Anda di halaman 1dari 37

PSIKOLINGISTIK

BAGAIMANA MANUSIA MEPERSEPSI UJARAN

Dosen Pengampu : Siti Sulistyani Pamuji, S.Pd.,M.Pd

DISUSUN OLEH :

1) Miftah Auliyah (2040602014)


2) Rizka Nurlita (2040602056)
3) Sri Rara W. (2040602079)
4) Sarifa Aini (2040602076)
5) Siti Nur Aisyah (2040602077)
6) Renaldi (2040602085)
7) Weki Yudistira (2040602080)
8) Darmawan (2040602054)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TAHUN AJARAN 2021 / 2022

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun Makalah
Mata Kuliah Psikolingistik ini, dan tidak lupa juga shalawat dan salam kepada baginda
nabi besar Muhammad SAW serta para sahabat dan pengikut beliau.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada Mata kuliah Psikolingistik Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Sulistyani Pamuji, S.Pd., M.Pd
selaku Dosen Mata Kuliah Psikolingistik yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar bahwa dalam makalah ini masih
banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek lainnya. Maka
dari itu , dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para pembaca
yang ingin memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.

Penulis ,
Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 2
C. Tujuan Pembahasan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3
A. Penelitian Mengenai Persepsi Ujaran................................................................ 3
B. Masalah dalam Mempersepsi Ujaran ................................................................ 4
C. Mekanisme Ujaran ............................................................................................ 5
D. Persepsi terhadap Ujaran ................................................................................. 22
E. Model untuk Persepsi ...................................................................................... 25
F. Persepsi Ujaran dalam Konteks ...................................................................... 30
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 32
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 32
B. Saran ................................................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 34

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Waktu kita mendengarkan orang lain berbicara, kita rasanya dengan begitu saja
dapat memahami apa yang dia katakan. Kita tidak menyadari bahwa ujaran yang
diwujudkan dalam bentuk bunyi-bunyi yang melewati udara itu sebenarnya merupakan
suatu hal yang sangat komplek. Hal ini kita rasakan apabila kita mendengarkan orang
yang berbicara dalam bahasa asing. Kecu ali bila bahasa asing kita telah sangat baik,
biasanya kita benar benar menyimak tiap kata yang dia keluarkan untuk dapat me
mahaminya. Bahkan yang sering terjadi ialah bahwa belum lagi kita menangkap dan
memahami suatu deretan kata yang diucap kan, pembicara tadi telah berlanjut dengan
kata-kata yang lain. sehingga akhirnya kita ketinggalan. Hasilnya adalah bahwa kita.
tidak dapat memahami, atau tidak memahami dengan baik, apa yang dia katakan. Kita
malah "mendakwa" orang asing itu ber bicara terlalu cepat.

Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa dial harus dapat meramu
bunyi-bunyi yang dia dengar itu sedemi kian rupa sehingga bunyi-bunyi itu membentuk
kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam kontek di mana kata kata itu
dipakai. Bagi penutur asli, atau penutur yang sudah fasih berbahasa tersebut, proses
seperti ini tidak terasakan dan datang begitu saja secara naluri. Akan tetapi, bagi
penutur asing proses ini sangat rumit. Pengalaman penulis waktu mengajar. bahasa
Indonesia di Universitas Hawaii membuktikan hal ini.. Pada waktu itu para mahasiswa
diminta untuk mendengarkan rekaman suatu percakapan. Dalam percakapan itu ada
kalimat yang berbunyi Nanti malam akan ada pesta. Karena para mahasiswa ini masih
berada pada tingkat dasar, maka ada seba gian mahasiswa yang menggabungkan bunyi-
bunyi kalimat itu secara keliru sehingga muncullah hasil berikut Nanti malama Kanada
pesta. Tentu saja mereka bingung karena kalimat seper ti ini tidak ada artinya.

1
Dari contoh di atas, dan kasus-kasus yang lain, tampak bahwa menangkap suatu
ujaran bukanlah suatu proses yang sederhana. Kita harus mulai dahulu dengan proses
bagaimana kita mencerna bunyi-bunyi itu sebelum kita dapat memahaminya sebagai
ujaran. Karena itu, dalam bab ini akan dibahas persepsi manusia terhadap bunyi bahasa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja masalah dalam mempersepsi ujaran ?
2. Bagaimana mekanisme ujaran ?
3. Bagaimana persepsi terhadap ujaran ?
4. Apa saja model-model untuk persepsi ujaran ?
5. Bagaimana persepsi ujaran dalam konteks ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui masalah dalam mempersepsi ujaran
2. Mengetahui mekanisme dalam ujaran
3. Mengetahui persepsi terhadap ujaran
4. Mengetahui model-model untuk persepsi ujaran
5. Mengetahui persepsi ujaran dalam konteks

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENELITIAN MENGENAI PERSEPSI UJARAN

Dari segi ilmu pengetahuan, kajian dan penelitian bagaimana manusia


mempersepsi ujaran dapat dikatakan mas mengena sangat baru. Meskipun Willis tahun
1829 dan Helmholtz tab 1859 telah mempelajari ciri fisik dari bunyi, penelitian meng
nai bagaimana kita mempersepsi ujaran baru mulai menjelang Perang Dunia II
(Gleason dan Ratner 1998).

Perkembangan penelitian di bidang ini mulai dengan adanya kemajuan dalam


bidang teknologi terutama dengan terciptany alat telepun. Dari tahun 1936-39 Dudly
dari Bell Telephone Laboratory, Amerika, mengembangkan mesin yang dinamakan
vocoder. Mesin ini mulanya adalah untuk menyampaikan signal melalui kabel telepun
jarak jauh. Akan tetapi, kualitasnya tidak cukup baik sebagai piranti komunikasi.

Pada tahun 1940-an perusahaan telepun ini mengembangkan spektograf, yakni,


alat untuk merekam suara dalam bentuk garis-garis tebal-tipis dan panjang-pendek
yang dinamakan spektogram. Pemakaiannya masih sangat terbatas pada kebu tuhan
militer dan komersial. Kualitas bunyi makin lama makin dapat dijadikan lebih baik dan
peralatan untuk kajian mengenal bunyi juga makin menjadi canggih. Kini teknologi
sudah dapat mengetahui siapa pembicara dalam suatu rekaman dengan akurat.

