Anda di halaman 1dari 14

EKONOMI SUMBER DAYA ALAM TERBARUKAN: KEHUTANAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Dosen Pengampu: Endah Djuwendah, SP., M.Si.

Disusun Oleh:
Kelompok 4
M. Irfan Ghani 150610200028
Indira Sekar Setiyadi 150610200078
Amienda Cahya Mandasansa 150610200099
Chabibah 150610200105
Dyah Sekar Taji Nur Fadjri 150610200107
Tazkia Khaerunnisa 150610200110

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Hutan merupakan sumber daya alam terbarukan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Hutan merupakan aset yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Hutan juga merupakan aset multiguna yang tidak saja menghasilkan produk seperti kayu,
arang, pulp, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain (non-use) seperti pelindung panas,
pemecah angin (windbreaks), dan pelindung tanah dari bahaya erosi. Selain itu, hutan juga
menjadi habitat bagi satwa dan hewan lainnya yang penting dalam menjaga keseimbangan
ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain, hutan tidak saja memberikan
manfaat pada saat mereka ditebang (manfaat eksploitasi), tetapi juga banyak memberikan
manfaat tatkala sumber daya ini dibiarkan (manfaat konservasi).
Pengelolaan sumber daya hutan memiliki ciri- ciri sebagai berikut.
1. Tidak bersifat common property resource. Hampir sebagian besar hutan di Indonesia,
misalnya, dikuasai oleh pemerintah dan hak pengelolaan hutan diberikan kepada individu
atau swasta melalui mekanisme perizinan.
2. Skala waktu (time scale). Hutan memiliki skala waktu pertumbuhan yang sangat panjang,
mulai saat ditanam sampai ditebang (beberapa jenis pohon tertentu bisa tumbuh sampai
100 tahun, yang tentu saja lebih lama daripada kebanyakan pertumbuhan spesies lain,
misalnya, ikan)
3. Lahan dimana hutan tumbuh memiliki nilai pilihan (option value).
4. Harga per unit (unit price) diharapkan meningkat tergantung umur pohon dan volume
kayu.
5. Adanya konflik pemanfaatan (multiple use resource conflict), misalnya antara
pemanfaatan hutan untuk komersial dan rekreasi.
BAB II
KEHUTANAN NEGARA BERKEMBANG

2.1 Kondisi kehutanan negara berkembang


Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang banyak, kekayaan hayatinya
mencapai 11 % spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat
10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia, dan 16 persen spesies burung.
Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut,
Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000
hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku
seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa
Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar. Semakin meningkatnya permintaan akan
suatu barang yang sumber dayanya diperoleh dari alam menjadi penyebab berkurangnya
keanekaragaman hayati di Indonesia. Contohnya adalah kayu, kertas, mebel, dan minyak
kelapa sawit. Produk tersebut sangat dibutuhkan masyarakat saat ini dan bisa dikatakan
sebagai penopang perekonomian banyak pihak. Namun ditengah-tengah upaya untuk
meningkatkan perekonomian dengan produk-produk tersebut, ada sisi lain yang kurang
menjadi perhatian, yaitu deforestasi
Di era 1970-an, hutan Indonesia menginjak babak baru. Di masa ini, deforestasi
(menghilangnya lahan hutan) mulai menjadi masalah serius dan masalah tersebut
berlanjut sampai 2020. Penebangan hutan secara komersial mulai dibuka besar-besaran.
Dan Terjadi pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan untuk
kebutuhan ekonomi yaitu sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan. Pada
akhirnya langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi ini juga
diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian lahan lainnya.
Fakta menunjukkan bahwa sejarah kehutanan Indonesia tak lain adalah sejarah
deforestasi, dari dulu hingga kini. Analisis FWI dan GFW tahun 2001 memperlihatkan
bahwa laju deforestasi terus meningkat, menjadi 2 juta hektar/tahun periode 1996-2000.
Selanjutnya menjadi 1,5 juta hektare/tahun periode 2001-2010 dan periode 2009-2013
lajunya sebesar 1,1 juta hektare/tahun (FWI, 2011 & 2014). Kajian terbaru FWI,
walaupun hanya dipotret pada 3 provinsi, laju deforestasi masih relatif tinggi, yaitu
sekitar 240 ribu hektare/tahun periode 2013-2016, meningkat dibanding periode
sebelumnya (2009-2013), yaitu sekitar 146 ribu hektare/tahun. Walupun begitu pada
tahun 2016-2017 deforestasi di Indonesia sempat dikatakan mengalami penurunan. Bila
ditotal maka hutan alam yang ada di Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku
Utara, telah hilang seluas 718 ribu hektare selama tiga tahun. Hasil analisis lainnya
ditemukan sekitar 72% deforestasi yang terjadi di 3 provinsi tersebut berada di dalam
wilayah yang telah dibebani izin pengelolaan. Aktivitas-aktivitas di dalam konsesi HPH,
HTI, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan menjadi penyebab langsung (direct
causes) deforestasi. Akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan
alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan.
Sedangkan angka deforestasi pada Areal Penggunaan Lain (APL) sebesar 0,17 juta
hektar (38,1%). Deforestasi tertinggi terjadi pada hutan sekunder, baik di dalam maupun
di luar kawasan hutan, sebesar 0,45 juta hektar. Deforestasi menyumbang penyebab
pemanasan iklim global yang tidak bisa diabaikan dan juga kerusakan hutan
menyumbang 20% emisi gas setiap tahun. Persentase itu belum ditambah oleh emisi dari
kendaraan bermotor, industry, dan kebakaran. Nationally Determined Contribution
mengungkapkan bahwa Indonesia di masa depan bisa menjadi Negara penyumbang
emisi yang rendah dan memiliki ketahanan iklim yang baik yaitu tidak mencapai batas
1,5 derajat celcius.

