Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN KELOMPOK

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA Ny. J DENGAN


DIAGNOSA PRE OPERASI POLIP NASI YANG DILAKUKAN
TINDAKAN POLIPEKTOMI DENGAN GENERAL ANESTESI TEKNIK
ENDOTRACHEAL TUBE (ETT) DI INSTALASI BEDAH SENTRAL (IBS)
RSUD CILACAP

Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Praktik Klinik Anestesi Dasar II

Dosen Pembimbing: Ibu Sapta Rahayu Noamperani, S.Kep, Ns. M.Kep

Disusun Oleh:

1. Maulina Galuh Arifah (P07120319013)


2. Lisa Nurdiana (P07120319015)
3. Juwita Putri Kartini (P07120319048)
4. Hanifah Pradistarini (P07120319053)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA Tn. K

DENGAN BATU URETER DILAKUKAN TINDAKAN DENGAN

REGIONAL ANESTESI SUB ARACHNOID BLOCK DI RSUD CILACAP

Diajukan untuk disetujui pada:

Hari :

Tanggal :

Tempat : IBS RSUD CILACAP

Mengetahui,

Pembimbing Pendidikan Pembimbing


Lapangan

Sapta Rahayu Noamperani, S.Kep, Ns, M.Kep Turmudi, S.Si.T.,


SKM

NIP. NIP.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas berkat, rahmat, dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan asuhan keperawatan anestesi
ini dengan baik. Laporan pendahuluan ini penulis susun untuk memenuhi tugas
kelompok Praktik Klinik Anestesi Dasar II dengan dosen pembimbing Ibu Sapta
Rahyu Noamperani, S.Kep, Ns, M.Kep.
Dalam penyusunan laporan pendahuluan ini penulis mendapatkan banyak
bantuan, bimbingan dan saran serta dukungan dar berbagai pihak Harapan penulis
semoga laporan pendahuluan dengan judul “Asuhan Keperawatan Perianestesi
Pada Ny.J dengan Diagnosa Pre Operasi Polip Nasi Dilakukan Tindakan
Polipektomi dengan General Anestesi-LMA di IBS RSUD Cilacap” ini dapat
memberikan informasi dan menjadikan acuan, petunjuk, dan pedoman kepada
para pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan laporan ini, sehingga kedepannya dapat menjadi
lebih baik.

Cilacap, 27 November 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Polip nasi merupakan masalah kesehatan global yang dapat mempengaruhi


kualitas hidup penderita baik segi pekerjaan, pendidikan, dan kegiatan aktivitas
sehari-hari. Polip hidung terbagi 2 yaitu polip edematosa dan polip fibrosa.
Prevalensi penderita polip hidung pada seluruh populasi di dunia bervariasi mulai
dari 1-4%. 1 Beberapa laporan dari hasil studi epidemiologi bahwa prevalensi
polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di
Finlandia. 2 Prevalensi polip nasi di Amerika serikat diperkirakan antara 1-4%.
Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%.3
Studi epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa perbandingan pria dan
wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2% - 4,3%.
Polip hidung merupakan penyakit multifaktorial, mulai disebabkan dari
infeksi, inflamasi non infeksi, kelainan anatomis, abnormalitas genetik, serta
beberapa teori yang mengarahkan polip ini sebagai manifestasi dari inflamasi
kronis. Oleh karena itu, tiap kondisi yang menyebabkan adanya inflamasi kronis
pada rongga hidung dapat menjadi faktor predisposisi polip, serta kebanyakan
polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral. Kondisi-kondisi ini
seperti pada penderita rinitis alergi ataupun non alergi, sinusitis, intoleransi
aspirin, asma, Churg-strauss syndrome, cystic fibrosis, katagener syndrome, dan
Young syndrome. 6 Berbagai teori dan para ahli menyatakan bahwa polip hidung
lebih sering terjadi pada pasien dengan asma persisten, Aspirin - Exarcebated
Respiratory Disease (AERD), Chronic Rhinosinusitis (CRS), dan cystic fibrosis.
Sampai sekarang etiologi pasti dari polip hidung belum diketahui. Namun, ada
beberapa faktor penting penyebab polip hidung, yaitu adanya peradangan kronik
dan berulang pada mukosa hidung dan sinus, gangguan keseimbangan vasomotor,
dan peningkatan tekanan cairan interstisial. Polip hidung bukan merupakan
penyakit tetapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan
sering dihubungkan dengan sinusitis, asma, dan rinitis alergi. 7 Gejala klinis dari
penderita polip hidung adalah penurunan indra penciuman (hiposmia) atau
anosmia, hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, dan postnasal drip.
Gejala lainnya seperti
demam yang persisten, bersin, dan terkadang sakit kepala. 8 Pasien yang
mengalami polip hidung memiliki tingkat stadium yang berbeda. Stadium 1 yaitu
polip terbatas pada meatus media, stadium 2 yaitu polip sudah keluar dari meatus
media tetapi belum memenuhi rongga hidup, dan stadium 3 yaitu polip yang masif
(memenuhi rongga hidung).
Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi atau
kombinasi. Lini pertama terapi polip hidung adalah kortikosteroid. Kortikosteroid
intranasal diberikan pada polip derajat 1, sedangkan derajat 2 dan 3 dilakukan
terapi kombinasi yaitu medikamentosa dan operasi bedah. Berdasarkan guideline
PERHATI-KL, stadium 1 dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi
medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan
stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi. 10 Tingkat keberhasilan terapi polip hidung
bervariasi. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau
polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah yaitu polipektomi.
Namun, terapi bedah yang terbaik ialah tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional). Bedah sinus endoskopi fungsional pada umumnya memiliki tingkat
keberhasilan yang tinggi. Beberapa kejadian rekurensi masih sering ditemukan
pada pasien polip hidung. Angka rekurensi pada pasien dengan rinosinusitis
kronis sebesar 28,57%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Hidung

1. Anatomi Hidung
Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan
bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang
paling atas, kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling
bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan (Adams & George,
1997).

Rongga hidung atau kavum nasi terbentang dari nares di depan


sampai ke apertura nasalis posterior atau koana di belakang, dimana
hidung bermuara ke dalam nasofaring. Vestibulum nasi adalah area di
dalam kavum nasi yang terletak di belakang nares. Kavum nasi dibagi
menjadi dua bagian, kiri dan kanan oleh septum nasi. Septum nasi
dibentuk oleh kartilago septi nasi, lamina vertikalis tulang etmoidalis, dan
vomer (Snell, 2012).
Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Pada dinding lateral terdapat empat buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior,
sedangkan yang terkecil adalah konka suprema yang biasanya rudimenter. Di
antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus (inferior, medius dan superior). Pada meatus inferior
terdapatmuara duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muarasinus

Frontal sinus Crista galli of ethmoid bone

Cribriform plate of ethmoid bone

Superior nasal Sella turcica


concha

Nasal bone Sphenoidal sinus

Lacrimal
bone Sphenoidal bone

Basilar part of
occipital one

Frontal process
of maxilla
Medial and lateral plate of
sphenoid

Palatine bone
Middle nasal concha

Inferior nasal concha Maxillla

frontal sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto et al, 2007).

Gambar 2.2. Dinding Lateral Hidung


Sumber: Van De Graff, 2008
Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah prosesus usinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan
unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainasi dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait (Soetjipto, 2007).

Pendarahan Hidung
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina
yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna).
Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang
dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis
superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior
mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area
yangmerupakan sumber perdarahan pada epistaksis (Lund, 1997).

Gambar 2.3. Vaskularisasi Hidung


Sumber: Frank Netter, 2010
Persarafan Hidung
Nervus olfaktorius yang berasal dari membrana mucosa olfaktorius
berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os ethmoidale menuju ke bulbus
olfaktorius. Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus
ophtalmicus (N. VI) dan nervus maxillaris (N. V2) divisi nevus trigeminus (Snell,
2012).

