OLEH :
NI KOMANG KRESNIARI
2114901221
FAKULTAS KESEHATAN
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
b. Faktor presipitasi
1) Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan
perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, periaku menarik diri,
kurang perhatian tidak mampu mengambil keputusan serta tidak
dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Halusinasi
dapat dilihat dari lima dimensi yaitu:
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga deliriu, intoksikasi alcohol dan kesulitan untuk
tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.
c) Dimensi intelektual
Individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego.
d) Dimensi sosial
Dalam fase awal dan comforting klien menganggap bahwa
hidup bersosialisasi dialam nyata sengat membahayakan.
e) Dimensu spiritual
Klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas,
tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, irama
sirkandiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam
dan bangun sangat siang.
4. Tahap Halusinasi
Tahapan halusinasi ada ;ima fase yaitu: .
1) Tahap 1: Sleep disorder: fase awal seseorang sebelum muncul
halusinasi
Karakteristik: klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari
lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah,
masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi,
Perilaku klien:
a) Sulit tidur
b) Terbiasa menghayal
2) Tahap II: Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi
menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada
pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali
bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali
kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Perilaku klien :
a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.
b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
e. Diam dan asyik sendiri.
3) Tahap III : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi sering
mendatangi klien.
Karakteristik : Pengalaman sensoriklien menjadi sering datang dan
mengalami bias. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba
untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan.
Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan
menarik diri dari orang lain.
Perilaku Klien :
a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas
otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung,
pernafasan, dan tekanan darah.
b. Rentang perhatian menyempit.
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
4) Tahap IV : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori
menjadi berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi
menjadi menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika
sensori halusinasi berhenti.
Perilaku Klien :
a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah.
5) Tahap V : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur
dalam halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam
atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
a. Perilaku teror akibat panik.
b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang
lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
5. Akibat
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh halusinasi pendengaran pada
klien skizofrenia menurut Suheri (2014) adalah:
a) Perilaku kekerasan baik ditujukan pada diri sendiri maupun orang
lain.
b) Risiko tinggi tindakan bunuh diri.
c) Gangguan interaksi sosial
d) Kerusakan komunikasi verbal dan non verbal.
C. Pohon Masalah
a. Masalah keperawatan
1) Gangguan persepsi sensori : Halusinasi Pendengaran
2) Isolasi sosial
3) Risiko perilaku kekerasan
b. Data yang perlu dikaji
Pada proses pengkajian, data penting yang perlu dikaji pada pasien dengan
halusinasi :
1) Jenis halusinasi
a) Halusinasi Pendengaran
Data Obyektif :
1) Melirikan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa
atau apa yang sedang berbicara.
2) Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang
tidak sedang berbicara atau kepada benda mati seperti
mebel,tembok dll.
3) Menggerak-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau
sedang menjawab suara
4) Tidur kurang/terganggu.
5) Penampilan diri kurang.
6) Keberanian kurang.
7) Bicara tidak jelas.
8) Merasa malu.
9) Mudah panic
Data Subyektif : Pasien mengatakan sering mendengar suara-suara
tanpa ada wujud yang tampak.
b) Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada
sesuatu yang tidak jelas
Data Subjektif : Melihat bayangan, sinar, bentuk kartoon, melihat
hantu atau monster.
c) Halusinasi Penghidu
Data Objektif : Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan
tertentu, menutup hidung
Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin,
faeces, kadang-kadang bau itu menyenangkan.
d) Halusinasi Pengecap
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subyektif : Merasakan rasa seperti darah, urin atau faeces.
e) Halusinasi Perabaan
Data Objektif : Menggaruk-garuk permukaan kulit.
Data Subyektif : Mengatakan ada serangga di permukaan kulit,
merasa seperti tersengat listrik.
2) Isi halusinasi.
Data dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar,
berkata apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar, atau
apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien bila jenis halusinasinya
adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi
penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau
merasakan apa di permukaan tubuh bila halusinasi perabaan.
3) Waktu dan frekuensi halusinasi.
Data dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan
pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau
bulan, pengalaman halusinasi itu muncul, bila mungkin klien diminta
menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut.
Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan
menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami
halusinasi.
4) Situasi pencetus halusinasi
Perlu diidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum
mengalami halusinasi. Data dapat dikaji dengan menanyakan kepada
klien peristiwa atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul.
Selain itu, juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien
menjelangkan muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
5) Respon klien.
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi
klien bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien
saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa
mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap
halusinasi.
D. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi Pendengaran
2. Isolasi sosial
3. Risiko perilaku kekerasan
E. Rencana Tindakan
Adapun rencana keperawatan yang diberikan pada klien dengan halusinasi
dalam bentuk strategi pelaksanaan yaitu sebagai berikut:
Klien Keluarga
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi 1. Mendiskusikan masalah yang
klien dirasakan
2. Mengidentifikasi isi halusinasi 2. Memberikan pendidikan
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi kessehatan tentang pengertian
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi, jelis halusinasi,
halusinasi tanda dan gejala halusinasi,
5. Mengidentifikasi situasi yang serta proses terjadinya
dapat menimbulkan halusinasi halusinasi
klien 3. Menjelaskan cara merawat
6. Mengidentifikasi respon klien klien dengan halusinasi
terhadap halusinasi klien
7. Mengajarkan klien menghardik
halusasi
8. Menganjurkan memasukkan cara
menghardik kedalam kegiatan
harian
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga
harian klien mempraktikkan cara merawat
2. Melatih klien mengendalikan klien dengan halusinasi
halusinasi dengan cara bercakap 2. Melatih keluarga melakukan
cakap dengan orang lain cara merawat langsung kepada
3. Menganjurkan klien memasukkan klien halusinasi
kedalam jadwal kegiatan harian
SP3P SP3K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan 1. Membantu keluarga membuat
harian klien jadwal aktivitas dirumah
2. Melatih klien mengendalikan termasuk minum obat
halusinasi dengan cara melakukan (Discharge planning)
kegiatan 2. Menjelaskan follow up klien
3. Menganjurkan klien memasukkan setelah pulang
kedalam jadwal kegiatan harian
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian klien
2. Memberikan penkes tentang
F. Diagnosa Medis
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir. Kadang-
kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan kekuatan
dari luar. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran
dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh efek yang tidak serasi atau
tumpul.
Skizofrenia juga dapat diartikan sebagai sindrom heterogen kronis
yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi,
perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi
psikososial. Gangguan pemikiran tidak saling berhubungan secara logis,
persepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai, dan
berbagai gangguan aktivitas motorik yang aneh. OSD (orang dengan
skizofrenia) menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk
ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi.
2. Etiologi Skizofrenia
a. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya
Skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium
dan waktu klimakterium, tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
b. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita skizofrenia tampak pucat, tidak
sehat, ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan
berat badan menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik
konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian
dengan pemberian obat halusinogenik.
c. Teori Adolf Meyer
Menurut Meyer, skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu
maladaptasi, sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan lama
kelamaan orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).
d. Teori Eugen Bleuler
Penggunaan istilah skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini
yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni
antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi
gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala primer (gangguan
proses pikiran, gangguan emosi, gangguan kemauan dan otisme),
gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala katatonik atau
gangguan psikomotorik yang lain).
3. Klasifikasi
a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berfikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, jenis
ini timbulnya perlahan-lahan.
b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada
masa remaja atau antaraa 15-25 tahun. Gejala yang mencolok ialah
gangguan proses berfikir, gangguan kemauaan dan adaanya
depersenalisasi atau double personality.
c. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah
katatonik atau stupor katatonik.
d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-
waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti
umumnya ada gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan
kemauan
4. Penatalaksanaan Skizofrenia
a. Terapi somatik (medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada skizofrenia. Pasien mungkin
dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat
atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien.
Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan
merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati
Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat
ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan
Clozaril (Clozapine).
b. Terapi Psikososial
1) Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat
ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa.
Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang
seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan
postur tubuh aneh dapat diturunkan.
2) Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, pasien skizofrenia
kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang
singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan
segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah
proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali
anggota keluarga dengan jelas mendorong sanak saudaranya yang
terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur. Ahli terapi
harus membantu keluarga dan pasien mengerti tentang skizofrenia.
Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga
adalah efektif dalam menurunkan relaps.
3) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara
psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan,
dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok
yang memimpin dengan cara suportif sangat baik dilakukan untuk
memulihkan kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
Irwan, Fajriansyah, Sinuhadji, Indrayana. (2008). Penatalaksanaan Skizofrenia. FK
UNRI: Pekanbaru.
Keliat B, dkk. 2006. Proses Keperawatan Jiwa Edisi II. Jakarta : EGC.
Keliat, BA & Akemat. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesinal Jiwa.
Jakarta:ECG
Keliat, Budu Anna.2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta.
Nanda I. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Percetakan Mediaction Jogja
Stuart, G. W. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Suheri. (2014). Pengaruh Tindakan Generalis Halusinasi terhadap Frekuensi
Halusinasi Padapasien Skizofrenia Di Rs jiwa Grhasia Pemda DIY. Naskah
Publikasi: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan AisyiyahYogyakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Prabowo, E. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : Nuha
Medika/
Yosep, Iyus. (2010). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama
Yosep,I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.