2.2 Faktor Penyebab


A. Penyebab Rusaknya Hutan
- Ladang Berpindah
Ladang berpindah ini biasanya digunakan oleh masyarakat untuk
mencukupi keperluan pangan saja, tidak dijadikan sebagai usaha komersial, dan
mereka mencukupi kebutuhan lainnya dengan mengambil apa saja yang bernilai
ekonomis yang ada di hutan. Peladang berpindah selalu membuka hutan baru
berdasarkan perkiraan musim atau iklim. Ladang berpindah yang dilakukan
masyarakat tradisional bukan menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Hal itu
dikarenakan ketika membakar lahan masyarakat selalu menjaga dan secara
emosional mereka memiliki kearifan ekologis terhadap lingkungan sebagai
tempat mencari penghidupan.
- Penebangan Liar dan Penebangan Oleh Pemilik HPH
Penebangan yang dilakukan secara liar maupun oleh pemilik HPH
menimbulkan kekhawatiran pada perubahan perilaku alam yaitu apabila kawasan
hutan lumpuh sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hal tersebut
terjadi karena ketidakmampuan hutan untuk pulih kembali yang telah dibabat
ataupun tidak adanya upaya mengembalikan fungsi hutan melalui rehabilitasi dan
reboisasi. Apabila hutan sudah tidak mampu lagi untuk menyimpan air, menjaga
kelembabannya agar tidak terbakar saat musim kemarau, dan sebagai daerah
penyangga luapan pada musim hujan, maka hal tersebut dapat membahayakan
keseimbangan lingkungan dan ekosistem
- Pembakaran Hutan
Pembakaran hutan ini umumnya dilakukan oleh pemilik/pemegang HPH
yang dilakukan secara liar dan juga dilakukan oleh peladang berpindah.
Penyusutan hutan di seluruh Indonesia disebabkan oleh pembakaran hutan, sebab
pembakaran itu menimbulkan asap yang mengotori udara di sekitar lingkungan
hutan yang dibakar itu, bahkan sampai menimbulkan polusi udara ke negara
tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Papu New Guinea hingga Australia.
Hal ini menimbulkan Permasalahan tersendiri yaitu bukan hanya kerusakan
lingkungan hidup akan tetapi juga menimbulkan persoalan bilateral.

