Disusun Oleh:
dr. Muhammad Wahyu Setiani
Dokter Internsip Puskesmas Sukmajaya
1
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Mini Project ini telah disetujui sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Surat
Rekomendasi Penerbitan Surat Tanda Selesai Internsip.
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang karena atas segala limpahan berkah dan rahmat-Nya lah laporan mini project
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Surat Rekomendasi Penerbitan Surat Tanda
Selesai Internsip yang berjudul “GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN
PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP TANAMAN OBAT KELUARGA (TOGA)
DI KECAMATAN SUKMAJAYA DEPOK” ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis
juga banyak mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan
mendukung penulisan laporan ini. Adapun pihak-pihak tersebut adalah:
1. dr. Rr. Sih selaku Kepala Puskesmas Sukamjaya, yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk dapat melaksanakan mini project di lingkungan Kecamatan
Sukamjaya Depok.
2. dr. Toni selaku dokter pendamping internsip, yang telah memberikan bimbingan dan
dukungan yang tak henti-hentinya kepada penulis untuk menyelesaikan mini project
yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program internsip dokter.
3. Pak Tito selaku pemegang program yang telah memberikan sumbangsih ide, tenaga,
dukungan material maupun non-material yang sangat bermakna dalam penyelesaian
mini project.
4. Seluruh civitas pegawai Puskesmas Sukmajaya yang tidak dapat saya sebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan dukungan material maupun non-material selama
penulis melaksanakan mini project.
Penulis berharap laporan mini project ini dapat memberikan gambaran pengetahuan,
sikap, dan perilaku masyarakat Kecamatan Sukmajaya terhadap Tanaman Obat Keluarga
(TOGA) yang nantinya dapat menjadi dasar perumusan dan pengembangan program lebih
lanjut. Penulis menyadari bahwa pelaksanaan rangkaian kegiatan mini project hingga
penulisan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi perbaikan di masa mendatang.
3
4
ABSTRAK
Tanaman Obat Keluarga atau yang sering disebut sebagai TOGA merupakan salah
satu bahan ramuan pengobatan tradisional yang telah dikenal sejak zaman dahulu dan melekat
erat dengan kehidupan manusia. Bukti pemanfaatan obat tradisional di Indonesia tercantum
dalam berbagai naskah kuno nusantara. Indonesia memiliki potensi yang luar biasa terkait
pengembangan TOGA dengan beragamnya varietas tanaman yang berpotensi sebagai ramuan
obat. Pemerintah berupaya untuk melakukan saintifikasi produk obat tradisional dengan
harapan akan dapat menjadi bagian dari Sistem kesehatan Nasional bersama dengan
pengobatan konvensional dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
Sebagai salah satu langkah awal dalam pengembangan potensi TOGA di wilayah
Kecamatan Sukmajaya, dirasa perlu dilakukannya kegiatan mini project yang berfokus pada
topik ini dengan salah satu kegiatan yang dilakukan adalah penilaian gambaran pengetahuan,
sikap, dan perilaku masyarakat terhadap TOGA di Kecamatan Sukmajaya depok.
5
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................2
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................3
ABSTRAK.......................................................................................................................................5
DAFTAR ISI...................................................................................................................................6
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................................7
BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................................................8
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................8
1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................................10
1.3. Tujuan.............................................................................................................................10
1.4. Manfaat...........................................................................................................................11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................12
2.1. Definisi Tanaman Obat Keluarga (TOGA).....................................................................12
2.2. Pemanfaatan Obat Tradisional di Indonesia...................................................................12
2.3. Pelayanan Kesehatan Tradisional...................................................................................14
2.4. Analisis Situasi dan Kecenderungan Pemanfaatan Obat Tradisional.............................15
2.5. Parameter Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku..................................................................19
2.6. Profil Kecamatan Sukmajaya..........................................................................................24
BAB III. METODE PENELITIAN...............................................................................................26
3.1. Desain Penelitian.............................................................................................................26
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian.........................................................................................26
3.3. Subjek Penelitian.............................................................................................................26
3.4. Instrumen Penelitian........................................................................................................26
3.5. Analisis Data...................................................................................................................27
3.6. Alur Penelitian................................................................................................................27
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................................29
4.1. Hasil Penelitian...............................................................................................................29
4.2. Pembahasan.....................................................................................................................37
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................................46
5.1. Kesimpulan.....................................................................................................................46
5.2. Saran................................................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................47
LAMPIRAN..................................................................................................................................49
6
Lampiran 1. Kuesioner Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat terhadap
Tanaman Obat Keluarga (TOGA)..............................................................................................49
Lampiran 2. Foto Kegiatan........................................................................................................56
7
DAFTAR GAMBAR
8
BAB I. PENDAHULUAN
Perjalanan sejarah perkembangan pengobatan herbal lebih lanjut dapat diamati pada
berbagai kebudayaan manusia. Bukti arkeologis pada tahun 60.000 SM di salah satu situs
kubur Neanderthal di Iran menunjukkan bahwa di samping fosil manusia purba, ditemukan
pula 8 serbuk sari spesies tanaman yang 7 di antaranya saat ini digunakan sebagai bahan
ramuan tradisional (Solecki, 1975). Sistem Ayurveda di India pada tahun 4.000 SM
mendokumentasikan penggunaan kunyit sebagai bahan ramuan obat (Aggarwal, et al., 2007),
buku kumpulan ramuan obat “Shennong Ben Cao Jin” di Cina pada tahun 2.000 SM
menuliskan beberapa ramuan, salah satunya adalah Ephedra yang merupakan bahan aktif obat
Efedrin yang saat ini lazim digunakan (Sumner & Plotkin, 2000), dan catatan pada zaman
Mesir Kuno “Ebers Papyrus” tahun 1.500 SM mendokumentasikan penggunaan marijuana
sebagai bahan ramuan obat anti peradangan (Anon., 1937).
Di Indonesia sendiri, bukti awal penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional
tercantum dalam naskah lama Daun Lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak Pabbura
(Sulawesi Selatan), Dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racian Boreh Wulan Dalem, dan
relief Candi Borobudur yang mengggambarkan orang sedang meracik jamu dengan tanaman
sebagai bahan bakunya (Wasito, 2011).
Data penggunaan pengobatan herbal di Indonesia di zaman modern ini pun cukup
tinggi, terlihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 yang menyebutkan bahwa
9
59,12%) penduduk semua kelompok umur, laki-laki dan perempuan, baik di pedesaan
maupun di perkotaan menggunakan jamu, yang merupakan produk obat tradisional asli
Indonesia. Berdasarkan riset tersebut 95,60% merasakan manfaat jamu. Selain itu, riset juga
menunjukkan bahwa dari berbagai kekayaan aneka ragam hayati yang berjumlah sekitar
30.000 spesies, terdapat 1.600 jenis tanaman obat yang berpotensi sebagai produk ramuan
kesehatan tradisional atau pada gilirannya sebagai obat modern (Depkes, 2010).