3
B. MASALAH DALAM MEMPERSEPSI UJARAN

Dalam bahasa Inggris orang rata-ratanya mengeluarkan 125-180 kata tiap


menit. Penyaji berita di televisi mencapai 210 kata dan pelelang bisa mencapai lebih
dari itu (Gleason dan Ratner 1998). Jumlah ini tentunya didasarkan pada kenyataan
bahwa sebagian besar kata dalam bahasa ini bersuku satu: book, go, eat, come, dsb.
Untuk bahasa Indonesia belum ada orang yang telah menelitinya, tetapi karena kata-
kata dalam bahasa Indone sia pada umumnya bersuku dua atau lebih (makan, tidur,
mem bawa, menyelesaikan) maka jumlah kata per menit yang diu jarkan oleh orang
Indonesia pastilah lebih kecil dari angka di atas; mungkin sekitar 80-110 kata.

Kalau dilihat dari jumlah bunyi yang diujarkan, telah dida pati bahwa untuk
bahasa Inggris rata-ratanya 25-30 segmen bunyi (fonem) tiap detik (Ratner & Gleason
1998). Karena bu nyi dalam bahasa mana pun sifatnya sama, maka dapat diduga bahwa
orang Indonesia pun mengeluarkan jumlah bunyi yang sama tiap detiknya, yakni,
antara 25-30 bunyi. Dengan demi kian, tiap kali kita berbicara satu menit kita telah
akan menge luarkan antara 1500-1800 bunyi. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana
kita dapat menangkap dan kemudian mencerna bunyi-bunyi yang diujarkan dengan
kecepatan seperti itu.

Di samping kecepatan, bunyi dalam suatu ujaran juga tidak diucapkan secara
utuh tetapi sepertinya lebur dengan bunyi yang lain. Kita sebagai pendengar diharapkan
dapat memilah milah mana ikut yang mana. Kalimat Inggris Ed had edited it bila
diujarkan secara wajar akan kedengaran aneh dan lucu, /edhædeditidit/, tetapi penutur
asli tetap saja dapat mempersep sinya dengan benar.

Suara seorang wanita, seorang pria, dan seorang anak juga berbeda-beda. Getar
pita suara untuk wanita berkisar antara 200-300 per detik, sedangkan untuk pria hanya
sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria kedengaran lebih "berat." Suara anak lebih

4
tinggi dari suara wanita karena getaran pita suaranya bisa mencapai 400 per detik.
Perbedaan-perbedaan ini tentu saja memunculkan bunyi yang berbeda-beda, meskipun
kata yang diucapkan itu sama. Kata tidur yang diucapkan oleh seorang wanita, pria,
dan anak tidak akan berbunyi sama.

Namun, kita sebagai pendengar dapat mempersepsikannya sebagai kata yang


sama. Bagaimana kita melakukannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya
kita mempelajari terle bih dahulu bagaimana bunyi itu dibuat.

C. MEKANISME UJARAN

Sumber dari bunyi adalah paru-paru. Paru-paru kita berkem bang dan
berkempis untuk menyedot dan mengeluarkan udara. Melalui saluran di tenggorokan,
udara ini keluar melalui mulut atau hidung. Dalam perjalanan melewati mulut atau
hidung ini ada kalanya udara itu dibendung oleh salah satu bagian dari mulut kita
sebelum kemudian dilepaskan. Hasil bendungan udara inilah yang menghasilkan
bunyi. Udara yang dihembuskan oleh paru-paru kita keluar melewati suatu daerah
yang dinamakan daerah glotal. Udara ini kemu dian lewat lorong yang dinamakan
faring (pharynx). Dari fa ring itu ada dua jalan: yang pertama melalui hidung dan yang
kedua melalui rongga mulut. Semua bunyi yang dibuat dengan udara melalui hidung
disebut bunyi nasal. Sementara itu, bunyi yang udaranya keluar melewati mulut
dinamakan bunyi oral.

Pada mulut terdapat dua bagian: bagian atas dan bagian ba wah mulut. Bagian
atas mulut umumnya tidak bergerak sedang kan bagian bawah mulut bisa digerakkan.
Bagian-bagian ini adalah:

1. Bibir: bibir atas dan bibir bawah. Kedua bibir ini dapat dirapatkan untuk
membentuk bunyi yang dinamakan bilabial yang artinya dua bibir bertemu.
Bunyi seperti [p], [b], dan [m] adalah bunyi bilabial.

5
2. Gigi: untuk ujaran hanya gigi ataslah yang mempunyai peran. Gigi ini dapat
berle dengan bibir bawah. untuk membentuk bunyi yang dinamakan
labiodental. Contoh untuk bunyi seperti ini adalah bunyi [f] dan [v]. Gigi juga
dapat berlekatan dengan ujung lidah untuk membentuk bunyi dental seperti
bunyi [t] dan [d] dalam bahasa Indonesia.

3. Alveolar: daerah ini berada persis di belakang pangkal gigi atas. Pada alveolar
dapat ditempelkan ujung lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan bunyi
alveo lar. Bunyi [t] dan [d] dalam bahasa Inggris adalah contoh bunyi alveolar..

4. Palatal keras (hard palate): daerah ini ada di rongga atas mulut, persis di
belakang daerah alveolar. Pada daerah ini dapat ditempelkan bagian depan lidah
untuk mem bentuk bunyi yang dinamakan alveopalatal seperti bunyi [c] dan [j].

5. Palatal lunak (soft palate): daerah ini, yang juga dinamakan velum, ada di
bagian belakang rongga mulut atas. Pada palatal lunak dapat dilekatkan bagian
belakang lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan velar seperti bunyi [k]
dan [g].

6. Uvula: pada ujung rahang atas terdapat tulang lunak yang dinamakan uvula.
Uvula dapat digerakkan untuk menutup saluran ke hidung atau membukanya.
Bila uvu la tidak berlekatan dengan bagian atas laring maka bunyi udara keluar
melalui hidung. Bunyi inilah yang dinama kan bunyi nasal. Sebaliknya, bila
uvula berlekatan de ngan dinding laring maka udara disalurkan melalui mu lut
dan menghasilkan bunyi yang dinamakan oral.

7. Lidah: pada rahang bawah, di samping bibir dan gigi, terdapat pula lidah. Lidah
adalah bagian mulut yang fleksibel; ia dapat digerakkan dengan lentur. Lidah
di bagi-bagi menjadi beberapa bagian:

6
 ujung lidah (tip of the tongue), yakni, bagian yang paling depan dari
lidah,

 mata lidah (blade), yakni, bagian yang berada persis di belakang ujung
lidah,

 depan lidah (front), yakni, bagian yang sedikit agak ke tengah tetapi
masih tetap di depan,

 belakang lidah, yakni, bagian yang ada di bagian belakang dari lidah.

