Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah : Psikologi Agama

Dosen Pengampu: Basti Tetteng, S.Psi., M.Si


Muhrajan Piara, S.Psi., M.Sc

KEBUTUHAN MANUSIA AKAN TUHAN DAN AGAMA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2 (G)
A. MUHAMMAD FADLI AJRA (1871042093)
RISA DAMAYANTI (1971040031)
RIZKY RAHMAWATI SAUDI (1971042065)
SITI FATIMAH ABDUL LATIF (1971042073)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
KEBUTUHAN MANUSIA AKAN TUHAN DAN AGAMA

A. The Four Wishes Theory dari Thomas


Potensi beragama berjalan sesuai dengan perkembangan psikologi pada
individu. Individu akan mengenal kata Tuhan lewat dari Bahasa yang
dikeluarkan oleh lingkungan sekitarnya. Adapun faktor yang mempengaruhi
seorang individu dalam beragama yakni: kebutuhan, pengaruh-pengaruh
sosial, berbagai pengalaman, dan juga proses pemikiran. Adapun teori yang
dikemukakan oleh Thomas, yang mengatakan bahwa manusia membutuhkan
empat kebutuhan pokok sehingga teori ini dikenal dengan Four Wishes,
dimana empat kebutuhan tersebut adalah:
1. Keinginan untuk Pengalaman Baru (New Experience Wish)
2. Keinginan untuk Keamanan (Security Wish)
3. Harapan untuk Respon (Response Wish)
4. Keinginan untuk Pengakuan (Recognition Wish)
Dari keempat kebutuhan tersebut maka timbullah ketergantungan antara
manusia terhadap manusia dan manusia terhadap Tuhannya. Pada awalnya
individu beranggapan bahwa orang tuanya dapat memenuhi segala
kebutuhannya. Namun, pada akhirnya individu akan sadar bahwa orang
tuanya memiliki kebatasan dalam memenuhi kebutuhannya dan memerlukan
dzat yang lebih kuat dari orang tuanya dan juga yang lebih hebat dari manusia
yaitu Tuhan. Berdasarkan proses sosialisasi yang dikemukakan oleh Thomas,
maka akan muncul rasa keagamaan pada individu.

B. Teori Konflik dari Stratton


George M. Stratton mencetuskan teori konflik. Stratton menjelaskan
bahwa konflik kejiwaan manusia menjadi sumber kejiwaan agama. Situasi
yang bertentangan menyebabkan terjadinya konflik dalam diri manusia,
contohnya seperti pertentangan antara baik dan buruk, benci dan sayang,
moral dan immoral, dan lain sebagainya. Dampak dari pertentangan tersebut
dapat dilihat dari dua sisi yaitu membawa kemajuan atau membawa
kemunduran (kerugian). Manusia yang memiliki konflik kejiwaan akan
bekerja keras mencari solusi untuk mengatasi konflik tersebut. Sering kali
manusia menemukan pandangan baru dalam menyelesaikan sebuah konflik
sehingga manusja dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sedangkan,
konflik dapat membawa kemunduran jika manusia tidak mampu untuk
menyelesaikan masalahnya. Sehingga jika konflik dirasa sudah mencekam
pada diri manusia dan juga mempengaruhi kejiwaannya, maka ia akan
mencari Tuhan sebagai kekuatan yang Maha Tinggi.
Freud mengungkapkan bahwa ada dua bentuk kejiwaan yang mendasar
dalam diri manusia yaitu life-urge dan death-urge.
 Life-urge merupakan keadaan dimana manusia ingin untuk
mempertahankan kelangsungan hidup yang dulu agar bisa terus berlanjut.
 Death-urge merupakan keinginan untuk kembali pada keadaan semula
sebagai benda mati (anorganis).