Selain itu, tren penggunaan obat tradisional semakin meningkat dengan semakin
kuatnya isu “back to nature” yang telah meluas di masyarakat. Sebanyak kurang lebih 65%
penduduk negara maju telah menggunakan pengobatan tradisional dengan pasar global obat
bahan alam mencakup bahan baku pada tahun 2000 mencapai nilai US$ 43 milyar (WHO,
2013). Peningkatan penggunaan obat tradisional perlu disikapi dengan bijak, karena masih
adanya pandangan yang keliru bahwa obat tradisional selalu aman, tidak ada risiko bahaya
bagi kesehatan dan keselamatan konsumen. Tetapi dalam kenyataannya beberapa jenis obat
tradisional dan atau bahannya diketahui toksik, baik sebagai sifat bawaannya maupun akibat
kandungan bahan asing yang berbahaya atau tidak diizinkan.
Penilaian situasi dan kondisi lokal terkait tanaman obat tradisional di wilayah
Kecamatan sukmajaya, yakni didapatkan bahwa beberapa Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
telah memiliki berbagai spesies tanaman yang tergolong ke dalam tanaman obat tradisional,
namun belum terorganisir dan termanfaatkan dengan baik oleh masyarakatnya. Potensi
pengembangan tanaman obat tradisional yang sedemikian besar serta adanya berbagai fakta
mengenai pengobatan tradisional yang telah dijabarkan di atas, yakni bahwa pengobatan
herbal telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak zaman dahulu, peningkatan tren
penggunaan obat tradisional baik di Indonesia maupun di dunia, dan tekad pemerintah
10
Indonesia yang berupaya untuk memasukkan pengobatan tradisional bersama pengobatan
kovensional atau modern ke dalam sistem kesehatan nasional, telah mendorong peneliti untuk
melaksanakan kegiatan mini project yang berjudul “Gambaran Pengetahuan, Sikap, Dan
Perilaku kader/Masyarakat Terhadap Tanaman Obat Keluarga (TOGA) Di Kecamatan
Sukmajaya.
1.3. Tujuan
Tujuan kegiatan mini project ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Primer:
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku kader/masyarakat
terhadap Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di beberapa posyandu Kecamatan
sukmajaya.
2. Tujuan Sekunder:
a. Untuk mengetahui asal sumber informasi mengenai Tanaman Obat Keluarga
(TOGA) yang sampai pada kader/masyarakat Kecamatan sukmajaya
b. Untuk mengetahui persepsi kader/masyarakat mengenai kekurangan Tanaman
Obat Keluarga (TOGA) sebagai alternatif pengobatan.
1.4. Manfaat
Kegiatan mini project ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
1. Peneliti
Penelitian diharapkan memberikan manfaat berupa peningkatan pengetahuan dan
pengalaman dalam melaksanakan penelitian terkait Tanaman Obat Keluarga
(TOGA).
2. Puskesmas Sukmajaya
Penelitian diharapkan memberikan manfaat berupa penggambaran pola
pengetahuan, sikap, dan perilaku kader/masyarakat terhadap Tanaman Obat
Keluarga (TOGA) di beberpa posyandu wilayah Kecamatan sukmajaya sehingga
11
ke depannya dapat membantu dalam perumusan program pengembangan TOGA
lebih lanjut.
3. Kader/masyarakat Kecamatan Sukmajaya
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa peningkatan kesadaran
kader/masyarakat terkait pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga sebagai salah satu
alternatif pengobatan.
12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
13
Indonesia memiliki sekitar 400 suku bangsa (etnis dan sub-etnis). Masing-masing
etnis dan sub-etnis memiliki berbagai pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi,
di antaranya pengetahuan tradisional di bidang pengobatan dan obat-obatan. Bukti
penggunaan obat tradisional sejak berabad abad yang lalu di Indonesia antara lainterlihat dari
relief yang terdapat pada candi Prambanan dan candi Borobudur, tertulis dalam daun lontar,
serta peninggalan dan budaya di keraton-keraton sampai saat ini.
Bagi masyarakat Jawa dan Madura, obat tradisional lebih dikenal dengan sebutan
jamu, baik dalam bentuk rajangan maupun bentuk serbuk siap diseduh. Masyarakat di
pedesaan sudah sejak lama minum seduhan temulawak (Curcuma xanthorrhiza) untuk
memelihara kesegaran tubuh. Informasi tertulis tentang jamu yang hingga saat ini terpelihara
dengan baik di Perpustakaan Kraton Surakarta adalah Serat Kawruh dan Serat Centhini. Serat
Kawruh memberikan informasi yang sistematik tentang jamu, memuat 1.734 ramuan yang
dibuat dari bahan alam dan cara penggunaaannya serta dilengkapi dengan jampi-jampi.
Masyarakat Sunda juga kaya akan kearifan lokal. Di Kampung Naga Tasikmalaya,
113 jenis tumbuhan obat dimanfaatkan oleh masyarakat dan di Kabupaten Subang 75
tumbuhan dimanfaatkan untuk obat.
Hasil survei tim Ekspedisi Biota Medica tahun 1998 di Taman Nasional Bukit
Tigapuluh dan Cagar Alam Biosfir Bukit Duabelas yang terletak di wlayah Provinsi Riau dan
Jambi diketahui 45 ramuan dengan 195 spesies tumbuhan obat telah digunakan oleh
masyarakat suku Melayu Tradisional, 58 ramuan dengan 115 spesies digunakan masyarakat
suku Talang Mamak dan 72 jenis ramuan dengan 116 spesies oleh masyarakat suku Anak
Dalam.
Kalimantan sebagai daerah hujan tropis menyimpan sekurang-kurangnya 4.000
spesies tumbuhan yang dapat menjadi sumber temuan obat baru. Masyarakat Kalimantan
sudah sangat akrab dengan obat tradisional pasak bumi (Eurycoma longifolia) yang
digunakan untuk meningkatkan aktivitas seksual pria. Tumbuhan lain yang dikenal adalah
bidara laut (Strychnos ignatii) yang seduhan kulit akarnya digunakan sebagai tonikum dan
menghilangkan rasa lelah.
Masyarakat Bali sangat mengenal “Lengis Arak Nyuh” yaitu minyak multi khasiat
hasil penyulingan dari berbagai jenis tumbuhan rempah yang terdiri dari sisa-sisa bumbu-
bumbu dan potongan-potongan kelapa yang diasapkan di atas tungku dapur selama 4-5 bulan.
Pada tahun 1977, Tim Peneliti di Sulawesi Tenggara menemukan 449 spesies
tumbuhan obat yang masih digunakan dan puluhan ramuan tumbuhan yang digunakan oleh
penduduk lokal sebagai obat. Dikalangan etnis Bugis-Makassar dikenal cara pengobatan dan
14
pencegahan penyakit yang dilakukan oleh nenek moyang yang tertulis dalam naskah
“Lontaraq pabbura”. Beberapa jenis tumbuhan yang telah dikenal secara turun temurun
untuk pengobatan antara lain kayusanrego (Lunasia amara Blanco), daun paliasa (Kleinhovia
hospital Linn) dan santigi (Phempis acidula).
Masyarakat di Maluku sudah sejak lama menggunakan tumbuhan pala baik buah, daun
maupun rantingnya untuk pengobatan reumatik,sakit kepala dan peningkatan aktivitas
seksual.Terdapat 216 jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat maluku
selatan. Di Papua, masyarakat memanfaatkan ribuan jenis tumbuhan obat pemeliharaan
kesehatan seperti rumput Keybar untuk meningkatkan kesuburan wanita, akwai (Drymis
anthon)untuk peningkatan seksual pria, dan watu (Piper methysticom) sebagaipenenang.
