Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH AGAMA ISLAM II

MENGENAL MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK ALLAH

(MAKRIFATUL INSAN)

Disusun Oleh :

Kelompok 5 A2-2017

Yustika Isnaini 131711133076


Uswatun Mujayana 131711133078
Neli Widia Astuti 131711133081
Rahmi Yunita 131711133086
Indah Putri Pinanti 131711133108
Muhammad Rafly Bagus N 131711133119
Tirta Muhammad Rizki 131711133137
Anita Tria Purnamasari 131711133140
Taqiyatul Izzah 131711133152

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT, karena dengan


keberkahanNya kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah “MENGENAL
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK ALLAH (MAKRIFATUL INSAN)” ini
dengan lancar dan dengan sedikit rintangan yang mampu diselesaikan bersama.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada Dosen Agama II yang telah
membimbing kami, serta teman-teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesai dengan tepat waktu.

Harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Serta
kami mohon atas kritik dan saran dari seluruh pembaca jika ada ada yang kurang
dalam penulisan materi dalam makalah ini agar makalah ini lebih baik
kedepannya.

Surabaya, 17 September 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan........................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3

2.1 Definisi Manusia................................................................................................3

2.2 Hakikat Penciptaan Manusia..............................................................................3

2.3 Proses Penciptaan Manusia................................................................................5

2.3.1 Proses Penciptaan Manusia Dilihat Berdasarkan Al-Qur’an..........................5

2.3.2 Penafsiran Hadist Menurut Imam Nawawi.....................................................6

2.3.3 Proses Penciptaan Manusia Berdasarkan Sains .............................................8

2.4 Potensi Manusia.................................................................................................9

2.4.1 Potensi Internal.............................................................................................10

2.4.2 Potensi Eksternal...........................................................................................13

2.4.3 Tugas Hidup Manusia Dalam Islam..............................................................15

2.5 Jiwa Manusia....................................................................................................17

2.5.1 Pembagian Jiwa.............................................................................................18

2.6 Sifat Manusia...................................................................................................19

2.7 Tujuan Manusia Diciptakan Sebagai Makhluk Allah…………………..........20

2.8 Tugas Manusia………………………………………………………….........23

2.9 Definisi Ibadah............………………………………………………………24

iii
2.10 Hakikat Ibadah.................................................…………………………......25

2.11 Cakupan Ibadah..............................................................................................26

2.12 Syarat Diterimanya Ibadah.............................................................................31

2.12.1 Iman............................................................................................................31

2.12.2 Ikhlas...........................................................................................................34

2.12.3 Ittiba’...........................................................................................................37

BAB 3 Kesimpulan Dan Saran..............................................................................39

3.1 Kesimpulan......................................................................................................39

3.2 Saran................................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................40

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidup manusia mempunyai tugas dan tujuan yang harus dijalankan


sebaikbaiknya, namun kenyataan yang terjadi banyaknya manusia yang
melalaikan tugas dan tujuannya di dunia ini. Manusia seharusnya mengingat
tujuan hidup di dunia ini dan melaksanakan tugasnya dengan baik, sebab
kehidupan manusia di dunia ini bukanlah bersifat kekal atau selamanya. Hidup
manusia di dunia ini adalah tempat singgah untuk mencari bekal amal di akhirat
kelak. Oleh sebab itu manusia harus menjalankan hidup ini dengan sungguh-
sungguh agar tidak lewat begitu saja dengan sia-sia. Di zaman yang serba canggih
saat ini, manusia sibuk mengejar urusan duniawi, mencari pangkat dan jabatan
(materi) seakan ia hidup selamanya di dunia ini dan melupakan tugas dan
tujuannya yang harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Manusia seharusnya mengingat tujuan hidup di dunia ini yang akan


berakhir dan bersifat sementara. Konsep tentang manusia sangat penting
artinya di dalam suatu sistem pemikiran, khususnya kajian filsafat, baik
filsafat Islam maupun filsafat Barat. Pentingnya arti konsep manusia di dalam
sistem pemikiran dan kerangka berfikir karena hakikat manusia adalah subjek
yang mengetahui. Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan
oleh Allah dibanding dengan makhluk lain. Oleh sebab itu manusia adalah
makhluk tertinggi, puncak ciptaan Allah, karena keutamaan manusia itu, maka
manusia memperoleh tugas yaitu sebagai khalifah Allah di bumi.

Manusia pada umumnya terdiri dari dua subtansi, yaitu subtansi yang
bersifat materi (badan) dan subtansi yang bersifat immateri (jiwa) dan hakikat dari
manusia adalah subtansi immaterinya yaitu jiwanya. Kesempurnaan manusia
diperoleh dengan jalan mempertajam daya berfikirnya. Manusia bisa hidup

1
karena adanya roh, sehingga dapat berpikir dan mampu berpikir. Manusia yang
hidup itu disebut insan (manusia). Tetapi bilamana roh terpisah dari jasadnya,
maka disebut dengan mayat, bukan disebut insan lagi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa tujuan manusia hidup di dunia?


2. Bagaimana hubungan manusia dengan tingkat ibadahnya?
3. Apa saja hakekat penciptaan manusia?
4. Bagaimana proses penciptaan manusia sebagai makhluk Allah SWT?
5. Apa saja hakekat manusia beribadah kepada Allah SWT?

1.3 Tujuan

Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui tujuan hidup manusia di dunia sebagai makhluk Allah


SWT.

Tujuan khusus

1. Mengetahui definisi manusia dan definisi ibadah kepada Allah SWT


2. Mengetahui hakikat penciptaan manusia dan ibadah kepada Allah SWT
3. Mengetahui proses penciptaan manusia
4. Mengetahui cakupan dan diterimanya ibadah manusia

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Manusia

Berdasarkan perspektif Al-Qur’an, manusia adalah makhluk yang paling


sempurna diciptakan oleh Allah baik secara rohani maupun jasmani yang
memiliki akal dan nafsu. Malah didalam Al-Qur`an Allah mengisyaratkan bahwa
manusia adalah makhluk yang paling mulia (Bilfaqih, 2018; Chatterjee & Noble,
2016; Huda & Kartanegara, 2015). Manusia adalah makhluk yang sangat menarik
(Lewenberg, Bachrach, Shankar, & Criminisi, 2016; Mojetta, Travaglini, Scacco,
& Bottaro, 2018).
Para ahli telah mengkaji manusia menurut bidang studinya masing-masing tetapi
sampai sekarang para ahli belum mencapai kata sepakat tentang hakekat manusia
itu sendiri. Ini terbukti dari banyaknya penamaan manusia misalnya secara
biologis, mausia diklasifikasikan sebagai homo sapiens (manusia berakal) yakni
spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak yang berkemampuan
tinggi. Manusia juga disebutkan sebagai homo economicus (manusia ekonomi)
yang kadang kala disebut economic animal (binatang ekonomi). Dalam bidang
kerohanian, manusia disebut homo religius, yang berarti makhluk yang beragama,
dimana adanya hubungan manusia dengan kekuatan KeTuhanan dan sebagainya
(Muhammad, 2006; Petinova, 2018; Roman & Lidiia, 2017; Syafri, 2012).

2.2 Hakekat Penciptaan Manusia Berdasarkan Pandangan Al-Qur’an

Dalam Islam, kajian hakekat manusia sangat bertolak belakang dengan yang ada
di Barat. Dalam eksistensi manusia, akal dituntun oleh otoritas wahyu Allah
SWT., yaitu Al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW.

Islam tidak memandang hakekat manusia sebangai mana hakekat binatang


(Slamet, 2017) akan tetapi Islam memandang hakekat manusia adalah makhluk
yang paling sempurna, baik dari segi hakekat asal- usul penciptaannya, maupun
dari segi tujuan penciptaannya. Fahruddin Ar-Razi, ilmuwan muslim,
menyebutkan bahwa manusia berbeda dengan makhluk lain, termasuk malaikat,

3
iblis, dan binatang, karena manusia memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan
nafsu (Othman, Rahim, Abdullah, & Zulkarnain, 2018).
Menurut Ibnul Jauzi manusia itu terdiri dari dua unsur yaitu jasad dan roh.
(Azmi & Zulkifli, 2018; Makmudi, Tafsir, Bahruddin, & Alim, 2018). Bagi Ibnul
Jauzi, perubahan roh lebih penting karena esensi manusia adalah makhluk rohani
atau berjiwa, berdasarkan hadis dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh
Muslim, bahwa Allah tidak memandang jasad dan bentuk manusia , tapi Allah
memandang hati dan amal manusia.

