Anda di halaman 1dari 12

"Atas Nama Percaya", Memahami Mereka yang Menganut Agama Leluhur dan

Aliran Kebatinan

Agama leluhur adalah istilah yang digunakan merujuk kepada praktik-praktik keagamaan lokal
yang sering diklaim sebagai praktik animis, magis, adat, budaya, dan seterusnya.

Di antara contohnya adalah semedi, sesajen, kunjungan (ritual) ke gunung, hutan, sungai, dan
lain-lain, bersih desa, dan seterusnya. Penganut agama leluhur lebih memaknai praktik
keagamaan mereka sebagai adat atau budaya masyarakat, daripada sebuah agama. Sehingga
mereka berkeyakinan untuk melestarikannya.

Namun, praktik keagamaan yang mereka lakukan kerap ditentang bahkan dianggap sesat dan
syirik (menyekutukan Allah) oleh sebagian penganut agama lain. Karena di Indonesia sendiri
agama yang dianggap resmi oleh negara hanya ada 6, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu. Mau tidak mau, para penganut agama leluhur mengaku beragama salah
satu dari 6 agama tersebut, namun tidak menjalankan kewajiban yang ditetapkan.

Film dokumenter berdurasi 36 menit ini memaparkan sejarah di atas dan kondisi riil
penghayat/penganut agama leluhur saat ini. Secara garis besar, film ini mencakup tiga tema: 1)
pengenalan terhadap penghayat kepercayaan. Mereka bagian dari sejarah bangsa, tetapi minim
diketahui dan dipahami masyarakat umum. 2) Sejarah pengelolaan penghayat. Ketidak-tahuan
masyarakat terhadap penghayat di antaranya disebabkan oleh kebijakan negara yang telah
membuat penghayat seakan tak terlihat, tidak eksis. Jika eksis, statusnya negatif. 3) Penghayat
hari ini. Akhirnya, perubahan kebijakan negara akhir-akhir ini telah memberi jaminan hak sipil
kepada penghayat. Hanya saja, terlepas dari itu, penghayat masih harus terus bergulat dalam
memperjuangkan hak-haknya.

"Atas Nama Percaya" menceritakan perjalanan panjang kelompok penghayat kepercayaan atau
penganut agama leluhur untuk bertahan dan mendapat pengakuan dari negara dan
penerimaan dari masyarakat. 

Film ini fokus pada dua komunitas: agama leluhur Marapu dari Sumba Barat Daya, Nusa
Tenggara Timur dan aliran kebatinan perjalanan di Jawa Barat.
Sebagian besar masyarakat Sumba masih menganut agama leluhur yang disebut Marapu. Bagi
penganut Marapu, mereka meyakini para leluhur mewariskan lara ina lara ama, atau jalan ibu
jalan bapa. Suatu ajaran yang menekankan ikatan sosial dan ikatan ekologis yang memberi
petunjuk bagi keselamatan warga Marapu. Terlepas dari kuatnya agama Kristen dan Katolik,
warga Marapu tetap teguh menjalankan tradisi mereka.
Salah satu kebiasaan yang dilakukan warga Marapu adalah berkumpul untuk memecahkan
masalah. Seperti contoh ketika ada tamu yang ingin melakukan pengambilan gambar di area
Uma Kalada, mereka melakukan ritual potong ayam dengan tujuan mendapatkan petunjuk
Marapu terkait permohonan ijin pengambilan gambar di area Uma Kalada atau rumah besar
yang keramat. 

Lewat usus ayam yang disembelih, kehendak Marapu dibaca dan dipahami. Petunjuk Marapu
disampaikan oleh rato (ketua suku) bahwa kamera tidak boleh masuk di area Uma Kalada,
hanya gambar dari kejauhan yang boleh diambil.

Selanjutnya, Aliran Kebatinan Perjalanan di Jawa Barat adalah salah satu organisasi penghayat
kepercayaan, yang didirikan 17 September 1927 di desa Cimeria, Subang, Jawa Barat. Mereka
melakukan segala rutinitas diskusi di Pasewahan. 
Kebatinan memiliki kepercayaan inti tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dan menekankan
kehidupan manusia sebagai perjalanan menuju Tuhan. Ritual mereka adalah praktik keseharian
yang dilandasi dengan kesadaran pada perjalanan menuju Tuhan.

Sekalipun Marapu dan Aliran Kebatinan perjalanan menyebut kepercayaan mereka sebagai
agama leluhur, tetapi pemerintah Indonesia tak mengakuinya. Di Indonesia hanya ada 6 agama
yang diakui, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Marapu dan aliran
kebatinan perjalanan, juga agama leluhur lainnya, di stigma primitif, animis, sesat, dan berbagai
istilah negatif lainnya. Akibatnya dari waktu ke waktu, penganut agama leluhur mengalami
tekanan dan diskriminasi, baik oleh negara maupun oleh pemeluk agama yang diakui negara.

Contoh kasus  diceritakan oleh Timih Hima Yanti, penganut Aliran Kebatinan Perjalanan,
suaminya pernah di todong pistol dan kakinya diinjak menggunakan kaki meja  karena dituduh
antek PKI, karena tidak memiliki agama. 