Aliran Limfe Cavum Nasi


Pembuluh limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain
cavum nasi dialirkan limfenya menuju ke nodi cervicales profundi superiores
(Snell, 2012 ).

2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
a) Fungsi respirasi untuk mengatur udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal
b) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu
c) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
prosesbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
d) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
e) Refleks nasal (Soetipjo et al, 2007)
B. Polip Hidung
1. Definisi
Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip hidung
bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi adalah manifestasi klinik dari berbagai
macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis alergi,dan asma
(Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Polip hidung adalah penyebab tersering dari sumbatan hidung, dan dapat
menyebabkan anosmia. Polip hidung bersifat jinak dan tidak menimbulkan
perdarahan. Pada pemeriksaan tampak benjolan keabu-abuan yang timbul pada
daerah etmoid dengan konka inferior yang berwarna kemerahan (Bull, 2003).
Polip hidung ialah bentuk selaput lendir yang turun (biasanya akibat
radang kronis), licin, berwarna keabu-abuan atau merah muda, dan biasanya
bilateral. Walaupun tidak ganas, polip hidung dapat mengganggu dengan banyak
keluhan karena cepat berkembang menjadi besar dan cenderung residif (Van den
Broek & Feenstra, 2010).

2. Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3% (Drake
Lee, 1997; Ferguson et al, 2006). Polip nasi dapat mengenai semua ras dan
frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia
30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada
pria (Kirtsreesakul, 2005; Ferguson et al, 2006; Erbek et al, 2007).
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1 (Fransina, 2008).
Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi,
sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%. Frekuensi kejadian
polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya padaumur
sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding wanita
dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak.
Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan
adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-
anak untuk menderita polip (Fransina, 2008).

3. Etiologi
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu:
a) Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus
b) Adanya gangguan keseimbangan vasomotor
c) Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui
tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya.
Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif ini sehingga
mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini
menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di
kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip dapat
timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali
bilateral dan multipel. Polip yang berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar
melalui ostium asesorisnya, masuk ke rongga hidung dan berlanjut ke koana lalu
membesar di nasofaring. Polip ini disebut polip koana (polip antrokoana)
(Nizar& Mangunkusumo, 2001).

4. Faktor Risiko
Kondisi-kondisi yang memicu inflamasi kronis dapat meningkatkan risiko
terkena polip hidung. Beberapa keadaan yang sering dihubungkan dengan polip
hidung adalah:
a.Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah radang selaput lendir yang disebabkan oleh
proses inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi
hipersensitifitas/ alergi tipe 1, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin,
rinore encer dan hidung tersumbat yang reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.
b. Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hipresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk
terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang luas, bevariasi dan seringkali reversibel
dengan atau tanpa pengobatan.
c. Sinusitis
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau
selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan
pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya, terutama pada
daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen, napas bau dan post
nasal drips.
d. Riwayat Keluarga
Ada kemungkinan polip hidung diwariskan pada keluarga yang
memilki riwayat polip hidung sebelumnya. Hampir 50% penderita polip
hidung memiliki riwayat keluaga yang sama. (Newton, 2008)

5. Klasifikasi
Polip hidung adalah massa non-neoplasma pada hidung atau mukosa snus
yang mengalami edema.
Polip hidung diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a) Polip antrokoanal
b) Polip etmoidal
Tabel 2.1. Perbedaan Polip Antrokoanal dan Polip Etmoidal

Polip Antrokoanal Polip Etmoidal

Usia Umumnya pada anak-anak Umumnya pada dewasa


Etiologi Infeksi Alergi atau multifaktor
Jumlah Tunggal Jamak
Lateralitas Unilateral Bilateral

Asal Sinus maksilari di dekat Sinus etmoidal, prosesus


ostium uncinate, konka media, dan
meatus media
Pertumbuhan Tumbuh ke belakang ke arah
Paling sering tumbuh di
koana, bisa melekat pada soft
anterior dan pada orifisium
palate
eksternal rongga hidung

Bentuk dan
Tiga lobus, dengan bagian Umumnya kecil dan berbentuk
Ukuran
antral, nasal, dan koanal. seperti anggur (graape-like
Bagian koanal dapat masses)
menonjol melewati koana dan
mengisi naofaring sehingga
terjadi sumbatan

Rekurensi Jarang, dapat diangkat secara Sering


utuh
Terapi Polipektomi, pengangkatan Polipektomi
endoskopis, atau Caldwell- Pembedahan endoskopis atau
Luc operation jika terjadi etmoidektomi ( bisa intranasal,
rekurensi ekstranasal, atau transnasal)
Sumber: PL Dhingra, 1992
6. Patogenesis
Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terjadi di
daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler
sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut,
mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga
hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Polip dapat timbul
pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang
mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang
disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus ( Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,
disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi,
teruama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa
yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi
peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi
air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan
saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi
vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan
menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus
berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian
akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tungkai (Mangunkusumo &
Wardani, 2007)

7. Gejala Klinis
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus
namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar
ingus encer dan post nasi drip. Anosmia dan hiposmia juga menjadi ciri dari polip
nasi. Sakit kepala dan gangguan tidur dapat terjadi pada polip nasi (Drake Lee,
1997; Ferguson et al, 2006).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa
polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari meatus
media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tidak sensitif terhadap palpasi dan
tidak mudah berdarah (Newton, 2008).
8. Penegakan Diagnosa
a) Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat. Rinore
mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips, gangguan penghidu, suara
sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala (Lund, 1997).

b) Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius dan mudah digerakkan (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).

c) Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip
yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus
polip koanal juga sering dapat dilihat polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila (Nizar dan Mangunkusumo, 2001).

d) Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK,
CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan
pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang
gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan
pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi (Mangunksumo dan
Wadani, 2007).
e) Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas (gold standard)
penegakan diagnosa polip hidung.
Tabel 2.2. Klasifikasi histopatologi Polip Hidung menurut Hellquist HB, 1996

Tipe Klasifikasi

I Eosinophilic edematous type (stroma edematous dengan


eosinofil yang banyak)
II Chronic inflammatory or fibrotic type (mengandung
banyak sel inflamasi terutama limfosit da neutrofil
dengan sedikit eosinofil)
III Seromucinous gland type (tipe I + hiperplasia kelenjar
seromucous)
IV Atypical stromal type
Sumber: Kim, 2002

9. Stadium
Tabel 2.3. Stadium Polip Menurut Mackay & Lund 1997

Kondisi Polip Stadium

Tidak ada polip 0


Polip terbatas pada meatus media 1
Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum 2
memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3
Sumber: Assanasen & Naclerio 2008

10. Penatalaksanaan
Tujuan Penatalaksanaan Polip Hidung.
(a) Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin.
(b) Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
(c) Meredakan gejala.
(d) Penciuman kembali normal.
(e) Mencegah kekambuhan polip hidung.
(f)Mencegah komplikasi (Mygind & Lildholdt, 1996).

Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi atau


kombinasi. Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay &
Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk
stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan
untuk dioperasi (Aouad & Chiu, 2011; PERHATI-KL, 2007).
Tingkat keberhasilan dengan steroid topikal dan sistemik bervariasi. Sekali
polip terbentuk, biasanya terapi medis tidak berhasil. Sekarang dianggap bahwa
ada penurunan insidensi rekurensi setelah polip nasi diangkat, bila disemprotkan
betametason topikal ke dalam hidung, walaupun hal ini masih dalam penelitian.
Pengangkatan polip tunggal dapat dilakukan dengan jerat dengan anestesi lokal
dan topikal. Angka rekurensi yang membenarkan pembedahan lebih lanjut
mendekati 30%. Semua polip nasi harus dikirim untuk pemeriksaan patologi
mikroskopik karena kadang-kadang terjadi ‘garden variety’ atau ‘polip alergi’
tidak jinak (Cody, 1993).
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip
yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi
polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal,
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,
operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia
fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional) (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
1. Medikamentosa
Kortikosteroid
Tujuan penggunaan kortikosteroid adalah untuk mengurangi ukuran dan
jumlah polip, membuka jalan nafas melalui hidung, memperbaiki kemampuan
menghidu, mengurangi inflamasi, untuk mengurangi intensitas operasi, menunda
operasi atau bahkan menghilangkan polip sehingga tidak perlu dioperasi lagi
(Bachert, 2011; VLckova et al, 2010).
Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga
mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid
mengurangi amplifikasi reaksi inflamasi dengan mengurangi rekruitmen sel-sel
inflamasi dan juga menghambat proliferasi fibroblast dan sintesa matrix protein
ekstraselular. Beberapa penderita polip hidung tidak menunjukkan adanya
perbaikan dengan steroid. Hal ini mungkin dikarenakan jenis polip yang tidak
respon terhadap glukokortikoid seperti cystic fibrosis atau primary ciliary
dyskinesia, yang khas dengan infiltrasi lokal neutrofil bukan eosinofil. Penyebab
lain adalah adanya infeksi purulen sehingga polip tidak respon secara temporer
terhadap steroid atau dikarenakan distribusi steroid semprot hidung yang tidak
adekuat oleh karena hidung yang dipenuhi massa polip (Mygind & Lildholdt,
1996).

2. Bedah
Polipektomi
Polipektomi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat polip
hidung. Polipektomi diindikasikan untuk polip dengan gejala yang tidak terkontrol
dan gagal dengan terapi medikamentosa. Kontraindikasi pelaksanaan polipektomi
adalah pada pasien dengan penyakit komorbid, seperti penyakit jantung dan paru,
gangguan perdarahan, serta diabetes dan asma tidak terkontrol. Meskipun
polipektomi dapat meghilangkan polip, namun gejala yang dialami pasien pasca
polipektomi bisa beragam (Proimos et al, 2010).
C. Diabetes Melitus
1. Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit dengan keadaan abnormal yang
ditunjukkan dengan tingginya kadar glukosa dalam darah. DM merupakan kondisi
kronis yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa darah disertai dengan
munculnya gejala utama yang khas yaitu urine yang berasa manis dalam jumlah
yang besar. (Simatupang, 2017)
2. Etiologi
Menurut sudoyo 2006 DM Tipe 1 adalah Diabetes yang tergantung insulin
ditandai dengan penghancuran sel-sel beta pankreas yang disebabkan oleh faktor
genetik penderita tidak mewarisi diabtes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe 1. Faktor
imunologi (autoimun). Faktor lingkungan: virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autoimun yang menimbulkan ekstruksi sel beta. Untuk DM Tipe 2
disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Faktor resiko yang
berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II: usia, obesitas, riwayat, dan
keluarga. Dikatakan normal jika kadar gula darah < 140 mg/dl, dikatakan toleransi
glukosa terganggu jika 140 - < 200 mg/dl, dikatakan menderita diabetes jika
memiliki kadar gula darah ≥ 200 mg/dl.
3. Patofisiologi
Diabetes merupakan suatu sindroma gangguan metabolisme dengan
hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin
atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya. Terdapat beberapa
jenis diabetes melitus (DM), diantaranya: diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus
tipe 2, diabetes gestasional dan diabetes melitus tipe lain serta Impaired Glukosa
Tolerance. Jenis diabetes yang paling sering ditemukan adalah diabetse tipe 1 dan 2.
Diabetes melitus tipe 1 dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada
pulau-pulau langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh.
Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel
ɑ pulau langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi
glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1, sekresi
glukagon, akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia, hal ini
memperparah kondisi hiperglikemia.
Pada DM tipe 2 masalah utama adalah berhubungan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin menunjukkan penurunan sensitifitas
jaringan pada insulin. Normalnya insulin mengikat reseptor khusus pada permukaan
sel dan mengawali rangkaian reaksi meliputi metabolisme glukosa. Pad DM tipe 2,
reaksi intraseluler dikurangi, sehingga menyebabkan efektivitas insulin menurun
dalam menstimulasi penyerapan glukosa oleh jaringan dan pada pengaturan
pembebasan oleh hati. Mekanisme pasti yang menjadi penyebab utama resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin pada DM tipe 2 tidak diketahui, meskipun
faktor genetik berperan utama.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah penumpukan glukosa dalam
darah, peningkatan sejumlah insulin harus disekresi dalam mengatur kadar glukosa
darah dalam batas normal atau sedikit lebih tinggi kadarnya. Namun, jika sel beta
tidak dapat menjaga dengan meningkatnya kebutuhan insulin, mengakibatkan kadar
glukosa meningkat, dan DM tipe 2 berkembang.
4. Manifestasi Klinis
Tiga serangkai klasik merupakan efek langsung dari kadar gula darah tinggi,
seperti poliuria, polidipsi, dan polifagi. Selain trias klasik, terdapat gejala lain
menurut (Tarwoto & dkk, 2012) beberapa manifestasi klinis yang terjadi pada
pasien DM yaitu:
a) Penurunan berat badan yang disebabkan karena banyaknya kehilangan cairan,
glikogen dan cadangan trigliserida serta massa otot.
b) Kelainan pada mata atau penglihatan kabur. Pada kondisi kronis, keadaan
hiperglikemia mnyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler
tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta kekeruhan
pada lensa
c) Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina. Peningkatan
glukosa darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga menjadi
gatal. Jamur dan bakteri mudah menyerang kulit
d) Ketonuria. Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, maka digunakan
asam lemak untuk energi, asam lemak akan dipecah menjadi keton yang
kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui ginjal
e) Kelemahan dan keletihan. Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel,
kehilangan potassium menjadi akibat pasien mudah lelah dan letih.
Adapun gejala – gejala yang tidak khas menurut Hans Tandra (2008) adalah:
rasa seperti flu, kelemahan, pandangan kabur, luka yang sukar sembuh, rasa
kesemutan, gusi merah dan bengkak, kulit kering dan gatal, mudah terkena infeksi,
infeksi dan gatal pada kemaluan, impotensi pada pria. (Hans, 2008)
5. Klasifikasi
Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert
Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus, menjabarkan 4
kategori utama diabetes didalam (Corwin, 2009), yaitu :
a. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus
tergantung insulin (DMTI). Lima persen sampai sepuluh persen penderita
diabetik adalah tipe I. Sel-sel beta dari pankreas yang normalnya
menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan
suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Awitannya mendadak
biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.
b. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI) Sembilan puluh persen sampai
95% penderita diabetik adalah tipe II. Kondisi ini diakibatkan oleh
penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin) atau akibat
penurunan jumlah pembentukan insulin. Pengobatan pertama adalah dengan
diit dan olah raga, jika kenaikan kadar glukosa darah menetap, suplemen
dengan preparat hipoglikemik (suntikan insulin dibutuhkan, jika preparat
oral tidak dapat mengontrol hiperglikemia). Terjadi paling sering pada
mereka yang berusia lebih dari 30 tahun dan pada mereka yang obesitas.
c. DM tipe lain Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma
pankreatik), obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit
dengan karakteristik gangguan endokrin.
d. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM) Diabetes yang
terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes.