Dalam Al-Qur`an terdapat tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok
manusia (Hakim & Mubarok, 2017) yaitu :

 Basyar
dalam Al - Qur`an disebut sebanyak 27 kali, memberikan referensi
pada manusia sebagai makhluk biologis, antara lain terdapat dalam
surat Ali Imran (3) : 7, sebagaimana Maryam berkata kepada
Allah: “Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak,
padahal aku tidak disentuh basyar”. ; al-Kahfi(18):110 ;
Fushshilat(41):6 ; al-Furqan (25): 7 dan 20 ; dan surat Yusuf (12):
31. Konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat - sifat biologis
manusia seperti : makan, minum, seks, berjalan-jalan dan lain-lain.
 Al-Insan
Dalam Al-Qur`an disebut sebanyak 65 kali yang kerap berbicara
tentang manusia secara utuh sebagai manusia. Kata Insan ini dapat
dikelompokkan kedalam tiga kategori : pertama, insan
dihubungakan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau
pemikul amanah; kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi
negatif manusia; dan ketiga, insan dihubungkan dengan proses
penciptaan manusia. Semua konsep insan menunjuk pada sifat -
sifat psikologis atau spiritual.
 Al-Nas
paling sering disebut dalam Al-Qur`an, yaitu sebanyak 240 kali.
Al-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial.

4
Berdasarkan uraian di atas, bahwa manusia dalam artian basyar berkaitan
dengan unsure material; ia sepadan dengan matahari , hewan dan tumbuhan.
Dengan sendirinya ia musayyar (tunduk kepada takdir Allah). Sedangkan manusia
dalam artian insan dan nas , berkaitan dengan aturan Ilahi. Ia dikenai aturan-
aturan tetapi diberikan kekuatan untuk tunduk dan melepaskan diri darinya. Ia
dengan sendirinya Mukhayyar (dapat memilih). Jadi, ada dua komponen yang
membedakan hakekat manusia dengan hewan, yaitu potensi untuk
mengembangkan iman dan potensi untuk mengembangkan ilmu. Usaha untuk
mengembangkan keduanya disebut amal saleh. Iman amal adalah dasar yang
membedakan manusia dari makhluk lainnya.

Dari segi kedudukan, manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial;
makhluk psikologis (spiritual) dan makhluk biologis yang merupakan gabungan
antara unsur material dan unsur ruhani. Dari segi hubungannya dengan Tuhan,
kedudukan manusia adalah sebagai hamba (makhluq) yang terbaik (Q.S. al-Tin
(95): 4)

2.3 Proses Penciptaan Manusia

2.3.1 Proses penciptaan manusia dilihat berdasarkan Al-Qur’an


Keterangan tentang penciptaan manusia selanjutnya yang merupakan
keturunan Nabi Adam AS juga dijadikan dari saripati tanah, dinyatakan
dalam Surah Al Mu’minun ayat 12-14 :

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia itu dari saripati


tanah. Kemudian kami jadikan saripati tanah itu menjadi suatu tetesan
(nutfah) yang tersimpan di tempat yang aman dan kokoh. Kemudian
tetesan (nutfah) itu kami olah menjadi struktur darah, dan struktur itu kami

5
olah menjadi segumpal daging, lalu segumpal daging itu kami olah
menjadi tulang belulang, selanjutnya tulang belulang itu kami bungkus
dengan daging, selanjutnya kami jadikan makhluk yang berbentuk lain
dari yang sebelumnya, Maha Suci Allah pencipta yang paling baik.” (QS
Al-Mu’minuun 12-14)
2.3.2 Penafsiran Hadist Menurut Imam Nawawi
Penafsiran Hadits menurut Imam Nawawi Ibnu Mas’ud berkata :
“Sedangkan beliau berkata benar dan selalu dibenarkan. Maksudnya, Ibnu
Mas’ud memberikan kesaksian kepada Allah bahwa beliau SAW adalah
seorang yang jujur atau benar (apa yang dikatakannya) dan selalu
dibenarkan.
Sabda nabi yang artinya :dihimpun penciptaannya didalam perut ibunya.
Ada kemungkinan yang dimaksud disini adalah disatukannya sperma laki-
laki dan wanita lalu dari keduanya diciptakan anak. Ini adalah seperti
firman Allah: “Dia (manusia) diciptakan dari air yang terpancar.” (QS At-
Thariq 86:6)
Ada juga kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah disatukannya
seluruh badan. Seperti dikatakan, pada fase pertama, nufah itu berjalan
didalam tubuh (rahim) wanita selama empat puluh hari, yaitu masa
mengidam. Sesudah itu, terjadi penyatuan dan tertanam padanya dari
terjadinya pembuahan itu sehingga menjadi alaqah. Ini berlanjut ke
periode kedua, dimana ia terus membesar sehingga menjadi mudghah.
Dinamakan mudghah karena ia hanya sebesar suapan yang isa dikunyah.
Pada fase ketiga, Allah membentuk mudghah itu, membuatkan telinga,
mata, hidung, dan mulut. Sedangkan pada bagian dalamnya, Allah
membuatkan usus dan lambung. Allah berfirman yang artinya, “Dialah
yang membentuk kamu dlama rahim sebagaimana dikehendaki-Nya.” (QS.
Ali ‘Imraan 3 :6).
Kemudian, jika fase ketiga ini sudah sempurna, yaitu setelah tiga kali
empat puluh hari, yang berarti usia empat bulan maka ditiupkanlah ruh
kepadanya. Allah berfirman yang artinya, “Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka (ketahuilah)

6
sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah.” (QS. Al-Hajj
22:5). Maksudnya adalah ayah kalian, Adam. “Kemudian dari setetes mani
(nutfah),” maksudnya adalah anak keturunannya. Yang dimaksud nuthfah
adalah air mani. Namun, makna asal kata nutfah adalah air yang sedikit
(al-maa al-qoliil). Bentuk jamaknya adalah nithaaf. “Kemudian dari
‘alaqah.” Yaitu darah kental dan beku. Jadi, nutfah tadi berubah menjadi
darah yang kental. “Kemudian dari mudghah,” yaitu sekerat daging.
“Yang tercipta dan yang tidak tercipta.” (Al-Hajj 22:5)23 Ibnu Abbas
mengatakan, “Yang tercipta secara sempurna dan yang tidak tercipta,
maksudnya tidak sempurna penciptaannya atau kurang.” Mujahid
berkata,”Yang terbentuk dan yang tidak terbentuk.” Maksudnya
mengalami keguguran.
Beberapa faedah yang bisa dipetik dari hadits ini:
a. Penjelasan mengenai perkembangan manusia didalam perut ibunya
bahwa dia mengalami empat fase perkembangan: Pertama, fase
nuthfah selama empat puuh hari Kedua, fase ‘alaqah selama empat
puluh hari Ketiga, fase mudghah selama empat puluh hari Keempaat,
fase terakhir setelah ditiupkan kepadanya.
b. Janin mengalami perkembangan didalam perut ibunya sebanyak empat
fase perkembangan diatas. Sebelum masa empat bulan, janin tidak bisa
dihukumi sebagai manusia yang hidup. Berangkat dari sini jika janin
gugur, sebelum memasuki usia empat bulan maka tidak perlu
dimandikan, dikafani, atau dishalatkan. Sebab, ia belum menjadi
manusia. Setelah berusia empat bulan, ditiupkanlah kepadanya dan
sejak saat itu pula dapat dihukumi sebagai manusia yang hidup. Maka,
jika janin mengalami keguguran setelah usia ini, berarti ia harus
dimandikan, dikafani, dan dishalatkan seperti halnya manusia yang
sudah melewati masa sembilan bulan.
c. Ada malaikat yang diberi tugas oleh Allah untuk mengurus rahim.
Sebab, Nabi SAW bersabda, “Lalu diutuslah seorang malaikat
kepadanya.” Maksudnya, malaikat yang dipasrahi mengurus rahim.