Menurut Stratton, konflik yang positif tergantung dari adanya dorongan


pokok sebagai basic-urge (dorongan dasar) yaitu kondisi yang menyebabkan
terjadinya konflik. Dalam kehidupan keagamaan ini, diketahui bahwa
terdapat dorongan life-urge secara positif sehingga individu yang beragama
mengamalkan ajaran agamanya dengan keikhlasan, juga didorong oleh
ketakutannya akan death-urge (kematian). Sehingga individu akan
meningkatkan perbuatan baiknya, mengharapkan umur panjang (life-urge),
dan jika meninggal maka individu akan mendapatkan tempat yang baik di
sisiku Tuhan (death-urge).
Life-urge membawa penganut agama kearah pandangan yang lebih
positif dan liberal sehingga pada life-urge ini akan timbul dorongan untuk
mengamalkan agamanya dengan ketaatan dan keikhlasan sehingga dapat
disenangi oleh manusia dan Tuhan, serta meminta agar dipanjangkan
umurnya.
Sedangkan death-urge membawa ke arah sikap yang pasif dan
konservativisme (jumud) karena mereka cenderung hanya memikirkan
kehidupan akhirat saja (dianggapnya dengan ibadah saja yang semakin tekun
akan dipastikan hidupnya di akhirat akan bahagia) pemikiran seperti itu
berdampak pada kehidupannya di dunia yang tidak dinamis.
C. Teori Clark: Gabungan dari Stratton dan Freud: Konflik Eros dan
Thanatos
Eros dan Thanatos merupakan dua hal yang berlawanan, dimana Eros
menjadi “kekuatan kehidupan dan penciptaan” sedangkan Thanatos adalah
“kekuatan kematian dan kehancuran”. Menurut Freud, merujuk pada
pandangan Plato, bahwa Eros digambarkan sebagai cinta murni, yang tidak
melibatkan kecantikan fisik tetapi kecantikan batin dalam diri individu,
dimana kecantikan terbesar adalah abadi yang kemudian mencapai bentuk
idealnya. Menurut Freud bahwa Eros tidak hanya dorongan seks tetapi juga
sebagai naluri kehidupan seperti haus dan lapar. Eros diasosiasikan dengan
perilaku yang mendukung keharmonasikan antar manusia, seperti adanya
Kerjasama. Jadi, Eros menurut Freud merupakan kumpulan dari semua emosi
dan tindakan yang membuat manusia mempertahankan hidupnya serta
menciptakan kehidupan baru.
Thanatos merupakan dorongan untuk merusak kehidupan atau dorongan
kematian. Menurut Freud bahwa individu yang menginginkan kematian untuk
mencapai kedamaian sejati karena hanya kematian yang dapat membebaskan
mereka dari perjuangan hidup. Naluri kematian dapat muncul ketika individu
sangat bahagia untuk saat ini dan ingin waktu berhenti pada saat itu juga atau
ketika sesuatu atau seseorang menghalangi kebahagiaan mereka. Pada situasi
seperti itu, insting kehidupan dapat berubah menjadi insting kematian atau
dengan kata lain Eros dapat mendukung Thanatos dalam kasus tertentu. Pada
beberapa kasus, Thanatos ada ketika individu merasa putus asa dan membuat
mereka merasakan dorongan yang kuat untuk mati. Dalam hal ini, Thanatos
tidak hanya menyebabkan kehancuran diri sendiri tetapi dapat berefek pada
orang lain pula (cedera dan kematian). Salah satu contoh dari Thanatos ialah
ketika individu merusak dirinya, seperti merokok, dan pola kehidupan yang
tidak sehat lainnya.
Eros dan Thanatos saling berhubungan erat, dimana Eros tidak
selamanya selalu positif dan Thanatos tidak selamanya pula berarti negatif.
Seperti ketika Eros sebagai dorongan lapar, untuk mengatasi lapar itu kita
memerlukan makanan maka kita perlu menghancurkan seperti menyembelih
hewan untuk dimakan.
Menurut Freud, bahwa penggerak utama kesadaran manusia merupakan
insting kehidupan yang biasa disebut dengan libido, dengan libido yang
paling banyak pada manusia ialah libido seksual. Dorongan libido seksual ini
sangat kuat hingga dapat mengatasi alam pikiran dan ruang gerak manusia.
Menurut Freud bahwa agama terlalu banyak mengadakan larangan kepada
manusia, dan menjadi penghalang berjalannya tekanan-tekanan psikologis,
dimana tekanan yang mengendap di bawah sadar itu disalurkan lewat logika.
Dilihat dari pandangan Freud bahwa manusia hanya sebagai makhluk
biologis, dimana manusia tidak lebih dari hewan. Manusia dalam hal ini tidak
berbeda dengan makhluk hidup hewan yang bergerak dan hidup hanya atas
dasar instingnya saja yakni eros dan Thanatos, sehingga nilai yang ada pada
diri manusia ialah hanya mekanisme pertahanan diri. Hal ini menunjukkan
bahwa Freud menganggap manusia tidak memiliki kebaikan dalam dirinya
karena ketika lahir manusia hanya memiliki dua insting yakni eros dan
Thanatos.
Dalam kehidupan, manusia tidak bisa hanya hidup berdasarkan teori
eros dan Thanatos saja. Manusia merupakan makhluk yang berakal dan tidak
dapat disamakan dengan hewan. Dengan adanya eros dan Thanatos, maka
dibutuhkan Tuhan dan agama untuk menstabilkan kedua hal tersebut, dimana
ketika individu hanya memiliki kedua insting tersebut untuk hidup dan tidak
ada aturan atau larangan yang membatasinya maka akan hilang nilai kebaikan
dan moral yang dimiliki manusia. Pembentukan nilai kebaikan dan moral
yang tidak didasari oleh kepercayaan akan Tuhan dan agama akan membuat
terciptanya tatanan dunia yang tidak adil dan tidak bertanggung jawab. Hal
itu juga akan memunculkan inidividu atau manusia yang hanya
mementingkan diri sendiri dan akan menciptakan konflik dalam memenuhi
kenikmatan atau kepuasan dunia tanpa batas. Munculnya kehidupan seperti
ini tentunya akan mengancam masa depan individu karena setiap manusia
hanya akan menuruti insting eros dan Thanatos nya untuk memenuhi
kepentingan masing-masing tanpa adanya kekhawatiran akan
pertanggungjawaban dan sanksi moral yang akan diterima di hari kemudian.
Manusia sebagai makhluk yang berakal tentunya dapat
menggunakannya dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada di
hidupnya selama di dunia, juga dengan adanya eros dan Thanatos dapat
memenuhi kebutuhan hidup manusia yang bersifat fisik-duniawi. Sedangkan
untuk memecahkan masalah terkait dengan aspek ruhaniahnya, agama
dibutuhkan dalam hal ini, dimana agama dapat memberikan solusi yang baik
bagi persoalan yang dihadapi manusia.

