Anda di halaman 1dari 26

BAB II

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Prestasi Belajar Matematika

a. Belajar

Menurut Hamalik (Husamah dkk, 2016: 4) belajar adalah

modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is

defined as the modification or strengthening of behavior trough

experiencing). Menurut pengertian ini, belajar adalah suatu proses, suatu

kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya

mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu, yaitu mengalami. Hasil

belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan

kelakuan ( perilaku atau tingkah laku)

Definisi belajar yang diutarakan oleh Hamalik (Husamah dkk,

2016: 4) juga diikuti oleh ahli pendidikan lain di Indonesia. Dengan

sepenuhnya mengacu pada pendapat Gagne, Dahar (Husamah dkk, 2016:

4) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses di mana suatu organisasi

berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Definisi ini menurutnya

lebih sederhana tetapi lebih bermakna dan berarti.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan

bahwa belajar adalah sebuah proses perubahan di dalam kepribadian

manusia dan perubahan itu tidak hanya berkaitan dengan penambahan

ilmu pengetahuan (kognitif) saja, melainkan juga berbentuk perubahan

10
11

sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor) menuju perkembangan

pribadi manusia seutuhnya.

b. Matematika

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari

perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam

berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Suwangsih

(Kuswanti, 2016) menyatakan bahwa kata matematika berasal dari

perkataan Latin “Mathematika” yang mulanya diambil dari prakata

Yunani “Mathematike” yang berarti mempelajari. Adji (2006: 34)

mengemukakan bahwa matematika adalah bahasa, sebab matematika

merupakan bahasa simbol yang berlaku secara universal (internasional)

dan sangat padat makna dan pengertiannya.

Prihandoko (2006: 1) berpendapat bahwa matematika merupakan

ilmu dasar yang sudah menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang

lain. Oleh karena itu, penguasaan terhadap matematika mutlak diperlukan

dan konsep-konsep matematika harus dipahami dengan betul dan benar

sejak dini. Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Wale (Kuswanti,

2016) mendefinisikan matematika sebagai ilmu yang memiliki pola

keteraturan dan urutan yang logis. Berdasarkan definisi di atas, diketahui

bahwa matematika bukanlah ilmu pengetahuan yang 10 didominasi oleh

perhitungan-perhitungan yang tanpa alasan. Sehingga dengan

menginterprestasikan dan mengaplikasikan pola keteraturan inilah akan

muncul makna dari belajar matematika.


12

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, peneliti

menyimpulkan bahwa matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang

logika, yang berhubungan dengan bentuk, susunan, besaran, dan konsep-

konsep abstrak yang berhubungan satu dengan lainnya.

c. Prestasi Belajar Matematika

Prestasi belajar merupakan tujuan pengajaran yang diharapkan

semua peserta didik. Untuk menunjang tercapainya tujuan pengajaran

tersebut perlu adanya kegiatan belajar mengajar yang melibatkan siswa,

guru, materi pelajaran, metode pengajaran, kurikulum dan media

pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa serta didukung oleh

lingkungan belajar-mengajar yang kondusif.

Menurut WJS Poerdarminta (Juwandono, 2015) berpendapat,

bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan,

dan lain sebagainya). Sedangkan menurut Gagne (Juwandono, 2015)

prestasi adalah penguasaan siswa terhadap materi pelajaran tertentu yang

telah diperoleh dari hasil tes belajar yang dinyatakan dalam bentuk skor.

Melalui proses belajar seorang siswa akan mengalami perubahan

tingkah laku sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman yang

diperolehnya untuk mencapai prestasi maksimal. Slameto (Juwandono,

2015) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang

dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku

yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri

dalam interaksi dengan lingkungannya.


13

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli, maka dapat

dikatakan bahwa prestasi belajar matematika adalah tingkat penguasaan

siswa terhadap materi pelajaran matematika yang telah diperoleh dari

hasil tes belajar yang dinyatakan dalam bentuk skor.

2. Kedisiplinan Belajar

a. Pengertian Kedisiplinan Belajar

Secara etimologis, istilah disiplin berasal dari bahasa latin

“Disciplina” yang menunjuk pada kegiatan belajar dan mengajar. Dalam

bahasa Inggris “Discipline” yang berarti: tertib, taat, atau mengendalikan

tingkah laku, penguasaan diri, kendali diri, latihan membentuk,

meluruskan, atau menyempurnakan sesuatu sebagai kemampuan mental

atau karakter moral, hukuman yang diberikan untuk melatih atau

memperbaiki, kumpulan atau sistem peraturan-peraturan bagi tingkah

laku (MacMillan Dictionary dalam Silawati, 2013).