7
2.3.3 Proses Penciptaan Manusia Berdasarkan Sains
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang embriologi
terdapat beberapa teori tentang perkembangan (embriologi) antara lain
teori yang dikemukakan oleh Aristoteles (322-384SM) yang menjelaskan
bahwa penciptaan manusia berasal dari mani laki-laki dan wanita
kemudian berkembang menjadi makhluk kecil yang menyerupai manusia.
Teori ini bertahan selama 2000 tahun. Teori ini ditinggalkan karena
muncul penemuan dari Fransisco Redi (1688M) dan Louis Pasteur
(1864M) yang menjelaskan terbentuknya janin melalui embriologi
modern.
Penciptaan manusia terjadi melalui proses pertemuan antara mani laki-
laki dengan wanita. Dari hasil pertemuan tersebut dihasilkan sebuah sel
yang berbentuk bulat. Menurut embriologi modern sel ini disebut zigot.
Setelah zigot membelah menjadi 2 sel, selanjutnya sel tersebut akan
mengalami serangkaian pembelahan mitosis. Proses pembelahan ini
mengakibatkan bertambahnya jumlah sel dengan cepat.
1. Perjalanan sel telur
Menjelang ovulasi. Terjadi persiapan proses pelepasan sel telur yang
matang. Sel-sel telur ini dilindungi oleh sekumpulan sel-sel yang disebut
cumulus oophorus yang berperan dalam memelihara dan memberi makan
sel telur. Sel telur yang berada di dalam folikel akan menuju ke dinding
ovarium (indung telur).
2. Perjalanan sperma
Ejakulasi pada pria menghasilkan tetesan sperma yang mengandung
jutaan sel spermatozoa. Pada saat ejakulai, spermatozoa disemprotkan ke
serviks (leher rahim) melalui ujung penis. Selanjutnya setelah dari servis,
sperma berenang menuju ke Rahim melalui gerak peristaltik dinding
Rahim, sperma menuj ke tuba falopii. Sperma yang dapat mencapai tuba
falopii pada dasarnya berjumlah sangat sedikit karena banyak sperma yang
mati saat perjalanan menuju rahim, hanya sperma yang kuat saja yang
dapat hidup hingga rahim dan akhirnya dapat membuahi sel telur.

8
3. Perjalanan Zigot Sampai Dengan Dilahirkan ke Dunia
Setelah terjadi pertemuan antara sel spermatozoa dengan sel telur di
dalam tuba falopii, selanjutnya akan terjadi peleburan antara kedua inti sel
tersebut. Peristiwa ini dalam istilah biologi disebut fertilisasi. Zigot ini
akan membelah diri membentuk 2 sel, 4 sel, dan seterusnya kemdian akan
menjalankan serangkaian pembelahan mitosis, yang mengakibatkan
bertambahnya jumlah sel dengan cepat. Sel-sel yang ada di dalam massa
sel dalam, sekarang dinamakan embrioblas. Embrioblas terletak pada salah
satu kutub, sedangkan sel-sel di dalam massa sel luar disebut trofoblas
yang menipis dan membentuk dinding untuk blastokista. Pada saat inilah
perjalanan cikal bakal manusia (zigot) berakhir dan selanjutnya menempel
pada dinding Rahim ibu. Peristiwa ini disebut implantasi.
Pada saat implantasi, kelenjar Rahim dan pembuluh nadi menjadi
berkelok-kelok dan jaringan ini banyak mengandung cairan. Pada keadaan
ini di dalam endometrium dapat dikenali 3 macam lapisan, yaitu lapisan
permukaan, lapisan tengah (merupakan lapisan yang empuk), dan lapisan
dasar. Biasanya cikal bakal manusia menempel pada endometrium dan
muara-muara kelenjar. Pada saat terjadi penempelan cikal bakal manusia
inilah seorang ibu memasuki masa kehamilan. Pada saat memasuki fase
kehamilan, terjadi perubahan-perubahan pada selaput lender Rahim,
sejalan dengan perubahan yang terjadi di dalam ovarium. Masa kehamilan
ini pada umumnya terjadi selama 9 bulan dan bayi akan lahir di dunia.

2.4 Potensi Manusia


Allah menciptakan manusia dengan memberikan kelebihan dan
keutamaan yang tidak diberikan kepada  makhluk lainnya. Kelebihan dan
keutamaan itu berupa potensi dasar yang disertakan Allah atasnya, baik
potensi internal (yang terdapat dalam dirinya) dan potensi eksternal
(potensi yang disertakan Allah untuk membimbingnya). Potensi ini adalah
modal utama bagi manusia untuk melaksanakn tugas dan memikul
tanggung jawabnya. Oleh karena itu, ia harus diolah dan didayagunakan

9
dengan sebaik-baiknya, sehingga ia dapat menunaikan tugas dan tanggung
jawab dengan sempurna.

2.4.1 Potensi Internal


Ialah potensi yang menyatu dalam diri manusia itu sendiri, terdiri dari :
A.    Potensi Fitriyah
Ditinjau dari beberapa kamus dan pendapat tokoh islam, fitrah
mempunyai  makna  sebagai berikut :
a. Fitrah berasal dari kata (fi’il) fathara yang berarti “menjadikan” secara
etimologi  fitrah berarti kejadian asli, agama, ciptaan, sifat semula jadi,
potensi dasar, dan kesucian
b. Dalam kamus B. Arab Mahmud Yunus, fitrah diartikan sebagai agama,
ciptaan, perangai, kejadian asli.
c. Dalam kamus Munjid kata fitrah diartikan sebagai agama, sunnah,
kejadian, tabi’at.
d. Fitrah berarti Tuhur yaitu kesucian. Fitrah berarti agama, kejadian.
Maksudnya adalah agama Islam ini bersesuaian dengan kejadian
manusia. Karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama
(beribadah). Hal ini berlandaskan dalil Al-qur’an surat Adz-Dzariyat
(51:56).
Fitrah Allah untuk manusia merupakan potensi dan kreativitas yang
dapat dibangun dan membangun, yang memilliki kemungkinan
berkembang dan meningkat sehingga kemampuannya jauh melampaui
kemampuan fisiknya. Maka diperlukan suatu usaha-usaha yang baik yaitu
pendidikan yang dapat memelihara dan mengembangkan fitrah serta
pendidikan yang dapat membersihkan jiwa manusia dari syirik, kesesatan
dan kegelapan menuju ke arah hidup bahagia yang penuh optimis dan
dinamis. Ini sesuai dengan Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat : 30 yaitu :
‫ق هَّللا ِ َذلِكَ الدِّينُ ْالقَيِّ ُم‬
ِ ‫يل لِ َخ ْل‬ ْ ِ‫ِّين َحنِيفًا ف‬
َ َّ‫ط َرةَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬
َ ‫اس َعلَ ْيهَا ال تَ ْب ِد‬ َ َ‫فََأقِ ْم َوجْ ه‬
ِ ‫ك لِلد‬
‫اس ال يَ ْعلَ ُمون‬ ِ َّ‫َولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah

10
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
B.     Potensi Ruhiyah
Ialah potensi yang dilekatkan pada hati nurani untuk membedakan dan
memilih jalan yang hak dan yang batil, jalan menuju ketaqwaan dan jalan
menuju kedurhakaan. Bentuk dari roh ini sendiri pada hakikatnya tidak
dapat dijelaskan. Potensi ini terdapat pada surat Asy-Syams ayat 7 yaitu :
ٍ ‫َونَ ْف‬
‫س َو َما َسوَّاهَا‬
Artinya : dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)
kemudian Asy-Syams ayat 8 :
‫فََأ ْلهَ َمهَا فُجُو َرهَا َوتَ ْق َواهَا‬
Artinya : maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.
Di dalam hati setiap manusia telah tertanam potensi ini, yang dapat
membedakan jalan kebaikan (kebenaran) dan jalan keburukan (kesalahan).
Menurut Ibn ‘Asyur kata ‘nafs’ pada surat Asy-Syams ayat ke-7
menunjukan nakiroh maka arti kata tersebut menunjukan nama jenis, yaitu
mencakup jati diri seluruh manusia seperti arti kata ‘nafs’ pada surat Al-
infithar ayat 5 yaitu :
ْ ‫ت َوَأ َّخ َر‬
‫ت‬ ْ ‫ت نَ ْفسٌ َما قَ َّد َم‬
ْ ‫َعلِ َم‬
Artinya : maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan
dan yang dilalaikannya.
 C.    Potensi Aqliyah
  Potensi Aqliyah terdiri dari panca indera dan akal pikiran (sam’a basar,
fu’ad). Dengan potensi ini, manusia dapat membuktikan dengan daya nalar
dan ilmiah tentang ‘kekuasaan’ Allah. Serta dengan potensi ini ia dapat
mempelajari dan memahami dengan benar seluruh hal yang dapat
bermanfaat baginya dan tentu harus diterima dan hal yang mudharat
baginya tentu harus dihindarkan Allah berfirman dalam  Al-qur’an surat
An-Nahl ayat 78 :
 

