Aliran Kebatinan
Agama leluhur adalah istilah yang digunakan merujuk kepada praktik-praktik keagamaan lokal
yang sering diklaim sebagai praktik animis, magis, adat, budaya, dan seterusnya.
Di antara contohnya adalah semedi, sesajen, kunjungan (ritual) ke gunung, hutan, sungai, dan
lain-lain, bersih desa, dan seterusnya. Penganut agama leluhur lebih memaknai praktik
keagamaan mereka sebagai adat atau budaya masyarakat, daripada sebuah agama. Sehingga
mereka berkeyakinan untuk melestarikannya.
Namun, praktik keagamaan yang mereka lakukan kerap ditentang bahkan dianggap sesat dan
syirik (menyekutukan Allah) oleh sebagian penganut agama lain. Karena di Indonesia sendiri
agama yang dianggap resmi oleh negara hanya ada 6, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu. Mau tidak mau, para penganut agama leluhur mengaku beragama salah
satu dari 6 agama tersebut, namun tidak menjalankan kewajiban yang ditetapkan.
Film dokumenter berdurasi 36 menit ini memaparkan sejarah di atas dan kondisi riil
penghayat/penganut agama leluhur saat ini. Secara garis besar, film ini mencakup tiga tema: 1)
pengenalan terhadap penghayat kepercayaan. Mereka bagian dari sejarah bangsa, tetapi minim
diketahui dan dipahami masyarakat umum. 2) Sejarah pengelolaan penghayat. Ketidak-tahuan
masyarakat terhadap penghayat di antaranya disebabkan oleh kebijakan negara yang telah
membuat penghayat seakan tak terlihat, tidak eksis. Jika eksis, statusnya negatif. 3) Penghayat
hari ini. Akhirnya, perubahan kebijakan negara akhir-akhir ini telah memberi jaminan hak sipil
kepada penghayat. Hanya saja, terlepas dari itu, penghayat masih harus terus bergulat dalam
memperjuangkan hak-haknya.
"Atas Nama Percaya" menceritakan perjalanan panjang kelompok penghayat kepercayaan atau
penganut agama leluhur untuk bertahan dan mendapat pengakuan dari negara dan
penerimaan dari masyarakat.
Film ini fokus pada dua komunitas: agama leluhur Marapu dari Sumba Barat Daya, Nusa
Tenggara Timur dan aliran kebatinan perjalanan di Jawa Barat.
Sebagian besar masyarakat Sumba masih menganut agama leluhur yang disebut Marapu. Bagi
penganut Marapu, mereka meyakini para leluhur mewariskan lara ina lara ama, atau jalan ibu
jalan bapa. Suatu ajaran yang menekankan ikatan sosial dan ikatan ekologis yang memberi
petunjuk bagi keselamatan warga Marapu. Terlepas dari kuatnya agama Kristen dan Katolik,
warga Marapu tetap teguh menjalankan tradisi mereka.
Salah satu kebiasaan yang dilakukan warga Marapu adalah berkumpul untuk memecahkan
masalah. Seperti contoh ketika ada tamu yang ingin melakukan pengambilan gambar di area
Uma Kalada, mereka melakukan ritual potong ayam dengan tujuan mendapatkan petunjuk
Marapu terkait permohonan ijin pengambilan gambar di area Uma Kalada atau rumah besar
yang keramat.
Lewat usus ayam yang disembelih, kehendak Marapu dibaca dan dipahami. Petunjuk Marapu
disampaikan oleh rato (ketua suku) bahwa kamera tidak boleh masuk di area Uma Kalada,
hanya gambar dari kejauhan yang boleh diambil.
Selanjutnya, Aliran Kebatinan Perjalanan di Jawa Barat adalah salah satu organisasi penghayat
kepercayaan, yang didirikan 17 September 1927 di desa Cimeria, Subang, Jawa Barat. Mereka
melakukan segala rutinitas diskusi di Pasewahan.
Kebatinan memiliki kepercayaan inti tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dan menekankan
kehidupan manusia sebagai perjalanan menuju Tuhan. Ritual mereka adalah praktik keseharian
yang dilandasi dengan kesadaran pada perjalanan menuju Tuhan.
Sekalipun Marapu dan Aliran Kebatinan perjalanan menyebut kepercayaan mereka sebagai
agama leluhur, tetapi pemerintah Indonesia tak mengakuinya. Di Indonesia hanya ada 6 agama
yang diakui, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Marapu dan aliran
kebatinan perjalanan, juga agama leluhur lainnya, di stigma primitif, animis, sesat, dan berbagai
istilah negatif lainnya. Akibatnya dari waktu ke waktu, penganut agama leluhur mengalami
tekanan dan diskriminasi, baik oleh negara maupun oleh pemeluk agama yang diakui negara.
Contoh kasus diceritakan oleh Timih Hima Yanti, penganut Aliran Kebatinan Perjalanan,
suaminya pernah di todong pistol dan kakinya diinjak menggunakan kaki meja karena dituduh
antek PKI, karena tidak memiliki agama.