Soegeng Prijodarminto (Silawati, 2013) memberi arti disiplin

sebagai kondisi yang terbentuk melalui proses dan serangkaian perilaku

yang menunjukkan nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan atau

ketertiban. Perilaku itu tercipta melalui proses binaan keluarga,

pendidikan, dan pengalaman. Rachman (Silawati, 2013) yang

mengartikan disiplin sebagai upaya mengendalikan diri dan sikap mental

individu dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap

peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan dan kesadaran yang

muncul dari dalam hatinya. Tu’u (Silawati, 2013) merumuskan disiplin


14

sebagai sikap seseorang dalam mengikuti dan menaati peraturan, nilai,

dan hukum yang berlau. Pengikutan dan ketaatan tersebut muncul Karen

aadanya kesadaran diri bahwa hal itu berguna untuk kebaikan dan

keberhasilan seseorang. Disiplin dapat muncul karena adanya rasa takut,

tertekan, terpaksa dan adanya dorongan dari luar dirinya. Kedisiplinan

juga sebagai alat pendidikan untuk mempengaruhi, mengubah, membina

dan membentuk perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ditentukan atau

diajarkan dalam rangka mendidik, melatih, mengendalikan dan

memperbaiki tingkah laku.

Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

kedisiplinan belajar merupakan usaha yang dilakukan seseorang dengan

sadar, melalui latihan hidup teratur, pengajaran, pendidikan dan

pembinaan dari keluarga dalam hal ini orang tua, dan guru di sekolah

untuk mengikuti dan menaati peraturan, nilai, hukum atau tata tertib yang

berlaku untuk memperoleh perubahan perilaku dalam dirinya. Perilaku

tersebut dapat berupa pengetahuan, keterampilan maupun sikapnya.

Disiplin tidak hanya mengikuti dan menaati aturan, melainkan meningkat

menjadi disiplin berpikir yang mengatur serta mempengaruhi seluruh

aspek individu termasuk prestasi belajar siswa.

b. Aspek dan Indikator Kedisiplinan Belajar

Tu’u(Silawati, 2013) mengemukakan aspek kedisiplinan terdiri

dari 3 sub aspek dengan indikator disiplin belajar meliputi: 1) Kepatuhan

mengikuti proses belajar mengajar dengan indikator, a) mendengarkan


15

guru saat pelajaran sedang berlangsung dan disiplin menggunakan waktu

dengan baik saat guru menjelaskan pelajaran b) tidak meninggalkan kelas

saat pelajaran berlangsung, sampai pelajaran berakhir c) mengerjakan

tugas dengan baik penuh kedisiplinan dan tanggung jawab dalam

mengerjakannya. 2) kepatuhan pada tata tertib sekolah dengan indikator,

a) datang ke sekolah tepat waktu sesuai waktu yang ditentukan b)

menaati peraturan dan tata tertib yang telah dibuat oleh pihak sekolah c)

bersikap hormat dan santun pada semua warga sekolah. 3) Ketaatan pada

jam belajar dengan indikator meliputi a) membuat jadwal pelajaran

secara rutin untuk dapat disiplin dalam belajar sesuai jadwal yang dibuat

b) menggunakan waktu belajar dengan semaksimal mungkin dan c) tidak

menunda-nunda dalam mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan

oleh guru.

3. Pola Asuh Orangtua

a. Pengertian Pola Asuh Orangtua

Pola asuh orang tua menurut Wijanarko dan Setiawati (Saputro,

2017) mengandung pengertian : 1) interaksi pengasuhan orang tua

terhadap anaknya 2) sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya

3) pola perilaku orang tua untuk berhubungan dengan anak-anaknya.

Sejak anak masih usia balita orang tua sudah sering berinteraksi dengan

anak. Baik atau buruk keteladanan yang diberikan serta kebiasaan hidup

orang tua sehari-hari akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak.

Djamarah (Saputro, 2017) menyatakan pola asuh orang tua adalah


16

perilaku yang diterapkan pada anak yang bersifat relatif konsisten dari

waktu ke waktu. Tridhonanto (Saputro, 2017) menyatakan pola asuh

orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi orang tua dan anak, orang

tua yang memberikan dorongan bagi anak dengan mengubah tingkah

laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi orang

tua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta berkembang secara sehat dan

optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki sifat rasa ingin tahu,

bersahabat, dan berorientasi untuk sukses. Olds and Feldman (Saputro,

2017) pola asuh orang tua terhadap anak-anaknya sangat menentukan dan

mempengaruhi kepribadian (sifat) serta perilaku anak. Perlakuan orang

tua terhadap anak bukan hanya berpengaruh pada perilaku serta sikap

anak (afektif dan psikomotorik) tetapi juga akan mempengaruhi potensi

akademik (kognitif) mereka. Menurut Syamaun (Saputro, 2017) pola

asuh jelas memberikan pengaruh yang paling besar terhadap proses

pembentukan dibanding pengaruh yang diberikan oleh komponen

pendidikan lainnya. Ki Hadjar Dewantara (Saputro, 2017) menyatakan

bahwa keluarga merupakan “pusat pendidikan” yang petama dan

terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai kini,

keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap

manusia.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua

adalah bentuk perlakuan ataupun interaksi orang tua yaitu: mendidik,

menjaga, mengawasi anaknya sejak lahir hingga remaja yang bersifat


17

konsisten dan mempengaruhi perkembangan kognitif, afektif, dan

psikomotorik anak.

