Anda di halaman 1dari 15

BAGAIMANA MANUSIA

MEMPERSEPSI UJARAN

Dosen Pengampu : Siti Sulistyani Pamuji, S.Pd, M.Pd


ANGGOTA KELOMPOK 1 :
1. Miftah Auliyah (2040602014)

2. Rizka Nurlita (2040602056)

3. Sarifa Aini (2040602076)

4. Sri Rara W. (2040602079)

5. Siti Nur Aisyah (2040602077)

6. Renaldi (2040602085)

7. Weki Yudistira (2040602080)

8. Darmawan (2040602054)
1. Penelitian Mengenai Persepsi Ujaran

Dari segi ilmu pengetahuan, kajian dan penelitian bagaimana manusia


mempersepsi ujaran dapat dikatakan masih sangat baru. Meskipun Willis tahun 1829
dan Helmholtz tab 1859 telah mempelajari ciri fisik dari bunyi, penelitian mengenai
bagaimana kita mempersepsi ujaran baru mulai menjelang Perang Dunia II (Gleason
dan Ratner 1998).

Perkembangan penelitian di bidang ini mulai dengan adanya kemajuan dalam


bidang teknologi terutama dengan terciptanya alat telepun. Dari tahun 1936-39 Dudly
dari Bell Telephone Laboratory, Amerika, mengembangkan mesin yang dinamakan
vocoder. Mesin ini mulanya adalah untuk menyampaikan signal melalui kabel telepun
jarak jauh. Akan tetapi, kualitasnya tidak cukup baik sebagai piranti komunikasi.
2. Masalah dalam Mempersepsi Ujaran

Dalam bahasa Inggris orang rata-ratanya mengeluarkan 125-180 kata tiap menit.
Penyaji berita di televisi mencapai 210 kata dan pelelang bisa mencapai lebih dari itu
(Gleason dan Ratner 1998). Jumlah ini tentunya didasarkan pada kenyataan bahwa
sebagian besar kata dalam bahasa ini bersuku satu: book, go, eat, come, dsb. Untuk
bahasa Indonesia belum ada orang yang telah menelitinya, tetapi karena kata-kata
dalam bahasa Indone sia pada umumnya bersuku dua atau lebih (makan, tidur, mem
bawa, menyelesaikan) maka jumlah kata per menit yang diu jarkan oleh orang
Indonesia pastilah lebih kecil dari angka di atas; mungkin sekitar 80-110 kata.
3. Mekanisme Ujaran

Sumber dari bunyi adalah paru-paru. Paru-paru kita berkembang dan berkempis
untuk menyedot dan mengeluarkan udara. Melalui saluran di tenggorokan, udara ini
keluar melalui mulut atau hidung. Dalam perjalanan melewati mulut atau hidung ini ada
kalanya udara itu dibendung oleh salah satu bagian dari mulut kita sebelum kemudian
dilepaskan. Hasil bendungan udara inilah yang menghasilkan bunyi. Udara yang
dihembuskan oleh paru-paru kita keluar melewati suatu daerah yang dinamakan daerah
glotal. Udara ini kemu dian lewat lorong yang dinamakan faring (pharynx). Dari fa ring
itu ada dua jalan: yang pertama melalui hidung dan yang kedua melalui rongga mulut.
Semua bunyi yang dibuat dengan udara melalui hidung disebut bunyi nasal. Sementara
itu, bunyi yang udaranya keluar melewati mulut dinamakan bunyi oral.
 Bagaimana Bunyi Dibuat

Di samping pembagian bunyi menjadi bunyi nasal dan oral seperti dinyatakan di atas, bunyi juga dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar: konsonan dan vokal. Perbedaan antara kedua macam bunyi ini terletak pada cara
pembuatannya.

a. Pembuatan Bunyi Konsonan

Bunyi dibuat dengan memanfaatkan bagian mulut seperti lidah, bibir, dan gigi. Bagian-bagian ini dinamakan
artikulator. Untuk membuat bunyi konsonan perlu diperhatikan tiga faktor. Perta ma adalah titik artikulasi, yakni,
tempat di mana artikulator itu berada, berdekatan, atau berlekatan. Bila bibir atas dan bibir bawah berlekatan maka
bunyi yang dihasilkan adalah bunyi bilabial. Pada bahasa Indonesia, dan banyak bahasa lain, bunyi bilabial terdiri
dari bunyi [p], [b], dan [m]. Perbedaan antara kedua bunyi yang pertama dengan bunyi yang ketiga terletak pada
saluran udara yang dilaluinya: [p] dan [b] melewati mulut, dan karenanya disebut bunyi oral, sedangkan [m]
melalui hi dung, dan karenanya disebut bunyi nasal.
b. Pembuatan Bunyi Vokal C. Fonotaktik