D. Teori Sixth Sense dari Rudolf Otto: Numinous Experience


Agama terbentuk dari keyakinan akan kuasa ilahi. Ini lah konsep dasar
jika kita kita ingin medikusikan Rodolf Otto. Pertanyaan yang paling
mendasar sebelum kita berbicara lebih jauh adalah mengapa manusia tidak
bisa lepas dan selalu bergantung pada agama. Banyak sekali para atheis yang
tidak mengakui keberadaan agama, lebih-lebih keberadaan Tuhan itu sendiri.
Namun dalam hal tertentu tanpa di sadari ia akan mengakui akan keberadaan
sesuatu diluar dirinya yang lebih kuat ketika dihadapkan pada masalah
tertentu yang logika tidak dapat memecahkannya. Salah satu contoh yang
paling lekat kita kenal adalah firaun menyeru kepada Tuhan pada waktu akan
mati tenggelam.
Rudolf Otto dalam hal ini menyebutnya dengan the Holy atau yang
“kudus”. Ada kekuatan di dalam diri manusia yang mengendalikan manusia
itu sendiri. Agama atau kepercayaan menyatakan bahwa dunia ini
dipersiapkan dan bergantung pada penyelenggaraan Ilahi. Ada suatu sisi lain
yang tidak tampak pada manusia. Munculnya kesadaran dalam diri manusia
mengandaikan suatu keterbukaan akal budi manusia pada kenyataan.
Rudollf Otto mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada struktur
apriori yang dapat memahami terhadap keberadaan Tuhan. Nah, keterbukaan
itu lah yang menjadi dasar mengapa orang beragama. Untuk tahapan
selanjutnya, keyakinan ini diungkapkan dalam berbagai kegiatan religius
seperti doa dan ibadat. Tuhan menjadi dasar dan tujuan setiap agama dan
kepercayaan.
Pengalaman hidup menjadi titik tolak hidup religius atau beragama.
Tidak hanya sekarang orang-orang menghadapi kenyataan hidup yang tidak
dapat ditangkap secara rasional. Yang terjadi karena adalah melampaui daya
nalar manusia. Misteri tersebut tidak sama dengan teka-teki. Ia adalah misteri
besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat disangkal
kebenarannya dalam pengalaman manusia.