Diketahui bahwa pada rezim demokrasi terpimpin, PKI berkembang sehingga mampu menjadi
partai komunis terbesar ketiga di dunia pada waktu itu. Ia berhasil menginfiltrasi rakyat melalui
kesenian, dan berbagai pertunjukan-pertunjukan seperti wayang, ketoprak, ludruk, reog, dan
lain-lain. Banyak dari kesenian dan pertunjukan tersebut diklaim berafiliasi dengan Lekra,
underbow PKI.
Setelah peristiwa penculikan 6 jenderal TNI pada 30 September 1965, kelompok militer menjadi
satu-satunya kekuatan tak tertandingi dalam politik Indonesia. Jenderal Soeharto menduduki
puncak struktur kekuasaan pemerintah Indonesia selama rezim Orde Baru. 

Tahun 1966, terjadi pembersihan kelompok-kelompok yang sebelumnya diinfiltrasi oleh PKI
mulai dilakukan oleh penguasa/militer, dengan dukungan kelompok Islam. Kelompok Kebatinan
ikut dicurigai dan dituduh terkait dengan PKI. Karena kecurigaan dan tekanan pemerintah serta
antipati kelompok Islam, banyak Kelompok Kebatinan tidak berani melaksanakan ritual-ritual
secara terbuka.

Dalam suasana yang penuh ketegangan, sebagian besar Kelompok Kebatinan berafiliasi ke salah
satu dari enam agama yang diakui negara sebagai strategi untuk menghindarkan diri dari
tuduhan belum beragama yang diklaim sama dengan komunis. Kecurigaan dan tuduhan
terhadap Kelompok Kebatinan sebagai komunis dan tekanan kepada mereka untuk
menunjukkan dirinya benar-benar muslim, justru menjadi bumerang bagi Kelompok Islam.
Mereka yang tadinya mengidentifikasi diri sebagai Muslim akhirnya memilih agama Kristen,
Katolik, atau Hindu.

Setelah Soeharto menjabat presiden dan membentuk Partai Golongan Karya (Golkar), untuk
mendapatkan simpati, Golkar menghidupkan kembali organisasi-organisasi kebatinan. Pada
tahun 1960an, kelompok Kebatinan menerima dukungan dari elit-elit politik dan militer yang
memiliki latar belakang kejawen. Lambat laun, pemimpin-pemimpin Kelompok Kebatinan
diminta bergabung ke Golkar.

Problematika Agama Leluhur Marapu dan Aliran Kebatinan Perjalanan Saat Ini

Menurut film dokumenter "Atas Nama Percaya", terdapat tiga problematika yang dihadapi
Marapu dan Aliran Kebatinan Perjalanan saat ini.

1. Pertama, dilematika kolom agama di KTP dan KK. Para Penganut Aliran Kebatinan memilih
beberapa sikap, 1) mengosongkan agama di KTP dan KK, 2) mengisi agama dengan memilih
salah satu dari 6 agama yang diresmikan pemerintah, namun tidak mengamalkan agama
sesuai yang tercatat, 3) mengganti kata agama menjadi kepercayaan, 4) mengganti kata
agama dengan kepercayaan "kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa".
2. Kedua, stigma masyarakat dan pemerintah. Penganut agama leluhur dan aliran kebatinan
mengalami stigma sejarah yang panjang dan pasang surut pengakuan dari negara. Sejak
berdirinya Departemen Agama pada 1946, Depag menetapkan hanya tiga agama yang
dilayani, yaitu Islam, Kristen, dan Katolik. Kemudian akhir 1950an Hindu dan Budha diakui
dan dilayani, meskipun perkembangannya jauh lebih dulu daripada Islam, Kristen, dan
Katolik. Tahun 1965 Konghucu juga dilayani sebagai agama. Sedangkan Aliran Kebatinan
yang juga menuntut pengakuan dan pelayanan dari departemen agama, ditolak. Bahkan
dituduh sebagai kelompok sesat dan mengganggu ketertiban umum. Seperti yang dialami
Cakra Anggara dimana ketika SD-SMP ia dianggap sesat oleh teman-temannya karena
menganut Aliran Kebatinan.
3. Ketiga, pendidikan agama leluhur dan aliran kebatinan belum ada di sekolah. Bagi
penganut aliran Marapu orang tua serta masyarakatnyalah yang mengajarkan tentang
agama leluhur Marapu. Para orang tua berusaha mempertahankan agama Marapu. Tiap-
tiap keluarga diharuskan adanya pewaris agama Marapu. Seperti yang dialami Nono Bani,
rato (kepala suku) Merapu dimana ia memiliki 9 anak, anaknya yang 7 sudah dibabtis, dan
yang 2 belum. Maka ia berharap anaknya yang nomor 9 lah yang akan mewarisi Merapu.

Sedangkan untuk Aliran Kebatinan mereka belajar dengan penyuluh penghayat. Materi yang
diajarkan yaitu tentang sejarah, budi pekerti, dan spiritual yang dilaksanakan setiap hari Sabtu
dan Minggu pukul 18.00-20.00.

***
Demikianlah deskripsi terkait film dokumenter "Atas Nama Percaya", tentang agama leluhur
Merapu dan Aliran Kebatinan Perjalanan.