b. Indikator Pola Asuh Orang Tua

Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan indikator pola asuh

orang tua menjadi 3 yaitu: pola asuh otoriter, permisif, dan demokratis.

Sesuai dengan pendapat Thomas Gordon (Saputro, 2017))

menggolongkan tipe pola asuh orang tua dalam tiga pola yaitu pola asuh

otoriter, permisif dan demokratis.

1. Pola Asuh Otoriter

Syamaun (Saputro, 2017) menjelaskan tipe pola asuh memiliki ciri-

ciri sering memusuhi, tidak kooperatif, menguasai, suka memarahi

anak, menuntut yang tidak realistis, suka memerintah, menghukum

secara fisik, tidak memberikan keleluasaan (mengekang), membentuk

disiplin secara sepihak, suka membentak, dan suka mencaci maki.

Ciri-ciri perilaku tersebut merupakan refleksi dari kecenderungan

pribadi yang manipulatif.

Pada keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu

mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan

yang tidak pernah habis. Orang tua bertindak sebagai bos dan

pengawas tertinggi. Anggota keluarga terutama ank-anak tidak

memiliki kesempatan atau peluang agar dirinya “didengarkan”

(Shochib dalam Saputro, 2017). Helmawati (Saputro, 2017)

menjelaskan ciri-ciri pola asuh ini menekankan bahwa segala aturan


18

orang tua harus ditaati oleh anaknya, anak tidak boleh membantah,

anak tidak diberi kesempatan menyampaikan apa yang dipikirkan,

diinginkan atau dirasakan.

Dalam kondisi ini anak seolah-olah menjadi robot (penurut)

sehingga anak tumbuh menjadi individu yang kurang inisiatif, merasa

takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam

pergaulan, hingga kurang mandiri karena segala sesuatu tergantung

orang tua. Sisi negatif lainnya, jika anak tidak terima dengan

perlakuan orang tua maka anak dapat tumbuh menjadi orang yang

munafik, pemberontak, nakal atau melarikan diri dari kenyataan.

Fromm (Saputro, 2017) juga menegaskan bahwa anak yang

dibesarkan dalam suasana keluarga otoriter, memandang kekuasaan

sebagai sesuatu yang harus ditakuti dan bersifat magi. Ini mungkin

menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau

justru sikap menentang kekuasaan.

2. Pola Asuh Permisif

Syamaun (Saputro, 2017) mengungkapkan bahwa ciri-ciri pola

asuh tipe permisif adalah membiarkan, tidak ambil pusing, tidak atau

kurang peduli, acuh tak acuh, tidak atau kurang memberi perhatian

karena sibuk dengan tugas-tugas, menyerah pada keadaan,

melepaskan tanpa kontrol, mengalah karena tidak mampu mengatasi

keadaan, atau membiarkan anak karena kebodohan. Ciri-ciri perilaku

ini adalah reflekasi kepribadian yang tidak sehat. Helmawati (Saputro,


19

2017) mengemukakan bahwa pola asuh permisif ini kebalikan dari

pola asuh parent oriented. Dalam parent oriented semua keinginan

orang tua harus diikuti baik anak setuju maupun tidak, sedangkan

dalam pola asuh permisif orang tua harus mengikuti keinginan anak

baik orang tua setuju maupun tidak. Strategi komunikasi dalam pola

asuh ini sama dengan strategi parent oriented yaitu bersifat win-lose

solution. Artinya apa yang diinginkan anak selalu dituruti dan

diperbolehkan oleh orang tua. Orang tua mengikuti segala kemauan

anaknya. Menurut Shochib (Saputro, 2017) ciri dari pola asuh ini

adalah orang tua sering merasa terancam karena meletakkan diri

sepenuhnya pada anak-anak, dengan alasan “demi keselamatan”.

Orang tua banyak memikirkan dan memenuhi keinginan anak-

anaknya.