The Sixth Sense : Nominous Experience


Rudolf Otto mengatakan mengapa rasa dalam diri manusia hingga ia
tidak bisa lepas dari agama. Hal tersebut di sebabkan oleh adanya perasaan
numininous. Perasaan numinous bersifat irrasional, tersembunyi dan
membentuk suatu keadaan psikologi yang pali dasar dalam jiwa. Perasaan
nominuos berbeda dengan perasaan yang mungkin membingungkan.
Perasaan nominuos yang memiliki ciri rasionalitas menunjukkan bahwa
setiap pengalaman religius tidak bisa dikonsepkan, tidak dalam rasionalitas,
tetapi dipahami walau demikian adanya. Ada dua aspek dalam perasaan
nominous: pertama, perasaan takut yang religius yang kemudian disebut
dengan tremendum. Kedua, perasaan terpesona yang kemudian disebut
dengan fascinans.
Dalam hal tersebut, keberadaan yang kudus atau yang ilahi merupakan
misteri. ia serentak tampak sebagai kekuatan yang menakutkan dan
mengagumkan. Hal itu terjadi karena Ia berlainan sama sekali dari manusia.
Sedangkan perasaan Numinous yang menampakkan diri memunculkan
perasaan gentar/takut dari manusia terhadap-Nya.
Menurut Otto, rasa takut dan gentar yang terdapat dalam jiwa manusia
bukanlah bersumber dari murka Yang Ilahi melainkan realitas Yang Kudus,
yang tidak dapat dimasuki. Yang Kudus itu dialami sebagai sesuatu yang
berkuasa atas segala sesuatu. Ia tampak sebagai yang mulia. Di hadapan
kemuliaan Yang Kudus tersebut, kita hanya bisa sujud dan hormat karena kita
merasa lemah dan kecil.
Namun demikian, meskipun Yang Kudus melebihi manusia dan berada
di luar lingkup yang biasa, Ia tidak dialami sebagai yang asing. Manusia
dapat mengenal dan mengerti serta merasa dekat dengan-Nya. Secara tidak
rasional yang kudus dialami sebagai sesuatu yang menarik. Yang Kudus
dilihat sebagai suatu wujud yang penuh kebaikan, kegaiban, belas kasihan,
dan rahmat. Rasa kagum dan terpesona tersebut mendorong manusia untuk
menjalin relasi yang akrab dengan-Nya.

Yang Kudus
Menyebut beragama berarti menyembah kekuatan-kekuatan yang
diyakini lebih tinggi dari hidup, karena menguasai hidup atau sebagian dari
hidup. Dalam beragama secara demikian, orang zaman purbakala bukan
hanya mengungkapkan keyakinan tentang adanya yang maha tinggi,
melainkan juga tentang manusia dan tentang alam yang menjadi ungkapan
hidup manusia.
Berbicara tentang yang kudus maka sangat luas cakupannya. Akan
tetapi dalam kontek pengertian yang umum, Yang Kudus dapat dipahami ke
dalam dua pemahaman: pemahaman dalam arti luas dan dalam arti
sempit.Secara luas yang kudus adalah sesuatu yang terlindung dari
pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Dalam pengertian yang sempit,
Yang kudus hanya dilihat dalam konteks agama. Yang Kudus dilihat sebagai
sesuatu yang suci dan keramat.
Dalam pengertian yang lebih luas juga, Yang Kudus dipahami sebagai
sesuatu yang dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Maka, yang
kudus tidak hanya terbatas pada agama tetapi banyak objek, baik yang
bersifat keagamaan maupun bukan.
Maka, sejatinya apa yang dikatakan oleh kalangan atheis bahwa ia tidak
butuh terhadap Tuhan ataupun agama dipenuhi dengan keegoisan dan hanya
eksistensi belaka agar ia dikenal oleh orang. Sebenaranya, di dalam
kedalaman hati mereka mengakui adanya kekuatan diluar dirinya yang setiap
waktu mendampingi dan mengendalikannya.
E. Kebutuhan Beragama Bagi Manusia Dalam Pandangan Agama Islam
1) Latar Belakang Kebutuhan Manusia akan Agama
a. Fitrah Manusia
Dalam konteks hal ini di antara ayat al-Qur’an dalam surat ar-
Rum ayat 30 bahwa ada potensi fitrah beragama yang terdapat pada
manusia. Dalam hal ini dapat ditegaskan bahwa insan adalah manusia
yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak
diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang
sempurna bentuknya dibanding dengan makhluk lainnya sudah
dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran
dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya. Lebih jauh Musa Asy’ari
dalam buku Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an yang
dikutip oleh Nata bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang
dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan
manusia yang amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan
akalnyadan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan
konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan
dalam al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian
lahiriyahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat
tinggal, hidup yang kemudian mati.
Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki oleh manusia
itu dapat dijumpai dalam ayat 172 surat al-A’raf bahwa manusia
secarafitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk
beragama.Hal demikian sejalan dengan hadits Rasulullah SAW yang
menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi
beragama). Bukti historis dan atropologis bahwa pada manusia primitif
yang padanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata
mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka
percayai itu terbatas pada daya khayalnya. Mereka misalnya,
mempertuhankan benda–benda alam yang menimbulkan kesan
misterius dan mengagumkan. Kepercayaan yang demikian selanjutnya
disebut dengan dinamisme.
Beberapa hipotesis yang diajukan mengenai pertumbuhan agama
pada manusia. Sebagian mengatakan bahwa agama adalah produk
rasatakut dan sebagai akibatnya terlintaslah agama dalam kehidupan
manusia. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah produk
dari kebodohan. Hal ini sesuai dengan wataknya selalu cenderung untuk
mengetahui sesuatu yang terjadi di alam ini. Hipotesis lainnya
mengatakan bahwa agama adalah pendambaannya kepada keadilan dan
keteraturan, ketika manusia menyaksikan banyaknya kezaliman dan
ketidakadilan dalam masyarakat dan alam. Agama mengambil bagian
pada saat- saat yang paling penting dan pada pengalaman hidup. Agama
mengesahkan perkawinan, agama berada dalam kehidupan pada saat-
saatyang khusus maupun pada saat-saat yang paling mengerikan
(Keene: 6).
“Dengan demikian manusia sepanjang masa senantiasa beragama,
karena manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah beragama yang
oleh C. G. Jung disebut naturaliter religiosa (bakat beragama).” (Arifin:
1998: 8). Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa latar belakang
perlunya manusia pada agama karena dalam diri manusia sudah
terdapat potensi untuk beragama. Potensi beragama ini perlu
pembinaan, pengarahan, pengembangan dengan cara mengenalkan
agama kepada setiap manusia.