Sejarah Kelam Aliran Kebatinan Perjalanan

A. Mengenal Penghayat Kepercayaan


Apa itu kepercayaan?
Saat ini, terdapat 188 organisasi penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur yang telah
terdaftar di Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat,
Dirjen Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Akumulasi
warga penghayat dari jumlah organisasi tersebut adalah 11.288.957 jiwa. Jumlah yang
sebenarnya lebih banyak dari yang disebutkan karena masih terdapat banyak penghayat
kepercayaan baik di Jawa maupun di luar Jawa yang belum mendaftarkan diri.
Kata “kepercayaan” adalah istilah kebijakan yang berkaitan tetapi dibedakan dari “agama” oleh
negara. Pembedaan antar keduanya lebih karena kepentingan politik (akan diuraikan pada
tema kedua: sejarah pengelolaan kepercayaan oleh negara). Sebagian penghayat kepercayaan
menganggap bahwa kepercayaan dan agama adalah pada hakikatnya sama. Keduanya memiliki
ajaran atau tuntunan hidup, ritual, tradisi dan lain-lainnya. Keduanya mengajarkan tentang
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan (hubungan manusia dengan manusia), dan tentang
alam (hubungan manusia dengan alam). Mereka bahkan menyebut kepercayaannya sebagai
agama leluhur: agama yang mereka warisi dari leluhur (nenek moyang) secara turun temurun.
Dengan kata lain, jika negara melalui peraturan perundang-undangannya menyebutnya
kepercayaan, penghayat menyebutnya agama leluhur.
Kata kepercayaan memiliki beberapa sinonim seperti “kebatinan”, “kerohanian” dan
“spiritualitas”. Sejak awal kemerdekaan hingga pertengahan 1960an, kata-kata tersebut
dipergunakan secara bergantian oleh penghayat kepercayaan untuk menggambarkan
komunitas dan pokok ajarannya. Inti dari semua kata dan konsep tersebut adalah pemahaman
dan pengamalam esensi dan substansi ajaran keagamaan. Namun sejak akhir 1960-an, kata
kepercayaan lebih populer digunakan, karena kata tersebut memiliki rujukan hukum
sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945, khususnya pasal 29 ayat 2. Dalam UUD 1945 Hasil
Amandemen, kata kepercayaan juga disebut pada Pasal 28E ayat 2: “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya”.
Selain itu, kepercayaan juga memiliki kaitan erat dengan kata budaya dan adat. Banyak yang
berpandangan bahwa kepercayaan adalah budaya, atau keduanya sama. Pandangan tersebut
terpengaruh oleh kebijakan Orde Baru, tepatnya pada tahun 1978 melalui Ketetapan MPR
IV/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyatakan bahwa
kepercayaan bukan merupakan agama tetapi budaya. Secara politis (pandangan Orde Baru),
budaya adalah hasil karya manusia dalam berbagai bentuk seperti seni, ritual, tradisi dan lain-
lainnya tetapi semuanya berkaitan dengan urusan dunia (profan), dan tidak berkaitan dengan
urusan akhirat (sakral) yang merupakan domain agama. Serupa dengan itu, kata adat bagi
penganut agama leluhur sama dengan kepercayaan, sama saja dengan agama. Adatnya adalah
agama dan kepercayaannya. Yang membedakan lagi-lagi adalah negara, atau pemerintah
Indonesia yang mewarisi kebijakan Pemerintah Penjajah Belanda. Akibatnya hingga hari ini,
masyarakat adat tidak disebut sebagai masyarakat beragama, sekalipun masyarakatnya seperti
Marapu sekali lagi memahami adatnya sebagai agama (warisan) leluhurnya.
Kesimpulannya, pemaknaan kata-kata di atas dilakukan secara politis oleh negara yang
mengabaikan pandangan warganya sendiri. Akibatnya, seperti akan dipaparkan pada bagian
kedua, negara Indonesia sepanjang sejarahnya terus mendiskriminasi warganya, para
penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur.    
Keragaman penghayat kepercayaan
Jumlah organisasi kepercayaan yang ratusan menunjukkan bahwa penghayat
kepercayaan/agama leluhur sangat beragam. Keragaman tersebut tentu saja tidak dapat
digambarkan secara keseluruhan dalam satu film. Pemilihan dua komunitas yang tampak
kontras dalam beberapa aspek adalah upaya untuk menunjukkan keragaman tersebut. Aliran
Kebatinan Perjalanan adalah tipikal penghayat kepercayaan di Jawa. Mereka tinggal di kota dan
tampak lebih modern. Mereka memiliki infrastruktur organisasi yang bagus seperti
kepengurusan yang solid, pengelolaan anggota yang lebih rapi, tempat ibadah layaknya
penganut agama, dan seterusnya. Ketua AKP, Dr. Andri, salah satu tokoh dalam film, adalah
seorang dosen di Institut Teknologi Bandung. Beliau juga bagian dari presidium Majelis Luhur
Kepercayaan Indoensia (MLKI), organisasi induk untuk penghayat kepercayaan. Sementara
komunitas Marapu adalah tipikal penghayat kepercayaan/agama leluhur di luar Jawa. Mereka
