Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH DIAGNOSIS TINGKAT KETAHANAN PANGAN

WILAYAH DAN RUMAH TANGGA II

KELOMPOK 6

AGUNG SETIAWAN PRATAMA ( P10119165)

ASSYIFAH RAHMATIKA (P10120036)

NOVIYANTI (P10120144)

NURAINI (P10120186)

NI PUTU PUSPITA DEWI (P10120234)

RANI AFRIANDINI (P10120258)

NAZWA AMALIYAH (P10120294)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TADULAKO

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok yang diberikan oleh dosen mata kuliah Ketahanan dan
Keamanan Pangan yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan makalah
dengan judul “DIAGNOSIS TINGKAT KETAHANAN PANGAN WILAYAH
DAN RUMAH TANGGA II”. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Kami menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan


makalah ini. Dikarenakan terbatatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki. Karena itu, kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari para
pembaca yang membangun untuk melengkapi segala kekurangan dan kesesalahan
dalam makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca.

Palu, 28 Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3


BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................ 6
BAB II ..................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN.................................................................................................. 7
2.1 Indikator Ketahanan Pangan ...................................................................... 7
2.2 Pengukuran Ketahanan Pangan ............................................................... 11
2.3 Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi .................................................... 16
2.3 Dietary Diversity Score ........................................................................... 19
BAB III.................................................................................................................. 21
PENUTUP ......................................................................................................... 21
Kesimpulan .................................................................................................... 21
Saran .............................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar dan terpenting bagi
manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi manusia, tidak
dapat ditunda dan juga tidak dapat disubsitusikan dengan bahan lain. Pangan
juga merupakan komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia
yang berkualitas serta sebagai pilar untuk pembangunan nasional yang
berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik suatu negara
yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh negara dan masyarakatnya.
Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.
Pemenuhannya pun telah dijamin oleh Negara. Berdasarkan Undang-Undang
No 18 tahun 2012, yang dimaksud dengan ketahanan pangan adalah “ kondisi
terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, produktif secara berkelanjutan”. Dengan demikian suatu wilayah
dikatakan berhasil dalam pembangunan ketahanan pangan jika adanya
peningkatan produksi pangan, distribusi pangan yang lancar serta konsumsi
pangan yang aman dan berkecukupan gizi pada seluruh masyarakat
(Rahmawati, 2012).
Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting sebagai indikator
keberhasilan peningkatan ketahanan pangan, yaitu : 1) Ketersediaan Pangan
(Food Availability), yang berarti, pangan tersedia cukup untuk memenuhi
kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman; 2)
Akses Pangan/Distribusi (Food Access), pasokan pangan dapat menjangkau
keseluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga;
dan 3) Penyerapan Pangan /konsumsi (Food Utilization), yaitu setiap rumah
tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola
konsumsinya sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan serta preferensinya
(Saragih, 2010).
Kerawanan pangan terjadi karena kurangnya ketersediaan pangan yang
berhubungan dengan kapasitas produksi pada suatu daearah, sulit
didistribusikan dengan harga yang terjangkau sehingga pangan tidak akan
merata diakses oleh keluarga, aspek distribusi yaitu masalah infrastruktur
transportasi yang kurang baik terutama untuk menjangkau kedaerah-daerah
pelosok, rendahnya daya beli masyarakat untuk memenuhi konsumsi yang
memenuhi syarat gizi seperti energi dan protein, akses terhadap pangan yang
ditentukan oleh pendapatan masyarakat, peningkatan pendapatan petani akan
meningkatkan daya beli pangan dan non pangan, serta pendidikan khususnya
bagi anak-anak perempuan karena anak perempuan nantinya akan menjadi
seorang ibu yang bisa lebih baik dalam mengatur gizi keluarganya dan
selanjutnya adalah adanya koordinasi kebijakan dan implementasi sektoral
dan vertikal (Saragih, 2010).
Fokus dari ketahanan pangan ini tidak hanya penyediaan pangan tingkat
wilayah akan tetapi termasuk tingkat rumah tangga dan individu. Untuk itu
supaya tercapainya ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga,
maka ketahanan pangan harus : 1) memperhatikan dimensi waktu, yaitu
pangan tersedia dan dapat diakses setiap saat; 2) menekankan pada akses
pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial; 3)
berorientasi pada pemenuhan gizi. Dengan demikian, ketersediaan pangan
bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan
pada suatu daerah, melainkan ada faktor-faktor lain yang menentukan
tercapaianya suatu ketahanan pangan.
Ketahanan pangan setidaknya mengandung dua unsur pokok, yaitu
ketersediaan pangan yang cukup serta adanya akses masyarakat terhadap
pangan yang mudah dan memadai. Sedangkan sistem ketahanan pangan
terdiri dari tiga subsistem utama yaitu ketersediaan, akses dan penyerapan
pangan atau pemanfaatan pangan (Hanani, 2009). Ketersediaan pangan harus
mampu mencukupi kebutuhan pangan seseorang yang didefenisikan sebagai
jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan seseorang yang aktif dan
sehat (Suryana, 2003). Sedangkan akses pangan adalah kemampuan semua
rumah tangga dan individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk
memproleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja penjelasan indikator ketahanan pangan?
2. Bagaimana pengukuran ketahanan pangan?
3. Apa saja sistem kewaspadaan pangan dan gizi?
4. Apa itu Dietary Diversity Score?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan tentang indikator ketahanan pangan
2. Menjelakan bagaimana pengukuran ketahanan pangan
3. Menjelaskan apa saja sistem kewaspadaan pangan dan gizi
4. Menjelaskan apa itu Dietary Diversity Score
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Indikator Ketahanan Pangan

Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan mendefinisikan


tentang pengertian ketahanan pangan yaitu terpenuhinya pangan bagi negara
sampai dengan perorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup
baik jumlah maupun mutunya aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau
serta tidak bertentangan dengan agama keyakinan dan budaya masyarakat untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Definisi ketahanan
pangan menurut undang-undang tersebut sudah selangkah lebih maju karena
mendefinisikan ketahanan pangan tidak sebatas pada level rumah tangga, akan
tetapi pada individu titik ketahanan pangan telah menjadi isu sentral dalam
kerangka pembangunan pertanian dan pembangunan nasional, ditunjukkan antara
lain dengan dijadikannya isu ketahanan pangan sebagai salah satu fokus kebijakan
operasional pembangunan pertanian dalam kabinet persatuan nasional (1999-
2004) di samping fokus lainnya (Handewi PS Rahman, dkk, 2002).

Dalam mewujudkan ketahanan pangan suatu wilayah menurut Suryana


2003 harus memenuhi persyaratan berikut:

1. Terpenuhinya pangan yang cukup diartikan ketersediaan pangan dalam arti


luas bukan hanya beras tetapi mencakup pangan yang berasal dari
tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat
protein lemak vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan
kesehatan manusia.
2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman diartikan bebas dari
pencemaran biologis kimia dan zat lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah
agama.
3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan
harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. Artinya dalam
hal ini masyarakat memiliki akses dalam memperoleh pangan.
4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah
diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Provinsi Banten memiliki karakteristik yang strategis karena sebagian


wilayahnya merupakan daerah penyangga ibukota dan juga merupakan pintu
masuk dan keluar ke wilayah Sumatera. Sebagai wilayah, Banten terhitung kecil
dan masih berusia muda. Namun, dengan adanya era desentralisasi yang dimulai
sejak tahun 1999 dan terbitnya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang
otonomi daerah yang selanjutnya disempurnakan dengan undang-undang no 32
tahun 2004. Adanya perubahan kebijakan dari sentralistik menjadi desentralistik
ini menjadi harapan baru untuk mengubah kondisi sosial ekonomi dan politik
masyarakat kearah yang lebih baik. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat
meningkatkan kinerja ketahanan pangan di daerah baik dalam tingkat wilayah
maupun rumah tangga sesuai dengan amanat undang-undang nomor 7 tahun 1996
tentang pangan titik hal ini menjadi penting karena dengan ketahanan pangan
yang kuat maka pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas akan dapat
tercapai sehingga akan mempermudah pencapaian tujuan pembangunan nasional.