Pemanfaatan dan pengembangan obat tradisional di berbagai daerah tersebut
merupakan warisan turun temurun berdasarkan pengalaman/empirik selanjutnya berkembang
melalui pembuktian ilmiah melalui uji pra-klinik dan uji klinik. Obat tradisional yang
didasarkan pada pendekatan ”warisan turun-temurun” dan pendekatan empirik disebut jamu,
sedangkan yang berdasarkan pendekatan ilmiah melalui uji pra-klinik disebut obat herbal
terstandar dan yang telah melalui uji klinik disebut fitofarmaka.
Obat tradisional yang pada awalnya dibuat oleh pengobatan tradisional untuk
pasiennya sendiri/lingkungan terbatas, berkembang menjadi industri rumah tangga dan
selanjutnya sejak pertengahan abadke-20 telah diproduksi secara massal baik oleh industri
kecil obat tradisional (IKOT) maupun industri obat tradisional (IOT) dengan mengikuti
perkembangan teknologi pembuatan.
2.3. Pelayanan Kesehatan Tradisional
Dalam perkembangannya, menurut PP No. 103 tahun 2014 Tentang Pelayanan
Kesehatan Tradisional, penerapan kesehatan tradisional berkembang menjadi:
1. Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris, yang manfaat dan keamanannya terbukti
secara empiris; dan
2. Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer, yang manfaat dan keamanannya
terbukti secara ilmiah dan memanfaatkan ilmu biomedis.
Berdasarkan cara pengobatannya, Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris dan
Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer terbagi menjadi:
1. Pelayanan yang menggunakan keterampilan; dan
2. Pelayanan yang menggunakan ramuan.
15
Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris dan Pelayanan Kesehatan Tradisional
Komplementer harus dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.
2.4. Analisis Situasi dan Kecenderungan Pemanfaatan Obat Tradisional
2.4.1. Perkembangan
Dalam dua dasa warsa terakhir, perhatian dunia terhadap obat-obatan dari bahan alam
(obat tradisional) menunjukkan peningkatan, baik di negara-negara berkembang maupun di
negara-negara maju. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa hingga 65% dari
penduduk negara-negara maju telah menggunakan pengobatan tradisional dimana didalamnya
termasuk penggunaan obat-obat bahan alam (WHO, 2013). Menurut data Secretariat
Convention on Biological Diversity, pasar global obat bahan alam mencakup bahan baku pada
tahun 2000 mencapai nilai US$ 43 milyar (CBD, 2016). Data yang akurat mengenai nilai
pasar obat tradisional di Indonesia belum dimiliki, tetapi nilainya diperkirakan lebih dari US$
1 milyar.
Peningkatan penggunaan obat tradisional yang menggembirakan perlu disikapi secara
bijak, karena masih adanya pandangan yang keliru bahwa obat tradisional selalu aman, tidak
ada risiko bahaya bagi kesehatan dan keselamatan konsumen.Tetapi dalam kenyataannya
beberapa jenis obat tradisional dan atau bahannya diketahui toksik, baik sebagai sifat
bawaannya maupun akibat kandungan bahan asing yang berbahaya atau tidak diizinkan.WHO
melaporkan bahwa terjadinya efek tidak diinginkan akibat dari bahan yang berasal dari
tumbuhan obat itu sendiri maupun akibat penambahan obat kimia seperti obat anti-radang
kortikosteroid dan non-steroid. Efek tidak diinginkan juga telah terjadi akibat kesalahan
mengambil jenis tumbuhan obat yang digunakan, ketidak-tepatan dosis, kesalah-penggunaan
oleh konsumen maupun oleh profesional kesehatan, interaksi dengan obat-obat lain serta
akibat penggunaan obat tradisional yang terkontaminasi bahan/mikroba berbahaya seperti
logam berat,mikroba patogen dan residu agrokimia.
Sebagian besar produk obat tradisional yang terdaftar adalah kelompok jamu, dimana
pembuktian khasiat dan keamanannya berdasarkan penggunaan empiris secara turun-temurun.
Produk yang terdaftar sebagai Obat Herbal Terstandar baru 18 produk dan Fitofarmaka 5
produk.
Terlihat adanya upaya di tingkat global dan regional untuk menuju harmonisasi di
bidang standar dan mutu obat tradisional,agar obat tradisional dapat diperdagangkan secara
lintas Negara dengan standar dan mutu yang sama. WHO mengawali dengan pembuatan
16
pedoman, seperti strategi pengembangan obat tradisional, monografi tumbuhan obat,
pedoman mengenai mutu dan keamanan obat tradisional, cara pembuatan obat tradisional
yang baik, cara budidaya dan pengumpulan tumbuhan obat yang baik, pedoman monitoring
efek yang tidak diinginkan dan sebagainya(WHO, 2013). Di tingkat regional ASEAN telah
dilaksanakan pertemuan-pertemuan dalam rangka pembahasan harmonisasi standar dan
regulasi di bidang obat tradisional.
2.4.2. Kekuatan
17
tidak ada jaminan pasar dan harga. Hal ini berdampak pada pembudidayaan sebagai usaha
sambilan, sehingga bahan baku obat tradisional sebagian besar masih merupakan hasil
pengumpulan dari tumbuhanliar dan tanaman pekarangan.
Kegiatan eksploitasi jenis-jenis tumbuhan liar dan tumbuhan hutan tertentu untuk
bahan obat tradisional masih terus berlangsung tanpa disertai dengan kegiatan budidaya,
sehingga beberapa jenis tumbuhan telah menjadi tumbuhan langka. Untuk mencegah
terjadinya kepunahan, maka jenis tumbuhan langka tersebut perlu segera dilestarikan dengan
mengupayakan kegiatan budidaya.
Mutu simplisia umumnya kurang memenuhi persyaratan, karena penanganan pasca
panen yang kurang tepat dan terbatasnya IPTEK serta lemahnya kualitas sumber daya petani
tumbuhan obat.
Upaya pengembangan obat tradisional kurang terkoordinasi dengan baik. Pihak-pihak
terkait, seperti Pemerintah, industri, pendidikan dan penelitian, petani dan provider kesehatan
belum bekerjasama secara sinergis.
Penerimaan kalangan kedokteran terhadap obat tradisional semakin meningkat tetapi
sampai saat ini belum terakomodasi dalam kurikulum Fakultas Kedokteran.
Pembiayaan yang tersedia untuk pengembangan obat tradisional Indonesia, terutama
untuk membiayai kegiatan penelitian, masih sangat jauh dari kebutuhan. Di satu sisi
kemampuan keuangan Pemerintah masih terbatas, sedangkan di pihak lain industri obat
tradisional belum termotivasi untuk secara tanggung renteng ikut membiayai kegiatan
penelitian.