tampak kental dengan tradisinya. Banyak di antaranya memiliki struktur adat, tetapi tidak
memiliki struktur organisasi (modern). Banyak orang menggambarkan mereka sebagai
komunitas tradisional, bahkan tertinggal. Gambaran semacam itu tentu saja bias dengan
perspektifnya yang modernis. Akan tetapi, penghayat kepercayaan di luar Jawa tidak semuanya
seperti Marapu (belum terorganisir secara modern), sebagaimana tidak semua yang di Jawa
seperti halnya AKP.
Di antara basis keragaman penghayat adalah karena ajaran dan tradisi mereka kental dengan
lokalitas. Mereka yang di Sumatra sangat kental dengan ke-Sumatra-annya, yang di Sulawesi
kental dengan ke-Sulawesi-annya, yang di Maluku kental dengan ke-Malukuannya, yang di
Kalimantan kental dengan ke-Kalimantan-nya, dan seterusnya. Para pendiri organisasi
kepercayaan adalah tokoh setempat, dan ajaran-ajarannya sangat terkait dengan teritori atau
tanahnya. Ajaran mereka tentang alam/lingkungan (ekologis) sangat kuat. Mereka menjaga
tanah, hutan, daerahnya sebagaimana mereka menjaga dirinya sendiri. Bagi mereka, tanah
adalah ibu yang wajib dijaga, dipelihara dan dilestarikan, dan tidak boleh dirusak atau dijual. Di
antara alasan yang berbasis pada ajaran kepercayaan/agama leluhurnya adalah bahwa tanah,
gunung, hutan, sungai dan lain-lainnya telah memberi yang dibutuhkan oleh mereka manusia.
Manusia dengan demikian wajib membalas jasa dengan menjaga dan tidak menghancurkannya.
Kasus komunitas Marapu dalam film adalah ilustrasi konkretnya. Jangankan merusak atau
menjualnya, mengambil gambar dari dekat saja tidak diperbolehkan. Demikian salah satu
bentuk kedekatan mereka dengan tanah dan teritorinya.
Distigma primitif, dituduh sesat
Dengan alam saja sangat peduli, apalagi dengan manusia. Ajaran kepercayaan/agama leluhur
juga menekankan bahwa kita semua manusia adalah satu kesatuan yang utuh. Kita semua
bersaudara. Ajaran tentang ketuhanan tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Nama organisanya
saja sudah secara literal menegaskan demikian: Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Terlepas dari kemuliaan ajarannya, penghayat kepercayaan harus mengalami diskriminasi dan
bahkan persekusi dari aparat negara dalam sejarah panjang Indonesia. Mereka distigma dan
diklaim primitif atau ketinggalan oleh masyarakat luas karena mewarisi tradisi leluhurnya. Di
saat dunia sedang dituntut untuk berkembang maju dengan ilmu pengetahuan dan teknologi,
penganut agama leluhur dituduh menentang perkembangan dan pembangunan, karena
mereka memilih hidup bersahaja dan menjaga tanah dan hutannya. Di saat hutan banyak
digunduli dan gunung ditambang untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan, mereka
justru melestarikannya. Dalam beberapa dekade terakhir, jasa-jasa dari banyak penganut
agama leluhur dalam melestarikan hutan mendapat penghargaan secara internasional. Dalam
konteks itu, peran penganut agama leluhur dalam merespon kerusakan lingkungan dianggap
penting dipelajari, bahkan diteladani.
Mereka dituduh sesat atau kafir karena ajaran dan tradisinya berbeda dari enam (6) yang diakui
dan dilayani oleh negara. Demikian di antara sebabnya mengapa mereka dipersekusi
sebagaimana diceritakan oleh ibu Timih Hima Yanti, salah satu tokoh dari AKP di film. Tuduhan
sesat atau kafir seringkali tidak didasarkan pada pengetahuan yang valid. Dengan pandangan
yang subjektif, misalnya seorang Muslim yang menggunakan perspektif ke-Islam-annya, atau
Kristen dengan pandangan ke-Kristen-annya, dan seterusnya, non-penghayat menjelaskan
berbagai kekurangan pengahayat/penganut agama leluhur. Tanpa dipelajari dan diteliti lebih
dahulu, dan tanpa ditemui secara langsung, penghayat dilabeli dengan istilah-istilah negatif
seperti disebutkan di atas.
Di antara sebab muncul dan berkembangnya stigma negatif terhadap kelompok
kepercayaan/agama leluhur karena ajarannya jarang, atau bahkan tidak dipelajari atau tidak
diajarkan. Masyarakat umum tidak mendapatkan pendidikan dan pengetahuan tentang
kepercayaan/agama leluhur. Sebagai warga negara yang sejatinya setara dengan warga negara
lainnya, penghayat kepercayaan/agama leluhur penting diketahui dan dipelajari. Kita semua
penting mengenali dan menghargai, dan bahkan mendukungnya agar mereka dapat
terbebaskan dari diskriminasi.
B. Sejarah Pengelolaan Kepercayaan oleh Negara
Mendefinisikan Agama, Menolak Kepercayaan.
Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah mengatur agama dan kepercayaan. Keduanya pun telah
menjadi perdebatan publik dan akademik sejak saat itu. Keduanya bahkan telah menjadi bagian