Tiap bahasa memiliki sistem sendiri-


Berbeda dengan konsonan, kriteria yang sendiri untuk mengga bungkan fonem agar
dipakai untuk mem bentuk bunyi vokal adalah (1) menjadi suku dan kemudian kata. Dengan
tinggi-rendahnya lidah, (2) posisi lidah, (3) demikian maka tidak mustahil adanya dua
ketegangan lidah, dan (4) bentuk bibir. Karena lidah bahasa yang memi liki beberapa fonem yang
itu lentur, maka lidah dapat digerakkan untuk sama tetapi fonotaktiknya, yakni, sistem
dinaikkan atau diturunkan. Naik-turunnya lidah pengaturan fonemnya, berbeda. Bahasa Inggris
menyebabkan ukuran rongga mulut berubah. Bila dan bahasa Indonesia, misalnya, memiliki fonem
lidah berada di posisi tinggi, maka ruang yang akan /p/, /s/, /k/, /r/, dan /1/. Akan tetapi, fonotaktik
dilalui oleh udara dari paru-paru menjadi sempit. bahasa Inggris memungkinkan peng
Bunyi yang juga akan melengking tinggi. Bila lidah gabungan /s-p-r/dan /s-p-1/ pada awal suku
diturunkan, rongga mulut menjadi makin lebar; seperti terlihat pada kata-kata sprite /sprait dan
makin ke bawah lidah itu makin lebarlah rongga split /split. Kebanyakan orang Indonesia tidak
mulut tadi. Lihatlah Diagram 4 berikut yang dapat mengucapkan kata-kata seperti ini dan
menggambarkan bunyi /i/ seperti pada kata Siti, lel seringkali mereka menyisipkan sebuah vokal
pada sore, dan /ɛ/ pada bebek. sehingga ucapan nya menjadi /soprit/ dan
/səplit/.
d. Struktur Suku Kata e. Fitur Distingtif f. Voice Onset Time

Suatu suku dapat Sejak tahun 1940-an, Suatu kata tentulah


memiliki onset, nukleus, dan linguis mulai melihat ihwal terdiri dari satu suku atau
koda. Akan tetapi, hal ini tidak bunyi dari segi oposisi yang lebih. Masing masing suku
harus. Nukleus selalu berupa sifatnya biner, yakni, sesuatu terdiri dari beberapa fonem.
vokal. Konsonan atau itu ya atau tidak, yang Kata ban seperti di atas,
konsonan-konsonan yang biasanya ditandai dengan misalnya, terdiri dari tiga
berada di muka nukleus simbol + dan -. Dalam hal fo fonem /b/, /a/, dan /n/. Transisi
dalam satu suku yang sama nem /p/ dan /b/, misalnya, dari satu bunyi ke bunyi yang
adalah onset dan yang di satu-satunya fitur yang lain tentunya memerlukan
belakang nukleus adalah membedakan kedua fonem ini waktu. Bagaimana transisi itu
koda. Dalam suatu suku yang hanyalah ada tidaknya dilakukan ditentukan oleh
wajib ada adalah nukleusnya getaran pada pita suara. Bila macam masing-masing bunyi.
sedangkan onset atau ada getaran, fonem itu adalah Transisi dari /b/ ke /an/ pada
kodanya bersifat opsional. /b/; bila tidak, /p/. Dengan /ban/ tidak sama dengan
kata lain, /b/ adalah [+vois] transisi /p/ ke /an/ seperti pada
sedangkan /p/ adalah [-vois]. kata pan.
 Signifikansinya Bagi Psikolinguistik

Dari sudut pandang persepsi ujaran, apa artinya semua gambar an di atas? Paparan di atas penting
untuk persepsi ujaran karena tanggapan kita untuk bunyi dan kata suatu bahasa ditentukan pula oleh
bagaimana bunyi-bunyi itu dibuat, fitur-fitur mana yang terlibat, dan bagaimana bunyi-bunyi itu
digabungkan. Telinga orang Indonesia, misalnya, tidak terlatih untuk mende ngar bunyi [p] yang diikuti
oleh aspirasi (yakni, getaran udara yang keras waktu kita mengucapkan bunyi tertentu) seperti pada
bahasa Inggris. Bila kita mengucapkan bunyi /p/ bahasa Inggris seperti pada kata pan dengan benar, dan
di dekat mulut kita ada sudut kertas yang kita siapkan, maka sudut kertas itu pasti akan tersentak dan
bergerak. Hal ini tidak terjadi pada bahasa kita kalau kita mengucapkan kata yang sama ini. Karena itu,
orang Indonesia pada umumnya tidak dapat pula mendengar adanya aspirasi ini waktu mendengar kata-
kata Inggris seperti pat, pick, dan pass.