Kegiatan usaha industri yang mengkhususkan diri untuk memproduksi bahan baku
antara masih sangat sedikit. Mereka memproduksi bahan baku antara diutamakan untuk
keperluan produksi produk jadi sendiri. Beberapa industri ekstrak di tanah air, belum berjalan
secara optimal dan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Dari 907 IKOT yang ada, sebanyak 35,4% dapat digolongkan sebagai industri rumah
tangga dengan fasilitas dan sumber daya yang sangat minimal. Sedangkan dari 129 IOT baru
69 industri yang mendapat sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
Industri obat tradisional masih sangat kurang memperhatikan dan memanfaatkan
hasil–hasil penelitian ilmiah dalam pengembangan produk dan pasar. Dalam pengembangan
pasar industri obat tradisional masih lebih menekankan pada kegiatan promosi, dibanding
dukungan ilmiah mengenai kebenaran khasiat, keamanan dan kualitasnya.
2.4.4. Peluang
18
Ekspor obat tradisional dan simplisia Indonesia, walaupun belum dalam jumlah yang
besar, namun menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Asosiasi Pengusaha Eskportir Tanaman Obat Indonesia (APETOI) dan informasi Gabungan
Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) serta Koperasi Jamu Indonesia, ekspor
tumbuhan obat terus meningkat. Permintaan datang dari beberapa negara luar cukup besar,
kadang kala untuk beberapa jenis tanaman Indonesia tidak dapat dipenuhi.
Semakin banyaknya tersedia hasil penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa sediaan
obat bahan alam terbukti mempengaruhi metabolisme tubuh dan memiliki efek terapi yang
efektif. Efek samping obat tradisional pada umumnya relatif jauh lebih rendah dibandingkan
dengan obat-obat konvensional.
Penggunaan obat tradisional terus meningkat, baik di negara-negara berkembang
maupun di negara-negara maju. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melalui World Health
Asembly merekomendasikan penggunaan pengobatan tradisional, termasuk obat tradisional,
dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama
untuk penyakit-penyakit kronis, penyakit-penyakit degeneratif dan kanker.
Budaya bangsa Indonesia telah mewariskan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi
jamu untuk pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Dengan jumlah penduduk
Indonesia yang mencapai lebih dari 220 juta jiwa merupakan potensi pasar obat tradisional
yang sangat prospektif.
Penerimaan kalangan profesi kedokteran terhadap obat tradisional terus meningkat,
antara lain dengan terbentuknya Perhimpunan Dokter Indonesia Pengembang Kesehatan
Tradisional Timur dan Perhimpunan Kedokteran Komplementer dan Alternatif Indonesia.
2.4.5. Ancaman dan Tantangan
Eksploitasi oleh pihak asing terus berlangsung sementara banyak jenis tumbuhan obat
yang terancam kepunahan belum sempat diteliti, dikembangkan dan dibudidayakan. Menurut
UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistem, dan UU No 12
Tahun 1992 tentang sistem budidaya tumbuhan, pencarian dan pengumpulan plasma nuftah
dalam rangka pemuliaan dilakukan oleh pemerintah dan dalam kegiatannya dapat dilakukan
pula oleh perorangan dan badan hukum yang diberi izin khusus, sedangkan untuk
pelestariaannya dilakukan pemerintah bersama masyarakat.Perlu ada regulasi yang mengatur
pertukaran dan pemanfaatan sumber daya alam obat tradisional dan kearifan lokal melalui
pembagian keuntungan yang ideal.
Beberapa obat tradisional sudah digunakan untuk penyembuhan penyakit dan
beberapa penelitian menunjukkan potensi obat tradisional untuk digunakan dalam
19
penyembuhan penyakit terutama penyakit degeneratif. Namun harganya kadangkala lebih
mahal dibandingkan dengan obat konvensional.
Tantangan untuk penelitian obat tradisional bukan hanya pembuktian khasiat dan
keamanannya, tetapi juga bagaimana mendapatkan obat tradisional yang lebih kompetitif
dalam rasiobiaya-manfaat.
2.5. Parameter Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
2.5.1. Pengetahuan
20
6. Evaluasi, merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap
objek tertentu. Penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang ditetntukan
sendiri atau yang telah ada sebelumnya.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau kuesioner yang
menanyakan tentang isi materi yang diinginkan untuk diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas. Sedangkan kualitas pengetahuan pada
masing-masing pengetahuan pada masing-masing pengetahuan dapat dilakukan dengan
skoring, dimana dikatakan baik jika skor 76%-100% benar, dikatakan cukup jika skor 56%-
75% benar, dan dikatakan kurang jika skor 40%-55% benar (Arikunto, 2006).
Selain itu, tingkat pengetahuan juga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara
lain (Mubarak, 2007):
1. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap
suatu hal hingga tercapai tahap pemahaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin
tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah pula mereka menerima
informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya.
Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat
perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai yang
baru diperkenalkan.
2. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan
pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang maka akan terjadi perubahan pada aspek psikis
dan psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar ada empat kategori
perubahan, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, dan
timbulnya ciri-ciri baru. Pada aspek psikologis dan mental, taraf berfikir seseorang
akan semakin matang dan dewasa.
4. Minat
Sebagai kecenderungan atau keinginan seseorang yang tinggi terhadap sesuatu, minat
menjadikan seseorang cenderung untuk mencoba dan menekuni hal tertentu yang pada
akhirnya akandiperoleh pengetahuan yang lebih dalam.
5. Pengalaman
21
Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam
berinterkasi dengan lingkungannya. Ada kecendrungan bahwa pengalaman yang
menyenangkan akan menimbulkan kesan yang lebih mendalam secara psikologis,dan
selanjutnya akan menimbulkan sikap yang positif pula.
6. Kebudayaan
Kebudayaan akan mempengaruhi seseorang, dalam hal ini contohnya adalah apabila
dalam suatu wilayah terdapat budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan, maka
sangat mungkin masyarakatnya akan mempunyai sikap untuk selalu menjaga
kebersihan linkungannya pula.
7. Informasi
Kemudahan memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk
memperoleh pengetahuan yang baru.
2.5.2. Sikap
Sikap merupakan kesiapan seseorang untuk bertindak terhadap hal-hal tertentu. Sikap
juga merupakan kondisi mental relatif menetap untuk merespon suatu objek atau perangsang
tertentu yang mempunyai arti baik bersifat positif, netral, atau negatif yang menyangkut
aspek-aspek kognisi, afeksi, dan kecendrugan untuk bertindak (Azwar, 2007).
Lebih lanjut, menurut (Azwar, 2007), proses terbentuknya sikap akan melalui tahapan
sebagai berikut:
1) Menerima (receiving), diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek);
2) Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dan sikap, karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, berarti subkjek menerima ide tersebut;
3) Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
suatu masalah merupakan suatu indikasi tingkat tiga dari tahapan sikap;
4) Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
dipilihnya dengan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
Selain itu, struktur sikap dapat dibagi menjadi 3 komponen yang saling menunjang
(Azwar, 2007). Ketiga komponen pembentuk sikap yaitu komponen kognitif (kepercayaan),
afektif (perasaan), dan komponen konatif (tindakan). Komponen kognitif berisi kepercayaan
seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Komponen
22
afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara
umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap suatu objek.
Komponen konatif menunjukkan bagaimana kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri
seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude)
karena dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, pola pikir, keyakinan, dan emosi
memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2010). Komponen kognitif mengenai suatu objek
dapat menjadi penggerak terbentuknya sikap apabila komponen kognitif tersebut disertai
dengan komponen afektif (persepsi) dan komponen konatif (kesiapan untuk melakukan
tindakan) (Azwar, 2007).