Berdasarkan peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) tahun 2018


provinsi Banten masuk dalam kategori prioritas limbah yang artinya wilayah
provinsi Banten masuk dalam kategori bahan pangan. Artinya sebagian besar
wilayah di provinsi Banten termasuk dalam kategori tahan pangan. Akan tetapi,
hasil penelitian tanziha 2005 menyebutkan sekitar 9,3% N2 sih ada penduduk di
wilayah provinsi Banten yang menderita kelaparan. Ketersediaan pangan yang
cukup di suatu wilayah tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat rumah
tangga/individu yang dilakukan di provinsi Sulawesi Utara. Hasil menunjukkan
bahwa dari sisi ketersediaan di tingkat regional status ketahanan pangan wilayah
Sulawesi Utara tergolong tahan pangan namun demikian masih ditemukan rumah
tangga yang tergolong rawan pangan cukup tinggi. Proporsi rumah tangga rawan
pangan di daerah pedesaan relatif lebih tinggi daripada penduduk kota. Hal ini
menunjukkan bahwa dari sisi ketersediaan di tingkat wilayah dengan 100 tahun
kawan terjamin tidak cukup menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga.

 Indikator peta ketahanan dan kerawanan pangan Indonesia

Aspek Indikator
Ketersediaan pangan 1. Rasio konsumsi normatif per kapita
terhadap ketersediaan padi, jagung,
ubi kayu, ubi jalar
Akses pangan dan penghidupan 2. Presentasi penduduk hidup dibawah
garis kemiskinan
3. Persentasi desa yang tidak memiliki
akses penghubung yang memadai
4. persentasi rumah tangga tanpa akses
listrik
Pemanfaatan pangan 5. Angka harapan hidup pada saat lahir
6. Berat badan balita dibawah standar
7. perempuan buta huruf
8. presentasi rumah tangga tanpa akses
ke air bersih
9. persentasi rumah tangga yang tinggal
lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan
Kerentanan terhadap kerawanan pangan 10. Bencana alam
transien 11. Penyimpanan curah hujan
12. Presentasi daerah puso
13. Deforestasi hutan

Peta peta dibuat dengan menggunakan pola warna yang seragam, yaitu gradasi
warna merah dan hijau. Gradasi warna merah dan hijau menggambarkan kondisi
yang lebih baik. Warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi

dalam hal ketahanan atau kerawanan pangan.

 indikator rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan pangan


serealia provinsi Banten
Indikator pada aspek ketersediaan pangan adalah rasio konsumsi normatif
perkapita terhadap ketersediaan padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Rasio
konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan pangan di provinsi Banten
menjadi tiga bagian, yaitu: timur, barat, dan Utara. Bagian timur meliputi wilayah
berada pada kondisi surplus sedang, bagian barat surplus tinggi, sementara bagian
Utara termasuk kategori surplus rendah. Berdasarkan penelitian sebagian besar
wilayah provinsi Banten telah mencapai surplus pangan di mana nilai NCPR
rendah sampai sangat rendah. Pada gambar di atas masih ada sebagian kecil
daerah yang memiliki surplus terendah atau daerah berwarna kuning dan orange.

 Indikator proporsi pengeluaran untuk pangan terhadap total


pengeluaran provinsi Banten
Indikator proporsi pengeluaran untuk pangan terhadap total
pengeluaran berdasarkan peta ada sebagian kecil wilayah dibagian utara
provinsi Banten yang berada pada presentasi pengeluaran untuk pangan 30 - <
40% (Level 3), sementara wilayah lainnya antara 20 –

< 30% (Level 4) 4). Artinya semakin tinggi persentase pengeluaran


rumah tangga untuk pangan terhadap total pengeluarannya maka semakin
rendah tingkat ketahanan pangan suatu wilayah atau dengan kata lain semakin
rendah level indicator proporsi pengeluaran untuk tangan terhadap total
pengeluaran rumah tangga maka semakin rendah tingkat ketahanan pangan
wilayah tersebut.

 Indikator rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun provinsi


Banten
Indikator rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun di provinsi
Banten berdasarkan peta terbagi ke dalam tiga kategori yaitu: 7,5- <8,5 tahun
di sebagian kecil wilayah bagian timur dan Utara level 46-6,5 tahun di
sebagian timur dan selatan level 2 dan 6,5-7,5 tahun di sebagian besar wilayah
barat dan wilayah selatan artinya semakin rendah angka dan levelnya
menunjukkan semakin rendah pula tingkat ketahanan pangan suatu wilayah.