11
‫ار َواأل ْفِئ َدةَ لَ َعلَّ ُك ْم‬
َ ŒŒ‫ْص‬ َّ ‫ َل لَ ُك ُم‬ŒŒ‫ ْيًئا َو َج َع‬ŒŒ‫ونَ َش‬ŒŒ‫اتِ ُك ْم ال تَ ْعلَ ُم‬ŒŒَ‫و ِن ُأ َّمه‬ŒŒُ‫ َر َج ُك ْم ِم ْن بُط‬ŒŒ‫َوهَّللا ُ َأ ْخ‬
َ ‫ ْم َع َواألب‬ŒŒ‫الس‬
َ‫تَ ْش ُكرُون‬
Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Ayat ini menurut Tafsir Al-maraghi mengandung penjelasan bahwa
setelah Allah melahirkan kamu dari perut ibumu, maka Dia menjadikan
kamu dapat mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak kamu
ketahui. Dia telah memberikan kepadamu beberapa macam anugerah
berikut ini :
a. Akal sebagai alat untuk memahami sesuatu, terutama dengan akal itu
kamu dapat membedakan antara yang baik dan jelek, antara yang lurus
dan yang sesat, antara yang benar dan yang salah
b. Pendengaran sebagai alat untuk mendengarkan suara, terutama dengan
pendengaran itu kamu dapat memahami percakapan diantara kamu
c. Penglihatan sebagai alat untuk melihat segala sesuatu, terutama dengan
penglihatan itu kamu dapat mengenal diantara kamu.
d. Perangkat hidup yang lain sehingga kamu dapat mengetahui jalan
untuk mencari rizki dan materi lainnya yang kamu butuhkan, bahkan
kamu dapat pula meilih mana yang terbaik bagi kamu dan
meninggalkan mana yang jelek.
  Selain ayat tersebut, surat Al-Israa ayat 36 juga menjelaskan tentang
potensi ini yang berbunyi :
 
‫ص َر َوا ْلفَُؤ ا َد ُك ُّل ُأو ٰلَِئ َك َكانَ َع ْنهُ َمسُْئواًل‬
َ َ‫س ْم َع َوا ْلب‬
َّ ‫س لَكَ بِ ِه ِع ْل ٌم ِۚإنَّ ال‬
َ ‫َواَل تَ ْقفُ َما لَ ْي‬
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
 
D.    Potensi Jasmaniyyah

12
Ialah kemampuan tubuh manusia yang telah Allah ciptakan dengan
sempurna, baik rupa, kekuatan dan kemampuan. Sebagaimana pada firman
Allah Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4 yaitu:
‫لَقَ ْد خَ لَ ْقنَا اإل ْن َسانَ فِي َأحْ َس ِن تَ ْق ِو ٍيم‬
Artinya : sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya
Kata insan dijumpai dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali. Penekanan kata
insan ini adalah lebih mengacu pada peningkatan manusia ke derajat yang
dapat memberinya potensi dan kemampuan untuk memangku jabatan
khalifah dan meikul tanggung jawab dan amanat manusia di muka bumi,
karena sebagai khalifah manusia dibekali dengan berbagai potensi seperti
ilmu, persepsi, akal dan nurani. Dengan potensi-potensi ini manusia siap
dan mampu menghadapi segala permasalahan sekaligus
mengantisipasinya. Di samping itu, manusia juga dapat
mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang mulia dan memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk lain dengan berbekal potensi-
potensi tadi. Dan dalam surat ini manusia diberikan oleh Allah potensi
jasmani.
Potensi ini juga terdapat disurat At-Taghabun ayat 3 yang berbunyi :
‫ص َّو َر ُك ْم فََأحْ َسنَ صُ َو َر ُك ْم َو ِإلَ ْي ِه ْال َمصي ُر‬ ِّ ‫ض بِ ْال َح‬
َ ‫ق َو‬ َ ْ‫ت َو اَأْلر‬ َ َ‫َخل‬
ِ ‫ق السَّماوا‬
Artinya: Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak, Dia membentuk
rupamu dan membaguskan rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah
kembali(mu).

2.4.2 Potensi Eksternal


Disamping potensi internal yang melekat erat pada diri manusia, Allah
juga sertakan potensi eksternal sebagai pengarah dan pembimbing potensi-
potensi internal itu agar berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Tanpa
arahan potensi eksternal ini, maka potensi internal tidak akan
membuahkan hasil yang diharapkan. Potensi eksternal ini dibagi menjadi
dua yaitu :
A.    Potensi Huda

13
Ialah petunjuk Allah yang mempertegas nilai kebenaran yang Allah
turunkan kepada Rasul-Nya untuk membimbing umat manusia ke jalan
yang lurus. Allah SWT berfirman pada surat Al-Insaan ayat 3 :
‫ِإنَّا هَ َد ْينَاهُ ال َّسبِي َل ِإ َّما َشا ِكرًا وَِإ َّما َكفُورًا‬
Artinya : Sesungguhnya Kami telah menunjukinnnya jalan yang lurus, ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah, telah menunjuki ke
jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Maka
dengan bimbingan wahyu-Nya yang disampaikan lewat Nabi Muhammad
SAW manusia telah ditunjuki jalan yang lurus dan mana pula jalan yang
sesat Allah. Dari perkataan “Sabil” yang terdapat dalam ayat ini tergambar
keinginan Allah terhadap manusia yakni membimbing manusia kepada
hidayah-Nya sebab Sabil lebih tepat diartikan sebagai petunjuk” dari pada
jalan. Hidayah itu berupa dalil-dalil keesaan Allah dan kebangkitan Rasul
yang disebutkan dalam kitab suci. 
            Sabil (hidayah) itu dapat Sabil (hidayah) itu dapat ditangkap
dengan pendengaran, penglihatan dan pikiran. Tuhan hendak
menunjukkan kepada manusia bukti-bukti kewujudan Nya melalui
penglihatan terhadap diri (ciptaan) manusia sendiri dan melalui
penglihatan terhadap alam semesta, sehingga pikirannya merasa puas
untuk mengimani-Nya.
Akan tetapi memang sudah merupakan kenyataan bahwa terhadap
pemberian Allah itu, sebagian manusia ada yang bersyukur tetapi ada pula
yang ingkar (kafir). Tegasnya ada yang menjadi mukmin yang berbahagia,
ada pula yang kafir. Dengan sabil itu pula manusia bebas menentukan
pilihannya.
 B. Potensi Alam
Alam semesta adalah merupakan potensi eksternal kedua untuk
membimbing umat manusia melaksanakan fungsinya. Setiap sisi alam
semesta ini merupakan ayat-ayat Allah yang dengannya manusia dapat
mencapai kebenaran.

14
Hal ini terdapat dalam firman Allah surat Al-Imraan ayat 190 dan 191
yang berbunyi :
َ‫) الَّ ِذينَ يَ ْذ ُكرُون‬190 ( ‫ب‬ ِ ‫ت ُأِلولِي اَأْل ْلبَا‬ ِ َ‫ف اللَّ ْي ِل َوالنَّه‬
ٍ ‫ار َآَليَا‬ ْ ‫ض َو‬
ِ ‫اختِاَل‬ ِ ْ‫ت َواَأْلر‬ ِ ‫ِإ َّن فِي َخ ْل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
ِ ْ‫ت َواَأْلر‬
‫ا ِطاًل‬ŒŒَ‫ َذا ب‬Œَ‫ا َخلَ ْقتَ ه‬ŒŒ‫ا َم‬ŒŒَ‫ض َربَّن‬ ِ ‫اوا‬ َّ ‫ق‬Œ
َ ‫ َم‬Œ‫الس‬ ِ Œ‫هَّللا َ قِيَا ًما َوقُعُودًا َو َعلَى ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكرُونَ فِي خَ ْل‬
ِ َّ‫اب الن‬
)191( ‫ار‬ َ ‫ُس ْب َحانَكَ فَقِنَا َع َذ‬
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.
Pada ayat ini ditafsirkan bahwa memikirkan penciptaan Allah terhadap
makhluk-Nya, merenungkan kitab alam-alam semesta yang terbuka, dan
merenungkan kekuasaan Allah yang menciptakan dan menggerakan alam
semesta ini, merupakan ibadah Allah kepada diantara pokok-pokok
ibadah, dan merupakan zikir kepada Allah diantara dzikir-dzikir pokok.
Seandainya ilmu-ilmu kealaman yang membicarakan desain alam semesta,
undangan-undangan dan sunnahnya, kekuatan dan kandungannya, rahasia-
rahasianya dan potensi-potensinya berhubungan dengan dzikir dan
mengingat Pencipta ala mini, dari merasakan keagungan-Nya dan karunia-
Nya niscaya seluruh aktifitas kelimuannya itu akan berubah menajdi
ibadah kepada Sang Pencipta alam semesta ini, akan luruslah kehidupan
ini, dan akan terarah kepada Allah Ta’ala.
2.4.3 Tugas Hidup Manusia dalam Islam
Manusia dalam pandangan agama Musa Asy’ari (Manusia Pembentuk
Kebudayaan dalam Al-qur’an) menunjukkan dengan jelas tentang betapa
agama telah memberikan potret yang utuh, apik dan komprehensif tentang
sosok manusia melalui tiga istilah yang ada:
Insan dari kata ‘anasa’ yang mempunyai arti melihat,mengetahui dan
meminta izin, mengandung pengertian adanya kaitan kemamampuan
penalaran. Kata ‘insan’ menunjuk pada suatu pengertian adanya kaitan