Bagian-bagian ini dapat digerak-gerakkan dengan cara dimajukan,


dimundurkan, dikeataskan, dan dikebawah kan untuk membentuk bunyi-bunyi
tertentu.Pita suara (vocal cords):

8. pita suara adalah sepasang selaput yang berada di jakun (larynx). Selaput ini
dapat dirapatkan, dapat direnggangkan, dan dapat dibuka le bar. Status selaput
suara ini ikut menentukan perbedaan antara satu konsonan dengan konsonan
yang lain.

9. Faring (pharynx): saluran udara menuju ke rongga mulut atau rongga hidung.

10. Rongga hidung: rongga untuk bunyi-bunyi nasal seperti /m/ dan /n/.

11. Rongga mulut: untuk bunyi-bunyi oral seperti /p/, /b/, /a/, dan /i/.

3.1 Bagaimana Bunyi Dibuat

Di samping pembagian bunyi menjadi bunyi nasal dan oral seperti dinyatakan
di atas, bunyi juga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar: konsonan dan vokal.
Perbedaan antara kedua macam bunyi ini terletak pada cara pembuatannya.

7
3.1.1 Pembuatan Bunyi Konsonan

Bunyi dibuat dengan memanfaatkan bagian mulut seperti lidah, bibir, dan gigi.
Bagian-bagian ini dinamakan artikulator. Untuk membuat bunyi konsonan perlu
diperhatikan tiga faktor. Perta ma adalah titik artikulasi, yakni, tempat di mana
artikulator itu berada, berdekatan, atau berlekatan. Bila bibir atas dan bibir bawah
berlekatan maka bunyi yang dihasilkan adalah bunyi bilabial. Pada bahasa Indonesia,
dan banyak bahasa lain, bunyi bilabial terdiri dari bunyi [p], [b], dan [m]. Perbedaan
antara kedua bunyi yang pertama dengan bunyi yang ketiga terletak pada saluran udara
yang dilaluinya: [p] dan [b] melewati mulut, dan karenanya disebut bunyi oral,
sedangkan [m] melalui hi dung, dan karenanya disebut bunyi nasal.

Bunyi [t] dan [d] bahasa Indonesia dibuat dengan menem pelkan ujung lidah
pada bagian pangkal gigi atas dengan sedikit menyentuh bagian depan alveolar. Bunyi
semacam ini disebut bunyi dental. Sementara itu, bunyi [k] dan [g] dibuat dengan
menempelkan bagian belakang lidah ke daerah velum. Bunyi in disebut bunyi velar.

Faktor kedua dalam membuat bunyi konsonan adalah cara artikulasi, yakni,
bagaimana caranya udara dari paru-paru itu kita lepaskan. Apabila udara itu kita tahan
dengan ketat di mulut lalu kemudian kita lepaskan dengan serentak maka bunyi tadi
akan menimbulkan semacam letupan. Karena itu, bunyi ini dinamakan bunyi plosif
atau stop. Dalam bahasa Indonesia sering dipakai istilah bunyi hambat.

Kalau sekarang kita perhatikan bunyi [p] dan [b] sekali lagi maka akan kita
rasakan bahwa dalam membuat bunyi ini kedua bibir kita dirapatkan untuk menahan
udara yang keluar dari paru-paru. Udara itu kemudian kita lepas secara serentak se
hingga seolah-olah menimbulkan letupan udara. Begitu juga dengan bunyi [t] dan [d].
Perbedaannya hanyalah bahwa artiku lator yang menahan udara itu bukanlah bibir atas
dan bibir bawah tetapi ujung lidah dan gigi atas. Untuk bunyi [k] dan [g] udaranya
ditahan oleh bagian belakang lidah yang berlekatan dengan daerah velum. Udara ini
pun kemudian dilepas secara serentak.

8
Dengan kata lain, [p], [b], [t], [d], [k], dan [g] termasuk dalam satu kategori
bunyi yang sama, yakni, bunyi plosif, stop, atau hambat. Akan tetapi, lalu apa
perbedaan antara [p]-[b], [] [d], dan [k]-[g]? Masing-masing pasangan bunyi ini
memang berbeda dan perbedaan ini disebabkan oleh faktor ketiga, yakni, status pita
suara.

Seperti dinyatakan sebelumnya, pita suara dapat terbuka pe nuh, agak tertutup,
atau tertutup. Bila kita sedang tidak berbi cara maka pita suara kita terbuka lebar. Pada
waktu kita mengu capkan bunyi seperti [p], [t], dan [k], pita suara kita agak terbuka
tetapi tidak bergetar. Bunyi yang dihasilkan dengan pita suara yang tidak bergetar
dinamakan bunyi tak-vois (voiceless) (Istilah bersuara vs tak-bersuara yang umum
dipakai di Indonesia bisa membingungkan karena kata suara itu sendiri mengandung
makna tertentu. Karena itu, dalam buku ini dipakai istilah tak-vois dan vois untuk
voiceless dan voiced). Akan tetapi, bila pita suara agak tertutup dan kemudian ada
udara yang mendesaknya untuk terbuka maka terjadilah getaran pada pita suara
tersebut. Bunyi yang dihasilkan dengan pita suara bergetar dinamakan bunyi vois
(voiced). Bunyi [b], [d], dan [g] termasuk dalam kategori ini. Jadi perbedaan antara [p]
dengan [b]. [t] dengan [d], dan [k] dengan [g] hanya terletak pada bergetar atau
tidaknya pita suara kita. Dalam buku ini, tanda yang dipakai untuk menyatakan bahwa
pita suara itu bergetar adalah tanda sedangkan yang untuk tidak bergetar adalah tanda
--.

Dengan memperhatikan tiga faktor ini (titik artikulasi, cara artikulasi, dan status
pita suara) maka seluruh bunyi konsonan dalam bahasa Indonesia dapat digambarkan.
Lihat Bagan 1 di halaman berikut.

Bunyi yang tertera pada bagan ini sebenarnya lebih tepat dinamakan fonem
karena bunyi-bunyi tersebut sudah meru pakan unit yang sifatnya distingtif, yakni, sifat
yang membe dakan. Bunyi [p], misalnya, dibedakan dari [b] karena dalam bahasa kita

9
kedua bunyi ini membedakan antara, misalnya, parang dengan barang, pola dengan
bola, dsb. Hal ini berbeda dengan [p] pada kata Inggris pan dan [p] pada kata Inggris
nap.

