dilakukan dengan
menggunakannya pada beberapa lembar jawaban siswa.
a. Dilakukan sendiri
Cermatilah aplikabilitas penyekoran, apakah bisa diterapkan atau tidak,
menyulitkan atau tidak, jelas atau tidak, konsisten atau tidak, dan hal-hal
lain yang berhubungan dengan keterbacaannya. Jika masih terdapat yang
belum tepat, informasi dari penggunaan terbatas ini digunakan untuk
perbaikan.
b. Melibatkan orang lain
Ujicoba terbatas dapat dilakukan melibatkan teman guru lain. Mintalah
teman mengoreksi lembar jawaban siswa yang telah dikoreksi tadi dengan
penyekoran yang telah dibuat, sehingga diperoleh dua skor hasil
koreksian. Hasil penyekoran sendiri dan dari teman kemudian
dibandingkan. Jika ternyata terdapat perbedaan yang signifikan antara
skor hasil koreksi sendiri dan dari teman, dan perbedaan tersebut karena
199
pedoman penyekoran yang kurang tepat, maka langkah perbaikan harus
dilakukan berdasarkan data temuan tersebut.
7) Memperbaiki pedoman penyekoran
Perbaikan dilakukan berdasarkan informasi yang ditemukan pada
piloting/ujicoba terbatas. Perbaikan ini dapat meliputi penetapan skornya,
redaksi, pembobotan, atau temuan lain yang dipandang perlu untuk kebaikan
dan kemudahan penggunaan pedoman penyekoran tersebut.
b. Mengembangkan Pedoman Penyekoran
1) Pedoman penyekoran analitik
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pedoman ini digunakan untuk tes bentuk
uraian objektif. Berikut salah satu contoh pengembangan pedoman
penyekoran analitik yang akan digunakan sebagai pedoman penentuan skor
tes untuk mengukur penguasaan kompetensi peserta didik dalam menghitung
volume benda berbentuk balok dan mengubah satuan ukurannya. Misalkan
indikator dan butir soalnya adalah sebagai berikut:
Indikator : Siswa dapat menghitung volum bak mandi berbentuk balok
jika diketahui panjang, sisi, dan tingginya serta mengubah
satuan ukuran.
Butir Soal : Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150
cm, lebar 80 cm, dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi volum
bak mandi tersebut?
Mencermati atribut dan karakteristiknya, teknik penyekoran yang tepat pada
pedoman penyekoran soal di atas adalah penyekoran analitik karena batas
jawaban sudah jelas dan terbatas.
Setelah ditetapkan tujuannya, menentukan atribut yang akan diukur, yaitu
penguasaan kompetensi menghitung volum benda berbentuk balok dan
mengubah satuan ukurnya. Atribut ini kemudian dijabarkan karakteristiknya
menjadi aspek-aspek yang diukur, misal: menentukan rumus yang akan
digunakan, menghitung volum berdasar rumus yang ditetapkan, dan
mengubah satuan.
200
Langkah selanjutnya membuat kunci jawaban secara lengkap diuraikan
dengan menurut urutan tertentu. Bila siswa telah menulis rumus yang benar
diberi skor, memasukkan angka ke dalam formula dengan benar diberi skor,
menghasilkan perhitungan yang benar diberi skor, dan kesimpulan yang benar
juga diberi skor. Skor akhir diperoleh dengan menjumlahkan skor setiap
respon pada soal tersebut.
Pedoman penyekoran
Contoh 1:
Soal:
Diketahui bahwa 5,5, a, b, 11 adalah 5 bilangan berurutan dari kecil ke
besar dan memiliki rata-rata bilangan bulat. Tentukan semua
pasangan nilai (a,b) yang mungkin!
201
Pedoman Penskoran:
Kriteria Skor
Menemukan suatu cara untuk menentukan kemungkinan 0.5
pasangan nilai a dan b tetapi cara tersebut tidak benar
Menemukan suatu cara untuk menentukan kemungkinan 1
pasangan nilai a dan b dan cara tersebut benar tapi kurang
jelas, namun dari 11 kemungkinan hanya berhasil
menemukan 1 hingga 4 kemungkinan
Menemukan suatu cara untuk menentukan kemungkinan 1.5
pasangan nilai a dan b dan cara tersebut benar dan jelas,
namun dari 11 kemungkinan hanya berhasil menemukan 1
hingga 4 kemungkinan
Menemukan suatu cara untuk menentukan kemungkinan 2
pasangan nilai a dan b dan cara tersebut benar tapi kurang
jelas, namun dari 11 kemungkinan hanya berhasil
menemukan 5 hingga 8 kemungkinan
Menemukan suatu cara untuk menentukan kemungkinan 2.5
pasangan nilai a dan b dan cara tersebut benar dan jelas,
namun dari 11 kemungkinan hanya berhasil menemukan 5
hingga 8 kemungkinan
Menemukan suatu cara untuk menentukan kemungkinan 3.5
pasangan nilai a dan b dan cara tersebut benar tetapi
kurang jelas, dari 11 kemungkinan berhasil menemukan 9
hingga 11 kemungkinan, atau justru menuliskan lebih dari
11 kemungkinan
Menemukan suatu cara untuk menentukan kemungkinan 4
pasangan nilai a dan b dan cara tersebut benar dan jelas,
dari 11 kemungkinan berhasil menemukan 9 hingga 11
kemungkinan, atau justru menuliskan lebih dari 11
kemungkinan
202
siswa dimasukkan dalam salah satu kriteria, dan selanjutnya tiap jawaban
diberi skor sesuai dengan kualitas jawabannya.