Para ahli psikologi beranggapan bahwa interaksi dari ketiga komponen sikap yaitu
kognitif, afektif dan konatif akan selaras dan konsisten. Hal ini disebabkan apabila
dihadapkan pada suatu objek sikap yang sama, maka ketiga komponen itu harus mempolakan
arah sikap yang seragam.Apabila salah satu saja diantara ketiga komponen sikap tidak
konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya
mekanisme perubahan sikap sedemikian rupa sehingga konsistensi itu dapat tercapai kembali.
Prinsip inilah yang banyak dimanfaatkan dalam manipulasi sikap guna mengalihkan bentuk
sikap tertentu menjadi bentuk sikap yang lain. Hal ini dapat terlihat pada saat seseorang
memberikan informasi yang berbeda mengenai suatu objek sikap, hhal tersebut dapat
menimbulkan inkonsistensi pada komponen-komponen sikap yang lain (Azwar, 2007).
Konsistensi internal diantara komponen sikap perlu dipertahankan, terutama pada
sikap yang intensitasnya ekstrem, seperti sikap sangat setuju (sangat positif) dan sikap sangat
tidak setuju (sikap negatif). Semakin ekstrem intensitas sikap seseorang, apabila terdapat
serangan terhadap salah satu komponen sikapnya, maka akan sangat terasa bagi subjek,
sekecil apapun serangan atau ancaman tersebut. Hal inilah yang akan membentuk reaksi
berlebihan yang secara tidak sadar akan diperlihatkan individu untuk mempertahankan ego.
2.5.3. Perilaku
Perilaku merupakan semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar, serta mempunyai bentangan arti
yang sangat luas (Notoatmojo, 2003).Referensi lain merumuskan bahwa perilaku merupakan
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku
terjadi diawali proses adanya stimulus terhadap organisme, untuk kemudian organisme
23
tersebut merespon terhadap stimulus yang diberikan. Teori tersebut merupakan teori “S-O-
R”atau Stimulus-Organisme-Respon(Maulana & Heri, 2007).
Perilaku kesehatan menurut (Notoatmojo, 2003) adalah suatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku
kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) Perilaku pemeliharaan
kesehatan (health maintenance), merupakan perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk
memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana
sakit; 2) Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior) atau perilaku penggunaan
sistem atau fasilitas kesehatan. Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang
pada saat sakit dan atau kecelakaan untuk mencari dan memanfaatkan sarana dan prasarana
kesehatan yang tersedia.3) Perilaku kesehatan lingkungan,merupakan perilaku yang terkait
dengan tindakan seseorang merespon stimulus lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial
budaya, ataupun ligkungan lain.
Health Belief Model merupakan model perilaku yang dikembangkan pada tahun 1950-
an dan didasarkan atas partisipasi masyarakat pada program deteksi dini tuberculosis. Analisis
terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada program tersebut
kemudian dikembangkan sebagai model perilaku. Health Belief Model didasarkan atas 3
faktor esensial, yakni: 1) Kesiapan individu intuk merubah perilaku dalam rangka
menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan; 2) Adanya dorongan dalam
lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku; dan 3) Perilaku itu sendiri.
Ketiga faktor diatas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman yang berhubungan dengan sarana dan
petugas kesehatan. Kesiapan individu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang
kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan
terhadap penyakit, dan adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan
keuntungan. Faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang
dipengaruhi oleh karakteristik individu, penilaian individu terhadap perubahan yang
ditawarkan, interaksi dengan petugas kesehatan yang merekomendasikan perubahan perilaku,
dan pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa.
Seperti telah dipaparkan diatas, bahwa sebagian besar perilaku manusia merupakan
perilaku yang dibentuk dan dipelajari. Berkaitan dengan hal tersebut, maka salah satu
persoalan ialah bagaimana cara membentuk perilaku sesuai yang diharapkan. Beberapa cara
pebentukan perilaku yang dijabarkan dalam referensi adalah: 1) Conditioning (kebiasaan),
24
dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan
terbentuklah perilaku tersebut. Cara ini didasarkan atas teori pembelajaranconditioning oleh
Pavlov, Thorndike dan Skinner; 2) Insight (pengertian), teori ini berdasarkan atas teori belajar
kognitif yang dikemukakan oleh Kohler, yaitu belajar dengan disertai pengertian; 3) Model
(contoh), cara ini didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory) atau
observational learning theory yang dikemukakan oleh Bandura pada tahun 1977.
Penelitian lebih lanjut oleh Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yakni: 1) Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
stimulus (objek) terlebih dahulu; 2) Interest (ketertarikan), yakni orang mulai tertarik kepada
stimulus; 3) Evaluation (evaluasi), menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi
dirinya; 4)Trial (mencoba), subjek telah mulai mencoba perilaku baru; 5) Adoption
(menerima), subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus (Maulana & Heri, 2007).
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini dan
didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan
menjadi kebiasaan atau bertahan dalam jangka waktu yang lama(long lasting)(Notoatmojo,
2003).
2.6. Profil Kecamatan Sukmajaya
UPT Puskesmas Kecamatan Sukmajaya berdiri pada tahun 1981 dan berlokasi di
Sukmajaya memiliki wilayah kerja seluas sekitar 55.14 km2 atau 27.53% dari luas kota
Kelurahan Mekarjaya dan Kelurahan Tirtajaya, dengan kelurahan terdekat berjarak 1 km dan
jarak terjauh 5 km. UPT Puskesmas Kecamatan Sukmajaya terletak di Jl. Arjuna Raya No.1
25
kelurahan Mekarjaya, kecamatan Sukmajaya. Puskesmas ini berdiri di atas tanah seluas 2060
26
BAB III. METODE PENELITIAN
1. Paket A berisi daftar isian terkait data demografis yang terdiri dari usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
2. Paket B berisi 10 soal pilihan ganda dengan masing-masing soal memiliki 2 pilihan
jawaban, “Ya” dan “Tidak”. Jawaban “Ya” bernilai 2 poin dan jawaban “Tidak”
bernilai 1 poin. Nilai maksimal yang dapat diperoleh pada paket B adalah 20 poin dan
nilai minimal adalah 10 poin. Daftar pertanyaan pada paket B bertujuan untuk menilai
parameter perilaku.
3. Paket C berisi 10 soal pilihan ganda dengan masing-masin soal memiliki 3 pilihan
jawaban bertingkat yang merupakan modifikasi dari Likert Scale, yakni “Sangat
Setuju”, “Kurang Setuju”, dan “Tidak Setuju”. Jawaban “Sangat Setuju” bernilai 3
poin, jawaban “Kurang Setuju” bernilai 2 poin, dan jawaban “Tidak Setuju” bernilai 1
27
poin. Nilai maksimal yang dapat diperoleh pada paket C adalah 30 poin dan nilai
minima adalah 10 poin. Daftar pertayaan pada paket C bertujuan untuk menilai
parameter sikap.