15
dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran penalaran. Manusia pada
dasarnya jinak, dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan llingkungan
yang ada.
Sejalan dengan pengertian ini, tugas manusia yaitu :
- Untuk mengatakan bahwa manusia menerima pelajaran dari tuhan
tentang apa yang tidak diketahuinya QS (Al-Alaq 1-5)
- Manusia mempunyai musuh nyata yang nyata yaitu setan QS (12:5)
- Manusia sebagai makhluk yang memikul amanah dari tuhan QS
(33:72)
- Makhluk yang harus pandai menggunakan waktu untuk beriman dan
beramal baik QS (1-3
- Sebagai makhluk yang hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang
dia kerjakan (53:39)
- Punya keterikatan dengan moral dan sopan santun
Penggunaan kata ‘basyar’ yaitu manusia seperti apa yang tampak pada
lahiriyyahnya, mempunyai bangunan tubuh yang sama, makan dan minum
dari bahan yang sama, semakin bertambah usianya, kondisi tubuhnya akan
menurun, menjadi tua dan akhirnya ajal pun menjemputnya, pada kata
‘basyar’ ini disebutkan 36 kali di Al-qur’an.
Al-Ghazali memandang manusia sebagai proses hidup yang bertugas dan
bertujuan yaitu bekerja, beramal shaleh, mengabdikan diri dalam
mengelola bumi untuk memperoleh kebahagiaanabadi sejak di dunia
hingga di akhirat. Pada aspek keduniaan manusia berperan sebagai
khalifah di bumi dan aspek akhirat manusia sebagai ‘hamba’ atau
‘al-‘abdu’ Allah Ta’ala.
Seperti yang beliau katakan tentang tugas manusia yaitu “Segala tujuan
manusia itu terkumpul dalam agama dan dunnia. Dan agama tidak
terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah alat
yang menyampaikan kepaada Allah bagi orang yang mau memperbuatnya
menjadi tempat tetap dan tanah air abadi.
Sehingga dapat kita ketahui bahwa manusia mempunyai dua peran
sebagai tujuan diciptakan oleh Allah Ta’ala yaitu :

16
a. Manusia sebagai ‘Abd Allah (Hamba Allah)
Manusia dalam kehidupannya di muka bumi ini tidak bisa terlepas dari
kekuasaan yang transdental (Alaah). Hal ini disebabkan, karena manusia
adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan
fitrahnya. Allah Ta’ala memperkenalkan dan menunjukkan kepada
manusia bagaimana tata cara yang harus dilakukannya dalam melakukan
peribadatan, sebagai bukti kepatuhan kepada Allah Ta’ala melalui
perantara Al-qur’an. Pada aspek ini manusia diharapkan mampu mengenal
Khaliqnya lewat pengabdian yang ditunjukannya dalam semua spek
kehidupan. Dalil yang mendasari pada tugas manusia sebagai hamba Allah
terdapat di QS (51:56)
b. Manusia sebagai makhluk yang mulia

menempati posisi yang istimewa yang diberikan Allah di muka bumi.


Hal ini karena manusia diciptakan dalam “citra Allah”, sehingga
selayaknya manusia disebut sebagai “mahkota ciptaan-Nya” atau sebagai
“khalifah Allah di bumi” yang mewakili Pencipta dalam ciptan-Nya. Hal
ini sesuai dengan firman Allah QS (2:30)

2.5 Jiwa Manusia


Manusia disebut sebagai homo educandum. Pengembangan kemanusiaan sangat
bersentuhan dengan berbagai potensi yang dimiliki oleh manusia. Selain
mempunyai potensi fisik manusia mempunyai sisi non fisik atau ruhaniah. Dalam
bahasa Arab, kata jiwa disepadankan dengan kata nafs.
Jiwa dalam diri manusia menunjukkan sebagai salah satu ciri khas yang tidak
dapat dilihat diluar dirinya. Al-Ghazali, al-Farabi, dan Ibn Rusyd menyatakan
bahwa hakikat manusia itu terdiri atas dua komponen penting, yaitu komponen
jasad dan komponen jiwa.
Nafs ( jiwa ) dalam pandangan Islam adalah diri manusia itu sendiri, nyawa
( roh ) yang menyebabkan adanya kehidupan, sifat yang mendorong manusia
untuk melakukan suatu perbuatan, dan perasaan pada diri manusia.

17
2.5.1 Pembagian Jiwa

Dalam konsep Islam, Nafs ( jiwa ) di bagi menjadi lima bagian, yaitu
1. Nafs Sawiyyah Mullahamah ( diri manusia yang lurus dan selalu mendapat
ilham Tuhannya )
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan fitrah dan dari fitrah itu
kemudian manusia bisa memilih untuk menyalurkan fitrah itu pada jalan
ketakwaan atau jalan kefasikan. Pilihan inilah yang kemudian akan di
hisab Allah di hari perhitungan nanti, jika memilih jalan taqwa Allah telah
menyediakan surga sebagai balasan,dan jika memilih jalan kefasikan Allah
juga telah menyediakan neraka sebagai balasan.
2. Nafs Ammarah Bissu’i ( diri manusia yang selalu cenderung untuk
melakukan perbuatan buruk )
Nafs Ammarah Bissu’i memiliki pengertian diri manusia yang selalu
cenderung melakukan perbuatan buruk. Kondisi seperti ini terjadi pada
manusia bukan karena sifat manusia pada dasarnya adalah buruk, tetapi
karena manusia tidak mampu menghadapi godaan setan, sehingga manusia
tersebut cenderung untuk melakukan perbuatan yang buruk.
3. Nafs Lawwamah ( diri manusia yang selalu menyesali dan ragu ).
Nafs Lawwamah berarti diri manusia yang selalu menyesali dan ragu.
Dalam hal ini manusia memiliki kemampuan untuk bisa merenungkan
kejadian yang telah dialaminya pada masa lampau. Jika penyesalan ini ada
pada orang beriman, maka hal ini akan dijadikan sebagai intropeksi diri
untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dalam beribadah kepada Allah
SWT. penyesalan yang dialaminya membangkitkan fitrah untuk bisa
menempatkan diri dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan yang
digariskan oleh Allah SWT
4. Nafs Zakiyyah ( diri manusia yang suci dan tidak terkontaminasi dengan
sesuatu ).
Nafs Zakiyah (diri manusia yang suci dan tidak terkontaminasi dengan
sesuatu) ini akan dialami individu bila ia mampu mengendalikan segala
keburukan dari dorongan psikis yang telah ada dalam diri manusia

18
5. Nafs Muthmainnah Radhiyah ( diri manusia yang dipenuhi dengan
ketenangan hidup).
Ketika manusia telah ridha dengan keadaan dirinya, ridha dengan keadaan
yang mengantarkan ia merasa bahagia dan tenang, maka pada saat itu ia
telah berada dalam Nafs Muthmainnah Radhiyah (diri manusia yang
dipenuhi dengan ketenangan hidup). Keridhaan adalah suatu kebahagiaan
yang menyelimuti manusia, sehingga ketika manusia itu telah ridha maka
ia tidak akan mengalami kegelisahan. Hal itulah yang menyebabkan Allah
menjadikan keridaan ini sebagai tujuan akhir dari suatu usaha yang
dilakukan manusia, dan balasan bagi mereka yang ridha adalah kembali
kepada Allah SWT dalam keadaan bahagia dan akan digolongkan ke
dalam golongan orang yang beriman

2.6 Sifat Manusia


Manusia memiliki sifat-sifat tertentu yang secara alamiahnya berbeda dengan
binatang. Ada banyak sifat manusia yan digambarkan dalam Al-quran,
diantaranya sebagai berikut:
1. Lemah (QS Annisa:28)
2. Gampang terperdaya (QS Al-Infithar:6)
3. Lalai (QS At-takatsur:1)
4. Penakut (QS Al-Baqarah:155)
5. Bersedih Hati (QS Al-Baqarah:62)
6. Tergesa-gesa (QS Al-Isra’:11)
7. Suka Membantah (QS An-Nahl:4)
8. Suka Berlebih-lebihan (QS Yunus:12)
9. Pelupa (Az-Zumar:8)
10. Suka Berkeluh kesah (QS Al Ma’arij: 20)
11. Kikir (QS Al-Isra’:100)
12. Kufur Nikmat (QS Az-Zukhruf:15)
13. Zalim dan Bodoh (QS Al-Ahzab:72)
14. Menuruti Prasangkanya (QS Yunus:36)
15. Suka berangan-angan (QS Al-Hadid:72)

19
Dalam uraian beberapa sifat manusia diatas yang menjelaskan berbagai macam
sifat manusia yang buruk, tentu akan menimbulkan bahaya bagi manusia yang
mengikuti sifat tersebut. Adapun dalam islam sudah memberikan solusi untuk
segala sifat buruk manusia tersebut, diantaranya:
1. Tetap berpegang teguh kepada tali agama dan petunjuk-petunjuk dari
Allah
Allah SWT berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu!
Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S al-Baqarah : 38)
2. Tetap berada dalam ketaatan sesulit apapun situasi yang melanda
Tetap berada dalam ketaatan disini, berarti bersegera menyambut amal-
amal kebaikan. Allah berfirman “Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (Q.S. Ali Imran
: 133)
3. Menjaga keimanan
4. Berjamaah
Manusia itu lemah ketika sendiri dan kuat ketika berjamaah.