No a+b a b
1. 9 4 5
2. 14 4 10
3. 14 5 9
4. 14 6 8
5. 14 7 7
6. 19 6 13
7. 19 7 12
8. 19 8 11
9. 19 9 10
10. 24 11 13
11. 24 12 12
203
Jadi pasangan (a,b) yang mungkin adalah: (4,5), (4,10), (5,9), (6,8), (7,
13), (7, 7), (7,12), (8,11), (9,10), (11,13), dan (12,12)
Tentu alternatif penyelesaian ini tidak dimaksudkan untuk rujukan satu-
satunya bagi guru dalam mengkoreksi jawaban siswa. Alternatif ini hanya
digunakan sebagai referensi proses dan hasil penyelesaian yang diperlukan
untuk menyelesaikan soal. Variasi cara penyelesaian yang dihasilkan siswa
harus diakomodir dalam penyekoran berdasarkan pedoman yang telah
disusun. Disinilah pentingnya pedoman holistik yang disusun. Dengan
pedoman penilaian holistik, guru tetap dapat memberikan penghargaan yang
lebih akurat dan berkeadilan untuk seluruh siswa dengan masing-masing cara
penyelesaiannya yang mungkin satu dengan yang lain berbeda.
Contoh 2:
Soal:
Suatu segienam beraturan dan segitiga samasisi memiliki keliling yang
sama. Berapa perbandingan luas segienam beraturan dan segitiga
samasisi tersebut!
Soal di atas dapat diselesaikan dengan beragam cara. Dengan demikian
pedoman penyekoran yang lebih tepat digunakan adalah pedoman penyekoran
holistik. Berikut salah satu bentuk pedoman penyekoran yang dapat
digunakan.
Pedoman penyekoran
KRITERIA SKOR
Menemukan suatu cara menentukan perbandingan luas kedua
bangun, cara penyelesaian tersebut benar dapat digunakan
menentukan perbandingan luas kedua bangun, berhasil 3
menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang tepat, dan
jawabannya ditulis dengan jelas dan komunikatif
Menemukan suatu cara menentukan perbandingan luas kedua
bangun, cara penyelesaian tersebut benar dapat digunakan
menentukan perbandingan luas kedua bangun, serta berhasil
2,5
menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang tepat,
tetapi jawaban yang dituliskan kurang jelas dan kurang
komunikatif
204
Menemukan suatu cara menentukan perbandingan luas kedua
bangun, cara penyelesaian tersebut benar dapat digunakan
menentukan perbandingan luas kedua bangun, tetapi tidak 1
berhasil menyelesaikannya sampai ditemukan jawaban yang
tepat
Menemukan suatu cara menentukan perbandingan luas kedua
bangun, tetapi cara penyelesaian tersebut tidak benar 0,5
205
DAFTAR PUSTAKA
206
Goethals. P.L. 2013. The Pursuit of Higher-Order Thinking in the
Mathematics Classroom: A Review. Review submitted in partial
fulfillment of the Master Teacher Program, a 2-year faculty
professional development program conducted by the Center for
Faculty Excellence, United States Military Academy, West Point,
NY, 2013
Gouveia, V. & Valadares, J. 2004. Concept Maps: Theory, Methodology,
Technology. Proc. of the First Int. Conference on Concept
Mapping A. J. Cañas, J. D. Novak, F. M. González, Eds.