b. Kelemahan dan Kekurangan Manusia


Kedua, kelemahan dan kekurangan manusia. Menrut Quraish
Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an, nafs diciptakan Allah
dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong
manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam
manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian
lebih besar. Diantara ayat yang menjelaskan hal ini terdapat dalam surat
al-Syams ayat7-8, bahwa “Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan,
Allah mengilhamkan kepadanya kafasikan dan ketaqwaan”.
Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti
potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk.
Disini berbeda dengan terminologi kaum Sufi bahwa nafs adalah
sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan prilaku buruk dan dalam hal
ini sama dengan pengertian yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Lebih jauh Qurash Shihab berpendapat bahwa kendati pun
nafs berpotensi positif dan negatif, namun diproleh pula isyarat bahwa
pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi
negatifnya, hanya saja dorongan dan daya tarik keburukan lebih kuat
dari pada daya tarik kebaikan.
Dalam literatur teologi Islam kita jumpai pandangan kaum
Mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak mendahulukan akal dalam
memperkuat argumentasinya dari pada wahyu. Namun demikian,
mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki kelemahan.
Akal memang dapat mengetahui yang baik dan buruk, tetapi tidak
semua yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Dalam hubungan
ini, kaum Mu’tazilh mewajibkan kepada Tuhan agar menurunkan
wahyu dengan tujuan agar kekurangan akal dapat dilengkapi oleh
wahyu dalam ini agama. Dengan demikian secara tidak langsung kaum
Mu’tazilah memandang bahwa manusia memerlukan wahyu (agama).

c. Tantangan Manusia
Ketiga, tantangan manusia. Faktor lain yang menyebabkan
manusia memerlukan agama karena manusia dalam kehidupannya
menghadapi berbagai tantangan baik yang datang dari dalam amupun
dariluar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu
danbisikan setan (lihat QS 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar
dapatberupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang
secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
Merekadengan rela mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran yang
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya
mengandung misi menjauhkan manusia dari tuhan. Kita misalkan
membaca ayat yang berbunyi “Sesungguhnya orang- orang kafir itu
menafkahkan harta mereka untuk menghalangi orang dari jalan Allah
(QS. al-Anfal: 36).
Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat- obat terlarang dan lain
sebagainya dibuat dengan sengaja.” Pada zaman semakin sekuler ini
agama memainkan peranan penting terhadap kehidupan berjuta-
jutamanusia” (Keene: 6). Untuk itu upaya mengatasi dan membentengi
manusia adalah dengan mengajarkan mereka agar taat menjalankan
agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, sangat meningkat,
sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.