B. Penyebab Deforestasi
Indonesia telah mempublikasikan hasil penghitungan angka deforestasi sejak
Tahun 2006, dan secara berkala diterbitkan setiap tahunnya. Terdapat beberapa
kegiatan yang diindikasi sebagai penyebab deforestasi yaitu: pengelolaan hutan secara
intensif pada areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK); konversi
kawasan hutan untuk digunakan oleh sektor lain, seperti perluasan pertanian,
pertambangan, perkebunan dan transmigrasi, pengelolaan hutan yang tidak lestari;
pencurian kayu atau penebangan liar; perambahan dan okupasi lahan pada Kawasan
hutan serta kebakaran hutan. Selain itu, terdapat penyebab lain seperti pembangunan
infrastruktur, permintaan untuk ekspor kayu bulat, pertumbuhan dan kepadatan
penduduk, urbanisasi dan perluasan daerah perkotaan, harga-harga komoditas (kayu
bulat, kelapa sawit, batu bara, bauksit, dan nikel), aksesibilitas geografis Indonesia
terhadap pasar, kemiskinan, keamanan penguasaan lahan dan konflik, serta upah dan
pekerjaan pasca panen.

2.3 Solusi
A. Pelibatan masyarakat
Mulai tahun 1990 pemerintah mulai sadar akan pentingnya keterlibatan
masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan. Tak bisa dipungkiri terdapat 25.863
desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan di Indonesia dengan jumlah
penduduk pada desa-desa tersebut kurang lebih 37,2 juta jiwa, yang terdiri atas 9,2
juta rumah tangga. Tentunya para penduduk desa yang berada disekitar hutan akan
memanfaatkan hutan untuk kebutuhan sehari-hari, Namun penduduk tersebut juga
memiliki potensi dan kemampuan untuk berperan dalam pengelolaan hutan. Untuk
mendukung Pemberdayaan masyarakat, dalam kurun 2007-2014 pemerintah membuat
berbagai peraturan yang terkait Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa , Kemitraan, dan
Hutan Tanaman Rakyat dengan tujuan mendukung peran masyarakat dalam
pengelolaan hutan. dalam kurun waktu yang sama Perizinan yang telah dikeluarkan
meliputi total kawasan seluas 449.104,23 hektar, terdiri dari Hutan Desa seluas
78.072 hektar, Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 153.725,15 hektar, Hutan
Tanaman Rakyat (HTR) seluas 198.594,87 hektar, dan Kemitraan seluas 18.712
hektar. Namun, efektivitas implementasinya relatif rendah.
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, program perhutanan lebih berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat dan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka
menengah Nasional Tahun 2015-2019. Pemberian izin jauh lebih lancar dibandingkan
pada 2007-2014, pada kurun waktu 2015-2018 izin yang diterbitkan kepada
masyarakat untuk mengelola hutan mencapai 1.558.453,58 hektar, yang terdiri atas
969.215,18 hektar untuk areal Hutan Desa (HD), 337.142,51 hektar adalah untuk areal
HKm, 99.709,87 hektar untuk areal HTR; 102.000,08 hektar untuk hutan kemitraan,
22.435,59 hektar adalah untuk areal Izin Pemanfaatan Perhutanan Sosial (IPHPS); dan
seluas 27.950,3493 hektar untuk Hutan Adat.
Pemerintah tidak hanya memberikan dukungan melalui peraturan dan perizinan
melainkan dengan berbagai dukungan lain seperti Pemberian alat ekonomi Produktif,
Fasilitas Pembiayaan, Bantuan bibit dan mengadakan festival Pesona (perhutanan
Sosial Nusantara) yang mempertemukan berbagai pemangku kepentingan yang
bergerak pada Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Dengan adanya
berbagai kebijakan dan batuan harapannya penduduk yang tinggal disekitar hutan
dapat memanfaatkan hutan dengan bijak serta semakin peduli akan pentingnya
melestarikan hutan.