Pamplona, Spain
Gulikers, J.T.M., Bastioens, T.J. & Kirschner, P.A. 2010. A Five-
Dimensional Framework for Authentic Assessment. Artikel
termuat pada Educational Technology Research and
Development, Vol. 52, No. 3 (2004), pp. 67-86
Hadi, S. & Rodiyatul. 2014. Metode Pemecahan Masalah Menurut Polya
untuk Mengembangkan Kemampuan Siswa dalam Pemecahan
Masalah Matematis di Sekolah Menengah Pertama. EDU-MAT
Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 2, Nomor 1, Pebruari
2014, hlm 53 - 61
Hartono, Y. 2014. Matematika, Strategi Pemecahan Masalah.Yogyakarta:
Graha Ilmu
Haryati. 2013. Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: Referensi
Hendriana, H., Roheti, E.E., & Sumarno, U. 2017. Hard Skills dan Soft
Skills Matematik Siswa. Bandung: PT Refika Aitama
Iryanti, P. 2004. Penilaian Unjuk Kerja. Paket Pembinaan Penataran
PPPPTK Matematika
Jaelani, A.K. 2013. Pengembangan Alat Penilaian Autentik dalam
Pembelajaran Geometri Di Kelas VIII SMP. Tesis pada Program
Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, Tahun 2013
Jaelani & Retnawati, H. 2015. Mengembangkan Model dan Perangkat
Pembelajaran Matematika Berbasis Higher Order Thinking Skills
(HOTs) dan Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Laporan penelitian
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Jan de Lange. 1999. Framework For Classroom Assessment In Mathematics.
Freudenthal Institute & National Center for Improving Student
Learning and Achievement in Mathematics and Science
207
Karniasih, I. 2014. Authentic Assessment Of Student Learning Mathematics
With Technology. Makalah Disampaikan Pada International
Conference On Educational Research And Evaluation (ICERE)
2014
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2004. Pedoman Umum
Pengembangan Penilaian. Jakarta: Direktorat Pendidikan
Menengah Umum
. 2013. Panduan Panduan Teknis Pembelajaran Remedial dan
Pengayaan di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan SD – Direktorat Pendidikan Dasar
. 2015. Panduan Penilaian untuk Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Jakarta: Dit. Pembinaan SMP – Ditjen Pendidikan Dasar
dan Menengah
. 2017. Panduan Penilaian Hasil Belajar Pada Sekolah Menengah
Kejuruan. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK
. 2017. Panduan Penilaian oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan
Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA
. 2017. Panduan Penilaian HOTs. Jakarta: Diraktorat Guru dan
Tenaga Kependidikan
Khuluqo, I.E. 2017. Belajar dan Pembelajaran: Konsep Dasar, Metode dan
Aplikasi Nilai-Nilai Spiritualitas dalam Proses Pembelajaran.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
King, F.J., Goodson, L., and Rohani, F. 1998. Higher-Order Thinking Skills:
Definitions, Strategies, and Assessment. Retrieved from:
http://www.cala.fsu.edu/files/higher_order_thinking_skills.pdf.
Kolovou, A. 2011. Mathematical Problem Solving in Primary School.
Utrecht: Freudenthal Institute for Science and Mathematics
Education, Faculty of Science, Utrecht University /FIsme
Scientific Library (formerly published as CD-β Scientific
Library), no 66, 2011.
Kunandar. 2014. Penilaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik
Berdasarkan Kurikulum 2013): Suatu Pendekatan Praktis
Disertai Dengan Contoh. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Kusrini, O. & Siswono, T.Y.E. 2002. Penilaian Unjuk Kerja. Makalah
Referensi dalam Overseas Fellowship Program Contextual
Learning Materials development, Proyek Peningkatan Mutu SLTP
Jakarta oleh Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen Departemen
208
Pendidikan Nasional kerjasama dengan University of washington
College of education, UNESA Surabaya, UM Malang dan LAPI-
ITB. 1 Pebruari – 8 Maret dan 8-30 April 2002 di Surabaya
Lesh, R. & Lemon, S.J. 1992. Assessment of AuthenticPerformance in
School Mathematics. United Stated of America: AAAS Press
Mainali, B.P. 2012. Higher order thinking in education. A Multidisciplinary
Journal, 2(1), 5 – 10
Maisah. (2011). Analisis Kebijakan tentang Standarisasi Kompetensi Guru:
Studi pada Guru MTs Negeri dan Swasta di Lingkungan
Kementerian Agama Kota Jambi. Jurnal Media Akademika, Vol.
26, No. 4, Oktober 2011, hal. 477 – 497
Majid, A. 2015. Penilaian Autentik Proses dan Hasil Belajar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Mardapi, 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes. Jogyakarta:
Mitra Cendikia Offset
. (2016). Pengukuran, penilaian, dan evaluasi pendidikan.