4. Paket D berisi 10 soal pilihan ganda dengan masing-masing soal memiliki 4 pilihan
jawaban dengan 1 di antaranya adalah pilihan yang benar. Jika responden memilih
pilihan yang benar, maka mendapat 1 poin dan jika memilih pilihan yang salah, maka
mendapat 0 poin. Nilai maksiml yang dapat diperoleh pada paket D adalah 10 poin
dan nilai minimal adalah 0 poin. Daftar pertanyaan pada paket D bertujuan untuk
menilai parameter pengetahuan.
5. Paket E berisi 2 pertanyaan dengan 4 pilihan jawaban dan responden dapat memilih
lebih dari 1 jawaban. Pertanyaan pada paket ini tidak diberikan poin apapun karena
bertujuan untuk mengeksplorasi jawaban responden terkait dengan asal sumber
informasi mengenai TOGA yang didapatkan oleh responden dan faktor apa sajakah
yang mengurangi minat responden untuk memanfaatkan TOGA sebagai alternative
pengobatan.
1. Initial Assessment
Pada fase ini peneliti melakukan penilaian awal terhadap lokasi pengambilan sampel
dan calon subjek penelitian. Untuk selanjutnya, tahap ini terbagi ke dalam 2 tahap
yaitu:
a. Field Visit
Kunjungan lapangan dilakukan pada ketiga posyandu yang menjadi sampel penelitian
yakni posyandu bungan tanjung rw 11 mekarjaya, posyandu rw 19 mekarjaya dan
posyandu camar rw 7 tirtajaya. Tujuan kunjungan lapangan adalah untuk menilai jumlah
dan jenis tanaman yang termasuk ke dalam golongan TOGA dan potensi pengembangan
28
lebih lanjut ke depannya. Kegiatan kunjungan lapangan dilakukan pada 3 waktu yang
terpisah dan disesuaikan dengan jadwal program Puskesmas.
b. Cadres Interview
Wawancara singkat dilakukan kepada perwakilan kader ketiga posyandu yang
menjadi sampel penelitian. Tujuan kegiatan wawancara adalah untuk memperoleh
informasi awal terkait pemanfaatan TOGA yang telah dilakukan oleh
kader/masyarakat sekitar, harapan dan keinginan masyarakat dalam
pengembangan TOGA.
2. Final Assessment
Pada fase ini peneliti melakukan penilaian akhir terhadap parameter pengetahuan,
sikap, dan perilaku kader/masyarakat terhadap TOGA. Penilaian akhir yang
dilakukan terdiri dari 3 tahap yaitu:
a. Questionnaire Dissemination
Dilakukan penyebaran kuesioner yang telah dibuat sebelumnya guna menilai
parameter pengetahuan, sikap, dan perilaku.Subjek membaca pertanyaan dan
mengisi jawaban yang sesuai.
b. Evaluation
Setelah hasil data kuesioner didapatkan, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan analisis hasil dan presentasi di hadapan civitas pegawai Puskesmas
untuk dapat dilakukan diskusi terkait hasil yang didapatkan dan langkah ke depan
yang akan diambil untuk pengembangan TOGA di wilayah Kecamatan
Sukmajaya.
29
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden menurut usia dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 4.
12
10
10
8
8 7
6 5
4
0
21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun
Jumlah Responden
30
16 15
12 8
8 7
4
0
Jumlah Responden
30
25
25
20
15
10
5
5
0 0 0 0
0
PNS/ Pedagang/ Petani/Buruh Buruh Pabrik Ibu Rumah Pelajar/
TNI/ Wiraswasta Tani Tangga Mahasiswa
POLRI
Jumlah Responden
31
4.1.3. Karakteristik Responden menurut Tingkat Pendidikan
14
12
10
8
6
4
2
0
Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA S1
Jumlah Responden
32
4.1.4. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA menurut Usia
Adapun tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap TOGA menurut usia
ditunjukkan pada Gambar 6.
100
88.75
90 85.71
80 80
80
70
60
50
40
29.8 28.75 29.3 28.57
30
20 19.75 19.5 19.71
20
8 10
10 5 7
0
21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun
Gambar 6. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA menurut Usia
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tertinggi (88,75%) diamati
pada responden dengan kelompok usia 31-40 tahun dan tingkat pengetahuan terendah (80%)
diamati pada responden dengan kelompok usia 21-30 dan 41-50 tahun. Untuk parameter sikap,
respon sikap positif tertinggi terhadap pemanfaatan TOGA (29,8/30,00) dapat diamati pada
kelompok usia 21-30 tahun dan repson sikap positif terendah terhadap pemanfaatan TOGA
(28.57/30,00) diamati pada kelompok usia 51-60 tahun. Sedangkan untuk parameter perilaku,
pola perilaku mendukung tertinggi (20,00/20,00) diamati pada kelompok usia 21-30 tahun,
sedangkan pola perilaku terendah (19,50/20,00) diamati pada kelompok usia 41-50 tahun.
33
4.1.5. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA menurut
Posyandu
Gambar 7. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA menurut di Posyandu
34
4.1.6. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA menurut
Pekerjaan
90 81.2
80
80
70
60
50
40
28.8 28.96
30 25
19.4 19.6
20
10 5
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
I ni ik ga
LR as
ta
Ta br wa
P O w Pa ang sis
NI
/ s uh T
ah
a
/T ira Bur ru
h ah
S g/
W i/ Bu m /M
PN an Ru ar
an t u laj
da
g Pe Ib P e
Pe
Gambar 8. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA menurut Pekerjaan
Menurut jenis pekerjaan responden, tingkat pengetahuan tertinggi (81.2%) diamati pada
responden yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga dan tingkat pengetahuan terendah (80%)
diamati pada responden yang berprofesi sebagai pedagang/wiraswasta. Untuk parameter sikap,
respon sikap positif tertinggi terhadap pemanfaatan TOGA (28,96/30,00) dapat diamati pada
responden yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan respon sikap positif terendah terhadap
pemanfaatan TOGA (28.80/30,00) diamati pada responden yang berprofesi sebagai
pedagang/wiraswasta. Sedangkan untuk parameter perilaku, pola perilaku mendukung tertinggi
(19.6/20,00) diamati pada responden yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga, sedangkan
pola perilaku terendah (19.4/20,00) diamati pada responden yang berprofesi sebagai
Pedagang/Wiraswasta.
35
4.1.7. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA menurut
Tingkat Pendidikan
100
92.5
90
81.25 81.6 81.66
80
70
60
50
40
28.625 28.83 29
30 25.5
19.25 19.58 19.66
20 16.25
12
10 8 6 4
0
Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA S1
Gambar 9. Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA menurut Tingkat Pendidikan
36
4.1.8. Rerata Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA di
Kecamatan Sukmajaya
90 83.98
80
70
60
50
40
30 28.28
18.94
20
10
0
Rerata Keseluruhan Kec. Sukmajaya
Gambar 10. Rerata Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap TOGA di Kecamatan Sukmajaya
Berdasarkan hasil analisis, rerata tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat
terhadap TOGA di Kecamatan Sukmajaya adalah rerata tingkat pendidikan 83,25%, rerata
respon sikap 28,81/30,00, dan rerata perilaku mendukung 18,1/20,00.
