Anda di halaman 1dari 3

Nama kelompok:

1. Nida’ tri farah A.(21).


2. Sindi rahmawati (31)

MASJID AL MUTTAQIN .

Tidak ada manuskrip autentik yang dapat menjelaskan tahun berdirinya Masjid Jami al-Muttaqin
Kaliwungu ini. Tetapi, dari silsilah alur waris masjid ini, diyakini oleh masyarakat bahwa masjid ini
didirikan pada abad XVII M.

Pendapat ini didasarkan pada angka tahun yang tertera pada makam Kiai Guru Asari, pendiri masjid
ini. Memang, tidak jauh dari lokasi masjid, dapat kita temukan kompleks makam Kiai Guru Asari dan
para keluarga serta keturunannya yang sampai saat ini masih dikeramatkan dan diziarahi oleh
masyarakat Kendal dan kota-kota lain di Tanah Air ini.

Guru Kiai Asari adalah putra Kiai Ismail dari Yogyakarta. Kalau kita teliti dari buku silsilah yang kini
masih disimpan oleh para pewarisnya, Kiai Guru Asari termasuk keturunan Maulana Malik Ibrahim.

Masjid yang berlokasi di pertigaan jalur utama Jakarta-Semarang dan jalan masuk perkampungan
yang sangat strategis ini telah mengalami beberapa kali perbaikan dan penggantian.

Menurut Kiai Farchan, pewaris kedelapan Kiai Guru Asari, bentuk asli masjid ini sebenarnya sudah
mengalami perubahan beberapakali. Hanya saja, pada perbaikan tempo dulu tidak pemah tercatat
secara tertib.

Yang dapat diketahui secara pasti hanya empat kali dengan yang terakhir ini. Antara lain, perbaikan
yang dilakukan oleh Kiai Muhammad pada awal abad XX, yaitu penggantian atap masjid yang semula
terbuat dari daun alang-alang, kemudian digantikan dengan seng.

Kemudian Kiai Abdullah, putra Kiai Muhammad juga telah melakukan penggantian atap seng dengan
genteng. Setelah itu, pada tahun 1922, Kiai Abdul Rosyid mengembangkan bangunan masjid dan
serambi. Kiai Hisyam Naib pada tahun 1955 kembali menyempurnakan dan meluaskan bangunan
karena tidak mencukupi kebutuhan akan jamaah yang membludak.

Kedatangan Kiai Guru Asari dan keberadaan Masjid Jami yang pada mulanya hanya sebuah surau
atau langgar itu rupanya membawa perubahan besar bagi masyarakat Kaliwungu dan sekitarnya.
Terbukti sekarang, setelah beberapa ratus tahun sepeninggal Kiai Guru Asari, Kaliwungu benar-benar
menjadi daerah pesantren yang marak dan terkenal dengan julukan “Kota Santri”.

Kalau Anda melewati gang-gang di daerah ini, Anda akan me¬nyaksikan puluhan pondok pesantren
berdiri bak jamur di musim hujan, baik itu pondok pesantren putri maupun khusus putra dan juga
pondok pesantren umum yang megah dengan ratusan santri yang berasal dari berbagai daerah di
Nusantara.

Yang paling menarik dari masjid bersejarah ini adalah kegiatan Upacara Syawalan yang diadakan
setiap tanggal 7 sampai tanggal 14 Syawal setiap tahunnya. Upacara Syawalan ini sebenarnya
adalah upacara haul wafatnya Kiai Guru Asari. Tetapi, pada saat sekarang ini kegiatan Upacara
Syawalan ini lebih menonjol sebagai kegiatan pasar malam satu minggu. Bahkan kadang-kadang
sampai setengah bulan di alun-alun depan masjid.

Masyarakat muslim di Jawa Tengah, terutama para orang tua merasa belum sempurna kalau tidak
mengunjungi Upacara Syawalan ini, walaupun hanya sehari. Syawalan yang diadakan setiap tahun
pada tanggal 17 Syawal itu sebenarnya adalah Upacara Haul wafatnya Kiai Guru Asari. Jadi, para
pengunjung itu melakukan ziarah ke makamnya sebagai orang yang telah berjuang menyebarkah
agama Islam di daerah Kaliwungu.

Keberadaan Masjid Al-Muttaqin dinilai mampu menjadi tumpuan bagi kesejahteraan masyarakat
yang tinggal di sekitarnya. Salah satunya lewat perputaran ekonomi.

NU Online berkesempatan singgah di masjid Al-Muttaqin pada Senin (25/6). Saat itu di Kaliwungu
masih dalam suasana Syawalan yang berlangsung selama hampir dua pekan setelah lebaran,
sehingga kemeriahan dan keriuhan tradisi ini masih bisa dirasakan.

Kemeriahan tradisi syawalan yang dihelat di seputar masjid Al-Muttaqin dengan ribuan
pengunjungnya memang menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar. Seakan tidak ada ruang
kosong, ratusan lapak dengan berbagai ukuran berdiri dengan menjajakan jenis dagangan yang
menawarkan harga murah bagi para pengunjung. Mereka mendapat income dari aktivitas
perdagangan, termasuk juga lahan parkir.

Tidak hanya itu, keberadaan berbagai wahana permainan, seperti kereta anak, komedi putar,
bianglala, ombak banyu, kora-kora, rumah hantu, semakin menarik minat masyarakat untuk
datang menikmati keramaian.
Keberadaan Masjid Al-Muttaqin dengan tradisi kearifan lokal di dalamnya benar-benar mampu
memberi dampak yang positif bagi kesejahteraan dan keberkahan ekonomi masyarakat.

Maka sangat layak bila fungsi masjid tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, namun juga
digunakan sebagai tempat membangun dan memberdayakan kesejahteraan masyarakat dengan
tanpa mengurangi nilai-nilai religiusitas masjid itu sendiri.

1. Gambar pada saat wawancara kepada pengurus masjid.

Anda mungkin juga menyukai