perdebatan politik di kalangan pendiri bangsa Indonesia saat mereka merumuskan dasar atau
konstitusi negara Indonesia. Mereka yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaaan Indonesia (BPUPKI) terbelah menjadi dua kelompok. Yang pertama
mengusung negara Islam dan kedua mengusung negara sekuler (negara tidak mengatur atau
mengelola agama). Terlepas dari keterbelahan tersebut, pada 22 Juni 1945 BPUPKI
menghasilkan rumusan konstitusi Negara Indonesia yang dikenal dengan Piagam Jakarta, yang
kemudian dimasukkan dalam pembukaan dan pasal 29 dalam Konsitusi. Akan tetapi, sehari
sebelum disahkan, tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1945, Piagam Jakarta diganti, tepatnya
kandungan tujuh (7) kata di dalamnya: “…kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”, menjadi “Yang Maha Esa”, seperti Pasal 29 ayat 1 saat ini. Pertimbangannya
adalah bahwa negara tidak boleh mengistemawakan atau membeda-bedakan warga negara,
dan wajib melayani setiap warga secara setara.
Pasal 29 ayat 2 ikut diubah, tetapi kata agama dan kepercayaan tetap disebutkan. Dengan Pasal
tersebut, negara wajib mengatur, mengelola dan melayani (pemeluk) agama. Untuk Pasal 29
ayat 2, tidak didapatkan penjelasan tentang agama apa yang akan dilayani. Enam (6) bulan
setelah Konstitusi disahkan, tepatnya setelah Departemen Agama dibentuk dan didirikan pada
Januari 1946, agama yang dimaksud (untuk dilayani) baru menjadi jelas: Islam, Kristen dan
Katolik. Hindu dan Buddha tidak diakui dan dilayani hingga belasan tahun kemudian, pada akhir
1950an.
Fakta sejarah pengakuan dan pelayanan agama-agama di atas menarik dan penting dicatat.
Menurut catatan sejarah, Hindu dan Buddha diperkirakan telah datang dari India dan
berkembang di Nusantara (yang kemudian menjadi Indonesia) sejak abad-abad pertama
Masehi, jauh sebelum Islam, Kristen dan Katolik. Selain itu, kata “agama” adalah berasal dari
bahasa Sanskerta dari India, yang dibawa ke Indonesia oleh orang Hindu/Buddha. Pemilik awal
kata agama, dengan demikian, adalah orang Hindu/Buddha. Berbeda dengan sejarahnya,
Hindu/Buddha awalnya tidak diakui oleh Departemen Agama RI. Kata agama, yang awalnya
adalah miliknya, diambil alih oleh Departemen Agama. Untuk mendapatkan pengakuan, mereka
harus menyesuaikan dengan makna agama yang baru, yang didefinisikan oleh Departemen
Agama: memiliki konsep Tuhan, memiliki nabi, kitab suci, dan pengakuan komunitas
internasional. Butuh belasan tahun bagi Hindu/Buddha untuk kemudian mendapatkan
pengakuan dan pelayanan.
Poin penting dari fakta sejarah pengakuan agama di atas adalah bahwa kata agama
didefinisikan oleh Departemen Agama RI, lembaga politik. Agama didefinisikan secara politik.
Istilah lainnya, agama adalah konstruksi politik. Sebagai konstruksi politik, agama seyogianya
menjadi instrumen bagi negara untuk melayani setiap warga negara secara setara, tidak
membedakan, apalagi mengistimewakan kelompok-kelompok tertentu, sebagaimana yang
menjadi alasan perubahan Piagam Jakarta di atas. Faktanya sekali lagi, negara justru melakukan
sebaliknya. Melalui pengakuan dan pelayanan agama, negara mengistimewakan Islam, Kristen
dan Katolik, membedakannya dengan Hindu dan Buddha hingga belasan tahun. Dalam
rangkaian sejarah (negara membedakan warganya) itu, Konghucu ikut diakui pada tahun 1965,
kemudian dilarang pada tahun 1967, dan baru kembali diakui pada tahun 2001. Konghucu
dilarang di sepanjang sejarah rezim otoritarian Orde Baru.
Kepercayaan dibedakan
Dalam konteks sejarah pengakuan agama di atas, penghayat kepercayaan/penganut agama
leluhur sejak awal dibedakan dan didiskriminasi hingga hari ini. Mereka juga telah berupaya dan
berjuang untuk diakui dan dilayani sebagaimana pemeluk keenam agama di atas. Berbagai
kelompok penghayat (yang awalnya menyebut diri sebagai kelompok kebatinan) mengorganisir
diri dan membentuk organisasi Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI) yang diketuai oleh
KMRT Wongsonegoro, salah satu anggota BPUPKI, perumus Dasar Negara RI. Mereka
melakukan konsolidasi, bersatu dan bersama-bersama menuntut hak pengakuan sebagai
agama.
Akan tetapi, Departemen Agama RI sejak awal menolaknya. Alih-alih mendapatkan pengakuan,
mereka justru dituntut memeluk salah satu dari enam agama di atas. Mereka dilarang, bahkan
diawasi agar tidak menjadi agama. Bagi Departemen Agama RI, kata kepercayaan sebagaimana
disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 adalah bagian dari agama. Kepercayaan tidak
berdiri sendiri atau terpisah dari agama. Demikian di antara alasan penolakan pengakuan