6. Pertimbangan Anestesi
a) Preoperative
Kadar Hemoglobin A1c dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
mempunyai resiko besar terjadi hyperglycemia perioperative dan oleh karena itu
peningkatan komplikasi dan hasil yang buruk. Morbiditas Perioperative pada pasien
DM dihubungkan dengan preoperative kerusakan dari end-organ, walaupun
sepertiga sampai setengah pada pasien DM type II mungkin tidak acuh bahwa
mereka mempunyai itu. Paru-paru, Kardiovaskular, dan sistem renal memerlukan
penilaian yang ketat. Suatu Rongent thorak preoperative pada penderita DM lebih
mungkin terjadi pembesaran jantungkongesti pembuluh darah paru, atau efusi
pleura. EKG
preoperatif pada pasien DM juga terjadi peningkatan insiden abnormalitas dari
segment ST dan segmen gelombang T. Myocardial ischemia mungkin jelas terihat
pada EKG di samping riwayat yang tidak ada/negatif (silent myocardial ischemia
dan infark).
Pasien DM dengan hipertensi, 50% nya menderita neuropathy otonom diabetik.
Refleksi gangguan fungsi sisten saraf otonom meningkat sejalan dengan
peningkatan usia, DM lebih dari 10 tahun, CAD, atau blokade β-adrenergic.
Neuropathy Otonomi pada penderita DM dapat membatasi kemampuan kerja
jantung untuk melakukan kompensasi terhadap perubahan volume intravaskuler dan
dapat mempengaruhi ketidak stabilan kardiovaskuler (seperti pada hipotensi
postinduksi) dan bahkan kematian berhubungan dengan kematian jantung yang
mendadak, insidennya mungkin meningkat dengan penggunaan
angiotensinconverting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers. Lebih
lanjut, gangguan fungsi otonomik berperan terhadap perlambatan pengosongan
lambung (gastroparesis). Premedikasi dengan suatu antacid dan metoclopramide
akan sangat bijaksana pada pasien DM yang gemuk dengan tanda dari disfungsi
otonom jantung. Bagaimanapun, disfungsi otonom dapat mempengaruhi tractus
gastrointestinal tanpa tanda tanda-tanda keterlibatan jantung.
Gangguan ginjal dimanifestasikan dengan proteinuria dan kemudian
peningkatan kreatinin serum. Dengan kriteria ini, pasien DM tipe I paling sering
mengalami gangguan ginjal pada usia 30 tahunan. Karena tingginya kejadian infeksi
yang dihubungkan dengan system kekebalan, perhatian yang tegas pada tehnik
aseptic harus dilakukan pada pemasangan semua kateter intravena dan monitoring
invasive. Hiperglikemi kronik dapat memicu terjadinya glikosilasi / glycosylation
pada protein jaringan dan sindrom keterbatasan pergerakan sendi / limited-mobility
joint syndrome. Pada preoperative, pasien DM harus selalu di evaluasi secara rutin
terhadap kemampuan pergerakan dari sendi temporomandibular dan tulang leher
untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi, dimana kejadian ini terjadi
sekitar 30% pada penderita DM tipe I.

b) Intraoperatif
Tujuan utama dari manajemen gula darah intraoperatif adalah menghindari
terjadinya hipoglikemi. Walaupun mencoba untuk mempertahankan kondisi
euglikemi adalah hal yang kurang hati-hati, tidak dapat diterimanya hilangnya gula
darah kontrol (>180mg/dL) juga membawa suatu resiko. Hiperglikemi telh
dihubungkan dengan keadaan hiperosmolaritas, infeksi/peradangan dan luka yang
sulit sembuh. Yang lebih penting, ia dapat memperburuk neurologis setelah suatu
episoda iskemik serebral dan hasil setelah tindakan bedah jantung atau setelah akut
miokard infark.
Kecuali hiperglikemi diobati secara agresif pada DM tipe, kontrol hasil
metabolik, terutama yang berhubungan dengan pembedahan besar atau sepsis.
Pengawasan yang ketat bermanfaat pada pasien yang akan menjalani pembedahan
kardio pulmonary bypass dengan memperbaiki kontraktilias dan pemisahan dang
dengan menurunnya infeksi dan komplikasi neurologis. Kontrol ketat pada pasien
hamil dengan DM telah memperlihatkan perbaikan hasil pada bayi. Meskipun
demikian, seperti dicatat sebelumnya, bahwa ketergantungan otak terhadap glukosa
sebagai sumber energi yang membuat hal ini menjadi penting, sehingga terjadinya
hipoglikemi harus dihindari.
Adanya beberapa regimen pada manajemen perioperatif untuk pasien DM. Yang
paling sering, pasien menerima suatu fraksi (biasanya setengah) dari total dosis
insulin dosis pada bentuk insulin kerja intermediate. Untuk menurunkan resiko
terjadinya hipoglikemi, insulin diberikan setelah akses vena terpasang dan diperiksa
kadar gula darah pagi hari. Sebagai contoh, seorang pasien yang normal
mendapatkan Insulin NPH (neutral protamine Hagedorn; intermediate-acting) dosis
30 U dan 10 U dari regular atau insulin Lispro (short-acting) atau analog insulin
setiap pagi dan setiap yang gula darahnya kurang 150mg/dL mendapatkan 15 U
(setengah dari 30, setengah dari dosis normal pagi hari) dari NPH secara subkutan
atau IM sebelum pembedahan bersama dengan infus dekstrosa 5% (1,5 mL/kg/jam).
Penyerapan insulin subkutan atau IM tergantung dari pada aliran darah dijaringan,
bagaimanapun, dan selama pembedahan dapat tidak diramalkan. Penggunaan dari
jalur intravena dengan jarum infus yang kecil untuk pemberian cairan dextrose guna
mencegah terjadinya pengaruh dengan cairan intraoperatif dan obat yang lain.
Tambahan dekstrosa dapat diberikan jika pasien menjadi hipglikemi ( < 100
mg/dL ). Tetapi, hiperglikemi intraoperatif ( > 150-180 mg/dL ) diterapi dengan
cairan insuliln reguler IV sesuai dengan skala yang ada. Satu unit insulin regular
yang diberikan pada dewasa biasanya kadar glukosa lebih rendah pada 25 – 30
mg/dL. Ini harus ditekankan bahwa dosis-dosis ini adalah perkiraan dan tidak
berlaku bagi pasien dalam keadaan Katabolic ( misalnya, sepsis, hyperthermia).
Target umum untuk mempertahankan gula darah intraoperatif adalah 120 – 150
mg/dL. Walau beberapa telah diatas target dari 120 mg/dL. Kontrol yang ketat
dengan tehnik intravena
kontinous mungkin lebih tepat untuk DM type I. Penambahan 20mEg KCl pada
setiap 1 liter cairan harus lebih diperhatikan, insulin menyebabkan potassium
(Kalium) pindah ke intraseluler. Efek dari penyerapan insulin oleh spuit intravena
dapat diminimalkan dengan flushing jalur sebelum dimulainya infuse. Beberapa
anestesi juga menyarankan penempatan infuse insulin pada botol gelas untuk
meminimalkan penyerapan oleh plastic intravenous bag. Karena kebutuhan insulin
setiap individu sangat bervariasi sekali, banyak formula yang harus diperhatikan
hanya sebagai guidline saja.
Jika pasien pada preoperatif sedang meminum obat hipoglicemik oral sebagai
pengganti insulin, obat dapat dilanjutkan sampai hari akan dioperasi, tetapi pada
sulfonylureas dan metformin harus dihentikan 24 – 48 jam sebelum operasi karena
mereka mempunyai half life / masa paruh yang panjang. Mereka dapat dimulai lagi
postoperatif ketika pasien sudah dapat minum per oral. Metformin dimulai jika
fungsi renal dan hepar tetap adekuat. Karena aksi kerja yang lama, suatu infus
glukosa dimulai dan gula darah terus dimonitor sebagai insulin dengan kerja yang
intermediat telah diberikan. Efek obat oral hipoglikemi dengan lama kerja yang
singkat dapat memanjang pada gangguan ginjal. Banyak pasien-pasien ini
memerlukan insulin dari luar selama masa intraoperatif dan postoperatif. Hal ini
disebabkan oleh stress menghadapi pembedahan yang menyebabkan peningkatan
dalam counterregulatory hormon (seperti, catecholamines, glucocorticoids, growth
hormone) dan mediator inflasi seperti faktor nekrosis tumor dan interleukin. Setiap
penambahan ini menjadi stress hiperglikemi, dengan peningkatan kebutuhan insulin.
Namun, beberapa DM tipe II akan bertoleransi kecil, prosedur pembedahan yang
ringan tanpa memerlukan insulin dari luar.

