Anda di halaman 1dari 4

dan ushul fiqih, sangat erat kaitannya dengan ijitihad.

Apa sebetulnya
definisi atau pengertian ijtihad itu ? Menurut bahasa atau etimologi, ijtihad
berasal dari kata “ijtahada yajtahidu ijtihaadan” yang artinya mengerahkan
kemampuan dalam menanggung beban. Sedangkan menurut istilah syara
atau terminologi, ijtihad adalah mencurahkan segala upaya sekuat tenaga
dalam memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas secara mendetail
atau penjelasannya masih umum di dalam Al Quran maupun hadits Nabi
dengan menggunakan logika sehat dan pertimbangan matang. Seperti
menetapkan haramnya meminum minuman keras, karena di dalam Al Quran
dan hadits belum ada pentepan hukum yang jelas.

1. Pengertian Al Qur'an secara etimologi (bahasa)


Ditinjau dari bahasa, Al Qur'an berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk jamak dari kata
benda (masdar) dari kata kerja qara'a - yaqra'u - qur'anan yang berarti bacaan atau
sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Konsep pemakaian kata tersebut dapat dijumpai
pada salah satu surah al Qur'an yaitu pada surat al Qiyamah ayat 17 - 18.
2. Pengertian Al Qur'an secara terminologi (istilah islam)
Secara istilah, al Qur'an diartikan sebagai kalm Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt
sendiri dengan perantara malaikat jibril dan mambaca al Qur'an dinilai ibadah kepada
Allah swt.

Al Qur'an adalah murni wahyu dari Allah swt, bukan dari hawa nafsu perkataan Nabi
Muhammad saw. Al Qur'an memuat aturan-aturan kehidupan manusia di dunia. Al
Qur'an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Di dalam al
Qur'an terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Al
Qur'an merupakan petunjuk yang dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
jalan yang terang.

Sunnah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sunnah (Arab: ‫سنة‬ sunnah, artinya "arus yang lancar dan mudah" atau "jalur aliran
langsung") dalam Islam mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan
cara rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan (tradisi) yang dilaksanakan
oleh rasulullah.
Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Quran. Narasi atau

informasi yang disampaikan oleh para sahabattentang sikap, tindakan, ucapan dan
cara rasulullah disebut sebagai hadits. Sunnah yang diperintahkan oleh Allah
disebut sunnatullah(hukum alam).

Etimologi[sunting | sunting sumber]
Sunnah (‫ˈ سنة‬sunnah, plural ‫ سنن‬sunan) adalah kata Arab yang berarti "kebiasaan" atau "biasa
dilakukan".[1] Secara istilah sunnah adalah jalan yang di tempuh oleh rasulullah dan para
sahabatnya, baik ilmu, keyakinan, ucapan, perbuatan, maupun penetapan. Para
penganutSunni juga disebut sebagai Ahl as-Sunnah wa'l-Jamā'ah ("orang-orang dari tradisi dan
pengikut (dari Muhammad)") atau Ahlussunnahuntuk singkatnya saja.

Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa ayat


7-10
 ukuran font     
 Cetak 
 Add new comment

Ayat ke 7
Artinya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (4:7)
Sebelumnya, telah disebutkan  ayat-ayat pertama surat Nisaa  menjelaskan banyak persoalan
keluarga.  Salah satu problem keluarga adalah anak-anak yang tidak memiliki pengasuh dan anak
yatim.  Dalam  sebuah  riwayat telah disebutkan, salah seorang dari sahabat Rasul  Saw meninggal
dunia. Sahabat tadi memiliki isteri dan anak,  tapi keponakan yang meninggal justru membagi-bagi
harta si mayit di antara mereka sendiri dan tidak menyisakan sedikitpun untuk isteri dan anak-
anaknya.  Karena  di masa Jahiliah, hanya lelaki yang memiliki hak waris, bukan anak-anak si mayit
atau isterinya.
Ayat ke-7 surat Nisaa diturunkan untuk membela hak-hak kaum perempuan, terutama masalah
warisan. Disebutkan, "Sebagaimana kaum pria memiliki hak waris, kaum perempuan juga punya hak
yang sama, sekalipun berbeda dalam jumlah. Karena jatah masing-masing telah ditentukan oleh
Allah."
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1.  Islam  tidak hanya memerintah shalat dan puasa, tapi memberikan perhatian ke seluruh aspek
kehidupan manusia.  Islam melihat upaya melindungi hak perempuan dan anak yatim sebagai
kelaziman iman seseorang.
2.  Pembagian warisan harus berlandaskan perintah Tuhan, bukan  mengikuti tradisi sosial atau
keinginan orang yang meninggal.
3.  Poin penting dalam pembagian warisan bukan jumlah, tapi perlindungan hak para ahli waris.
Bukan karena jumlahnya sedikit, lalu hak waris seseorang diabaikan.
Ayat ke 8
Artinya:
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (4:8)
Demi mengokohkan dan memelihara hubungan keluarga, diperlukan perilaku dan etika yang sesuai.
Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, ayat ini membahas hukum warisan dan akhlak.
Disebutkan dalam ayat bila ada kerabat miskin atau anak yatim yang ikut dalam proses pembagian
harta warisan, maka bila disepakati oleh ahli waris hendaknya mereka juga diberi bagian walaupun
sedikit. Hal ini penting untuk mempererat jalinan keluarga dan mengokohkan hubungan yang ada,
sekaligus tentu saja menghilangkan rasa dengki yang mungkin lahir dari kemiskinan mereka. Bila
pihak ahli waris sepakat untuk memberikan sedikit bagian kepada kerabat miskin yang hadir,
diupayakan agar tetap bersikap sopan dan santun ketika berbicara dengan mereka. Hal ini harus
dilakukan agar menghapus kesan bahwa mereka tidak dipedulikan oleh kerabatnya lantaran miskin.
Dari ayat tadi terdapat  dua  pelajaran yang dapat dipetik:
1.  Hendaknya kita memperhatikan harapan orang miskin sebatas kewajaran dan  membantu mereka
di luar dari kewajiban yang ditetapkan agama.
2.  Memberi hadiah dan perhatian dapat mengokohkan hubungan keluarga. Memberikan bantuan
berupa materi dan bersikap sopan dapat mencegah munculnya dengki dan dendam di tengah
keluarga.
Ayat ke 9
Artinya:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar. (4: 9)
Al-Quran memberikan gambaran dalam ayat ini untuk menumbuhkan empati masyarakat akan kondisi
anak-anak yatim. Al-Quran mengajak umat Islam membayangkan bagaimana bila anak mereka
sendiri hidup di bawah pengawasan orang-orang yang kejam dan sewenang-wenang dalam
membelanjakan harta mereka.  Allah mengingatkan mereka bila mengkhawatirkan masa depan anak-
anaknya sepeninggal mereka, maka hal pertama yang dilakukan adalah takut kepada Allah, tidak
menzalimi, berperilaku terpuji, mengasihi dan memenuhi kebutuhan material dan spiritual mereka.
Dari ayat tadi terdapat  tiga  pelajaran yang dapat dipetik:
1.  Kita harus bersikap yang sama terhadap anak-anak yatim seperti yang kita lakukan terhadap anak
kita.
2.  Perilaku baik memiliki dampak di dunia, bukan hanya di akhirat. Perilaku baik atau buruk kita akan
sampai kepada anak dan keturunan kita.
3.  Kebutuhan anak yatim tidak terbatas pada hal-hal materi, tapi yang lebih penting adalah
kebutuhan spiritual.
Ayat ke 10
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(4: 10)
Ayat ini  menyinggung wajah batin  di balik  perbuatan kejam terhadap anak-anak yatim. Memakan
harta anak yatim sama dengan menelan api  dan hal ini akan terbukti dan menjelma pada Hari
Kiamat.
Perbuatan manusia di dunia memiliki wajah lahiriah yang kita lihat  sehari-hari, tapi juga memilih
wajah batin yang tersembunyi. Wajah batin perbuatan manusia akan muncul di Hari Kiamat. Pada
hari itu perbuatan yang kita lakukan akan menjelma wajah aslinya. Bila memakan harta anak yatim
terlihat betapa pelakunya gembira di dunia, tapi bila melihat dengan mata batin, maka apa yang
dimakannya itu sejatinya berupa api. Pada Hari Kiamat yang dimakan itu bukan harta, tapi api yang
akan membakar wajah dan tubuhnya.
Dengan demikian, bila ayat sebelumnya menyinggung dampak lahiran dari berbuat zalim terhadap
anak-anak yatim, maka dalam ayat ini dijelaskan mengenai dampak batin dari menyelewengkan harta
anak yatim.
Dari ayat tadi terdapat  dua  pelajaran yang dapat dipetik:
1.  Memakan harta haram,  khususnya  milik  anak yatim,  sekalipun terlihat nikmat, tapi pada
hakikatnya mengganggu jiwa manusia.
2.  Api neraka sejatinya perbuatan buruk yang menjelma di Hari Kiamat. Karena Allah tidak suka
menyiksa hamba-Nya, tapi kitalah yang menjebloskan diri ke api neraka. (IRIB Indonesia)

a.    Al-Maidah ayat 90
ْ َ‫ان ف‬
 ُ‫اجتَنِبُوه‬ ِ َ‫ش ْيط‬ ٌ ‫اب َواَأْل ْزاَل ُم ِر ْج‬
َّ ‫س ِمنْ َع َم ِل ال‬ ُ ‫ص‬َ ‫س ُر َواَأْل ْن‬
ِ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ َآ َمنُوا ِإنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْي‬
َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحون‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala,
mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maidah
: 90)

Anda mungkin juga menyukai