 Indikator persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih provinsi


Banten
Indikator persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih
berdasarkan peta provinsi Banten terbagi menjadi 2 kategori wilayah, dimana
sebagian besar wilayah di bagian selatan persentase rumah tangga tanpa akses
air bersih adalah 60-70% (level 2), sementara di bagian utara sebagian adalah
kurang dari 5 ( level 6). Artinya semakin rendah angkanya atau semakin tinggi
levelnya maka semakin meningkat ketahanan pangan suatu wilayah dan
sebaliknya semakin tinggi angka nya atau rendah levelnya maka semakin
rendah ketahanan pangan di wilayahnya.

 Indikator rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan provinsi


Banten
Rata-rata 1 orang tenaga kesehatan di Indonesia bekerja melayani
wilayah seluas 2,84 kilometer persegi dengan rata-rata kepadatan penduduk
sebesar 136 jiwa/km2. Indikator rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan
di provinsi Banten adalah kurang dari 5. Artinya semakin rendah angka atau
semakin tinggi levelnya maka semakin meningkat ketahanan pangan di suatu
wilayah dan begitu juga sebaliknya.

 Indikator angka harapan hidup provinsi Bante


Indikator angka harapan hidup berdasarkan peta di provinsi Banten
menunjukkan rata-rata usia yang tergolong tinggi yaitu >64 – 67 tahun (level
4) dan > 67 – 70 tahun (Level 5). Artinya semakin tinggi angka harapan hidup
penduduk suatu wilayah maka semakin meningkat ketahanan pangan wilayah
tersebut.

2.2 Pengukuran Ketahanan Pangan

Metode analisis yang digunakan penelitian ini adalah metode analisis


deskriptif dengan menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh Johnsson
dan Toole (1991) yang diadopsi oleh Maxwell, S, dkk, (2000), ialah dengan
menyilangkan dua indikator ketahanan pangan yaitu proporsi pengeluaran pangan
dengan konsumsi energi.

1) Untuk mengetahui pangsa pengeluaran pangan digunakan persamaan berikut:

(Perdana dan Hardiansyah, 2013)

Keterangan :

PPP : Pangsa pengeluaran pangan (%)

FE : Pengeluaran untuk belanja kebutuhan pangan (Rp/bulan)

TE : Total pengeluaran kebutuhan rumah tangga (Rp/bulan)


Hasil dari perhitungan tersebut dihasilkan persentase yang dapat
dikategorikan dengan ketentuan sebagai berikut:

Kategori pengeluaran total rendah = PPP < 60% dari pengeluaran total

Kategori pengeluaran total tinggi = PPP ≥ 60% dari pengeluaran total

2) Untuk mengetahui konsumsi rumah tangga dapat dihitung dengan


menggunakan rumus:

(Perdana dan Hardiansyah, 2013)

Keterangan:

TKE : Tingkat kecukupan energi (%)

JE : Jumlah energi yang dikonsumsi (Kkal/Kapita/Hari)

AKE : Angka kecukupan energi yang


dianjurkan(Kkal/Kapita/Hari)

Konsumsi energi merupakan salah satu 12able12tor dalam menghitung


ketahanan pangan rumah tangga, berikut 12able pengukuran derajat ketahanan
pangan:

Tabel 1. Pengukuran Derajat Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga

Konsumsi energi per Pangsa Pengeluaran Pangan


unit ekuivalen dewasa
Rendah (< 60 % Tinggi (≥ 60 %
pengeluaran total) pengeluaran total)

Cukup (> 80 % Tahan pangan Rentang pangan


kecukupan energi)

Kurang (≤ 80 % Kurang pangan Rawan pangan


kecukupan energi)
Sumber: Johnsson and Toole yang diadopsi oleh
Maxwel, S, dkk (2000) Adapun kriterianya ialah:
a) Rumah tangga tahan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan
rendah (< 60% pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi
energi (> 80% dari syarat kecukupan energi);
b) Rumah tangga kurang pangan yaitu proporsi pengeluaran pangan rendah
(< 60% pengeluaran rumah tangga) dan kurang mengkonsumsi energi (≤
80% dari syarat kecukupan energi);
c) Rumah tangga rentan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan
tinggi (≥ 60% pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi
energi (> 80% dari syarat kecukupan energi);
d) Rumah tangga rawan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan tinggi
(≥ 60% pengeluaran rumah tangga) dan tingkat konsumsi energinya
kurang (≤ 80% dari syarat kecukupan energi).