c) Post-operative
Pemantauan yang ketat pada pasien DM terhadap kadar gula darahnya harus
tetap diperiksa postoperatif secara terus-menerus. Satu alasan untuk hal ini adalah
variasi individu pada onset dan lama nya kerja dari preparat insulin. Untuk
contohnya, onset kerja dari insulin reguler mungkin kurang dari 1 jam, tetapi lama
kerjanya lebih dari 6 jam. Insulin NPH mempunyai ciri pada onset kerja kurang dari
2 jam, tetapi kerjanya dapat lebih lama dari 24 jam. Alasan lain pemantauan yang
ketat adalah progresivitas dari stress hiperglikemi dalam masa recovery. Jika
volume laktatnya besar, terkandung pada IVFD yang diberikan intraoperatif,
kadar gula cenderung
meningkat 24 – 48 jam post operatif dimana hepar merubah laktat menjadi glukosa.
Pasien DM rawat jalan mungkin diperlukan izin untuk dirawat semalam jika mual
dan muntahnya tetap ada yang berasal dari gastroparesis mencegah intake oral.

D. General Anestesi
General Anestesi atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa
nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali
(reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan
relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya
akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya
rasa sakit, dan sebagainya.
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk
menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya
adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan
yaitu keadaan penderita, sifat anestesia, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta
obat yang tersedia. Sifat anestesia yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung,
tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup
baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang
luas.
1. Macam-macam Teknik General Anestesi
a) Open drop method
Cara ini dapat digunakan untuk anestesi yang menguap, peralatan sangat sederhana
dan tidak mahal. Zat anesteti diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan
hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya
boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
b) Semi open drop method
Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik
digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga
dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang
tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
c) Semi closed method
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya
kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan.
Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya
anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan
hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100%
kebutuhan.
d) Closed method
Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan melalui soda
lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat
digunakan lagi. Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani
operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance, dan lain-lain.
2. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada
pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak
harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra
anestesi adalah:
a) Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal.
b) Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik
dan kehendak pasien.
c) Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology)
 ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
 ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
 ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas.
Angka mortalitas 38%.
 ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap.
Angka mortalitas 68%.
 ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada
harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
 ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
a. Pemeriksaan praoperasi anestesi 7,8
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,
dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
II. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:

i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior


oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla

pharingeal

ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding


posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,atau
tanda regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
 Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG
 Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
b. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :1,2
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron

f. memperlancar induksi, misal : pethidin


g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan2.
c. Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi 1,2,3 :

 Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini
telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat
onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi
pernapasanresidual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi
dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian
dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya
kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan
toleransi akut. Maka dari itu, dosis
fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai
premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi
maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif3. Sebagai
analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek depresi
nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan
analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak
bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu
suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV.
Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik,
yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di
striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan
hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia
pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol1. Fentanyl dan
droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol)
diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan
dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang
disedut sebagai neurolepanestesia1,2.
d. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi :

 Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obatdalam
air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik2,3.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O
dan/atau anestetik inhalasi lain1,3.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira
30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat
daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin
sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi
dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada
aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol
dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja
lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini


didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik1.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi


pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)1,3.
e. Pemeliharaan
 Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N 2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50% 2.3.
f. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme
kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat
secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi
otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali1,2.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
 Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan
dengan obat terdahulu antara lain adalah :
 Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui
suatureaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini
tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
 Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
 Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah
2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35
menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah
lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberianantikolinesterase.
Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik
atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yangberat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50
mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/

iv

g. Intubasi Nasal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
Intubasi trakea bertujuan untuk :1
 Mempermudah pemberian anestesi.
 Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
 Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
 Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
 Pemakaian ventilasi yang lama.
 Mengatasi obstruksi laring akut.
h. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk1.
 Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
 Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-
lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang = 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
i. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya2.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk
anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Stewardmula-
mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage1,6.
Tabel 1. Aldrete Scoring System

No Kriteri Sko
. a r
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 2
motorik ekstremitas atasperintah atau secara
1
sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
0
atas perintahatau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan
ekstremitas atas
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% 1
dari semula
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.
BAB III
ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI

A. PENGKAJIAN
Hari / tanggal : Senin, 22 November 2021
Jam : 14.30 WIB
Tempat : Ruang Anggrek RSUD Cilacap
Metode : Studi dokumen
Sumber data : Perawat Ruang Anggrek dan Rekam medik pasien
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. J
Umur : 52 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Jl. Tirto Mulyo RT 2/9 Mertasinga, Cilacap
Utara, Cilacap
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswsta
Diagnosis Medis : Polip Nasi
Rencana Tindakan : Polipektomi
Dokter Bedah : dr. Sugeng Santosa, Sp. THT-KL
Dokter Anestesi : dr. Nugroho Wicaksono, Sp.An,M.Kes
No. Rekam Medis : 0009****
2. Identitas Penanggung jawab
Nama : Ny. J
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Wiraswasta
Hubungan dengan klien : Anak
3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Pasien mengeluhkan hidung tersumbat
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien menyatakan hidung tersumbat sudah dialami kurang lebih 6
bulan terakhir
c. Riwayat Penyakit dahulu
- Apakah pernah menderita (diabetes melitus, hipertensi,
kardiovaskuler, perdarahan tidak normal, asma, anemia, pingsan,
mengorok)
- Diabetes melitus
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit sistemik (diabetes melitus, hipertensi,
kardiovaskuler, perdarahan tidak normal, asma)
Tidak ada
e. Riwayat Alergi
Tidak ada

4. Pengkajian Data Dasar


a. Udara atau oksigenasi
1) Gangguan pernafasan : tidak ada gangguan pernapasan
2) Alat bantu pernafasan : tidak ada
3) Sirkulasi udara : baik
4) Letak tempat tinggal : rendah
b. Air
1) Sebelum sakit :
a) Konsumsi air : secukupnya
b) Kondisi air : bersih
c) Skala mandi : 2x/hari
2) Saat sakit :
Minum air
a) Frekuensi : secukupnya
b) Jenis :-
c) Cara : oral
d) Keluhan :-
c. Nutrisi/ makanan
1) Sebelum sakit :
a) Frekuensi : sedang
b) Jenis : nasi beserta lauk pauk
c) Porsi : sedang
d) Diet khusus :-
e) Makanan yang disukai : sup ayam
f) Pantangan :-
g) Napsu makan : baik
2) Saat sakit :
a) Frekuensi : kurang
b) Jenis : bubur
c) Porsi : sedikit
d) Diet khusus :-
e) Makanan yang disukai : sup ayam
f) Pantangan :-
g) Napsu makan : berkurang
d. Eliminasi
1) BAB
a) Sebelum sakit
 Frekuensi : 1-2 kali/hari
 Konsistensi : Lunak
 Warna : Coklat
 Bau : khas
 Cara : mandiri
 Keluhan : Tidak ada
b) Saat Sakit
 Frekuensi : 1-2 kali/hari
 Konsistensi : Keras
 Warna : Coklat
 Bau : Tidak sedap
 Cara : mandiri
 Keluhan : Tidak ada
2) BAK
a) Sebelum sakit
 Frekuensi : 6-8 kali/hari
 Konsistensi : Cair
 Warna : Kuning
 Bau : Khas
 Cara : mandiri
 Keluhan : Tidak ada
b) Saat sakit
 Frekuensi : 10-12 kali/hari
 Konsistensi : Cair
 Warna : Kuning
 Bau : Khas
 Cara : Mandiri
 Keluhan : Tidak ada
e. Pola aktivitas dan istirahat
1) Aktivitas
Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4