Dampak negatif dari pola asuh ini adalah anak cenderung bertindak

semena-mena dan bebas melakukan apa saja tanpa memandang bahwa

itu sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang berlaku atau tidak. Sisi

negatif lainnya dari pola asuh ini adalah kurang disiplin dengan

aturan-aturan sosial yang berlaku. Namun sisi positifnya, jika anak

menggunakannya dengan tanggung jawab maka anak tersebut akan

menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif, dan mampu

mewujudkan aktualisasi dirinya di masyarakat (Helmawati dalam

Saputro, 2017). Penelitian David Levy (Saputro, 2017) menjelaskan

anak yang dimanjakan cenderung berwatak tidak patuh, tidak dapat


20

menahan emosi kemarahan, dan menuntut orang lain secara

berlebihan. Dia tidak dapat bergaul, sehingga akan terasing.

3. Pola Asuh Demokratis

Ciri-ciri dari pola asuh tipe demokratis diantaranya adalah

menerima, kooperatif, terbuka terhadap anak, mengajarkan anak untuk

mengembangkan disiplin diri, jujur, dan ikhlas dalam menghadapi

masalah anak-anak, memberikan penghargaan positif kepada anak

tanpa dibuat-buat, mengajarkan kepada anak untuk mengembangkan

tanggung jawab atas setiap perilaku dan tindakannya, bersikap akrab

dan adil, tidak cepat menyalahkan, memberikan kasih sayang dan

kemesraan kepada anak. Ciri-ciri orang tua seperti ini merupakan

reflekasi dari kondisi kepribadian yang matang, dewasa, sehat,

produktif, normal, dan tidak mengalami hambatan (Syamaun dalam

Saputro, 2017). Ciri lain dari pola asuh ini yaitu: orang tua bersikap

rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran -

pemikiran, bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak

berharap berlebihan yang melampaui kemampuan anak (Wijanarko &

Setiawati dalam Saputro, 2017).

Merujuk dari pendapat ahli Thomas Gordon dan Helmawati

(Saputro, 2017), maka dalam penelitian ini ditetapkan indikator pola

asuh orang tua sebagai berikut :

1. Pola Asuh Otoriter meliputi :

a. Komunikasi cenderung satu arah


21

b. Orang tua menetapkan aturan yang ketat

c. Orang tua cenderung menuntut dan memaksa

d. Berorientasi pada hukuman fisik maupun verbal

e. Orang tua jarang mengapresiasi kemampuan anak

2. Pola Asuh Permisif meliputi :

a. Orang tua memberi kebebasan penuh kepada anak, tanpa

batasan dan aturan

b. Tidak ada hukuman jika anak melakukan kesalahan

c. Pengawasan sangat longgar terhadap perilaku dan kegiatan

sehari-hari

d. Orang tua cenderung selalu menuruti semua keinginan anak

3. Pola Asuh Demokratis meliputi :

a. Komunikasi berlangsung secara dua arah

b. Orang tua membebaskan tetapi tetap dalam kontrol terhadap

anak

c. Orang tua membimbing dan mengarahkan tanpa memaksa

anak

d. Realistis terhadap kemampuan anak

e. Orang tua mengapresiasi apa yang dilakukan anak

4. Sikap Terhadap Matematika

a. Pengertian Sikap Terhadap Matematika

Menurut para ahli psikologi, sikap secara umum memiliki berbagai

pengertian. Menurut Secord dan Backman (Dewi, 2017) sikap


22

merupakan keteraturan pemikiran (kognisi), perasaan (afeksi), dan

predisposisi tindakan (konasi) seseorang pada objek tertentu di

lingkungannya. Aiken (Dewi, 2017) menjelaskan sikap sebagai

predisposisi atau kecenderungan yang telah dipelajari pada individu

untuk merespon suatu objek, situasi, konsep, atau orang lain secara

positif atau negatif. Fishbein dan Azjen (Dewi, 2017) mengartikan sikap

sebagai evaluasi positif atau negatif terhadap objek tertentu. Bruno

(Dewi, 2017) menyatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan

mental atau pandangan yang sifatnya relatif menetap untuk bereaksi

terhadap objek tertentu dengan cara positif maupun negatif. Allport

(Dewi, 2017) mendefinisikan sikap sebagai kesiapan mental dan sebagian

syaraf yang terorganisir berdasarkan pengalaman langsung yang

mengarah serta menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi

dengan cara-cara tertentu. Walgito (Dewi, 2017) mengartikan sikap

merupakan organisasi pendapat dan keyakinan seseorang mengenai objek

atau situasi yang relatif tetap, yang disertai adanya perasaan tertentu dan

memberikan dasar pada orang tersebut untuk membuat respon atau

berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya.