2.7 Tujuan Manusia Diciptakan Sebagai Makhluk Allah

Sebagian ayat Al-qur’an mengungkapkan rahasia penciptaan secara lebih detai


dan terperinci, antara lain :

1. Ilmu dan Makrifat


Allah SWT berfirman :

20
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah
Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi
segala sesuatu” (Q.S Ath-Thalaq (65): 12).

Ayat ini menyebutkan kesadaran manusia akan ilmu dan kekuasaan Tuhan yang
tidak terbatas (yakni, makrifat tentang Tuhan yang akan membentuk dimensi ilmu
kesempurnaan manusia) sebagai tujuan dari penciptaan.

2. Ujian
Allah SWT berfirman :

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
(Q.S Al-Mulk (67): 2).

Maksud dari ujian Tuhan bukanlah penyingkapan rahasia-rahasia yang


tersembunyi, melainkan adalah menyediakan sarana dan prasarana untuk
mengembangkan potensi serta mengantarkannya kepada realitas. Hal itu karena
manusia adalah makhluk yang berikhtiar dan kesempurnaannya bersifat pilihan
intensional. Tuhan menguji manusia dengan menyediakan semua syarat dan
prasyarat untuk memilih jalan yang baik atau buruk baginya, agar dengan itu
potensi-potensi dirinya terealisasi dan dia dapat memilih jalan yang benar.

3. Ibadah
Allah SWT berfirman :

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (Q.S Az-Zariyat (51): 56).

21
Ibadah mempunyai dampak-dampak yang positif bagi kehidupan manusia, baik
di alam sini maupun sana. Hikmah-hikmah ibadah antara lain adalah: tuntutan
fitrah, Jalan menuju penyingkapan diridan kebebasannya dari kehampaan, terbang
keangkasa metafisik dan meninggalkan sangkar fisik, mencapai keyakinan,
kemenangan ruhatas badan, kesehatan dan ketenangan jiwa, kekuasaan atas diri
dan potensi-potensinya, pendekatan diri kepada Tuhan, basis etika, keimanan,
undang-undang dan sosial, pembinaan naluri cinta kebaikan, pembangunan,
pendidikan, dan lain sebagainya.

4. Rahmat Ilah
Allah SWT berfirman :

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Q.S Al-Hud: 118)

“Ke
cuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah
menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan:
sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia
(yang durhaka) semuanya” (Q.S Al-Hud: 119)

Jika diteliti lebih dalam, tujuan-tujuan itu tidak saling bertentangan, sebagian
darinya merupakan tujuan pengantar bagi tujuan yang selanjutnya, yakni ada
tujuan awal, tujuan menengah, dan tujuan akhir. Karena itu, berdasarkan ayat-ayat
Al-Qur'an tersebut, tujuan diciptakannya manusia adalah pengejawantahan rahmat

22
Ilahi dan penetapan manusia di arah kesempurnaan dan kebahagiaan yang abadi.
Dan hal itu hanya bias dicapai melalui pilihan intensional dia sendiri terhadap
jalan yang terbaik dan menempuh cara ibadah kepada-Nya.

2.8 Tugas Manusia

Dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, Manusia sebagai makhluk Allah


pada dasarnya mengemban amanah atau tugas-tugas kewajiban
dan tanggung jawab yang dibebankan oleh

 Allah kepadanya agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Al-


Maraghy : ketika menafsirkan ayat “Innallaha ya’murukum an tu’addu al-
amanaati ilaahliha..” (Q.S An-Nisa: 58). Ia mengemukakan bahwa amanah
tersebut ada bermacam-macam bentuknya, yaitu:

1. Tugas manusia terhadap Tuhannya, yakni sesuatu yang harus dipelihara dan


dijaga oleh manusia, yang berupa mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya, serta menggunakan alat-
alat potensialnya dan anggota badannya dalam berbagai aktivitas yang bisa
bermanfaat baginya dan dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhannya,
sehingga bila manusia melanggarnya, maka berarti dia berkhianat kepada
Tuhannya.
2. Tugas Manusia terhadap sesama Manusia, yakni mengembalikan barang-
barang titipan kepada pemiliknya dan tidak mau menipu, serta menjaga rahasia
seseorang yang tidak pantas dipublikasikan
3. Tugas manusia terhadap dirinya, yakni berusaha melakukan hal-
hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi dirinya untuk kepentingan
Agama dan dunianya, tidak melakukan hal-hal yang membahayakan
dirinya baik untuk kepentingan akhirat maupun dunianya, serta berusaha
menjaga dan memelihara kesehatan dirinya.

23
Di dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia termasuk makhluk yang siap
dan mampu mengemban amanah tersebut ketika ditawari oleh Allah, sebaliknya
makhluk yang lain justru enggan menerimanya atau tidak siap dan tidak mampu
mengemban amanah tersebut, sebagaimana firman-Nya :

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan


gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S Al-ahzab: 72).

4. Tugas manusia terhadap lingkungan


Bukan hanya dengan sesama manusia, kita juga berkewajiban untuk menjaga
kelestarian lingkungan dan alam sekitar. Hewan dan tumbuhan harus dijaga dan
dilestarikan keberadaanya, karena meraka sama halnya dengan manusia sebagai
Makhluk Tuhan.

2.9 Definisi Ibadah


Ibadah berasal dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‘ibadat) yang berarti pengabdian,
penghambaan, ketundukan, dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama dikenal
istilah ‘abd (hamba, budak) yang menghimpun makna kekurangan, kehinaan, dan
kerendahan. Karena itu, inti ibadah adalah pengungkapan rasa kekurangan,
kehinaan, dan kerendahan diri dalam bentuk pengagungan, penyucian dan syukur
atas segala nikmat. Kata ‘abd diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi abdi,
seorang yang mengabdi dengan tunduk dan patuh kepada orang lain. Dengan
demikian, segala bentuk sikap pengabdian dan kepatuhan merupakan ibadah
walaupun tidak dilandasi suatu keyakinan. (Yunasril,2012)
Kata “ibadah” menurut bahasa berarti “taat, tunduk, merendahkan diri dan
menghambakan diri” (Basyir, 1984:12). Adapun kata “ibadah” menurut istilah
berarti penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya untuk mencapai keridhoan
Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat (Sidik, 1998)

24
Dari sisi keagamaan, ibadah adalah ketundukan atau penghambaan diri kepada
Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk kegiatan manusia di
dunia ini, yang dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba hanya kepada
Allah. Jadi, semua tindakan mukmin yang dilandasi oleh niat tulus untuk
mencapai ridha Allah dipandang sebagai ibadah. Makna inilah yang terkandung

dalam firman Allah:

Dengan demikian, segenap tindakan mukmin yang dilakukan sepanjang hari dan
malam tidak terlepas dari nilai ibadah, termasuk tindakan yang dianggap sepele,
seperti senyum kepada orang lain.

2.10 Hakikat Ibadah


Tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah kepada-
Nya. Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu kemampuan
yang besar kepada makhluknya, karena apabila direnungkan, hakikat perintah
beribadah itu berupa peringatan agar kita menunaikan kewajiban terhadap Allah
yang telh melimpahkan karunia-Nya. Adapun hakikat ibadah yaitu:
1. Ibadah adalah tujuan hidup kita
2. Melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan
dan perendahan diri kepada Allah SWT
3. Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan
meninggalkan larangan-Nya
4. Cinta, maksudnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengandung
makna mendahulukan kehendak Allah dan Rasul-Nya atas yang lainnya.
Adapun tanda-tandanya: mengikuti sunnah Rasullullah saw.
5. Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu
yang dicintai Allah)

25
6. Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala
bentuk dan jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah SWT
Dengan demikian orang-orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah
yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan
melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itu tujuan
hidup akan terwujud.

2.11 Cakupan Ibadah

Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah ghairu
mahdhah.