Makan dan minum *

Mandi *

Toileting *

Berpakaian *
Berpindah *

0: mandiri, 1: Alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu


orang lain dan
alat, 4: tergantung total
2) Istirahat Dan Tidur
a) Sebelum sakit
 Apakah frekuensi waktu anda beraktivitas lebih banyak dari
pada waktu anda beristirahat?Tidak
 Apakah anda pernah mengalami insomnia?Tidak
 Berapa jam anda tidur: malam 8 jam, siang tidak tidur
b) Saat sakit
 Apakah anda pernah mengalami insomnia?Iya
 Berapa jam anda tidur: malam 4 jam, siang tidak tidur

f. Interaksi social
1) Kegiatan Lingkungan :pasien aktif dalam kegiatan
sosial
2) Interaksi Sosial :Baik
3) Keterlibatan Kegiatan Sosial :Baik
g. Pemeliharaan kesehatan
1) Kebersihan kamar mandi :Baik
2) Konsumsi vitamin : tidak konsumsi
3) Imunisasi :-
4) Olahraga : Tidak rutin
5) Upaya keharmonisan keluarga :Ada
6) Sters dan adaptasi : Kurang
h. Kesejahteraan dan peningkatan fungsi manusia
Hubungan dengan lingkungan masyarakat, keluarga, kelompok,
teman: kurang baik
5. Pemeriksaan Fisik
a. Antropometri
Berat Badan : 50 Kg
Tinggi Badan : 150 cm
Indeks Massa Tubuh (IMT) : 22.22 kg/m2
b. Status Generalis
1) Kepala : bentuk mesocepal, tidak ada benjolan
2) Mata : konjungtiva anemis
3) Telinga : pendengaran baik, tidak terdapat serumen, tidak
ada kelainan bentuk
4) Hidung : tidak ada sekret
5) Mulut : tidak memakai gigi palsu, tidak ada gigi goyang,
tidak memakai kawat gigi, gigi ompong, malampati II, dapat
membuka mulut, tidak ada pembesaran tonsil
6) Wajah : tidak ada lesi, nasal canul (+)
7) Leher : gerak leher bebas, tidak terdapat peningkatan vena
jugularis, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
8) Kulit : turgor baik (2 detik)
9) Thoraks
(a) Paru-Paru
Inspeksi : pengembangan paru kanan dan kiri sama
Palpasi : Fremitus raba kanan kiri sama
Perkusi : Sonor
Auskultasi: Suara napas vesicular +/+, wheezing -/-, ronckhi -
/-
(b) Jantung
Inspeksi : tidak ada kelainan
Palpasi : tidak ada kelainan
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, mur-
mur (-)
10) Abdomen
Inspeksi : tidak ada benjolan, lesi, bentuk cembung
Auskultasi : 27 x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan perut
11) Genitalia : terpasang DC
12) Ekstremitas
(a) Atas
- Tidak ada edema
- RL 1kolf
- Intubasi ET no 7
(b) Bawah
Tidak ada edema
c. Pengkajian B1-B6
B1 : Breath (Sistem Tidak ada sesak nafas, RR 20x/menit,
Respirasi) menggunakan otot bantu nafas tampak
mengangkat saat inspirasi. Tidak adanya
pembesaran tonsi. (T1 = Normal). Wajah
tampak normal dan simetris, kemampuan
membuka mulut <3cm, didapatkan skor
mallampati 1.
B2 : Blood (Sistem Tekanan Darah : 131/80 mmHg, Nadi
Kardiovaskular) 81x/menit, Suhu 36,5oC.
B3 : Brain (sistem GCS E4V6M5, kesadaran composmentis.
neurologi / persepsi)
B4 : Bladder (Sistem BAK menggunakan kateter urin ukuran 16.
Urologi)
B5 : Bowel (Pencernaan Tidak adanya lesi pada mulut, terlihat
– Sistem adanya perubahan warna pada lidah
Gastrointestinal) menandakan adanya dehidrasi pada pasien,
terdengar bising usus 4x/menit
B6 : Bone (Sistem Warna kulit pucat, tidak ada lesi dan jejas
muskuloskeletal dan pada pasien. Suhu tubuh 36,5oC
integument)

d. Kebutuhan cairan
1) Perdarahan yang teradi ± 10 cc
EBV = 10 cc x 50 kg
= 500cc
Jadi perkiraan kehilangan darah = 50/500 x 100% = 1%

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Eritrosit (RBC) 1.94 juta/uL P: 3.6 ~ 5.8

Hemoglobin (HBG) 5.5 g/dL P: 12.0 ~ 16.0

Hematokrit (HCT) 16.4 % P: 35 ~ 47

Trombosit (PLT) 277000 /uL 150000 ~ 450000

Lekosit (WBC) 37700 /uL 4400 ~ 11300


PROFIL CT/BT

Masa Pembekuan/CT 11 menit 9 ~ 17

Masa pendarahan/BT 5 menit 1~7

KIMIA KLINIK

AST (SGOT) 45 U/L 37 C 14~36

ALT (SGPT) 18 U/L 37 C 9~52

Ureum 22.9 mg/dL 15~50

Keratinin 0.74 mg/dL 0.7~`1.2

Asam Urat 3.6 mg/dL 2.5~6.2

Gula Darah Sewaktu 276* mg/dL <140

Natrium (Na) 137 mEq/L 135-145

Kalium (K) 5.0 mEq/L 3.6-5.5

Klorida (Cl) 100 mEq/L 98~107

B. PERSIAPAN PENATALAKSANAAN ANESTESI


1. Kesimpulan Pra Anestesi
Status fisik ASA II
2. Rencana Anestesi
General anestesi dengan Endotracheal Tube (ETT)
a. Persiapan pasien
 Mengecek kelengkapan status Pasien
 Memposisikan pasien
 Mengukur tanda-tanda vital
 Mengklarifikasi riwayat asma, diabetes mellitus, hipertensi, dan
alergi
 Persiapan Mesin
 Mengecek sumber gas
 Mengecek isi volatil agent
 Mengecek kondisi absoben
 Melakukan kalibrasi mesin anestesi
b. Persiapan Alat
 S (Scope) : Laryngoscope dan stesoscope
 T (Tube) : Endotracheal Tube (ETT) No. 6,5; 7,0; 7,5
 A (Airway) : Oropharyngeal Airway, nasal kanul dewasa
 T (Tape) : Plester/hepafix ± 20 cm 2 lembar
 I (Introducer) : Mandril atau stilet
 C (Conector)
 S (Suction) : Mesin dan selang suction
 Spuit 3 ml, 5ml, 10ml, 20 ml
c. Persiapan Obat
1) Obat premedikasi
Antiemetik :
Ondansentron 4 mg (IV)
Analgetik Opiat :
Fentanyl 1ml
2) Obat Induksi
Midazolam 2,5cc
Propofol 11cc
Roculax 3cc
d. Persiapan Cairan
1) Cairan Kristaloid : Ringer Laktat, NaCl
2) Cairan Koloid : Terastrach
3) Cairan post op : RL (Drip Lactopain 30 mg, Norages
1 mg)
e. Persiapan Pasien
1) Pasien tiba di ruang penerimaan IBS RST dr. Soedjono pukul 09.30
WIB, mula Op pukul 09.45
2) Serah terima pasien dengan petugas ruangan, memeriksa status
pasien termasuk informed consent, dan obat-obatan yang telah
diberikan di ruang perawatan
3) Memindahkan pasien ke brankar IBS
4) Memeriksa kelancaran infus dan alat kesehatan yang terpasang pada
Pasien
5) Melaporkan kepada dokter anestesi hasil pemeriksaan di ruang
penerimaan dari kolaborasi dengan dokter anestesi pasien
dipindahkan ke meja operasi
f. Assesment Data Pre Anestesi
Assesement Data Pre Anestesi
Data Ketrangan
S Data Subjektif Pasien mengatakan terasa adanya
Riwayat penyakit sekarang : sumbatan hidung kurang lebih 6
bulan terakhir
Riwayat penyakit dahulu Keluarga pasien mengatakan
bahwa pasien memiliki Riwayat
Diabetes Melitus dan gula yang
tinggi
Riwayat penyakit keluarga -
Riwayat operasi -
Kebiasaan sehari-hari Dbn
Alergi -
Obat-obat yang dikonsumsi -
O Data Obyektif Tidak ada gigi palsu, gigi ompong
Kesimpulan pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang Dbn
A Assesement Status fisik ASA II
Malampati II
P Rencana Anestesi Umum, ETT No 7
Daftar Masalah Kecemasan
Perdarahan
Hipotensi
Penyerta Diabetes Melitus
Saran persiapan tindakan anestesi GA-ET
Rencana Analgesi post Anestesi Drip Tramadol