Teman, tetangga,
atau saudara
26%
Petugas kesehatan
38%
37
Mengenai asal sumber informasi TOGA di masyarakat, sebanyak 38% responden
menjawab asal sumber informasi dari petugas kesehatan, 32% responden menjawab asal sumber
informasi dari media massa, 26% responden menjawab asal sumberr informasi dari teman,
tetangga, atau saudara, dan hanya 4% responden yang menjawab sumber informasi berasal dari
apparat desa.
Susah didapatkan
8%
4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil kuesioner mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku yang telah
diperoleh, peneliti mencoba untuk menganalisis distribusi nilai berdasarkan beberapa parameter,
antara lain berdasarkan kelompok usia, posyandu, jenis pekerjaan, dan tingkat pendidikan.
38
terhadap TOGA cenderung semakin menurun. Hal ini kurang sesuai dengan beberapa studi
literatur yang telah dilakukan sebelumnya, salah satunya adalah menurut studi oleh (Zaman,
2009) yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan mengenai TOGA pada umumnya lebih
tinggi ditemukan pada kelompok usia yang lebih tua, dikarenakan mereka telah percaya dan telah
terbiasa menggunakannya sejak zaman dahulu sebelum mengenal pengobatan modern. Namun,
beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan hasil yang berbeda tersebut adalah bahwa dewasa
ini telah umum dijumpai isu “back to nature” pada generasi muda baik di daerah perkotaan
maupun pedesaan. Dengan semakin santernya isu tersebut, masyarakat kini telah mulai
mempelajari kembali khasiat tanaman dan berusaha menggunakan bahan-bahan organik baik
untuk kebutuhan hidup sehari-hari maupun sebagai ramuan obat tradisional, sehingga tingkat
pengetahuan, sikap, dan perilaku pada kelompok usia tersebut juga semakin meningkat.
Analisis berdasarkan jenis pekerjaan didapatkan bahwa tingkat pengetahuan, sikap, dan
perilaku juga bervariasi antar tiap jenis pekerjaan. Asumsi awal dari peneliti menduga bahwa
tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku akan lebih tinggi pada responden yang berprofesi ibu
rumah tangga, karena interaksinya dengan tanaman dan lingkungan sekitar lebih sering terjadi
relatif dibandingkan dengan profesi yang lain. Namun, data yang didapatkan pada penelitian ini
menunjukkan hasil yang relatif setara pada berbagai jenis pekerjaan. Hal ini mungkin dapat
disebabkan telah tersebar luasnya informasi mengenai TOGA, sehingga seluruh masyarakat
39
meskipun yang interaksinya dengan lingkungan tidak terlalu sering seperti misalnya
pedagang/wiraswasta, tetap mengetahui pemanfaatan TOGA sebagai alternatif pengobatan.
40
Penelitian ini memiliki batasan dan kekurangan sehingga perlu kehati-hatian dalam
menginterpretasi data yang dihasilkan. Beberapa kekurangan tersebut antara lain: 1) penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif sehingga tujuan utamanya adalah mendeskripsikan parameter
yang diukur, tidak untuk kepentingan analisis perbandingan. Hal ini dapat diamati pada analisis
tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap beberapa variabel independen data demografis
seperti usia, posyandu, tingkat pendidikan, dan tingkat pekerjaan, jumlah responden tidak setara
antar masing-masing variabel independen sehingga analisis dan pengambilan kesimpulan perlu
dilakukan secara hati-hati; 2) instrumen penelitian adalah kuesioner, bukan pengamatan dan
penilaian langsung terhadap perilaku yang terjadi di masyarakat, sehingga tetap terdapat
kemungkinan jawaban yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya terjadi; serta 3)
penelitian ini mengukur parameter pengetahuan, sikap, dan perilaku hanya pada satu titik waktu
tertentu.
Metode USG merupakan salah satu cara menetapkan urutan prioritas masalah dengan
metode teknik scoring. Proses untuk metode USG dilaksanakan dengan memperhatikan urgensi
dari masalah, keseriusan masalah yang dihadapi, serta kemungkinan bekembangnya masalah
tersebut semakin besar. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Urgency atau urgensi, yaitu dilihat dari tersedianya waktu, mendesak atau tidak
masalah tersebut diselesaikan.
2. Seriousness atau tingkat keseriusan dari masalah, yakni dengan melihat dampak
masalah tersebut terhadap produktifitas kerja, pengaruh terhadap keberhasilan,
membahayakan system atau tidak.
3. Growth atau tingkat perkembangan masalah yakni apakah masalah tersebut
berkembang sedemikian rupa sehingga sulit untuk dicegah.
Penggunaan metode USG dalam penentuan prioriotas masalah dilaksanakan apabila
pihak perencana telah siap mengatasi masalah yang ada, serta hal yang sangat dipentingkan
adalah aspek yang ada dimasyarakat dan aspek dari masalah itu sendiri.
No Masalah U S G Total
41
1. Rendahnya pengetahuan mengenai Toga 2 1 1 4
2. Persepsi masyarakat mengenai Toga 4 4 5 13
sebagai pengobatan alternatif
3. Ketidakmauan dalam penanaman dan 3 3 3 9
pemeliharaan Toga
*Keterangan : berdasarkan skala likert 1-5 (5=sangat besar, 4=besar, 3=sedang, 2=kecil,
1=sangat kecil)
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa masalah yang menjadi prioritas adalah masalah
Persepsi masyarakat mengenai Toga sebagai pengobatan alternatif.
42
4.2.2 Fishbone
Input Kelebihan Kekurangan
Man 1. Adanya petugas Puskesmas 1. Kurang optimalnya
2. kader petugas dalam kegiatan
(Tenaga penyuluhan.
Kerja) 2. Kurangnnya kader
terlatih pada setiap RT
dan kegiatan Posyandu
3. Berkembangya persepsi
masyarakat mengenai
Toga seperti tidak enak
rasanya, tidak praktis
dan waktu
penyembuhan yang
lama.
43
man
Persepsi Toga =
tidak enak, tidak Petugas Kurang optimal dalam penyuluhan
praktis, serta
Material
penyembuhan
yang lama Kurangnya kader
Tidak ada terlatih
bahan/alat untuk
menanam di Lahan
Persepsi masyarakat mengenai toga sebagai pengobatan alte
minim .
44
4.2.3 Alternatif Pemecahan Masalah
45
4.2.4 Penetapan Rencana Tindak Lanjut
No Variabel masalah
Faktor Penyebab masalah Rencana Tindak Lanjut
penyebab
46
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
Tindak lanjut yang mungkin dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:
47
DAFTAR PUSTAKA
48
Tukiman, 2004. Pemanfaatan Obat Keluarga (TOGA) untuk Kesehatan Keluarga. Medan:
Bagian Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatra Utara.
Wasito, H., 2011. Obat Tradisional Kekayaan Indonesia. 1 ed. s.l.:Graha Ilmu.
WHO, 2013. WHO Traditional Medicine Strategy: 2014-2023. 1 ed. Jenewa: WHO Press.
Wijayakusuma, H., 2000. Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia. 1 ed. Jakarta: Prestasi Insan.
Zaman, M., 2009. Etnobotani Tumbuhan Obat di Kabupaten Pamekasan Madura Provinsi Jawa
Timur, Malang: Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim.
Zuhud, E. & Haryanto, 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat
Hutan Tropika Indonesia. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan
IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN).