Dari berbagai pengertian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa

sikap secara umum merupakan kecenderungan mental yang bersumber

dari organisasi pemikiran (kognisi), perasaan (afeksi), serta predisposisi

tindakan (konasi) mengenai objek dan situasi tertentu untuk merespon

dengan cara positif atau negatif. Sikap terhadap matematika dapat


23

disimpulkan sebagai kecenderungan mental yang merupakan organisasi

pemikiran (kognisi), perasaan (afeksi), dan predisposisi tindakan (konasi)

mengenai matematika dan mengarahkan untuk merespon matematika

secara positif atau negatif.

b. Aspek dan Indikator Sikap Terhadap Matematika

Aspek-aspek sikap terhadap matematika diidentifikasi berdasarkan

aspek-aspek sikap secara umum menurut Azwar (Dewi, 2017), sebagai

berikut:

1. Aspek Kognitif ( Aspek Perseptual)

Aspek kognitif merupakan aspek yang berkaitan dengan

bagaimana seseorang mempersepsi objek sikap (Azwar dalam Dewi,

2017). Aspek ini meliputi pengetahuan, pandangan, gagasan, dan

keyakinan-keyakinan terhadap matematika, seperti keyakinan dan konsep

diri pada matematika (confidence), keyakinan siswa mengenai kegunaan

matematika dalam hidupnya, serta keyakinan siswa mengenai ekspektasi

kemampuan matematika (Aiken dalam Dewi, 2017).

2. Aspek Afektif (Aspek Emosional)

Aspek afektif merupakan aspek mengenai emosional subjektif

seseorang (Azwar dalam Dewi, 2017). Aspek ini meliputi meliputi emosi

positif atau emosi negatif terhadap matematika kecemasan terhadap

matematika (Aiken dalam Dewi, 2017).

3. Aspek Konatif (Aspek Predisposisi Perilaku)


24

Aspek konatif merupakan aspek yang berhubungan dengan

kecenderungan berperilaku terhadap objek sikap yang dihadapi. Aspek

ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan

seseorang berperilaku terhadap objek sikap. Aspek ini meliputi motivasi

terhadap matematika (Aiken dalam Dewi, 2017) dan kecenderungan

berperilaku saat belajar matematika.

Ketiga aspek tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk menyusun

alat ukur berupa skala sikap terhadap matematika.

5. Motivasi Belajar

a. Pengertian Motivasi Belajar

Setiap individu memiliki kondisi internal yang ikut berperan dalam

setiap aktivitasnya seperti halnya dalam proses belajar. Kondisi internal

tersebut salah satunya adalah Motivasi Belajar. Berikut pengertian

Motivasi Belajar menurut Sardiman A.M (Hadiyanti, 2012),

“Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai


keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar,
sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat
tercapai.”

Peranan Motivasi Belajar yang khas adalah dalam hal penumbuhan

gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Motivasi Belajar

dapat memberikan kekuatan pada seseorang untuk melaksanakan

kegiatan belajar. Adanya Motivasi Belajar, maka seseorang akan dapat

melaksanakan berbagai macam aktivitas terutama kegiatan belajar

sehingga tujuan dari belajar tersebut dapat tercapai. Siswa yang memiliki
25

Motivasi Belajar yang kuat akan mempunyai banyak energi untuk

melakukan kegiatan belajar.

Nyayu Khodijah (Hadiyanti, 2014) menjelaskan definisi Motivasi

Belajar sebagai berikut,

Motivasi belajar adalah suatu pendorong yang mengubah energi


dalam diri seseorang ke dalam bentuk aktivitas nyata untuk
mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain motivasi adalah kondisi
psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.
Sedang motivasi belajar adalah kondisi psikologi yang mendorong
seseorang untuk belajar.

Motivasi Belajar dapat diartikan sebagai pengaruh dari energi dan arahan

terhadap perilaku yang meliputi kebutuhan, minat, sikap, nilai, aspirasi

dan perangsang. Kebutuhan dan dorongan untuk memuaskan kebutuhan

dapat menjadi sumber utama Motivasi Belajar. Kebutuhan akan ilmu,

pemahaman materi dan dorongan dalam diri untuk mencapai tujuan

berprestasi merupakan bekal utama siswa untuk memiliki Motivasi

Belajar yang kuat.

Hasil belajar akan tinggi jika terdapat Motivasi Belajar yang kuat

dalam diri siswa. Pengertian Motivasi Belajar yang tidak jauh berbeda

disampaikan oleh Hamzah B. Uno (Hadiyanti, 2012) seperti

berikut,“Hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal

pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan

tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang

mendukung.” Dorongan internal dan eksternal pada siswa timbul karena

faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik dapat berupa hasrat

dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan


26

cita-cita sedangkan faktor ekstrinsik adalah adanya penghargaan,

lingkungan belajar kondusif dan kegiatan belajar yang menarik.