Pada kata Inggris pan bunyi [p] diucapkan dengan desah udara yang memiliki
daya getar (aspirated). Bila kita memegang secarik kertas kecil dekat mulut kita waktu
mengucapkan kata Inggris ini maka kertas ini akan terdorong ke depan oleh getaran
udara yang kita keluarkan. Daya yang menyebabkan getaran ini dinamakan aspirasi.
Sebaliknya, bunyi [p] pada kata nap tidak akan memunculkan aspirasi - padahal kedua-
duanya adalah [p]. Dengan kata lain, [p] yang dengan aspirasi dan [p] yang tanpa
aspirasi bukanlah dua fonem yang terpisah tetapi merupakan dua alofon dari satu fonem
yang sama, yakni, fonem /p/. Dalam tradisi linguistik fonem ditulis di antara dua
kurung miring, //, sedangkan alofon atau bunyi di antara dua kurung siku, [ ].

10
3.1.2 Pembuatan Bunyi Vokal

Berbeda dengan konsonan, kriteria yang dipakai untuk mem bentuk bunyi vokal
adalah (1) tinggi-rendahnya lidah, (2) posisi lidah, (3) ketegangan lidah, dan (4) bentuk
bibir. Karena lidah itu lentur, maka lidah dapat digerakkan untuk dinaikkan atau
diturunkan. Naik-turunnya lidah menyebabkan ukuran rongga mulut berubah. Bila
lidah berada di posisi tinggi, maka ruang yang akan dilalui oleh udara dari paru-paru
menjadi sempit. Bunyi yang juga akan melengking tinggi. Bila lidah diturunkan,
rongga mulut menjadi makin lebar; makin ke bawah lidah itu makin lebarlah rongga
mulut tadi. Lihatlah Diagram 4 berikut yang menggambarkan bunyi /i/ seperti pada
kata Siti, lel pada sore, dan /ɛ/ pada bebek.

Karena kelenturannya, lidah juga dapat dilekuk-lekuk ke de pan atau ke


belakang. Posisi lidah di depan atau di belakang memegang peran dalam membentuk
bunyi vokal. Bila diga bungkan dengan tinggi-rendahnya lidah maka akan terbentuklah
bunyi-bunyi vokal tertentu. Lihat Diagram 5 di halaman berikut yang menggambarkan
bunyi /u/ buku, lol Karo, dan /ɔ/ rokok.

Di samping kedua faktor di atas, vokal juga ditentukan oleh tegang atau
tidaknya syaraf kita waktu mengucapkannya. Wak tu mengucapkan bunyi /i/ seperti
pada kata Inggris beat dapat kita rasakan ketegangan syaraf pada samping leher kita,
tetapi hal seperti ini tidak kita rasakan bila kata yang kita ucapkan adalah bit. Kriteria
ini umumnya dinyatakan dengan istilah tense dan lax yang diterjemahkan menjadi
tegang atau kendur.

Faktor keempat adalah bentuk bibir. Bunyi-bunyi vokal ter tentu diucapkan
dengan kedua bibir dibulatkan (rounded) atau dilebarkan (spread). Pada umumnya
bunyi vokal depan seperti il tiba dan lel kare diucapkan dengan bibir dilebarkan sedang
kan bunyi vokal belakang seperti /u/ buku dan /o/ ruko dengan bibir dibulatkan.

11
Kalau keempat faktor ini diterapkan pada bahasa Indonesia, maka akan
tergambarlah vokal-vokal bahasa kita seperti terlihat pada Bagan 2 berikut.

12
3.1.3 Fonotaktik

Tiap bahasa memiliki sistem sendiri-sendiri untuk mengga bungkan fonem agar
menjadi suku dan kemudian kata. Dengan demikian maka tidak mustahil adanya dua
bahasa yang memi liki beberapa fonem yang sama tetapi fonotaktiknya, yakni, sistem
pengaturan fonemnya, berbeda. Bahasa Inggris dan ba hasa Indonesia, misalnya,
memiliki fonem /p/, /s/, /k/, /r/, dan /1/. Akan tetapi, fonotaktik bahasa Inggris
memungkinkan peng gabungan /s-p-r/dan /s-p-1/ pada awal suku seperti terlihat pada
kata-kata sprite /sprait dan split /split. Kebanyakan orang Indonesia tidak dapat
mengucapkan kata-kata seperti ini dan seringkali mereka menyisipkan sebuah vokal
sehingga ucapan nya menjadi /soprit/ dan /səplit/.

Bahasa Inggris sangat kaya dengan gugus kosonan: ada 45 gugus yang dapat
berada di awal, dan 190 gugus di akhir kata (Fries 1945). Bahasa Indonesia tidak kaya
dengan gugus konso nan, tetapi bahasa Indonesia moderen kini telah menyerap gu gus
asing sehingga memungkinkan adanya tiga konsonan di awal suku, meskipun bentuk-
bentuk ini hanya terdapat pada kata-kata pinjaman. Di akhir suku, kalau pun ada, kata-
kata ini sangat jarang ditemukan. Dengan demikian, struktur sukukata dalam bahasa
kita adalah (lihat, Alwi dkk. 1995):

13
Penggabungan satu struktur suku dengan satu (atau lebih) struktur yang lain
membentuk kata. Dari contoh diatas, misalnya, kita lihat kata-kata seperti akbar, putra,
dan strategi yang masing-masing merupakan gabungan dari VK-KVK, KV. KKV, dan
KKKV-KV-KV.

3.1.4 Struktur Sukukata

Suatu sukukata terdiri dari dua bagian utama, yakni, onset (pembuka) dan rima
(rhyme). Rima terdiri dari nukleus (nu cleus) dan koda (coda). Secara diagramatik
struktur sukukata adalah seperti berikut.

Suatu suku dapat memiliki ketiga-tiganya: onset, nukleus, dan koda. Akan
tetapi, hal ini tidak harus. Nukleus selalu berupa vokal. Konsonan atau konsonan-
konsonan yang berada di muka nukleus dalam satu suku yang sama adalah onset dan
yang di belakang nukleus adalah koda. Dalam suatu suku yang wajib ada adalah
nukleusnya sedangkan onset atau kodanya bersifat opsional. Beberapa contoh:

Tentu saja bila ada dua suku dalam satu kata seperti pergi maka kata itu dibagi
menjadi dua suku, per- dan -gi, lalu kita terap kan aturan penyukuan di atas.

14
Dalam bahasa Indonesia, dan bahasa mana pun, bila ada dua konsonan atau
lebih yang mendahului nukleus maka konsonan yang lebih dekat dengan nukleus selalu
lebih sonoran - suatu sifat bunyi yang kadar fonetiknya didominasi oleh ciri-ciri yang
berkaitan dengan vois. Berikut adalah Bagan 3 yang menunjuk kan derajat sonoritas
bunyi (Giegerich 1995: 152).

Dari bagan di atas tampak bahwa bunyi plosif adalah yang paling kurang-
sonoran sedangkan vokal adalah yang paling sonoran. Sisanya ada di antara kedua
kelompok bunyi tersebut.