B. Penguatan dan penegasan hukum yang melindungi hutan


Untuk menjaga kelestarian hutan pemerintah telah membuat undang-undang no 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Berisikan Hukum yang melindungi kelestarian hutan
yang didalamnya juga terdapat keterangan pidana yang dapat dijatuhkan adalah
pidana badan yaitu penjara paling lama 15 tahun, sedangkan denda paling tinggi Rp.
10 milyar. Seharusnya dengan adanya Undang-undang yang memuat kelestarian
hutan pemerintah dapat menjaga kelestarian namun nyatanya seringkali sering terjadi
pelanggaran-pelanggaran. Banyaknya pembalakan hutan dan berbagai kegiatan yang
merusak kelestarian hutan menjadi salah satu bukti ketidaktegasan pemerintah dalam
menjalankan undang-undang 41 Tahun 1999.
Pemerintah yang memiliki kewenangan dan kewajiban untuk melestarikan hutan
harus meningkatkan pengawasan hutan dan mempertegas hukuman bagi para
pelanggar. Meningkatkan pengawasan hutan bisa dengan menambah personil dan
kelengkapan lembaga yang bertugas menjaga hutan dengan harapan dapat menambah
kinerja sehingga bisa mencegah pelanggaran. Mempertegas hukuman dapat dengan
melakukan sanksi yang berat dan pencabutan izin dengan harapan dapat memberi efek
jera bagi para pelanggar.

C. Menjadikan Kelestarian hutan sebagai aspek utama dalam pembangunan


Pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden No.
61/2011 mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 2010-
2020. Kemudian juga Indonesia meratifikasi Paris Agreement dengan Undang-undang
No. 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations
Framework Convention on Climate Change. Indonesia berkomitmen mengurangi
emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama
internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030, salah
satunya melalui sektor kehutanan dan pertanian.
Sayangnya, Deforestasi masih terjadi dengan laju yang sangat cepat. Menurut
pengawasan forest watch indonesia, luas hutan telah berkurang seluas 718 ribu hektar
pada tahun 2013-2016 di Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku
Utara. Ironisnya 72% deforestasi di ketiga provinsi tersebut telah mendapat izin dari
pemerintah. Aktivitas-aktivitas di dalam konsesi HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit
dan pertambangan menjadi penyebab langsung (direct causes) deforestasi.
Adalah hal yang mustahil sekiranya pemerintah bermaksud mengurangi emisi
karbon namun tidak menghentikan deforestasi. Jika memang tujuan pemerintah
adalah mengurangi emisi karbon maka Kelestarian hutan harus menjadi aspek utama
dalam melakukan kebijakan dan pembangunan.
D. Kebijakan Ekonomi Pemerataan dalam bentuk Tanah Obyek Reforma Agraria
(TORA)
Dengan ekonomi Indonesia yang semakin berkembang dan penduduk semakin
meningkat, permintaan untuk penggunaan lahan menjadi lebih tinggi. Sejak Tahun
2015, Pemerintah telah meluncurkan kebijakan Ekonomi Pemerataan untuk
mendorong kesetaraan sosial dalam bentuk Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)
dan Program Perhutanan Sosial yang merupakan komponen tidak terpisahkan dari
kebijakan Ekonomi Pemerataan, dengan tujuan untuk menjamin ketersediaan lahan
dan akses kawasan hutan bagi para anggota masyarakat setempat dan/atau masyarakat
Adat. Lahan yang dialokasikan untuk TORA dan akses kawasan hutan untuk
redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar, diantaranya seluas 4,1 juta hektar adalah
Kawasan Hutan yang potensial untuk dilepaskan sebagai bagian dari program TORA.
Di sisi lain, pemerintah juga telah menyiapkan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar
untuk dapat diakses masyarakat melalui Program Perhutanan Sosial. Penggunaan
lahan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi telah menimbulkan gangguan terhadap
keamanan hutan dalam bentuk pelanggaran batas, pembalakan liar, kebakaran hutan
dan lahan, dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal.
BAB III
KEHUTANAN NEGARA MAJU