1. Ibadah Mahdhah

Ibadah mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang


asalnya memang merupakan ibadah, berdasarkan nash atau lainnya yang
menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram dipersembahkan kepada
selain Allâh Azza wa Jalla.

Dalam kitab ad-Dînul Khâlish, 1/215, disebutkan pengertian ibadah mahdhah,


“Segala yang diperintahkan oleh Pembuat syari’at (yaitu: Allâh Subhanahu wa
Ta’ala -pen), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan
kepada keagungan dan kebesaran Allâh Azza wa Jalla.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wudhu adalah


ibadah, karena ia tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, dan semua
perbuatan yang tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, maka itu adalah
ibadah, seperti shalat dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala.”
[Al-Mustadrak ‘ala Majmû’ al-Fatâwâ, 3/29; Mukhtashar al-Fatâwâ al-
Mishriyah, hlm. 28]

Maka semua perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau ijma’
atau lainnya, atas kewajiban ikhlas padanya, maka itu adalah ibadah dari asal

26
disyari’atkannya, sedangkan yang tidak demikian maka itu bukan ibadah dari asal
disyari’atkannya, namun bisa menjadi ibadah dengan niat yang baik, sebagaimana
penjelasan berikutnya.

Ibadah mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan


Ibadah hati yang terbagi menjadi dua bagian:
1) Qaulul qalbi (perkataan hati), dan dinamakan i’tiqâd (keyakinan;
kepercayaan). Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Rabb (Pencipta;
Pemilik; Penguasa) selain Allâh, dan bahwa tidak ada seorangpun
yang berhak diibadahi selain Dia, mempercayai seluruh nama-Nya
dan sifat-Nya, mempercayai para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rasul-Nya, hari Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.
2) ‘Amalul qalbi (amalan hati), di antaranya ikhlas, mencintai Allâh
Subhanahu wa Ta’ala , mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap
siksa-Nya, tawakkal kepada-Nya, bersabar melaksanakan perintah-
Nya dan meninggalkan larangan-Nya dan lainnya.
b. Ibadah perkataan atau lisan
Diantaranya adalah mengucapkan kalimat tauhid, membaca al-Qur’an,
berdzikir kepada Allâh dengan membaca tasbîh, tahmîd, dan lainnya;
berdakwah untuk beribadah kepada Allâh, mengajarkan ilmu syari’at,
dan lainnya.
c. Ibadah badan
Diantaranya adalah melaksankan shalat, bersujud, berpuasa, haji,
thawaf, jihad, belajar ilmu syari’at, dan lainnya.
d. Ibadah harta
Diantaranya adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih kurban,
dan lainnya.

2. Ibadah Ghairu Mahdhah

27
Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan
yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi ibadah dengan niat yang
baik.

Namun, jika perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dilakukan dengan


niat yang buruk akan berubah menjadi kemaksiatan, dan pelakunya mendapatkan
dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta dengan niat untuk
melakukan maksiat; makan minum agar memiliki kekuatan untuk mencuri;
mempelajari ilmu yang mubah, seperti kedokteran atau teknik, dengan niat untuk
mendapatkan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa melakukan perbuatan
maksiat.

Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini


dengan tanpa niat yang baik atau niat buruk, maka perbuatan tersebut tetap pada
hukum asalnya, yaitu mubah.

Ibadah ghairu mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Melaksanakan wâjibât (perkara-perkara yang diwajibkan) dan


mandûbât (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk
ibadah, dengan niat mencari wajah Allâh.
Misalnya:
 Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan,
minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam
melaksanakan ketaatan kepada Allâh.
 Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan perintah
Allâh.
 Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat melaksanakan
perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
 Mendidik anak dan membiayai sekolahnya dengan niat agar
mereka bisa beribadah kepada Allâh dengan baik.
 Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak
terjatuh ke dalam zina.

28
 Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan mencarai
pahala Allâh.
 Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari wajah Allâh.
 Memuliakan tamu dengan niat melaksanakan perintah Allâh.
 Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke
tempat tujuannya dengan niat mencari wajah Allâh.
Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah adalah hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Dari Abu Mas’ûd Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi


wa sallam , Beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki mengeluarkan
nafkah kepada keluarganya yang dia mengharapkan wajah Allâh
dengan-Nya, maka itu shadaqah baginya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 55]
Dalam hadits lain diriwayatkan:

Dari Sa’ad bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak
mengeluarkan nafkah yang engkau mencari wajah Allâh dengan-Nya
kecuali engkau diberi pahala padanya, termasuk apa yang engkau
taruh di mulut istrimu”. [HR. Al-Bukhari, no. 56]
b. Meninggalkan muharramât (perkara-perkara yang diharamkan) untuk
mencari wajah Allâh Azza wa Jalla
Termasuk dalam hal ini adalah meninggalkan riba,
meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan perbuatan penipuan,
dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Jika seorang Muslim
meninggalkannya karena mencari pahala Allâh, takut terhadap siksa-
Nya, maka itu menjadi ibadah yang berpahala.

29
Namun jika seorang Muslim meninggalkan suatu perbuatan
maksiat karena tidak mampu melakukannya, atau karena takut
terhadap had dan hukuman, atau tidak ada keinginan, atau sama sekali
tidak pernah memikirkannya, maka dia tidak mendapatkan pahala.
Dalilnya adalah hadits:

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Allâh berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan
keburukan, maka janganlah kamu menulisnya sampai dia
melakukannya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah dengan
semisalnya. Dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka tulislah
satu kebaikan untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu
dia tidak melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika
dia telah melakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kalinya
sampai 700 kali”. (HR. Al-Bukhâri, no. 7501)
c. Melakukan mubâhât (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari
wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala
Diantaranya tidur, makan, menjual, membeli, dan usaha
lainnya dalam rangka mencari rezeki. Semua ini dan yang
semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika seorang Muslim
melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk melaksanakan
ketaatan kepada Allâh, maka hal itu menjadi ibadah yang berpahala.
Dalil adalah hadits Abu Mas’ud dan Sa’ad yang telah lewat.
Demikian juga perkataan Mu’adz bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu
Musa al-Asy’ari, “Bagaimana engkau membaca al-Qur’an?” Beliau
Radhiyallahu anhu menjawab

30
Aku tidur di awal malam, lalu aku bangun dan aku telah memberikan
bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang Allâh takdirkan untukku.
Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku, sebagaimana aku
mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku”. [HR. Al-Bukhâri,
no. 4341]

2.12 Syarat Diterimanya Ibadah

Allâh Azza wa Jalla mewajibkan seluruh hamba-Nya untuk beribadah kepada-


Nya. Kemudian Dia akan memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang telah
mereka amalkan. Namun ibadah akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , jika
memenuhi syarat-syarat diterimanya amal sebagaimana telah dijelaskan oleh
Allâh dan Rasul-Nya. Syarat-syarat tersebut ada tiga, yaitu: iman, ikhlas, dan
ittiba’. Inilah sedikit penjelasan tentang tiga perkara ini:

2.12.1 Iman
Secara bahasa Arab, sebagian orang mengartikan iman dengan:
tashdîq (membenarkan atau meyakini kebenaran sesuatu); thuma’ninah
(ketentraman); dan iqrâr (pengakuan). Makna yang ketiga inilah yang
paling tepat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan telah diketahui bahwa
iman adalah iqrâr (pengakuan), tidak semata-mata tashdîq. Iqrâr
(pengakuan) mencakup perkataan hati, yaitu tashdîq (membenarkan atau
meyakini kebenaran), dan perbuatan hati, yaitu inqiyâd (ketundukan
hati)”.
Dengan demikian, iman adalah iqrâr (pengakuan) hati yang mencakup:

31
 Keyakinan hati, yaitu meyakini kebenaran berita.
 Perkataan hati, yaitu ketundukan terhadap perintah.
Yaitu: keyakinan yang disertai dengan kecintaan dan ketundukan
terhadap segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari Allâh Azza wa Jalla.
Adapun secara syara’ (agama), maka iman yang sempurna
mencakup qaul (perkataan) dan amal (perbuatan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dan di
antara prinsip-prinsip Ahli Sunnah wal Jama’ah bahwa ad-din (agama)
dan al-iman adalah: perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan,
perbuatan hati, lisan dan anggota badan”.
Iman memiliki enam rukun, yaitu: iman kepada Allâh, malaikat-
malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, dan iman
kepada qadar. Inilah pokok iman.
Selain rukun, iman juga memiliki bagian-bagian.  Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyebutkan bahwa iman itu memiliki 73
bagian, sebagaimana dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Iman ada 73 lebih atau 63 lebih bagian, yang paling utama adalah
perkataan Laa ilaaha illa Allâh, yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah satu bagian
dari iman.
Iman Syarat Diterima Amal Shalih :
Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa iman merupakan
syarat diterimanya sebuah amal. Antara lain, firman Allâh Azza wa
Jalla :