Karena adanya kodrat yang umum ini maka gugus konsonan pada kebanyakan
bahasa terdiri dari gugus seperti sm-, si-, pr-, spl-, spr-, dan str. Tidak ada gugus yang
berupa ms-, ls-, rp-. pls-, rps, sts-, dst. Kita memiliki kata-kata seperti pria, pribumi,
dan Sleman, tetapi tidak *rpia, rpibumi, dan *Lseman. Satu * masalah yang sampai
sekarang belum ada jawabannya adalah mengapa /s/ mendahului bunyi seperti /m/ dan
/l/ padahal /s/ kurang sonoran dibandingkan dengan kedua bunyi ini.

3.1.5 Fitur Distingtif

Sejak tahun 1940-an, linguis mulai melihat ihwal bunyi dari segi oposisi yang
sifatnya biner, yakni, sesuatu itu ya atau tidak, yang biasanya ditandai dengan simbol
+ dan -. Dalam hal fo nem /p/ dan /b/, misalnya, satu-satunya fitur yang membedakan
kedua fonem ini hanyalah ada tidaknya getaran pada pita suara. Bila ada getaran, fonem
itu adalah /b/; bila tidak, /p/. Dengan kata lain, /b/ adalah [+vois] sedangkan /p/ adalah
[-vois].

15
Fitur-fitur distingtif yang ada pada konsonan adalah:

a) Vokalik dan Konsonantal: semua konsonan adalah [+konsonantal] dan [-


vokalik] sedangkan semua vokal adalah [+vokalik] dan [-konsonantal]

b) Anterior: bunyi yang dibuat di bagian depan mulut adalah [+anterior]. Jadi,
bunyi /p/ adalah [+anterior] sedangkan /k/ adalah [-anterior].

c) Koronal (coronal): bunyi yang dibuat di bagian tengah atas mulut adalah
[+koronal]. Jadi, bunyi seperti/p/ adalah [-koronal] tetapi /s/ adalah [+koro-nal].

d) Kontinuan (continuant): bunyi yang dibuat dengan aliran udaranya bisa terus
berlanjut. Tentu saja bunyi /d/ adalah [-kontinuan] sedangkan /f/ adalah [+konti
nuan].

e) Straiden (strident): bunyi yang dibuat dengan iring an desahan suara. Dengan
definisi ini maka /g/ ada lah [-straiden] sedangkan /s/ adalah[+straiden].

f) Nasal: bunyi yang dibuat dengan udara keluar mela lui hidung. Karena itu, /m/
adalah [+nasal] tetapi /t/ adalah [-nasal].

g) Vois: bunyi yang disertai getaran pada pita suara. Semua vokal adalah [+vois]
sedangkan /s/ adalah [ vois] dan /z/ adalah [+vois].

Untuk bunyi vokal fitur-fitur distingtifnya adalah (1) tinggi, (2) vokalik, (3)
belakang. (4) bundar, dan (5) tegang. Bunyi vokal /i/, misalnya, adalah [+vokalik],
[+tinggi], [-belakang], [+tegang], dan [-bundar]. Sebaliknya, /u/ adalah [+vokalik],
[+tinggi], [+belakang], [+tegang], dan [+bundar]. Tinggi merujuk pada posisi tinggi-
rendahnya lidah, belakang pada letak bagian lidah yang relevan - apakah di bagian
muka atau belakang mulut-, bundar pada bentuk mulut dengan bibirnya, dan tegang

16
pada keadaan urat untuk mengeluarkan bunyi tersebut. Pada vokal ti-dak perlu ada fitur
vois karena semua vokal adalah secara oto-matis semuanya [+vois].

Lihat Bagan 5 dan 6 untuk fitur distingtif konsonan dan vokal bahasa
Indonesia.

Sebaliknya, suatu konsonan yang [+konsonantal], [+anterior), [+vois], [-


koronal], [-straiden], [-nasal], dan [-kontinuan] pas. tilah bunyi/b/.

3.1.6 Voice Onset Time

Suatu kata tentulah terdiri dari satu suku atau lebih. Masing masing suku terdiri
dari beberapa fonem. Kata ban seperti di atas, misalnya, terdiri dari tiga fonem /b/, /a/,

17
dan /n/. Transisi dari satu bunyi ke bunyi yang lain tentunya memerlukan waktu.
Bagaimana transisi itu dilakukan ditentukan oleh macam masing-masing bunyi.
Transisi dari /b/ ke /an/ pada /ban/ tidak sama dengan transisi /p/ ke /an/ seperti pada
kata pan.

Voice Onset Time, yang sering disingkat sebagai VOT, ada lah waktu antara
(a) lepasnya udara untuk pengucapan suatu konsonan dengan (b) getaran pita suara
untuk bunyi vokal yang mengikutinya. Dalam contoh kata Inggris man, karena /m/
adalah [+vois], yang berarti bahwa pita suaranya pastilah ber getar, maka celah waktu
untuk bunyi ini meluncur ke bunyi /æ/ adalah nol. Artinya, pada saat bunyi /m/ dilepas,
pita suaranya pun bergetar bersamaan dengannya. Akan tetapi, pada kata Inggris tan,
getaran pada pita suara terjadi 60 milisekon sesu dah bunyi /p/ dikeluarkan. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa // adalah [-vois]. Dari bunyi [-vois] ke bunyi // yang
[+vois] diperlukan waktu 60 milisekon. Dari gambaran ini tampak bahwa VOT untuk
bunyi Inggris /m/ adalah +0 mili sekon sedangkan untuk /t/ adalah +60 milisekon.

Dari eksperimen yang dilakukan orang didapati bahwa un tuk bahasa suatu
bunyi yang VOTnya antara 0-20 milisekon akan terdengar sebagai bunyi [+vois]
sedangkan yang 40-60 milisekon adalah [-vois]. Di antara kedua angka itu, yak ni,
milisekon, bunyi itu kadang-kadang terdengar sebagai vois kadang-kadang juga
sebagai tak-vois (Clark & Clark 1977: 201).

Penutur asli suatu bahasa akan dengan tepat mengucapkan bunyi-bunyi dalam
bahasa mereka karena VOT mereka adalah akurat. Sebaliknya, seorang yang berbahasa
asing pada umum nya tidak dapat setepat seperti penutur asli sehingga dia tetap
kedengaran seperti orang asing, meskipun dia sangat fasih da lam bahasa asing itu.
Mengapa orang Indonesia dalam mengu capkan kata Inggris Bob sering disangka oleh
penutur Inggris sebagai kata pop adalah mungkin karena VOT /b/ Indonesia berada di
sekitar 25-35 milisekon - sesuatu yang perlu dibuk tikan secara laboratoris.