3.1 Kondisi
Hutan adalah salah satu aset alam paling luar biasa di planet ini. Menutupi sedikit
di bawah sepertiga dari total luas daratan Bumi, mereka menyediakan rumah bagi dua
pertiga dari keanekaragaman hayati yang dikenal dan memainkan peran penting dalam
pengaturan iklim dan oksigen siklus. Hutan membantu menjaga cadangan air tawar,
membatasi erosi tanah, dan menyediakan tempat berlindung dan rezeki bagi lebih dari
satu miliar manusia.
Sementara, sumber daya ini sangat bermanfaat bagi umat manusia, sumber daya ini
juga berada di bawah ancaman serius dari manusia aktivitas. Studi satelit menunjukkan
bahwa hutan dunia ditebangi dengan laju 177.000 persegi kilometer per tahun,
menghancurkan habitat vital bagi spesies tumbuhan dan hewan.
Sementara beberapa deforestasi paling parah terjadi di negara-negara berkembang
di Asia Tenggara dan Amerika Selatan, penebangan pohon juga merupakan ancaman
lingkungan yang signifikan di salah satu negara maju, yaitu Australia. Menurut perkiraan
WWF, bahwa lebih dari 80% deforestasi yang akan terjadi secara global antara tahun
2015 dan 2030 akan terjadi di 11 'front' deforestasi. Salah satunya adalah Australia timur
di negara bagian Queensland dan New South Wales, yang berarti bahwa Australia berada
di antara Amazon, Kalimantan, Cekungan Kongo, dan daerah tropis terancam lainnya.
Dampak dari penebangan pohon sangat signifikan baik bagi tanaman maupun
hewan dan kesehatan planet yang lebih luas. Beberapa 964 dari 1.250 spesies hewan
darat Australia yang terdaftar sebagai terancam memiliki habitat fragmentasi atau
degradasi terdaftar sebagai ancaman, sementara hal yang sama berlaku untuk 286 dari
390 spesies tumbuhan yang terancam. Spesies yang terancam karena penebangan pohon
termasuk kakatua Carnaby, kasuari selatan, kanguru pohon Bennet, batu karang Cape
York-walabi, dan walabi batu diapit hitam, serta ikon koala, baru-baru ini terdaftar
sebagai hewan yang rentan terhadap kepunahan di Queensland dan New South Wales.
Tetapi penebangan pohon juga memiliki efek jangkauan yang lebih luas pada
lingkungan Australia. Pohon memainkan peran kunci dalam menangkap dan menyimpan
gas rumah kaca, dan menjadi sumber karbon ketika dibunuh. Deforestasi dan degradasi
hutan menyumbang sekitar 15% dari total emisi gas rumah kaca global.
Penebangan pohon juga mendorong erosi tanah, memungkinkan subur lapisan
tanah atas untuk disapu ke saluran air yang merusak yang ada ekosistem. Lebih sedikit
pohon di suatu wilayah juga dapat berkontribusi untuk kekeringan dengan mengurangi
jumlah curah hujan lokal.

3.2 Faktor Penyebab


Faktor utama penyebab deforestasi dalam tingkat global adalah adanya permintaan
untuk memperluas lahan pertanian dan juga permintaan proyek-proyek pertambangan
dan infrastruktur yang mengambil tol destruktif. Di kawasan Asia Tenggara, permintaan
pembukaan lahan kelapa sawit untuk produksi minyak dan produksi pulp menyebabkan
hutan hujan yang ada di sebagian negara Asia Tenggara mengalami kehancuran.
Penyebab utama deforestasi di Australia adalah permintaan pada sektor peternakan.
Sebagian besar penebangan pohon yang ada di hutan Australia dilakukan untuk membuat
padang rumput bagi ternak yang menghasilkan produk sapi potong yang nantinya akan
menjadi pasokan utama restoran-restoran siap saji yang ada di Australia. Adanya
larangan untuk menebang pohon secara berlebihan sudah diberlakukan pada tahun 1990-
an sampai awal tahun 2000-an di New South Wales dan Queensland. Akan tetapi, akibat
melemahnya kontrol di kedua negara bagian tersebut, khususnya di Queensland,
membuat banyak petani dan pemilik tanah melakukan penebangan kembali.
Selain faktor perluasan padang rumput, deforestasi juga disebabkan oleh iklim yang
mengalami perubahan. Perubahan iklim ini dapat meningkatkan frekuensi dan intensitas
kebakaran hutan dan kekeringan. di Australia, perubahan iklim mengakibatkan
terjadinya kebakaran hutan pada tahun 2020 yang luasnya seluas daratan Korea Selatan.
Kebakaran ini mengakibatkan ribuan rumah hancur, miliaran populasi hewan tewas, dan
ribuan penduduk Australia yang kehilangan nyawa.