2) Fungsi dan Kedudukan Agama dalam Kehidupan Manusia


Pada zaman yang semakin sekuler ini, agama memainkan
peranpenting terhadap kehidupan berjuta-juta manusia (Keene: 2006: 6).
Penyelidikan-penyelidikan menyatakan bahwa lebih dari 70% penduduk
dunia menunjukkan bahwa mereka menganut salah satu agama. Diseluruh
Eropa Timur, misalnya, semakin banyak orang mengikuti ibadat di
Sinagoga, Mesjid, Kuil, dan Gereja. Dibanyak tempat di dunia, imam, rabi
dan pendeta bekerja bersama- sama untuk menciptakan dunia yang
semakin baik dan damai. Sementara itu, perbedaan-perbedaan agama juga
sering menjadi pusat ketidaktenangan internasional dan ketidak
ketenteraman penduduk, seperti yang terjadi pada bekas negara
Yugoslavia, Timur tengah dan Irlandia Utara.
Agama mengambil bagian pada saat-saat yang paling penting
danpada pengalaman-pengalaman hidup. Agama merayakan kelahiran,
menandai pergantian jenjang masa dewasa, mengesahkan perkawinan serta
kehidupan berkeluarga, dan melapangkan jalan dari kehidupan kini
menuju kehidupan yang akan datang. Agama juga memberikan jawaban-
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, seperti
bagaimana kehidupan dimulai, mengapa orang menderita, apa yang terjadi
terhadap manusia jika sudah mati. Mengingat semuanya ini kiranya tidak
mengherankan jika agama memberikan banyak inspirasi terhadap karya-
karya terbesar dunia ini seperti dalam seni, musik dan literatur (Keene : 7).
Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan manusia sebagai pedoman,
aturan dan undang-undang Tuhan yang harus di taati dan mesti dijalankan
dalam kehidupan. Agama sebagai way of life, sebagai pedoman hidup yang
harus diberlakukan dalam segala segi kehidupan. Orang yang beragama
dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, menguasai nafsunya sesuai dengan
ajaran agama. Orang yang beragama cendrung berbuat baik sebanyak-
banyaknya, dengan hartanya, tenaganya dan pikirannya. Dan dia akan
berusaha sehabis daya upayanya untuk menghindarkan dirinya dari segala
perbuatan yang keji dan munkar. Selain itu agama merupakan unsur
mutlak dalam pembinaan karakter pribadi dan membangun kehidupan
sosial yang rukun dan damai (Rousydiy: 1986 90-92).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim
Arifin, H. M. (1998). Menguak Misteri Ajaran Agama Agama Besar. Jakarta:
Golden Trayon Press).
Colyer, C. J. (2015). W.I. Thomas and the Forgotten Four Wishes: A Case Study
in the Sociology of Ideas. American Sociologist, 46(2), 248–268.
https://doi.org/10.1007/s12108-014-9251-8
Gumiandari, S. (2012) Dimensi Spiritual dalam Psikologi Modern: Psikologi
Transpersonal sebagai Pola Baru Psikologi Spiritual. Conference
Proceedings: Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS)
XII. Diakses dari http://digilib.uinsby.ac.id/
Hamali, S. (2013). Sumber Agama Dalam Perspektif Psikologis. KALAM, 7(1),
163-182.
Keene, M. (2006). Agama- Agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius).
Mardan, Mardan & Halim, Wahyuddin. (2011). Islam untuk Disiplin Ilmu
(Sebuah Pengantar). Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar.
Diakses dari http://repositori.uinalauddin.ac.id/id/eprint/1635
Mariasusai, D. (1995). Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Muhammadin. (2013). Kebutuhan Manusia terhadap Agama. Diakses melalui
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php Pada 11 Oktober 2021.
Muslihah, E., Fauzi, A., Alwi, M. M., & Nadhiroh, Y. F. (2013). Modul Psikologi
Agama. FTK IAIN SMH. Diakses melalui
http://repository.uinbanten.ac.id/581 Pada 11 Oktober 2021.
Nata, A. (2011). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rousydiy, T. A Lathief. (1986). Agama Dalam Kehidupan Manusia. Medan:
Rambow.
Theo Huijbers. (1982). Manusia Mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan.
Yogyakarta: Kanisius.
https://www.pdfdrive.com/kebutuhan-manusia-terhadap-agama-ersoalan-utama-
yang-dibicarakandalam-bab-ini-d54506341.html

Anda mungkin juga menyukai