Berdasarkan beberapa pengertian Motivasi Belajar di atas, pada

intinya Motivasi Belajar merupakan suatu dorongan di dalam diri siswa

yang dapat menjamin keberlangsungan dari aktivitas belajar sehingga

terjadi perubahan dalam dirinya baik itu pengetahuan, keterampilan,

maupun sikap dan tingkah lakunya serta tercapai tujuan yang

dikehendaki. Adanya Motivasi Belajar dalam diri siswa akan menjadikan

siswa memiliki gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar.

b. Indikator-indikator Motivasi Belajar

Motivasi Belajar yang ada pada diri setiap orang itu memiliki

indikator sebagai berikut:

1) Tekun menghadapi tugas


2) Ulet menghadapi kesulitan
3) Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah
“untuk orang dewasa”
4) Lebih senang bekerja mandiri.
5) Cepat bosan ada tugas-tugas yang rutin
6) Dapat mempertahankan pendapatnya
7) Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
8) Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
(Sardiman A.M, dalam Hadiyanti,2012).

Dijelaskan bahwa Motivasi Belajar dapat terlihat dari ketekunan

siswa, siswa dapat dikatakan tekun jika dalam belajar dapat bekerja

terusmenerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum

selesai. Tidak lekas putus asa serta tidak memerlukan dorongan dari luar

untuk berprestasi sebaik mungkin, tidak cepat puas dengan prestasi yang

telah dicapainya juga merupakan ciri seorang siswa memiliki motivasi


27

yang tinggi dalam belajar. Minat terhadap berbagai masalah dan

pemecahannya seperti masalah pembanguanan agama, politik, ekonomi,

keadilan, pemberantasan korupsi, penentangan terhadap setiap tindak

kriminal, amoral dan sebagainya menunjukkan rasa ingin tahu dan

belajar yang besar. Motivasi Belajar juga terlihat pada seseorang yang

suka akan tantangan, teguh dan yakin terhadap pendapatnya, bukan hal-

hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga dirasa

kurang kreatif. Siswa yang menunjukkan ciri-ciri tersebut pada jangka

waktu yang relatif lama dan bersifat tetap menandakan bahwa dalam

dirinya terdapat Motivasi Belajar yang tinggi.

Hamzah B. Uno (Hadiyanti, 2012) menyatakan bahwa indikator

Motivasi Belajar dapat diklasifikasikan sebagai berikut: “(1) adanya

hasrat dan keinginan berhasil; (2) adanya dorongan dan kebutuhan dalam

belajar; (3) adanya harapan dan cita-cita masa depan; (4) adanya

penghargaan dalam belajar; (5) adanya kegiatan yang menarik dalam

belajar; (6) adanya lingkungan belajar yang kondusif”. Adanya keinginan

berhasil menjadikan siswa menandakan bahwa siswa dalam

melaksanakan kegiatan belajar memiliki dorongan atau motif tersendiri

untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dorongan dan kebutuhan dalam

belajar timbul dari adanya Motivasi Belajar, seseorang merasa butuh

akan sesuatu sehingga melakukan upaya untuk memenuhinya.

Penghargaan dalam belajar dapat berupa rasa puas akan hasil atau nilai

dan ilmu yang diperoleh. Kegiatan belajar akan terasa menarik jika
28

pembelajar memiliki motivasi karena Motivasi Belajar akan memberikan

semangat dan menjadikan belajar menjadi proses yang menyenangkan.

Siswa yang memiliki Motivasi Belajar akan berusaha mencari atau

menciptakan sendiri lingkungan belajar yang kondusif sehingga

memungkinkan dirinya dapat belajar dengan baik.

Indikator-indikator dalam Motivasi Belajar tersebut menurut

Oemar Hamalik (Hadiyanti, 2012), terdapat tiga unsur yang saling

berkaitan yaitu,

1) Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam


pribadi.
2) Motivasi ditandai dengan timbulnya perasaan.
3) Motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.
Pribadi yang bermotivasi mengadakan respon-respon yang
tertuju ke arah suatu tujuan.

Adanya Motivasi Belajar dalam diri seseorang ditandai dari adanya

energi yang dapat menimbulkan perasaan senang dan bersemangat. Tidak

berhenti sampai disini, energi tersebut akan disalurkan menjadi sebuah

reaksi atau tindakan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.

Berdasarkan pendapat di atas, maka Indikator Motivasi Belajar

meliputi pengetahuan tentang kegunaan dan menunjukkan adanya

kebutuhan dalam belajar, menunjukkan hasrat untuk berhasil dan

mempunyai orientasi (cita-cita) masa depan, kondisi dan kemampuan

pembelajar, pelaksanaan pembelajaran, tekun dan ulet dalam belajar,

mandiri dan suka akan tantangan (memecahkan masalah), dapat

mempertahankan pendapat, adanya kegiatan menarik dalam belajar dan

berada pada lingkungan belajar yang kondusif.