 Transmisi Bunyi
Bunyi yang dikeluarkan oleh manusia ditransmisikan ke telinga pendengar melalui
gelombang udara. Pada saat suatu bunyi di keluarkan, udara tergetar olehnya dan membentuk
semacam ge lombang. Gelombang yang membawa bunyi ini bergerak dari depan mulut
pembicara ke arah telinga pendengar. Dengan me kanisme yang ada pada telinga, manusia
menerima bunyi ini dan dengan melalui syaraf-syaraf sensori bunyi ini kemudian "dikirimkan"
ke otak kita untuk diproses dan kemudian ditang kapnya. Lihatlah visualisasi di halaman berikut
(mengikuti Garman, 1994:4).
4. Persepsi Terhadap Ujaran

Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilaku kan oleh manusia
karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang
jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Perhatikan tiga ujaran berikut: (a) Bukan angka,
(b) Buka nangka, dan (c) Bukan nangka. Mes kipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu
dari yang lain, dalam pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama - [bukananka].

5. Model-model Untuk Persepsi

Dalam rangka memahami bagaimana manusia mempersepsi bu. nyi sehingga akhirnya
nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli psikolonguistik mengemukakan model-model
teoritis yang diharapkan dapat menerangkan bagaimana proses persepsi itu terjadi. Sampai
saat ini ada empat model teoritis yang telah di ajukan orang.
a. Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran

Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai
Motor Theory of Speech Perception, menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan
mema kai acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman dkk 1967 dalam
Gleason dan Ratner, 1998). Seperti dinyatakan sebelumnya, bagaimana suatu bunyi diucapkan
dipe ngaruhi oleh bunyi-bunyi lain di sekitarnya.

b. Model Analisis dengan Sintesis

Manusia bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada ber bagai faktor seperti
keadaan kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat ujaran (sedang
merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya menggantungkan pada fitur
akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki banyak bentuk yang berbeda-beda.
Karena itu, diajukanlah suatu model yang dinamakan Model Analisis dengan Sintesis
c. Fuzzy Logical Model

Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga proses: evaluasi
fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe, yakni, bentuk yang
memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi
dari semua fitur yang masuk dievaluasi, diintegrasi, dan kemudian dicocokkan dengan des kripsi
dari prototipe yang ada pada memori kita. Setelah dico cokkan lalu diambil kesimpulan apakah
masukan tadi cocok dengan yang terdapat pada prototipe.

d. Model Cohort

Model untuk mengenal kata ini (Marslen-Wilson dan Welsh, 1978 dan Marslen-Wilson, 1987
dalam Gleason dan Ratner, 1998; lihat juga Dominic W. Massaro 1994) terdiri dari dua tahap.
Pertama, tahap di mana informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita
dengar itu memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi.
Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang mulai dengan /p/ akan teraktifkan:
pahala, pujaan, priyayi, prakata, dsb. Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut sebagai
e. Model Trace

Model ini mula-mulanya adalah model untuk persepsi huruf tetapi


kemudian dikembangkan untuk mempersepsi bunyi (McClelland dan
Rumelhart 1981; Elman dan McClelland 1984; 1986). Model TRACE
berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan mengikuti proses
top-down. Artinya, konteks leksikal dapat membantu secara langsung
pemrosesan secara perseptual dan secara akustik. Begitu pula
informasi di tataran kata dapat juga mempengaruhi pemrosesan pada
tataran di bawahnya.
6. Persepsi Ujaran Dalam Kontek

Di atas telah digambarkan bagaimana manusia memproses ujar an


yang kita dengar secara satu per satu. Akan tetapi, dalam kenyataannya
bunyi itu tidak diujarkan secara terlepas dari bu nyi yang lain. Bunyi
selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-
bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi. Lafal suatu bunyi yang
diujarkan secara berurut an dengan bunyi yang lain tidak sama dengan
lafal bunyi itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang
diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti pada kata pikir) akan berbeda
dengan bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /u/ (seperti pada kata
pukat). Pada rentetan yang pertama, bunyi /p/ ini akan ter pengaruh oleh
bunyi /i/ sehingga ucapan untuk /p/ sedikit banyak sudah diwarnai oleh
bunyi /i/, yakni, kedua bibir sudah mulai melebar pada saat bunyi /p/
diucapkan. Sebaliknya, bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir
dibundarkan, bukan dilebarkan seperti pada /pi/.
Sekian
Terima
Kasih

Anda mungkin juga menyukai