terhadap kepercayaan sebagai agama. Alasan lainnya adalah kelompok kepercayaan tidak
memenuhi persyaratan atau kriteria-kriteria dari defenisi agama Departemen Agama RI.
Beberapa kelompok kepercayaan sekali lagi berusaha memenuhi apa yang disyaratkan
Departmen Agama. Mereka melakukan seperti yang dilakukan oleh orang Hindu. Mereka
menuliskan ajarannya dan menghadirkannya sebagai kitab suci, menunjukkan bahwa mereka
memiliki pendiri (yang dapat disebut nabi), dan seterusnya. Yang sulit ditunjukkan adalah
pengakuan komunitas internasional. Seperti diuraikan sebelumnya, salah satu karakter
kepercayaan/agama leluhur adalah keterkaitan ajaran dan tradisinya dengan lokalitas atau
daerahnya. Karakter lainnya, yang khususnya membedakannya dengan agama-agama yang
diakui dan dilayani oleh negara, utamanya Islam dan Kristen, adalah mereka tidak menyebarkan
atau mengkonversi orang lain. Agama/kepercayaan Marapu misalnya adalah untuk orang
Sumba saja. Untuk kepercayaan seperti AKP, siapapun boleh ikut menjadi (atau keluar dari)
anggota. Seseorang melakukannya karena kehendak sendiri, bukan karena ajakan (atau
dakwah/misionari). Dengan karakter tersebut, mereka kesulitan memenuhi persyaratan yang
ada, atau Departemen Agama RI berhasil membuat kriteria yang tidak memungkinkan
kepercayaan untuk diakui sebagai agama. 
Diakui dan dilayani, tetapi bukan sebagai agama.
Setelah berjuang, tetapi gagal mendapatkan pengakuan dari Departemen Agama RI, penghayat
kepercayaan diarahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat ini disebut
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Penjelasannya adalah bahwa kepercayaan adalah
bukan agama, tetapi (sekedar) budaya. Di lembaga tersebut mereka mendapatkan pengakuan
dan pelayanan. Di dalamnya dibentuk suatu lembaga yang disebut Direktorat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (saat ini), yang khusus memberikan
pelayanan terhadap kelompok kepercayaan. Mereka diberi bantuan untuk mengembangkan
budaya (kepercayaannya).
Akan tetapi, pengakuan dan pelayanan yang mereka terima dari negara melalui Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan tidak menghilangkan kewajiban mereka untuk berafiliasi atau
memeluk salah satu dari 6 agama di atas. Negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila
mewajibkan setiap warga untuk memeluk agama (salah satu dari enam). Tampak ironis, bahwa
nama kepercayaan (terhadap Tuhan Yang Maha Esa) tegas merujuk ke Sila 1 dari Pancasila,
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang merupakan rujuan hukum terkait wajibnya negara
mengelola agama, justru tidak diakui sebagai agama oleh negara.
Kepercayaan, sekali lagi, memang diakui dan dilayani, tetapi status kewarga-negaraan
penghayat belum dianggap penuh jika tidak memeluk salah satu agama. Mereka wajib
mengikuti pendidikan agama yang dipeluknya, bukan kepercayaan yang dihayatinya. Mereka
wajib melaksanakan pernikahan sesuai agama yang dipeluknya, bukan kepercayaan yang
dihayatinya, jika pernikahannya ingin dicatatkan di negara.
Situasi tersebut berlangsung sejak Orde Lama. Bahkan di akhir Order Lama, setelah peristiwa 30
September 1965, dimana pemerintah pada saat itu sedang gencar-gencarnya dalam upaya
membasmi Partai Komunis Indonesia (PKI), seluruh pendukung dan simpatisannya, kelompok
kepercayaan pun ikut terkena dampaknya. Pada masa itu, komunisme yang dituduh sebagai
anti-agama dipertentangkan dengan agama. Akibatnya, siapapun yang tidak memeluk (1 dari 6)
agama segera dicurigai dan bahkan dituduh sebagai antek PKI. Ada banyak cerita bahwa
mereka, seperti kelompok kepercayaan, yang tidak tahu menahu persoalan PKI, ikut diculik dan
disiksa karena tidak dapat menunjukkan bahwa mereka pemeluk agama. Para penghayat
kepercayaan pun berbondong-bondong menyatakan diri sebagai pemeluk salah satu agama,
demi menyelamatkan diri dari persekusi.
Situasi penghayat sempat berubah setelah rezim Orde Baru menancapkan kekuasaannya,
tepatnya pada periode 1973-1978. Berbeda dengan sebelumnya, pemerintah pada periode
tersebut memberi pengakuan, perlindungan dan pelayanan terhadap kelompok kepercayaan.
Pada tahun 1970, Golongan Karya (Golkar), partai penguasa, telah membentuk lembaga yang
disebut Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK), khusus untuk mengurusi kepentigan
kelompok kepercayaan, sekalipun tujuan utamanya adalah untuk kepentingan suara politik.
Selain kelompok kepercayaan, kelompok masyarakat adat juga dimasukkan dan diurusi dalam