29

B. Penelitian yang Relevan

Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian terdahulu yang dipandang

relevan dengan penelitian sebagai berikut:

1. Mahyudin, Hairunnisa (2016) dalam penelitiannya yaitu pengaruh efikasi

diri, pola asuh orang tua, dan minat belajar terhadap prestasi belajar

matematika siswa.menyatakan bahwa pola asuh orang tua berpengaruh

positif secara langsung terhadap prestasi belajar sebesar 0,205 tetapi tidak

berpengaruh positif secara tidak langsung melalui minat belajar.

2. Hadiyanti, Yosefin Rianita (2012) dalam penelitiannya yaitu Pengaruh pola

asuh orang tua, motivasi belajar, dan sikap siswa pada pelajaran matematika

terhadap prestasi belajar matematika siswa SMP. Menyatakan bahwa : (1)

tidak terdapat pengaruh antara pola asuh orang tua terhadap prestasi belajar

matematika siswa SMP; (2) terdapat pengaruh antara motivasi belajar

terhadap prestasi belajar matematika siswa SMP; (3) tidak terdapat pengaruh

sikap siswa pada pelajaran matematika terhadap prestasi belajar matematika

siswa SMP

C. Kerangka Pikir

Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan di atas, maka dalam

penelitian ini digunakan kerangka pikir sebagai berikut :

1. Pengaruh Kedisiplinan belajar terhadap prestasi belajar

matematika siswa

Untuk mendorong siswa mencapai prestasi belajar yang optimal,

maka siswa tersebut juga memerlukan kedisiplinan dalam belajar. Siswa

yang memiliki kedisiplinan dalam belajar, mereka cenderung memiliki


30

prestasi belajar yang lebih baik. Sedangkan siswa yang tidak memiliki

kedisiplinan dalam belajar, mereka cenderung memiliki prestasi belajar

yang kurang atau rendah dibandingkan dengan siswa yang memiliki

kedisiplinan dalam belajar. Oleh karena itu, setiap siswa harus memiliki

kedisiplinan dalam belajar agar mereka memiliki prestasi yang bagus.

2. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar

Matematika Siswa

Orang tua mempunyai peranan penting dalam keberhasilan belajar

anak antara lain cara orang tua mendidik anak. Apakah ia ikut mendorong,

merangsang dan membimbing terhadap aktivitas anaknya atau tidak.

Suasana emosional di dalam rumah, dapat sangat merangsang anak belajar

dan mengembangkan kemampuan mentalnya yang sedang tumbuh.

Sebaliknya, suasana tersebut bisa memperlambat otaknya yang sedang

tumbuh dan dapat menghilangkan perasaan kreatif, yang dibawa sejak

lahir. Hubungan orang tua dengan anak, bersama-sama dengan sifat

pembawaan lahir, akan banyak menentukan bagaimana dia maju dengan

belajar untuk sisa hidupnya.

3. Pengaruh Sikap Pada Pelajaran Matematika Terhadap Prestasi

Belajar Matematika Siswa

Setiap siswa mempunyai sikap dan kebiasaan belajar sendiri-sendiri.

Siswa yang mengikuti pelajaran matematika dengan sungguh-sungguh,

menyelesaikan tugas dengan baik, berpartisipasi aktif dalam diskusi,

mengerjakan tugas rumah dengan tuntas dan selesai pada waktunya, dan

merespon dengan baik tantangan yang datang dari pelajaran matematika.


31

Hal ini menunjukkan bahwa siswa itu bersikap positif pada pelajaran

matematika, tetapi ada juga yang beranggapan atau merasa bahwa

pelajaran matematika itu sulit dimengerti, sehingga sering kali putus asa,

mengabaikan atau tidak mengerjakan tugas dari pelajaran matematika yang

tidak atau kurang disukai. Hal ini menunjukkan siswa itu bersikap negatif

pada pelajaran matematika.

4. Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Matematika

Siswa

Motivasi yang dimiliki setiap siswa juga berbeda satu dengan yang

lain. Motivasi sendiri dapat dipengaruhi oleh keadaan internal atau

keadaan dari dalam diri siswa itu sendiri, misalnya perasaan senang

terhadap sesuatu hal dan kedisiplinan dalam belajar. Selain itu juga

keadaan eksternal atau keadaan yang bearasal dari luar diri siswa itu

sendiri juga turut mempengaruhi, misalnya dorongan dari orang tua di

rumah.

5. Pengaruh Kedisiplinan Belajar dan Motivasi Belajar Terhadap

Prestasi Belajar Matematika Siswa

Disiplin merupakan suatu cara yang digunakan oleh guru untuk

mendidik dan membentuk perilaku siswa agar menjadi orang yang

berguna dan berprestasi tinggi dalam bidang pelajaran. Dalam kegiatan

belajar, motivasi diartikan sebagai keseluruhan daya penggerak didalam

diri siswa, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang

memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang

dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai.