g. Pra Induksi
1) Vital Sign
TD : 135/80 mmHg
Nadi : 81 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
Skor Nyeri :8
SpO2 : 98%
2) Masalah saat evaluasi pra induksi
Lidah Jatuh
3) Perubahan rencana anestesi
Tidak ada
4) Persiapan darah di IBS
Tidak ada
5) Pre medikasi
Ondansentron 4 mg
C. PENGKAJIAN INTRA ANESTESI
1. Diagnosa pre operasi : Polip Nasi
2. Diagnosa post operasi : Polip Nasi
3. Tindakan operasi : Polipektomi
4. Pra induksi
TD : 135/80 mmHg
Nadi : 81 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
Kesadaran : Somnolen
SpO2 : 99%
ASA III
BB : 50 kg
Jantung : DBN
Paru : DBN
Lain-lain :-
Hb : 13,6
Posisi pasien : Supinasi
5. Premedikasi melalui IV : Ondansentron 4 mg
6. Mesin anestesi : Semi Closed methode
7. Oksigenasi : 3lt/menit, oksigen murni
8. Induksi : Fentanyl 0,5mg, Midazolam
2mg, Propofol 140mg, Roculax 20 mg
9. Maintenance : NaCl, Oksigen murni
3lt/menit, N20 2lt/menit
10. Mulai anestesi : 09.45
11. Selesai anestesi : 09.50
12. Cairan masuk : 1 kolf RL
13. Obat yang diberikan selama anestesi : Efedrin 5mg
Monitor hemodinamik intra anestesi
Waktu Nadi TD Saturasi Keterangan
(x/mnt) (mmHg) (%)

09.45 81 135/80 98 Awal masuk ke


ruang operasi

09.50 89 135/78 100 Persiapan


dilakukan induksi

09.55 80 130/70 100 Persiapan


dilakukan
pembedahan

10.00 73 129/69 99

10.05 76 110/62 100

10.10 74 100/60 100

10.15 77 92/59 98

10.30 76 87/51 99 Mulai Pembedahan

10.35 72 93/58 100

10.40 73 112/61 100

10.45 76 126/61 100

10.50 77 123/62 100 Akhir pembedahan

11.00 74 132/69 100 Pasien dibawa ke


ruang pemulihan
D. PENGKAJIAN POST ANESTESI
Masuk Recovery Room 10.00
Alderate score pasien setelah ekstubasi
No Kriteria Score
1 Warna Kulit : Normal 2
2 Aktifitas motorik : Gerak 4 anggota 2
tubuh
3 Pernafasan : Nafas dangkal dan 1
adekuat
4 Tekanan darah : 20-50 mmHg pre 1
operasi
5 Kesadaran : Sadar penuh mudah 2
dipanggil
Total score 8

TTV (sebelum transfer)


Suhu : 36,5 c
TD : 132/62
Nadi : 81 x/menit
RR : 18x/menit
SpO2 : 100%
E. ANALISA DATA
Analisis Data Pre Anestesi
No Data Masalah Intervensi
1. DS : Ansietas b/d kurang Setelah dilakukan
Menghadapi pengetahuan masalah tindakan keperawatan,
operasi pertama pembiusan/operasi cemas berkurang/hilang
kali dengan kriteria :
Belum mengetahu 1 pasien menyatakan tahu
tentang tentang proses kerja obat
pembiusan Pasie menyatakan siap
dilakukan pembiusan
DO : Pasien
TD : 140/80 mengkomunikasikan
RR : 20 x/menit perasaan negative secara
N : 88 x/menit tepat
Pasien tampak tenang
dan kooperatif
TTV normal

Analisis Data Durante Anestesi


No Data Masalah Intervensi
1. DS : Risiko kecelakaan Setelah dilakukan
Pasien merespon cedera b/d efek anestesi tindakan keperawatan,
jika diberi umum pasien aman setelah
rangsang nyeri pembiusan dengan
kriteria pasien membuat
DO : gerakan bertujuan, pasien
Pasien belum aman tidak jatuh, pasien
sadar penuh, nyaman, dan pasien
mampu berkomunikasi.
pasien bergerak
tak bertujuan
2. DS : Resiko gangguan Setelah dilakukan
Pasien keseimbangan cairan tindakan keperawatan,
mengatakan puasa dan elektrolit b/d keseimbangan cairan
sejak jam 00.00 vasodilatasi pembuluh dalam ruang intrasel dan
dini hari, pasien darah dampak obat ekstrasel tubuh tercukupi
mengatakan haus anestesi dengan kriteria
DO : Pasien mengatakan tidak
Bibir kering haus dan tidak lemas
Akral dingin Akral kulit hangat
Hemodinamik normal
Masukan cairan dan
keluaran cairan imbang
Urine output 1-2
cc/kg/BB/jam
Hasil lab elektrolit darah
normal
3. DS: Risiko aspirasi b/d Setelah dilakukan
- penurunan tingkat tindakan keperawatan,
DO: kesadaran tidak akan terjadi aspirasi
Terpasang ETT dengan kriteria tidak ada
Pasien tidak sadar muntah, nafas normal,
dan tidak ada suara paru
tambahan.
4. DS: Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan
- tidak efektif b/d mukus tindakan keperawatan,
DO: banyak, sekresi bersihan jalan nafas
Terdengar suara tertahan, bersihan jalan efektif dengan kriteria:
stridor pola nafas normal, suara
nafas efektif efek dari nafas bersih, dan jalan
general anestesi nafas efektif
5. DS: Risiko perdarahan pembedahanSetelah
- b.d. prosedur dilakukan tindakan
banyak keperawatan risiko
DO: perdarahan teratasi
Perdarahan 50 cc dengan kriteria:
Perdarahan tidak
bertambah

Analisis Data Pasca Anestesi


No Data Masalah Intervensi
1. DS: Risiko infeksi b.d Setelah di lakukan
- prosedur pembedahan tindakan keperawatan
pasien pasien tidak
DO: mengalami infeksi
Pada luka post selama perawatan
masih tampak perdarahan dan luka
merah operasi.
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda – tanda
infeksi, seperti : merah,
panas, bengkak, fungsio
laesa
2. DS: Risiko nyeri akut b/d Setelah dilakukan
Pasien mengeluh agen cedera fisik tindakan keperawatan,
agak nyeri di area nyeri berkurang atau
bekas operasi hilang dengan kriteria
pasien mampu
DO: beristirahat, ekspresi
Pasien terlihat wajah tenang, dan rasa
meringis dan nyeri hilang
mengeluh
Diagnosa
Tujuan Rencana Tindakan Implementasi Evaluasi
Keperawatan
PRE ANESTESI
Ansietas b.d. Setelah dilakukan a. Kaji tingkat kecemasan 1. Mengkaji tingkat S : Klien mengatakan sudah lebih
stressor operasi tindakan keperawatan kecemasan klien tenang
b. Ajarkan teknik
selama 1 jam, nyeri O:
relaksasi nafas dalam 2. Mengajarkan teknik
akut teratasi dengan - Klien dapat
relaksasi nafas
kriteria hasil: c. Anjurkan pasien melakukan nafas
dalam
a. Klien mengatakan untuk selalu berdoa dalam
perasan cemas 3. Menganjurkan pasien
- Klien tampak berdoa
berkurang. untuk selalu berdoa
dan menenangkan diri
b. Klien tampak rileks
dan tenang. A : Ansietas teratasi
P : Hentikan intervensi
INTRA ANESTESI
Resiko jatuh b/d Setelah di lakukan a. Pastikan pengaman a. Memastikan pengaman S: -
efek general tindakan keperawatan tempat tidur terpasang tempat tidur terpasang O:
anestesi pasien tidak mengalami b. Monitor keadaan pasien b. Memonitor keadaan - pasien tidak jatuh
kejadian jatuh dengan c. Tunggui pasien di RR pasien - pasien tidak mengalami cidera
kriteria: c. menunggui pasien A: resiko jatuh tidak terjadi
a. Pasien tidak jatuh selama di RR P: monitor kondisi pasien
dari tempat tidur