3.3 Solusi
Sebagai salah satu bagian dari negara maju, Australia mengakui bahwa hutan
merupakan hal yang penting untuk produksi pangan berkelanjutan, pelestarian spesies
yang terancam, dan penciptaan masa depan rendah pada karbon. WWF-Australia sebagai
organisasi non-pemerintah internasional yang menangani masalah-masalah mengenai
konservasi, penelitian, dan restorasi sendiri berjuang untuk memperkuat undang-undang
untuk menghentikan penebangan pohon yang berlebihan khususnya di Queensland dan
New South Wales.
WWF mengadvokasi Zero Net Deforestation and Forest Degradation (ZNDD) secara
global pada tahun 2020 yang memungkinkan pembukaan lahan pertanian dan pemukiman
yang terbatas dan terkontrol dengan hati-hati di seluruh negara berkembang. Di Australia,
WWF menganjurkan tutupan Hutan Bersih positif pada tahun 2020 yang memiliki arti
dalam meningkatkan tutupan hutan asli. Hal ini disebabkan Australia sudah berkembang
dengan baik dan memiliki lebih dari cukup lahan yang terbuka untuk dikerjakan.
Perdana Menteri Australia, Scott Morison, sejauh ini memberikan solusi dengan
menentang dalam menolak hubungan apapun yang berkesinambungan antara kebijakan
iklim konservatif pemerintah dan kebakaran hutan dengan meningkatkan kinerja dan
membatasi emisi. Pihaknya juga mengatakan bahwa banyak layanan kesehatan mental
yang tersedia untuk para korban yang terkena dampak deforestasi. Resor pegunungan
Australia pun diperintahkan oleh pemerintah Australia dengan membersihkan mesin
pembuat salju musim dingin untuk meledakkan air dingin ke lereng ski yang kering.
Dewan Asuransi Australia memberikan total klaim yang mencapai lebih dari AUS$ 900
juta akibat kerusakan deforestasi.
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Perbedaan Kondisi Kehutanan Negara Berkembang dan Negara Maju


Dapat disimpulkan berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya bahwa perbedaan
kondisi, penyebab, dan solusi negara berkembang (Indonesia) dan negara maju (Australia)
dapat dilihat pada beberapa poin pada tabel berikut ini.

Indikator Negara Berkembang (Indonesia) Negara Maju (Australia)

Kondisi Menyumbang emisi gas 20%dari Menyumbang emisi gas 15% dari
total emisi gas rumah kaca global. . total emisi gas rumah kaca global.

Penyebab Kebakaran hutan akibat pembakaran Kebakaran hutan akibat perubahan


hutan. iklim.

Solusi
● Menghentikan deforestasi ● Memperkuat undang-
yang berlebihan undang untuk menghentikan
● Mempertegas penegakan penebangan pohon yang
hukum yang mengatur berlebihan.
kelestarian hutan ● Di Australia, WWF
● Melibatkan masyarakat menganjurkan tutupan
sekitar desa Hutan Bersih positif.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Wiriadinata, W. (2018). KEHUTANAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF


EKONOMI, EKOSISTEM DAN HUKUM (FORESTS IN INDONESIA IN
PERSPECTIVE ECONOMIC, LEGAL AND ECOSYSTEM). Jurnal Legislasi
Indonesia, 9(1), 151-162.

[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Status Hutan dan Kehutanan
2018. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Nadolny, C., Burrows, W. H., Pickard, J., & Hannam, I. (1991). Tree clearing in Australia.
Search, 22(2), 43–52. https://doi.org/10.1016/0006-3207(92)91237-m

Fauzi, A. (2004). Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan: Teori dan aplikasi. Gramedia
Pustaka Utama.

Gallen, L. Konsekuensi dari Kebijakan Perubahan Iklim yang Buruk: Peringatan dari
Tetangga Indonesia.

WWF. (2017). Tree-Clearing in Australia. Diakses pada 9 Oktober 2020, dari


https://www.wwf.org.au/what-we-do/species/tree-clearing#gs.ct3q37
LAMPIRAN

Link video kondisi hutan negara berkembang:


https://youtu.be/Ge0Wszz8ltc

Link video kondisi hutan negara maju:


https://youtu.be/sznbmjvdlkU

Anda mungkin juga menyukai