49
LAMPIRAN
KUESIONER PAKET A
IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama:
2. Usia:
3. Jenis Kelamin:
4. Alamat:
5. Pekerjaan:
a. Pegawai Negeri Sipil/TNI/POLRI
b. Pedagang/wiraswasta
c. Petani/buruh tani
d. Buruh pabrik
e. Ibu Rumah Tangga
f. Pelajar/mahasiswa
6. Pendidikan terakhir:
a. Tidak sekolah
b. Tidak tamat SD
c. Tamat SD/sederajat
d. Tidak tamat SMP
e. Tamat SMP/sederajat
f. Tidak tamat SMA
g. Tamat SMA/sederajat
h. Tidak tamat perguruan tinggi
i. Tamat perguruan tinggi/sederajat
50
KUESIONER PAKET B
1. Apakah Anda pernah mengkonsumsi tanaman obat keluarga (TOGA)?
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah Anda rutin/sering mengkonsumsi tanaman obat keluarga (TOGA) sebagai salah
satu alternatif pengobatan?
a. Ya
b. Tidak
3. Apakah Anda pernah menyebarkan informasi mengenai beberapa manfaat Tanaman Obat
Keluarga (TOGA) sebagai salah satu alternatif pengobatan kepada orang di sekitar Anda?
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah Anda memberikan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) kepada orang sakit di
sekitar Anda?
a. Ya
b. Tidak
5. Apakah Anda menanam Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di sekitar rumah Anda?
a. Ya
b. Tidak
6. Adakah warga di sekitar wilayah Anda yang menanam Tanaman Obat Keluarga
(TOGA)?
a. Ya
b. Tidak
7. Apakah Anda pernah melarang penggunaan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) sebagai
salah satu alternatif pengobatan?
a. Ya
b. Tidak
8. Apakah Anda akan memberikan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) apabila terdapat orang
sakit di sekitar Anda?
a. Ya
b. Tidak
9. Apakah Anda memiliki keinginan untuk membudidayakan Tanaman Obat Keluarga
(TOGA) untuk kepentingan pengobatan?
a. Ya
b. Tidak
10. Apakah Anda setuju bahwa harus disediakan lahan untuk menanam Tanaman Obat
Keluarga (TOGA) di setiap posyandu?
a. Ya
b. Tidak
51
KUESIONER PAKET C
1. Apakah Anda setuju mengenai pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) untuk
kepentingan pengobatan?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
2. Apakah Anda setuju bahwa Tanaman Obat Keluarga (TOGA) dapat mengobati beberapa
macam penyakit?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
3. Apakah Anda setuju bahwa penggunaan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) untuk
kepentingan pengobatan sudah ditinggalkan masyarakat?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
4. Apakah masyarakat di sekitar Anda setuju bahwa Tanaman Obat Keluarga (TOGA) dapat
mengobati beberapa macam penyakit?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
5. Apakah Anda setuju untuk lebih memilih Tanaman Obat Keluarga (TOGA) dibandingkan
dengan obat warung untuk mengobati penyakit?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
6. Apakah Anda setuju untuk lebih memilih Tanaman Obat Keluarga (TOGA) dibandingkan
dengan berobat ke Puskesmas untuk mengobati penyakit?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
7. Apakah Anda setuju untuk menggalakkan penanaman Tanaman Obat Keluarga (TOGA)
di lingkungan sekitar Anda?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
8. Apakah Anda setuju bahwa diperlukan adanya penyuluhan tentang Tanaman Obat
Keluarga (TOGA) kepada masyarakat?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
9. Apakah Anda setuju bahwa menggunakan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) lebih praktis
daripada membeli obat di warung?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
52
10. Apakah Anda setuju bahwa menggunakan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) lebih murah
daripada membeli obat di warung?
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
53
KUESIONER PAKET D
1. Apakah yang dimaksud dengan TOGA?
a. Tanaman obat keluarga
b. Tanaman hias
c. Tanaman sayuran
d. Tanaman rempah-rempah
2. Apakah jenis air yang digunakan untuk mencuci/membersihkan bahan ramuan TOGA?
a. Air kelapa
b. Air susu
c. Air minum yang bersih
d. Air gula
3. Apakah jenis bahan untuk peralatan yang baik digunakan untuk membuat ramuan
TOGA?
a. Periuk, panci, atau kuali dari bahan gelas/kaca
b. Periuk, panci, atau kuali dari bahan aluminium
c. Periuk, panci, atau kuali dari bahan timah
d. Periuk, panci, atau kuali dari bahan tembaga
4. Manakah teknik pembuatan ramuan rebusan TOGA yang baik?
a. Bahan ramuan TOGA direbus dengan menggunakan api besar
b. Bahan ramuan TOGA tidak perlu dibersihkan karena berasal dari bahan alami
c. Bahan ramuan TOGA direbus selama 10 menit
d. Bahan ramuan TOGA direbus hingga airnya menyusut menjadi separuhnya
5. Manakah ukuran dan takaran yang tepat dalam pembuatan ramuan TOGA?
a. 1 cangkir setara dengan 50 cc
b. 1 gelas setara dengan 50 cc
c. 1 gelas setara dengan 100 cc
d. 1 gelas setara dengan 200 cc
6. Berapakah batas umum waktu penyimpanan maksimal ramuan TOGA (apabila tidak
dapat segera diminum) yang baik dan benar?
a. 2 jam
b. 6 jam
c. 10 jam
d. 12 jam
7. Manakah ramuan TOGA yang dapat digunakan untuk pengobatan batuk?
a. Air rebusan daun sambiloto, kumis kucing, dan batang brotowali
b. Air perasan jeruk nipis dan kecap manis atau madu
c. Air rebusan daun jambu biji dan adas
d. Air perasan mentimun
8. Manakah ramuan TOGA yang dapat digunakan untuk pengobatan tekanan darah tinggi?
a. Air rebusan daun sambiloto, kumis kucing, dan batang brotowali
b. Air perasan jeruk nipis dan kecap manis atau madu
c. Air rebusan daun jambu biji dan adas
d. Air perasan mentimun
9. Manakah ramuan TOGA yang dapat digunakan untuk pengobatan luka bakar?
a. Tempelkan daun sirih pada luka
b. Taburkan bubuk cengkeh pada luka
54
c. Oleskan daging pelepah lidah buaya pada luka
d. Oleskan tumbukan daun sambiloto pada luka
10. Apakah nama bahan ramuan TOGA yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini?
a. Daun brotowali
b. Daun mengkudu
c. Daun sirih
d. Daun sambiloto
55
KUESIONER PAKET E
1. Darimana Anda mengetahui informasi mengenai TOGA? (Jawaban boleh lebih dari satu)
a. Petugas kesehatan (dokter, perawat, mantra, bidan, dll.)
b. Aparat desa
c. Media massa (buku, koran, poster, TV, radio, dll.)
d. Teman, tetangga, atau saudara
2. Apa saja kekurangan dari TOGA sebagai pengobatan? (Jawaban boleh lebih dari satu)
a. Waktu penyembuhan lebih lama dibandingkan obat biasa
b. Rasa tidak enak
c. Kurang praktis
d. Susah didapatkan
56
Lampiran 2. Foto Kegiatan
57
58