18
3.2 Signifikansinya bagi Psikolinguistik

Dari sudut pandang persepsi ujaran, apa artinya semua gambar an di atas?
Paparan di atas penting untuk persepsi ujaran kare na tanggapan kita untuk bunyi dan
kata suatu bahasa ditentukan pula oleh bagaimana bunyi-bunyi itu dibuat, fitur-fitur
mana yang terlibat, dan bagaimana bunyi-bunyi itu digabungkan. Telinga orang
Indonesia, misalnya, tidak terlatih untuk mende ngar bunyi [p] yang diikuti oleh
aspirasi (yakni, getaran udara yang keras waktu kita mengucapkan bunyi tertentu)
seperti pada bahasa Inggris. Bila kita mengucapkan bunyi /p/ bahasa Inggris seperti
pada kata pan dengan benar, dan di dekat mulut kita ada sudut kertas yang kita siapkan,
maka sudut kertas itu pasti akan tersentak dan bergerak. Hal ini tidak terjadi pada
bahasa kita kalau kita mengucapkan kata yang sama ini. Karena itu, orang Indonesia
pada umumnya tidak dapat pula mendengar adanya aspirasi ini waktu mendengar kata-
kata Inggris seperti pat, pick, dan pass.

Kenyataan bahwa dalam bahasa kita pada umumnya tidak ada kata yang
berakhir dengan dua konsonan (kecuali pada be berapa kata pinjaman) membuat kita
tidak peka terhadap realita ini. Kita umumnya tidak mengucapkan kata Inggris think
de ngan /k/ sebagai bunyi akhir; bunyi ini sering kita hilangkan sehingga kita
mengucapkannya sebagai thing.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa persepsi kita terha dap bunyi dan
gabungan bunyi yang kita dengar ditentukan oleh tilas (trace) neurofisiologis yang
telah tertanam pada otak kita. Karena dalam neurofisiologi kita terdapat tilas yang
menunjuk kan bahwa bunyi /n/ dapat dipakai di depan suku, maka pada saat kita
mendengar suatu rentetan bunyi di mana ada terdapat bunyi ini kita bisa menerka
bahwa bunyi ini mungkin mengawali suatu suku kata. Andaikan rentetan bunyi itu
adalah [diasukaŋopi] maka [n] bisa kita ikutkan dengan [opi ] sehingga interpretasi kita
adalah Dia suka ngopi. Seandainya pendengar adalah penutur bahasa Inggris yang

19
sedang belajar bahasa Indo nesia, dia tidak akan menggabungkan [n] dengan opi karena
[n] tidak pernah memulai suatu suku. Dengan demikian, tidak mus tahil interpretasi dia
adalah Dia sukang opi atau Dias ukang opi.

Karena perbedaan antara satu bunyi dengan bunyi yang lain bisa saja hanya
terletak pada satu perbedaan dalam fitur dis tingtif, seperti misalnya antara /p/ dan /b/,
maka pengertian tentang fitur distingtif ini penting pula untuk kita ketahui. Yang
membedakan pasangan minimal (minimal pair) seperti tie dan die dalam bahasa Inggris
sebenarnya bukanlah fonem /t/ dan /d/ tetapi fitur distingtif yang ada pada kedua bunyi
itu, yakni, bahwa // adalah [-vois] sedangkan /d/ adalah [+vois]. Begitu pula pasangan
minimal Indonesia /pan/-/ban/, /pola/-/bola/ dsb.

3.3 Transmisi Bunyi

Bunyi yang dikeluarkan oleh manusia ditransmisikan ke telinga pendengar


melalui gelombang udara. Pada saat suatu bunyi di keluarkan, udara tergetar olehnya
dan membentuk semacam ge lombang. Gelombang yang membawa bunyi ini bergerak
dari depan mulut pembicara ke arah telinga pendengar. Dengan me kanisme yang ada
pada telinga, manusia menerima bunyi ini dan dengan melalui syaraf-syaraf sensori
bunyi ini kemudian "dikirimkan" ke otak kita untuk diproses dan kemudian ditang
kapnya. Lihatlah visualisasi di halaman berikut (mengikuti Garman, 1994:4).

Pemrosesan di otak dibimbing oleh pengetahuan kita tentang bahasa tersebut,


termasuk pengetahuan kita tentang bagaimana bunyi-bunyi itu dibuat dan fitur apa saja
yang terlibat.

20
21
D. PERSEPSI TERHADAP UJARAN

Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilaku kan oleh
manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas
waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Perhatikan tiga ujaran berikut:
(a) Bukan angka, (b) Buka nangka, dan (c) Bukan nangka. Mes kipun ketiga ujaran ini
berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini
bisa sama - [bukananka].

Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali
bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di
mana bunyi itu ber ada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan
bunyi [b] pada kata biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u yang
mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam pembuatan
bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir r yang melebar
pada kata biru karena bunyi // merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar.

Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi


bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap
tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark &
Clark, 1977).

1. Tahap auditori: Pada tahap ini manusia ujaran sepotong demi sepotong. Ujaran
ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep seperti titik
artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT sangat bermanfaat di sini
karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang lain.
Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam memori auditori kita.
menerima

22
2. Tahap fonetik: Bunyi-bunyi itu kemudian kita identi fikasi. Dalam proses
mental kita, kita lihat, misalnya, apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois],
[+nasal], dst. Begitu pula lingkungan bunyi itu: apakah bunyi tadi diikuti oleh
vokal atau oleh konsonan. Kalau oleh vo kal, vokal macam apa vokal depan,
vokal belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah
Bukan nangka, maka mental kita menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan
menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan hal-hal
seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur disting tifnya. Kemudian VOT-
nya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menentukan kapan getaran
pada pita suara itu terjadi.

Segmen-segmen bunyi ini kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan


antara memori auditori de ngan memori fonetik adalah bahwa pada memori audi tori
semua variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori
fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mende ngar
bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori auditori bukan fonem
/b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur distingtif nya saja
tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengiku tinya. Dengan demikian maka [b] ini
sedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip-rounding). Pada memori fonetik, hal-hal
seperti ini sudah tidak diperlukan lagi karena begitu kita tangkap bunyi itu sebagai
bunyi /b/ maka detailnya sudah tidak signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu diikuti oleh
bundaran bibir atau tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/.