SKK tersebut. Dukungan Golkar terhadap kelompok kepercayaan semakin kuat pada 1973.
Melalui Tap MPR IV/1973, kepercayaan dianggap setara dengan agama, yang pada waktu itu
hanya 5 minus Konghucu yang dilarang pada 1967. Penghayat boleh menikah dengan cara
sistem kepercayaannya sendiri, tanpa melalui agama. Mereka bahkan dapat merayakan hari
besar mereka yang jatuh pada tanggal 1 Suro, dan perayaannya dihadiri oleh Presiden dan
Menteri Agama. Dapat dikatakan bahwa periode ini adalah momen politik terbaik bagi
kelompok kepercayaan.
Pada tahun 1978, situasinya berubah secara drastis. Nasib penghayat kembali seperti
sebelumnya, bahkan pengawasannya makin ketat. Melalui Tap MPR IV/1978, kepercayaan
kembali ditegaskan sebagai bukan merupakan agama, tetapi budaya. Ketetapan tersebut diikuti
dengan berbagai kebijakan untuk memastikan bahwa kepercayaan diperlakukan sekedar
sebagai budaya, dan penghayatnya wajib kembali memeluk salah satu agama. Surat Edaran
Kementerian Agama, dikirim ke Kementerian Dalam Negeri, selanjutnya disampaikan ke seluruh
jajaran hingga tingkat paling bawah, yang misalnya menyatakan bahwa pencatatan pernikahan
hanya dengan sistem pernikahan dari 5 agama. Sistem pernikahan kepercayaan tidak akan
dilayani atau dicatatkan. Seorang anak penghayat yang lahir dari orang tua dengan pernikahan
dengan sistem kepercayaan (tidak bisa dicatatkan oleh negara) terpaksa diberikan akte lahir
dengan mencantumkan nama ibu, tanpa nama bapak. Anak tersebut menjadi obyek
perundungan sebagai anak tanpa bapak (atau anak haram). Selain itu, kebijakan negara yang
sangat efektif adalah pengadaan kolom agama di KTP, yang sebelumnya tidak ada. Setiap warga
negara yang mengurus KTP, syarat utama yang harus dimiliki untuk mengakses segala fasilitas
negara, harus menuliskan salah satu dari lima agama (Konghucu belum diakui). Hanya dengan
menuliskan agama, setiap warga termasuk penghayat dapat mendapatkan KTP.
Hingga tahun 2006, penghayat terpaksa mencantumkan salah satu agama yang diakui pada
kolom agama di KTP mereka. Dengan UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) 23/2006,
yang salah satu pasalnya membolehkan penghayat untuk mengosongkan kolom agama di KTP,
penghayat tidak lagi wajib memilih agama. Terdapat banyak penghayat mengosongkan kolom
agama, tetapi sebagian yang lain tetap mencantumkannya. Di antara alasannya adalah
kekhawatiran distigma dan dituduh tidak beragama. Kekhawatiran tersebut faktanya dialami
oleh mereka yang mengosongkan kolom agama.
Stigma tidak beragama seringkali berupa norma sosial (sah dieksklusi secara sosial), dan bahkan
berupa norma hukum (sah didiskriminasi, tidak dilayani oleh aparat sipil negara). Fakta tersebut
diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review (JR) terhadap pasal pengosongan
kolom agama dalam UU Adminduk 2006 oleh 4 perwakilan penghayat yang didampingi oleh
sejumlah lembaga masyarakat sipil pada tahun 2016. Pada November 2017, MK melalui
putusannya mengabulkan JR dan menyatakan bahwa pasal pengosongan kolom agama
bertantangan dengan UUD 1945. Sejak itu, kepercayaan resmi diakui setara dengan agama.
Penghayat pun sah mencantumkan kepercayaan (bukan agama) di KTP mereka.
C. Penghayat Kepercayaan/Penganut Agama Leluhur Hari Ini
Putusan MK tentu saja bukan peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Ia adalah hasil dari rangkaian
upaya bertahan para penghayat dan penganut agama leluhur dengan berbagai strateginya, dan
advokasi panjang baik oleh komunitas penghayat sendiri maupun oleh aktivis pendamping dan
aktor-aktor lainnya.
Jaminan hak sipil penghayat
Hari ini, pemerintah telah menyediakan KTP khusus buat penghayat kepercayaan. Dengan
demikian, terdapat dua macam KTP: KTP agama dan KTP kepercayaan. Penghayat kepercayaan
yang kolom agama di KTP sebelumnya ditulis strip (-) atau kosong dapat meminta perubahan
atau pergantian KTP dengan kolom kepercayaan di pemerintah setempat. Hingga saat ini, sudah
belasan ribu penghayat yang telah mengganti dan memiliki KTP kepercayaan. Jumlah tersebut
diperkirakan akan terus bertambah seiring berkembangnya waktu.
Pernikahan penghayat juga sudah dapat dicatatkan. Asal dilakukan dengan prosuder yang telah
disedikan, misalnya pernikahannya diselenggarakan oleh seorang penghulu penghayat yang
sudah didaftarkan di pemerintah, pernikahannya akan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Sekalipun belum maksimal, pendidikan kepercayaan pun semakin dikembangkan oleh
Direktorat Kepercayaan bekerjasama dengan MLKI, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat
lokal. Pendidikan Kepercayaan (sebanding dengan pendidikan agama) telah diajarkan di
sekolah-sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA. Murid dari anak penghayat sudah dapat menerima
pendidikan tersebut karena negara wajib menfasilitasinya. Di sekolah negeri dimana ada anak
penghayat kepercayaan, pendidikan kepercayaan wajib diberikan.
Respons terhadap perubahan kebijakan
Terlepas dari adanya perubahan kebijakan yang memberi jaminan hak sipil kepada penghayat
kepercayaan, respon aparat pemerintah, masyarakat, termasuk penghayat sendiri masih
beragam. Di berbagai daerah, pelayanan pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak penghayat
belum maksimal. Di antara alasannya adalah karena sosialisasi perubahan kebijakan, khususnya
tentang prosedur akses layanan, belum menjangkau seluruh penghayat/penganut agama
leluhur. Terbukti misalnya bahwa dari belasan juta warga penghayat yang organisasinya
terdaftar di pemerintah belum semuanya mengganti KTP. Jumlah yang telah mengganti KTP
bahkan masih sangat kecil.
Selain sosialisasi, infrastruktur pelayanan juga masih minim. Dalam hal pendidikan kepercayaan
misalnya, masih banyak sekolah yang belum bersedia memberikan pelayanan. Selain itu, tenaga
penyuluh atau guru kepercayaan masih sangat minim jumlahnya. Terkait penyuluh/guru
kepercayaan, ceritanya bahkan agak miris. Mereka adalah warga penghayat yang diberi
pelatihan hingga sertifikasi oleh Direktorat Kepercayaan bekerjasama MLKI, tetapi dalam
praktik pengajaran, mereka masih mengandalkan sistem swadaya, tanpa honor. Terdapat
beberapa penyuluh yang harus mengajar di beberapa sekolah yang berjarak jauh hingga lintas
kecamatan dan bahkan kabupaten dengan ongkos sendiri. Berbekal komitmen dan ketulusan
yang benar-benar tanpa pamrih, mereka menjalankan tugas.
Kelompok warga negara non-penghayat juga belum sepenuhnya memahami penghayat
kepercayaan. Ada yang telah menerima dan menghargainya, misalnya ketua NU KH. Imam Azis
dan Sekjen Muhammadiyah Dr. H. Abdul Mu’ti (dua organisasi Islam terbesar di Indonesia)
seperti ditampilkan di film. Akan tetapi banyak pula yang belum sepenuhnya menerimanya.
Harapan misalnya agar penghayat kepercayaan dapat dilibatkan di forum-forum bersama
keagamaan masih sulit dipenuhi.
Kalangan penghayat kepercayaan pun masih beragam. Terdapat beberapa yang sudah tegas
secara publik menyatakan diri sebagap penghayat kepercayaan. Mereka antusias mengganti
KTP-nya segera setelah dimungkinkan. Bagi mereka, setelah lama ditekan dan bersembunyi,
saatnya muncul dan mendeklarasikan diri kepada publik. Di antara tujuannya adalah agar
publik, sesama warga negara tahu dan paham tentang siapa penghayat. Sebagian lainnya tegas
menampilkan diri sebagai penghayat, tetapi belum dapat mengganti KTP-nya. Mereka masih
menggunakan KTP agama.
Ada beberapa alasan dari berbagai kelompok penghayat terkait KTP agama mereka. Pertama,
mereka belum yakin dengan perubahan kebijakan yang memang relatif baru hingga hari ini.
Trauma masa lalu masih cukup segar di ingatan mereka. Mereka khawatir jika di kemudian hari,
kebijakan kembali berubah, dan nasib mereka kembali dikejar-kejar. Kedua, mereka merasa
bahwa tetangga mereka, komunitas di mana mereka tinggal bersama, belum menerima
identitasnya sebagai penghayat secara penuh. Mereka khawatir akan dikucilkan jika mengganti
KTP. Ketiga, agama yang dipeluknya tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan
kepercayaannya. Mereka nyaman dengan KTP agama, atau bahkan menjadi anggota komunitas
agama yang baik dan taat, sambil mempraktikkan kepercayaan. Keduanya sama penting dan
saling mengembangkan. Keempat, persayaratan dan prosedur pemerintah agar mereka dapat
dilayani sangat memberatkan. Mereka harus memiliki organisasi kepercayaan dengan berbagai
persyaratannya untuk didaftar di pemerintah. Salain kekhawatiran politik (seperti masa lalu,
bagian dari trauma mereka), organisasi dengan sistem modern terlalu memberatkan atau tidak
sesuai dengan karakter penghayat/penganut agama leluhur.
Penutup
Pengakuan kesetaraan yang telah diuraikan harus diakui bahwa ia jelas merupakan langkah
maju menuju kewarganegaraan yang inklusif. Tetapi sejumlah tantangan masih tersisa.
Sinkronisasi perundang-undangan terkait agama/kepercayaan, yang mensyaratkan kehendak
politik yang kuat dari para pengambil kebijakan, mutlak diperlukan. Penerimaan masyarakat
pun belum merata. Dialog dan sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas
agama leluhur perlu untuk menuntaskan pengakuan dan kesetaraan bagi warga penghayat
kepercayaan.

Anda mungkin juga menyukai