32
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl/16: 97]
Oleh karena itu amalan orang kafir tertolak. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:

Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka


adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang
berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun
dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu
adalah kesesatan yang jauh. [Ibrâhîm/14:18]
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana


fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang
yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya
sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allâh di sisinya, lalu Allâh

33
memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan
Allâh sangat cepat perhitungan-Nya. [An-Nur/24: 39]
Walaupun amal orang kafir tertolak di akhirat, namun dengan
keadilan-Nya, Allâh Azza wa Jalla memberikan balasan amal kebaikan
orang kafir di dunia ini. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

Sesungguhnya Allâh tidak akan menzhalimi kepada orang mukmin satu


kebaikanpun, dia akan diberi (rezeki di dunia) dengan sebab
kebaikannya itu, dan akan di balas di akhirat. Adapun orang kafir, maka
dia diberi makan dengan kebaikan-kebaikannya yang telah dia lakukan
karena Allâh di dunia, sehingga jika dia telah sampai ke akhirat, tidak
ada baginya satu kebaikanpun yang akan dibalas.
Dari uraian singkat di atas, kita bisa memahami urgensi iman
terkait diterima atau tidaknya amal ibadah seseorang. Semoga ini bisa
memotivasi kita untuk terus menjaga dan meningkatkan keimanan kita
serta memliharanya dari segala yang bisa merusaknya. Karena iman juga
bisa rusak dengan banyak sebab, diantaranya syirik (Lihat Az-Zumar/39:
65), nifak (At-Taubah/9: 54), kufur (Muhammad/47: 8-9), dan riddah
(Al-Baqarah/2: 217). Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kita dari
segala yang bisa merusak keimanan kita.

2.12.2 Ikhlas
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan. Maksud ikhlas dalam
syara’ adalah memurnikan niat dalam beribadah kepada Allâh, semata-
mata mencari ridha Allâh, menginginkan wajah Allâh, dan
mengharapkan pahala atau keuntungan di akhirat. Serta membersihkan

34
niat dari syirik niat, riya’, sum’ah, mencari pujian, balasan, dan ucapan
terimakasih dari manusia, serta niat duniawi lainnya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan


memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus. [Al-Bayyinah/98: 5]
Orang yang ikhlas mencari ridha Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

Dan barangsiapa yang berbuat demikian (yaitu: memberi sedekah, atau


berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia) karena
mencari keridhaan Allâh, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala
yang besar. [An-Nisa’/4: 114]
Orang yang ikhlas beramal untuk wajah Allâh, yakni agar bisa melihat
wajah Allâh di surga. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk wajah


Allâh, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula
(ucapan) terima kasih. [Al-Insan/76: 9]
Orang yang ikhlas itu menghendaki pahala akhirat, bukan balasan dunia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

35
Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah
keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan
di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan
tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. [Asy-Syûra/42: 20]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa di antara mereka (umat ini) beramal dengan amalan


akhirat untuk dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian di akhirat.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya Allâh tidak akan menerima dari semua jenis amalan


kecuali yang murni untuk–Nya dan untuk mencari wajah–Nya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Allâh Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku paling tidak membutuhkan


sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia menyekutukan
selain Aku bersama–Ku pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan
sekutunya.
Seorang ulama dari India, al-Imam Shiddiiq Hasan Khan al-
Husaini rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan (di antara Ulama)
bahwa ikhlas merupakan syarat sah amal dan (syarat) diterimanya amal”.
Berdasarkan syarat ikhlas ini, maka barangsiapa melakukan ibadah
dengan meniatkannya untuk selain Allâh, seperti menginginkan pujian
manusia, atau keuntungan duniawi, atau melakukannya karena ikut-
ikutan orang lain tanpa meniatkan amalannya untuk Allâh, atau

36
barangsiapa melakukan ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada
makhluk, atau karena takut penguasa, atau semacamnya, maka ibadahnya
tidak akan diterima, tidak akan berpahala. Demikian juga jika seseorang
meniatkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla, tetapi niatnya dicampuri
riya’, amalannya gugur. Ini merupakan kesepakatan ulama.
Kesalahan Seputar Ikhlas :
Dalam kitab al-Ikhlâsh, penulis yaitu Syaikh Umar Sulaiman
al-‘Asyqar rahimahullah menyebutkan beberapa persepsi yang keliru
tentang ikhlas, diantaranya:
1) Anggapan bahwa makna ikhlas adalah tidak memiliki
kehendak
2) Anggapan bahwa orang yang menghendaki ridha Allâh harus
meninggalkan duniawi, harta-benda, wanita, kedudukan, dan
sebagainya.
3) Anggapan bahwa ikhlas adalah beribadah hanya dengan
dorongan cinta kepada Allâh, tanpa disertai raja’ (harapan
untuk meraih) surga dan tanpa khauf (rasa takut) dari neraka.
4) Orang yang tujuan hidupnya hanya duniawi.
5) Riya’, sum’ah, dan ‘ujub, bertentangan dengan ikhlas.
a. Riya’ adalah: memperlihatkan ketaatan lahiriyah untuk
mendapatkan kebaikan dunia, pengagungan, pujian, atau
kedudukan di hati manusia.
b. Sum’ah semakna riya’ namun berkaitan dengan
pendengaran.
c. ‘Ujb: merasa besar atau membanggakan ketaatan.
Beribadah dengan niat mengetahui hal-hal ghaib.

2.12.3 Ittiba’
Ittibâ’ adalah mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Orang yang telah bersyahadat bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh, maka

37
syahadat tersebut memuat kandungan: meyakini berita Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mentaati perintah Beliau, menjauhi
larangan Beliau, dan beribadah kepada Allâh hanya dengan syari’at
Beliau. Oleh karena itu, barangsiapa membuat perkara baru dalam agama
ini, maka itu tertolak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali


tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi. [Ali-Imran/3: 85]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dia
larang kepadamu, maka tinggalkanlah. [Al-Hasyr/59: 7]
Ayat ini nyata menjelaskan kewajiban ittiba’ kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini,


apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak.
Hadits ini nyata-nyata mengharamkan perbuatan membuat ibadah
yang tidak diperintahkan dan tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan mengharamkan perbuatan membuat sifat ibadah
walaupun asal ibadah itu disyari’atkan, karena itu menyelisihi tuntunan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Dengan ini jelas bahwa ibadah harus
sesuai tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam waktunya,
sifatnya, dan tidak boleh menambahkan ibadah yang tidak dituntunkan,
baik berupa amalan atau perkataan.

38
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

39
DAFTAR PUSTAKA

Afrida. (2018). Hakikat Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Kajian Imu
– Ilmu Hukum Vo.16, No.2, Institut Agama Islam Negeri Kerinci. Kerinci : Al-
Qishtu.
An-Nawawi, Imam Muhyiddin dkk. 2007. Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarh
AlArba’in An-Nawawiyah. Diterjemahkan oleh: Salafuddin Abu Sayyid. Solo:
Pustaka ‘Arafah

Kiptiyah. 2007. Embriologi Dalam Al-Qur’an: Kajian pada Proses Penciptaan


Manusia. Malang : UIN Press

Muhammad, bin ‘Abdullah. Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir. Diterjemahkan


oleh : M Abdul Ghoffar E.M dkk. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i

Sani, Ridwan Abdullah. 2015. Sains Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: Bumi Aksara

Shihab, Quraish M. 2007. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung : Mizan

Lamara, I. 2015. Konsep Jiwa Dalam Islam


Suryadi, RA. 2016. Pendidikan Islam: Telaah Konseptual Mengenai Konsep Jiwa
Manusia
Sirait, H. 2014. Sifat-Sifat Dasar Manusia
H. Dadang Kahmad dan Sukron Abdillah. 2014. Mencari Rezeki Bersama Allah.
Jakarta: PT Alex Media Komputindo.

40
Herni, Elis. 2015. Makalah Agama dan Manusia. Sekolah Tinggi Keguruan dan
Ilmu Pendidikan STKIP Sebelas April Sumedang.

Yunasril Ali. 2012. Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah. Hal-5. Jakarta:
Zaman
Sidik Tono, dkk. 1998. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. Hal-2. Yogyakarta: UII
Press
Ustadz Abu Ismail. 2016. Makna dan Cakupan Ibadah. Majalah as-Sunnah
Ed.11: Darul 'Ushaimi lin nasyr wa tauzi’.
Ustadz Abu Ismail. 2016. Syarat Ibadah Diterima. Majalah as-Sunnah Ed.12:
Darul 'Ushaimi lin nasyr wa tauzi’

41

Anda mungkin juga menyukai