Analisis mental yang lain adalah untuk melihat ba gaimana bunyi-bunyi itu
diurutkan karena urutan bunyi inilah yang nantinya menentukan kata itu kata apa.
Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa membentuk kata yang berbe da bila urutannya berbeda. Bila
/k/ didengar terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi /kan/;
bila /n/ yang lebih dahulu, maka terde ngarlah bunyi /nak/.

23
3. Tahap fonologis: Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada
deretan bunyi yang kita dengar untuk menentukan apakah bunyi-bunyi tadi
sudah me ngikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa
Inggris, bunyi /n/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur
Inggris pasti tidak akan menggabungkannya dengan suatu vokal. Seandainya
ada urutan bunyi ini dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan
menempatkan bunyi ini dengan bunyi di mukanya, bukan di belakangnya.
Dengan demikian deretan bunyi /b/, /a/, /n/, /i/, dan /s/ pasti akan dipersepsi
sebagai beng dan is, tidak mungkin be dan ngis.

Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak mustahil akan
mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam bahasa kita memungkin kan
urutan seperti ini seperti pada kata mbak dan mbok - meskipun kedua-duanya pinjaman
dari bahasa Jawa. Se baliknya, penutur Inggris pasti akan memisahkan kedua bunyi ini
ke dalam dua suku yang berbeda.

Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan fonotaktik bahasa


tersebut pastilah akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau / pk/ tidak mungkin memulai
suatu suku sehingga kalau terdapat deretan bunyi /anaktungal/ tidak mungkin akan
dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktungal/. Dalam contoh ujaran Bukan nangka di atas,
setelah bunyi /b/ dipersepsi maka bunyi /u/ kemudian dianalisis secara mental dengan
melalui proses yang sama. Kemu dian bunyi /k/, dst. sehingga akhirnya semua bunyi
dalam ujaran itu teranalisis. Yang akan membedakan antara bukan nangka, bukan
angka, dan buka nangka adalah jeda (juncture) yang terdapat antara satu kata dengan
kata lainnya.

24
E. MODAL UNTUK PERSEPSI

Dalam rangka memahami bagaimana manusia mempersepsi bu. nyi sehingga


akhirnya nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli psikolonguistik mengemukakan
model-model teoritis yang diharapkan dapat menerangkan bagaimana proses persepsi
itu terjadi. Sampai saat ini ada empat model teoritis yang telah di ajukan orang.

5.1 Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran

Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa Inggris disebut
sebagai Motor Theory of Speech Perception, menyatakan bahwa manusia mempersepsi
bunyi dengan mema kai acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman
dkk 1967 dalam Gleason dan Ratner, 1998). Seperti dinyatakan sebelumnya,
bagaimana suatu bunyi diucapkan dipe ngaruhi oleh bunyi-bunyi lain di sekitarnya.
Namun demikian, bunyi itu akan tetap merupakan fonem yang sama, meskipun wujud
fonetiknya berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh arti kulasinya yang sama pada
waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi /b/ pada kata /buka/ dan
/bisa/ tidak persis sama dalam pengucapannya, kedua bunyi ini tetap saja dibuat dengan
titik dan cara artikulasi yang sama. Dengan demikian, seorang penutur akan
menganggap kedua bunyi ini sebagai dua alofon dari satu fonem yang sama, yakni,
fonem /b/. Dengan kata lain, meskipun kedua bunyi itu secara fonetik berbeda, kedua
bunyi ini akan dipersepsi sebagai satu bunyi yang sama. Penentuan suatu bunyi itu
bunyi apa didasarkan pada per sepsi si pendengar yang seolah-olah membayangkan
bagaimana bunyi itu dibuat, seandainya dia sendiri yang mengujarkannya.

25
5.2 Model Analisis dengan Sintesis

Manusia bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada ber bagai faktor
seperti keadaan kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat
ujaran (sedang merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya
menggantungkan pada fitur akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki
banyak bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model yang
dinamakan Model Analisis dengan Sintesis (Analysis-by-Synthesis).

Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi


yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens
1960, dan Stevens dan Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998). Waktu dia
mendengar suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis terhadap bunyi-
bunyi itu dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu. Hasil dari
analisis ini dipa kai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu ujaran yang
kemudian dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara ujaran yang
dipersepsi dengan ujaran yang disinte siskan itu cocok maka terbentuklah persepsi yang
benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran lain untuk akhir nya
ditemukan ujaran yang cocok.

Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi /pola/
maka mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya dimulai dengan /p/
yang berfitur [+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini berlanjut untuk
bunyi /o/, dan seterusnya. Setelah semuanya selesai, disintesiskanlah ujaran itu untuk
memunculkan bentuk bentuk yang mirip dengan bentuk itu seperti kata /mula/,
kemudian /pula/, lalu /kola/, /bola/ sampai akhirnya ditemu kan deretan yang persis
sama, yakni, /pola/. Baru pada saat itulah deretan tadi telah dipersepsi dengan benar.

26
5.3 Fuzzy Logical Model

Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga
proses: evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk
prototipe, yakni, bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata,
termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi,
diintegrasi, dan kemudian dicocokkan dengan des kripsi dari prototipe yang ada pada
memori kita. Setelah dico cokkan lalu diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok
dengan yang terdapat pada prototipe.

Sebagai misal, bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka kita
mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk suku ini, yakni, semua fitur yang ada pada
konsonan /b/ maupun pada vokal /a/. Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan masing
masing fitur dari suku yang kita dengar dengan masing-masing fitur dari prototipe kita.
Evaluasi ini lalu diintergrasikan dan kemudian diambil kesimpulan bahwa suku kata
/ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku kata dari proto tipe kita.

Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita
dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang
mengunyah sesuatu sambil mengatakan /ba(rang)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/
yang sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa. Begitu
pula orang yang sedang kena flu pasti akan menambahkan bunyi sengau pada suku ini;
akan tetapi, suku kata /ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap saja kita anggap
sama dengan prototipe kita.