Risiko aspirasi Setelah dilakukan a. Mengkaji risiko aspirasi S:-


b.d. sekresi tindakan keperawatan a. Kaji risiko aspirasi b. Mengkaji tingkat O: Jalan nafas paten
akibat risiko aspirasi teratasi b. Kaji tingkat kesadaran kesadaran A: Risiko aspirasi teratasi
pemasangan ET dengan kriteria: c. Lakukan sunction c. Melakukan sunction Sebagian
a. Mampu bertoleransi P: monitor vital sign pasien setiap 5
terhadap sekresi tanpa menit
aspirasi
b. Jalan nafas paten
Risiko perdarahan Setelah dilakukan a. Monitor hemodinamik a. Memonitor S:-
b.d. prosedur tindakan keperawatan hemodinamik O : Perdarahan 50 cc
b. Monitor jumlah
pembedahan risiko perdarahan A : Risiko perdarahan teratasi
perdarahan b. Memonitor jumlah
teratasi dengan kriteria: sebagian
Perdarahan tidak Perdarahan P : Monitor hemodinamik dan
bertambah banyak cairan

Resiko Setelah dilakukan a. Kaji tingkat kekurangan a. Mengkaji tingkat S:-


gangguan tindakan keperawatan, volume cairan kekurangan volume O : Perdarahan 50 cc, puasa 8 jam
keseimbangan keseimbangan cairan cairan A : Risiko gangguan
b.Kolaborasi pemberian
cairan dan dalam ruang intrasel keseimbangan cairan dan
cairan dan elektrolit b. Melakukan kolaborasi
elektrolit b/d dan ekstrasel tubuh elektrolit teratasi sebagian
pemberian cairan dan
vasodilatasi tercukupi dengan c. Monitor hemodinamik P : Monitor hemodinamik dan
elektrolit
pembuluh darah kriteria akral kulit cairan serta perdarahan
d.Monitor perdarahan
dampak obat hangat, hemodinamik c. Memonitoring
anestesi normal, masukan hemodinamik
cairan dan keluaran
d. Monitoring perdarahan
cairan imbang
Bersihan jalan Setelah dilakukan a. Bersihkan sekresi a. Membersihkan sekresi S:-
nafas tidak tindakan keperawatan, O : Terdengar suara stridor
b.Lakukan sunction b. Melakukan sunction
efektif b/d bersihan jalan nafas A : Bersihan jalan nafas teratasi
mukus banyak, efektif dengan kriteria: sebagian
sekresi tertahan, pola nafas normal, P : Monitoring status oksigenasi
bersihan jalan suara nafas bersih, dan
nafas efektif jalan nafas efektif
efek dari general
anestesi
POST ANESTESI
Risiko infeksi b.d Setelah di lakukan tindakan a. Kaji kondisi a. Mengkaji kondisi S=-
prosedur keperawatan pasien pasien keluaran/dischart yang keluaran/dischart yang O = Pada luka post masih tampak
pembedahan tidak mengalami infeksi keluar ; jumlah, warna, dan keluar ; jumlah, warna, dan merah
selama perawatan bau dari luka operasi. bau dari luka operasi. A = Masalah resiko infeksi teratasi
perdarahan dan luka b. Lakukan perawatan luka b. Melakukan perawatan luka sebagian
operasi. c. Terangkan pada klien cara c. Berkolaborasi dengan P=
Kriteria Hasil : mengidentifikasi tanda dokter dalam pemberian a. Kaji pengeluaran pada luka
Tidak ada tanda – tanda inveksiobat therapy b. Kolaborasi dengan dokter dalam
infeksi, seperti : merah, d. Kolaborasi dengan dokter pemberian therapy obat
panas, bengkak, fungsio dalam pemberian therapy
laesa
Nyeri b.d agen Klien dapat beradaptasi a. Kaji intensitas, b. Mengkaji intensitas, S = klien mengatakan nyeri sudah
cedera biologis dengan nyeri yang dialami karakteristik, dan derajat karakteristik, dan derajat tidak ada
Kriteria Hasil : nyeri nyeri O = klien tampak tenang
a. Mengungkapkan nyeri b. Pertahankan tirah baring c. Mempertahankan tirah A = masalah nyeri teratasi
dan tegang di perutnya selama masa akut. baring selama masa akut. P = intervensi dihentikan
berkurang c. Terangkan nyeri yang d. Menerangkan nyeri yang
b. Dapat melakukan diderita klien dan diderita klien dan
tindakan untuk penyebabnya. penyebabnya.
mengurangi nyeri d. Ajarkan teknik distraksi e. Mengajarkan teknik
c. Kooperatif dengan e. Berkolaborasi pemberian distraksi
tindakan yang therapy obat f. Berkolaborasi pemberian
dilakukan therapy obat
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, penyusun dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Setelah melakukan pengkajian terhadap keluarga Ny. J, penyusun memperoleh
hasil atau data yang mengarah pada masalah Ny. Ns dengan diagnosa Atonia Uteri
dengan permasalahan perdarahan. Hal tersebut menyebabkan dilakukan general
anestesi dengan teknik Endotracheal Tube (ETT) serta memperhatikan teknik RSI
karena pasien dilakukan tindakan pembedahan emergency tanpa adanya persiapan
puasa.
2. Diagnosis keperawatan anestesi yang ditemukan pada Ny. J yang menderita
cholelithiasis adalah sebagai berikut:
a. Kecemasan
b. Risiko aspirasi b.d penurunan tingkat kesadaran
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d efek agen farmakologis anestesi
d. Risiko infeksi dan pendarahan b.d pembedahan
e. Nyeri akut b.d pencedera fisik (prosedur operasi)

B. Saran
1. Dalam upaya peningkatan pasien dan keluarga pemberian informasi melalui
penyuluhan sangat diperlukan.
2. Kepada perawat anestesi dalam mengkaji asuhan keperawatan anestesi harus
dilakukan secara sistematis dan komprehensif untuk memperoleh data yang
akurat untuk menegakkan asuhan keperawatan anestesi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo E, Wardani RS. Polip Nasi. Dalam: Soepardi E, Iskandar N,
Bashirudin J, Restuti RD. (Eds).Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FK UI. 2007.
2. PERHATI-KL. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung dan Sinus
Paranasal (Dewasa). Dalam: Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia: 25.
2007.
3. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi E,
Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. (Eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FK UI. 2007.
4. Netter Frank H. Atlas of Human Anatomy. 5th Edition. Philadelphia. Elsevier.
2010.

5. Hilger PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: Boies. Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
1997:173- 88.
6. Dhingra PL. Disease of Ear Nose and Throat. 4th Edition. New Delhi:
Elsevier, Inc, 2007. pp 129-34.
7. Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta:
Indeks. 2010

Anda mungkin juga menyukai