Diketahui bahwa pada rezim demokrasi terpimpin, PKI berkembang sehingga mampu menjadi
partai komunis terbesar ketiga di dunia pada waktu itu. Ia berhasil menginfiltrasi rakyat melalui
kesenian, dan berbagai pertunjukan-pertunjukan seperti wayang, ketoprak, ludruk, reog, dan
lain-lain. Banyak dari kesenian dan pertunjukan tersebut diklaim berafiliasi dengan Lekra,
underbow PKI.
Setelah peristiwa penculikan 6 jenderal TNI pada 30 September 1965, kelompok militer menjadi
satu-satunya kekuatan tak tertandingi dalam politik Indonesia. Jenderal Soeharto menduduki
puncak struktur kekuasaan pemerintah Indonesia selama rezim Orde Baru.
Tahun 1966, terjadi pembersihan kelompok-kelompok yang sebelumnya diinfiltrasi oleh PKI
mulai dilakukan oleh penguasa/militer, dengan dukungan kelompok Islam. Kelompok Kebatinan
ikut dicurigai dan dituduh terkait dengan PKI. Karena kecurigaan dan tekanan pemerintah serta
antipati kelompok Islam, banyak Kelompok Kebatinan tidak berani melaksanakan ritual-ritual
secara terbuka.
Dalam suasana yang penuh ketegangan, sebagian besar Kelompok Kebatinan berafiliasi ke salah
satu dari enam agama yang diakui negara sebagai strategi untuk menghindarkan diri dari
tuduhan belum beragama yang diklaim sama dengan komunis. Kecurigaan dan tuduhan
terhadap Kelompok Kebatinan sebagai komunis dan tekanan kepada mereka untuk
menunjukkan dirinya benar-benar muslim, justru menjadi bumerang bagi Kelompok Islam.
Mereka yang tadinya mengidentifikasi diri sebagai Muslim akhirnya memilih agama Kristen,
Katolik, atau Hindu.
Setelah Soeharto menjabat presiden dan membentuk Partai Golongan Karya (Golkar), untuk
mendapatkan simpati, Golkar menghidupkan kembali organisasi-organisasi kebatinan. Pada
tahun 1960an, kelompok Kebatinan menerima dukungan dari elit-elit politik dan militer yang
memiliki latar belakang kejawen. Lambat laun, pemimpin-pemimpin Kelompok Kebatinan
diminta bergabung ke Golkar.
Problematika Agama Leluhur Marapu dan Aliran Kebatinan Perjalanan Saat Ini
Menurut film dokumenter "Atas Nama Percaya", terdapat tiga problematika yang dihadapi
Marapu dan Aliran Kebatinan Perjalanan saat ini.
1. Pertama, dilematika kolom agama di KTP dan KK. Para Penganut Aliran Kebatinan memilih
beberapa sikap, 1) mengosongkan agama di KTP dan KK, 2) mengisi agama dengan memilih
salah satu dari 6 agama yang diresmikan pemerintah, namun tidak mengamalkan agama
sesuai yang tercatat, 3) mengganti kata agama menjadi kepercayaan, 4) mengganti kata
agama dengan kepercayaan "kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa".
2. Kedua, stigma masyarakat dan pemerintah. Penganut agama leluhur dan aliran kebatinan
mengalami stigma sejarah yang panjang dan pasang surut pengakuan dari negara. Sejak
berdirinya Departemen Agama pada 1946, Depag menetapkan hanya tiga agama yang
dilayani, yaitu Islam, Kristen, dan Katolik. Kemudian akhir 1950an Hindu dan Budha diakui
dan dilayani, meskipun perkembangannya jauh lebih dulu daripada Islam, Kristen, dan
Katolik. Tahun 1965 Konghucu juga dilayani sebagai agama. Sedangkan Aliran Kebatinan
yang juga menuntut pengakuan dan pelayanan dari departemen agama, ditolak. Bahkan
dituduh sebagai kelompok sesat dan mengganggu ketertiban umum. Seperti yang dialami
Cakra Anggara dimana ketika SD-SMP ia dianggap sesat oleh teman-temannya karena
menganut Aliran Kebatinan.
3. Ketiga, pendidikan agama leluhur dan aliran kebatinan belum ada di sekolah. Bagi
penganut aliran Marapu orang tua serta masyarakatnyalah yang mengajarkan tentang
agama leluhur Marapu. Para orang tua berusaha mempertahankan agama Marapu. Tiap-
tiap keluarga diharuskan adanya pewaris agama Marapu. Seperti yang dialami Nono Bani,
rato (kepala suku) Merapu dimana ia memiliki 9 anak, anaknya yang 7 sudah dibabtis, dan
yang 2 belum. Maka ia berharap anaknya yang nomor 9 lah yang akan mewarisi Merapu.
Sedangkan untuk Aliran Kebatinan mereka belajar dengan penyuluh penghayat. Materi yang
diajarkan yaitu tentang sejarah, budi pekerti, dan spiritual yang dilaksanakan setiap hari Sabtu
dan Minggu pukul 18.00-20.00.
***
Demikianlah deskripsi terkait film dokumenter "Atas Nama Percaya", tentang agama leluhur
Merapu dan Aliran Kebatinan Perjalanan.