5.4 Model Cohort

Model untuk mengenal kata ini (Marslen-Wilson dan Welsh, 1978 dan
Marslen-Wilson, 1987 dalam Gleason dan Ratner, 1998; lihat juga Dominic W.
Massaro 1994) terdiri dari dua tahap. Pertama, tahap di mana informasi mengenai

27
fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan kita
untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila kita mendengar
kata /prihatin/ maka semua kata yang mulai dengan /p/ akan teraktifkan: pahala, pujaan,
priyayi, prakata, dsb. Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut sebagai cohort.
Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi secara bertahap. Waktu kita kemudian
mende ngar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan akan tersingkirkan karena bunyi
kedua pada kedua kata ini bukanlah /r/ seperti pada kata targetnya. Kata priyayi dan
prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki bunyi /r/ setelah /p/.
Pada proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan karena kata prakata
memiliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan tetapi, pada proses
selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan karena pada kata targetnya bunyi yang ke
empat adalah /h/ sedangkan pada priyayi adalah /y/. Dengan demikian maka akhirnya
hanya ada satu kata yang persis cocok dengan masukan yang diterima oleh pendengar,
yakni, kata prihatin. Secara diagramatik model untuk mempersepsi kata prihatin adalah
sebagai berikut:

28
5.5 Model TRACE

Model ini mula-mulanya adalah model untuk persepsi huruf tetapi kemudian
dikembangkan untuk mempersepsi bunyi (McClelland dan Rumelhart 1981; Elman dan
McClelland 1984; 1986). Model TRACE berdasarkan pada pandangan yang
koneksionis dan mengikuti proses top-down. Artinya, konteks leksikal dapat
membantu secara langsung pemrosesan secara perseptual dan secara akustik. Begitu
pula informasi di tataran kata dapat juga mempengaruhi pemrosesan pada tataran di
bawahnya.

Proses ini terdiri dari tiga tahap: tahap fitur, tahap fonem, dan tahap kata. Pada
masing-masing tahap ada node-node yang mewakili fitur distingtif, fonem, dan kata.
Masing-masing node mempunyai tingkat yang dinamakan resting, threshold, dan
activation. Bila kita mendengar suatu bunyi, maka bunyi ini akan mengaktifkan fitur-
fitur distingtif tertentu dan "mengistira hatkan" fitur-fitur distingtif lain yang tidak
relevan. Jadi, sean dainya kita mendengar bunyi /ba/, maka bunyi /b/ akan
mengaktifkan fitur-fitur distingtif [+konsonantal], [+anterior], [+vois] dan beberapa
fitur yang lain, tetapi fitur-fitur seperti [+vokalik], [+nasal], dan [+koronal] akan
"diistirahatkan." Dengan kata lain, fitur-fitur yang relevan itu tadi muncul pada tingkat
threshold.

Node-node ini saling berkaitan sehingga munculnya fitur fitur tertentu pada
tingkat threshold bisa pula memunculkan node-node yang lain. Karena perbedaan
antara /b/ dan /p/ ha nyalah pada soal vois maka waktu /b/ muncul, /p/ bisa pula ikut
muncul untuk dikontraskan meskipun kemudian dising kirkan. Begitu pula ada jaringan
interkoneksi antara satu tingkat dengan tingkat yang lain. Munculnya /k/ dan /o/ untuk
kata Inggris coat bisa memunculkan kata code, boat, dan road pada tataran kata.

Melalui proses eliminasi pada masing-masing tahap akhir nya ditemukan kata
yang memang kita dengar.

29
F. PERSEPSI UJARAN DALAM KONTEKS

Di atas telah digambarkan bagaimana manusia memproses ujar an yang kita


dengar secara satu per satu. Akan tetapi, dalam kenyataannya bunyi itu tidak diujarkan
secara terlepas dari bu nyi yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan
bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi. Lafal
suatu bunyi yang diujarkan secara berurut an dengan bunyi yang lain tidak sama dengan
lafal bunyi itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang diujarkan sebelum
bunyi /i/ (seperti pada kata pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang diujarkan
sebelum bunyi /u/ (seperti pada kata pukat). Pada rentetan yang pertama, bunyi /p/ ini
akan ter pengaruh oleh bunyi /i/ sehingga ucapan untuk /p/ sedikit banyak sudah
diwarnai oleh bunyi /i/, yakni, kedua bibir sudah mulai melebar pada saat bunyi /p/
diucapkan. Sebaliknya, bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir dibundarkan,
bukan dilebarkan seperti pada /pi/.

Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa
kedua bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda merupakan satu bunyi yang secara
fonemik sama. Karena itulah maka betapa pun berbedanya lafal suatu bunyi, pendengar
akan tetap menganggapnya sama bila perbedaan itu merupakan aki bat dari adanya
bunyi lain yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, alofon-alofon suatu bunyi akan
tetap dianggap sebagai satu fonem yang sama.

Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh
kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara
cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar kita tetap
saja dapat memilah-milahnya dan akhirnya menentukannya. Penge tahuan kita sebagai
penutur bahasa membantu kita dalam proses persepsi.

Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah
pengetahuan kita tentang sintaksis maupun se mantik bahasa kita. Suatu bunyi yang
terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu terdapat.

30
Bila dalam mengucapkan kalimat Dia sedang sakit kita terbatuk persis pada
mengucapkan sakit, sehingga kata kedengaran seperti /keakit/, pendengar kita akan
dapat menerka bahwa kata yang terbatukkan itu adalah dari konteks mana kata yang
dimaksud oleh pembicara. Dari gambaran dikatakan bahwa pengaruh konteks ujaran
sangatlah besar.

31
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh
manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas
waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Persepsi ujaran juga ternyata
tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya terdapat proses atau tahapan
bagaimana suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu terjadi. Melalui tahapan-tahapan
tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan bunyi yang diujarkan oleh penutur
dan memahaminya secara tepat dan sesuai dengan maksud si penutur. Persepsi ujaran
mempunyai beberapa model, di mana pada masing-masing model terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi bagaimana sebuah persepsi ujaran itu terbentuk seperti
keadaan lingkungan, keadaan psikologis si penutur, dan juga kemampuan bahasa si
pendengar atau yang memberikan persepsi. Masalah utama dalam menentukan model
persepsi ujaran adalah menentukan model persepsi yang tepat dari sebuah proses
persepsi ujaran. Hal tersbut dapat terjadi melalui dua cara, yaitu: top-down process
atau bottom-up process. Pada pemrosesan top-down, pendengar merasakan seluruh
kata, kemudian memecahnya menjadi komponen-komponen kecil untuk menentukan
maknanya, sedangkan dalam proses bottom-up, pendengar merasakan sebuah kata
pertama, dan kemudian menyusun kumpulan kata secara bersama-sama untuk
membentuk dan menentukan makna.Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan
bunyi bisa pula dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan
bunyi-bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi,
sebagai pendengar kita tetap saja dapat memilah-milihnya dan akhirnya
menentukannya. Pengetahuan kita sebagai penutur bahasa membantu kita dalam
proses persepsi. Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran
adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi

32
yang terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu
terdapat.

B. SARAN

Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan
dan sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

33
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soejono 2012. Psikolinguisitik; pengantar pemahaman bahasa
manusia hal.29-56. DKI Jakarta: Yayayasan Pustaka Obor Indonesia

34

Anda mungkin juga menyukai