32

Dengan menerapkan sikap disiplin dalam belajar pada siswa, maka

diharapkan pula dapat mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar

sehingga dapat meningkatkan keberhasilan dalam belajar siswa dan

juga siswa semakin rajin, kreatif dan aktif dalam belajarnya. Kemudian

bahwa apabila siswa memiliki motivasi yang tinggi maka dengan

sendirinya ia juga akan memiliki sikap disiplin belajar yang tinggi pula,

sehingga dapat mendukung atau meningkatkan keberhasilan dalam

belajarnya. Namun apabila seorang siswa kurang memiliki motivasi

belajar atau motivasi belajarnya rendah, maka sikap disiplin belajar

juga akan rendah bahkan sama sekali tidak ada. Ini semua dikarenakan

adanya interaksi antara motivasi belajar dan sikap disiplin belajar yang

berhubungan antara keduanya yang dapat meningkatkan cara siswa

dalam belajar yang lebih aktif.

6. Pengaruh Sikap Terhadap Matematika dan Motivasi Belajar

Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa

Faktor lain yang mampu membuat siswa memiliki sikap positif

terhadap pelajaran matematika adalah motivasi belajar.

Sugihartono,dkk (Hidayah, 2014) mengemukakan, “Motivasi belajar

memegang peran yang sangat penting dalam pencapaian prestasi

belajar”. Motivasi belajar sering dikaitkan dengan dorongan agar siswa

senantiasa melakukan KBM dengan baik. Menurut Syah (Hidayah,

2014), motivasi dibedakan menjadi 2 yaitu motivasi intrinsik atau yang

berasal dari dalam diri siswa serta motivasi ekstrinsik atau yang berasal
33

dari luar diri siswa. Motivasi timbul bahkan dari hal-hal yang kecil

hingga besar. Lingkungan keluarga termasuk orang tua merupakan

penyumbang terbesar motivasi dari luar diri siswa.

7. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Belajar Terhadap

Prestasi Belajar Matematika Siswa.

Motivasi sangat penting diberikan kepada siswa, dan peran ini

dimainkan oleh orang dewasa baik di sekolah, masyarakat maupun

keluarga (orang tua). Orang tua sebagai orang terdekat bagi siswa,

memiliki peranan penting dalam memberikan motivasi bagi siswa.Pola

asuh yang sesuai memberikan pengaruh terhadap motivasi siswa sesuai

dengan karakter anak.Pola asuh orang tua adalah cara mengasuh dan

metode disiplin orang tua dalam berhubungan dengan anaknya dengan

tujuan membentuk watak, kepribadian, dan memberikan nilainilai bagi

anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam

memberikan aturan-aturan atau nilai terhadap anak-anaknya tiap orang tua

akan memberikan bentuk pola asuh yang berbeda berdasarkan latar

belakang pengasuhan orang tua sendiri sehingga akan menghasilkan

bermacam-macam polaasuh yang berbeda dari orang tua yang berbeda

pula.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa prestasi

belajar matematika siswa dapat dipengaruhi oleh faktor internal dalam hal ini

kedisiplinan belajar, sikap belajar dan motivasi belajar. Sedangkan faktor

eksternalnya yaitu pola asuh orang tua. Pengaruh tersebut dapat berupa

pengaruh langsung maupun pengaruh pengaruh tidak langsung. Oleh karena


34

itu, pada penelitian ini juga akan dilihat pengaruh tidak langsung dari

kedisiplinan belajar, sikap terhadap matematika dan pola asuh orang tua

terhadap prestasi belajar siswa dengan motivasi belajar sebagai faktor

perantaranya.

Kedisiplinan

Sikap Terhadap Motivasi Belajar Prestasi Belajar


Matematika Matematika

Pola Asuh Orang Tua

Gambar 2.1 Skema pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung


antara kedisiplinan, sikap terhadap matematika, pola asuh orang tua
dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar matematika siswa

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pikir, maka dirumuskan

hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Kedisiplinan belajar berpengaruh positif terhadap prestasi belajar

matematika siswa.

2. Sikap terhadap matematika berpengaruh positif terhadap prestasi belajar

matematika siswa.

3. Pola asuh orang tua berpengaruh positif terhadap prestasi belajar

matematika siswa
35

4. Motivasi belajar berpengaruh positif terhadap prestasi belajar matematika

siswa.

5. Terdapat pengaruh positif melalui motivasi belajar antara kedisiplinan

belajar terhadap prestasi belajar matematika siswa.

6. Terdapat pengaruh positif melalui motivasi belajar antara sikap pada

pelajaran matematika terhadap prestasi belajar matematika siswa.

7. Terdapat pengaruh positif melalui motivasi belajar antara pola asuh orang

tua terhadap prestasi belajar matematika siswa.

Anda mungkin juga menyukai