Yogyakarta: Parama Publishing
Marks, J. M. dkk. 1975. Teashing Elementary school mathematics for
understanding. United States of America: McGraw-Hill, Inc
Mercer. 1989. Teaching Students With Learning Problems. United States of
America: Merrill Publishing Company
Miller, P.W. 2008. Measurement and Teaching. United Stated of America:
Patrick W. Miller and Associates
Morgan, C. 2013. Criteria for Authentic Assessment of Mathematics:
Understanding Success, Failure and Inequality. Artikel termuat
pada jurnal Quadrante, Vol. 12, Nº 1, 2003
Nugrahaningsih. 2012. Metakognisi Siswa SMA Kelas Akselerasi Dalam
Menyelesaikan Masalah Matematika. Magistra No. 82 Th. XXIV
Desember 2012
OECD. (2009). Teacher Evaluation: A Conceptual Framework and examples
of Country Practices. Paper was prepared for presentation at the
OECD-Mexico Workshop Towards a Teacher Evaluation
Framework in Mexico: International Practices, Criteria and
Mechanisms, held in Mexico City on 1-2 December 2009
Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru
209
Permendiknas No. 20 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Permendiknas No. 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi
Pitman. 1999. Assumptions and Origins of Competency-Based Assessment:
New challenges for Teachers. Makalah disampaikan pada
Conference of the Australian Association for Research in
Education, and the New Zealand Association for Research in
Education, di Melbourne, November 1999
Polya, G. 1973. How to solve it; A New Mathematical Method. New Jersey:
Princeton University Press
Purwanto. 2009. Evaluasi hasil belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahdiyanta, D. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (Pengertian
dan Konsep KBK).Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Implementasi KBK di FT-UNY, tanggal 11-12 Agustus 2003
Reys, R.E, dkk. 1998. Helping Children Learn Mathematics. United States
of America: Allyn & Bacon
Riedesel, A.C., Schwartz, J.E. & Clements, D.H. 1996. Teaching elementary
school mathematics. United States of America: Allyn & Bacon
Romberg, T. A., Zarinnia, E. A., & Collis, K. F. (1990). A new worldview of
assessment in mathematics. In G. Kulm (Ed.), Assessing higher
order thinking in mathematics (pp. 21–38). Washington, DC:
American Association for the Advancement of Science
Sani, R.A.. 2016. Penilaian Autentik. Jakarta: PT Bumi Aksara
Subali, B. 2012. Prinsip Asesmen dan Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta:
UNY Press
Sudiyanto, Kartowagiran, B, & Mahyudi. 2015. Pengembangan Model
Assessment As Learning Pembelajaran Akuntansi di SMK. Jurnal
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Volume 19, No 2, Desember
2015 (189-201) Tersedia Online:
http://journal.uny.ac.id/index.php/jpep
Sumantri. 2015. Strategi Pembelajaran: Teori dan Praktik Di Tingkat
Pendidikan Dasar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Suprihatiningrum, J. 2016. Strategi Pembelajaran: Teori dan aplikasinya.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suryabrata, S. 1998. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi
Offset
210
Tambychik,T. & Meerah, T.S.M. 2010. Students’ Difficulties in Mathematics
Problem-Solving: What do they Say?. International Conference
on Mathematics Education Research 2010 (ICMER 2010)
Tanner, H. & Jones, S. 2000. Becoming a successful teacher of mathematics.
New York: RoutledgeFalmer
Teodorescu. 2006. Competence Versus Competency: What is The
Difference?. Performance Improvement, vol. 45, no. 10, Nov/Dec
2006
Umpstead, B. & Sutton, M. 2017. Competency-Based Eduducation. Section
21g Competency Based Eduction Transscript Pilots: A Public-
Private Partnership between The Michigan Center of Innovation
for Education (CIE) and Michigan Asspciation of Intermediate
School Administration (MAISA)
Uno, H.B., dkk. 2001. Pengembangan Instrumen untuk Penelitian. Jakarta:
Delima Press
Van den Heuvel-Panhuizen. 1996. Assessment and Realistic Mathematics
Education. Utrecht: Technipress, Culemborg
------------------------------------------. 2001. Towards a didactic-based model
for assessment design in mathematics education. Proceedings of
2001 The Netherlands and Taiwan Conference on Mathematics
Education, Taipei, Taiwan, 19 – 23 November 2001.
Vathanophas. 2007. Competency Requirements for Effective Job
Performance in The Thai Public Sector. Jurnal Contemporary
Management Research, hal 45-70, Vol.3 , No.1, March 2007
Wardani, S. 2010. Teknik Pengembangan Instrumen Penilaian Hasil Belajar
Matematika Di SMP/MTs. Bahan pelatihan Diklat Guru
Pemandu/Guru Inti/Pengembang Matematika SMP Jenjang Dasar
Tahun 2010 PPPPTK Matematika
Wardani, S. & Rumiyati. 2011. Instrumen Penilaian Hasil Belajar
Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMMS. Yogyakarta:
PPPPTK Matematika
Widana, I.W. 2017. Modul Penyusunan Soal Higher Order Thinking Skils
(HOTs). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas,
Kemdikbud
211