 Pangsa pengeluaran pangan Wanita tani

Merupakan perbandingan antara pengeluaran untuk membeli pangan


rumah tangga dengan pengeluaran rumah tangga total (pengeluaran pangan
dengan pengeluaran non pangan). Antara pangsa pengeluaran pangan (PPP)
dengan tingkat ketahanan pangan memiliki hubungan terbalik, artinya semakin
besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, maka ketahanan
pangan rumah tangga tersebut semakin rendah, begitu juga sebaliknya
(Junaidi, 2014). Berikut merupakan tabel proporsi pangsa pengeluaran pangan
rumah tangga wanita tani.

Tabel 2. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Wanita Tani di Kecamatan


Simpang Tiga Kabupaten Aceh Besar

No Pengeluaran Jumlah Persentase


(Rp/bulan)
1 Pengeluaran pangan 637,900 63,23
2 Pengeluaran non pangan 370,950 36,77
Pengeluaran total 1,008,850 100

Berdasarkan Tabel 2 diatas, dapat diketahui bahwa total


pengeluaran rumah tangga wanita tani adalah Rp 1,008,850 per bulan,
pengeluaran untuk pangan Rp 637,900 per bulan atau sebesar 63.23% dari
pengeluaran total dan pengeluaran non pangan sebesar Rp 370,950 per
bulan atau 36,77% dari total pengeluaran rumah tangga wanita tani di
Kecamatan Simpang Tiga.

Pada data diatas menunjukkan bahwa pengeluaran pangan masih


mendominasi dengan persentase sebesar 63.23% dari total pengeluaran
pangan rumah tangga wanita tani di Kecamatan Simpang Tiga. Rumah
tangga wanita tani dengan alokasi pengeluaran untuk pangan yang relatif
cukup besar dibandingkan dengan pengeluaran non pangan tersebut
menunjukkan bahwa rumah tangga wanita tani memiliki pendapatan dan
kemampuan yang relatif rendah dalam menyediakan pangan. Hal ini
menunjukkan bahwa kesejahteraan hidup rumah tangga wanita tani masih
rendah dikarenakan persentase pengeluaran pangan lebih dari ≥ 60%.

 Tingkat Konsumsi Energi Rumah Tangga Wanita Tani

Konsumsi pangan merupakan jenis dan jumlah yang dapat


dimakan karena tujuan dan waktu tertentu. Konsumsi pangan bertujuan
unuk memenuhi kebutuhanan jasmani dan rohani seseorang. Konsumsi
energi rumah tangga wanita tani didapat dengan membandingkan jumlah
energi yang dikonsumsi perhari dengan angka kecukupan energi yang
dianjurkan. Berdasarkan hasil penelitian didapat konsumsi anggota rumah
tangga wanita tani (data terlampir). Rata-rata tingkat konsumsi energi
rumah tangga wanita tani dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel 3. Rata-rata Konsumsi Energi dan AKE yang dianjurkan dan Tingkat
Konsumsi Energi Rumah Tangga Wanita Tani di KecamatanSimpang
Tiga Kabupaten Aceh Besar

Keterangan Energi (kkal)


Rumah tangga Per kapita per
hari
1 Konsumsi 5680 1403
2 AKE dianjurkan 9381 2288
3 TKE (%) 62 62

Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi energi yang


dimakan yaitu sebesar 1403kkal/kapita/hari masih kurang dari nilai kecukupan
gizi yang dianjurkan yaitu sebesar 2288kkal/kapita/hari dari total responden.
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) merupakan perbandingan antara konsumsi
energi rumah tangga dengan angka kecukupan energi yang dianjurkan
berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur yang dinyatakan dalam persen
(%). Besarnya rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) rumah tangga wanita
tani sebesar 62 % jika dilihat dari angka kecukupan gizinya tergolong kurang.

 Ketahanan Pangan Rumah Tangga Wanita Tani

Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan yang


tercermin dari ketersedianya pangan yang cukup dan terjangkau. Pada
penelitian ini ketahanan pangan dilihat dari proporsi pengeluaran pangan dan
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) untuk mengetahui ketahanan pangan rumah
tangga wanita tani. Indikator Jonsson dan Toole yang diadopsi oleh Maxwell
et al. dalam Purwaningsih (2010) digunakan dalam mengukur ketahanan
pangan rumah tangga dengan menggunakan klasifikasi silang antara dua
indikator ketahanan pangan, yaitu pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan
konsumsi energi (kkal). Sebaran ketahanan pangan rumah tangga wanita tani
dapat dilihat pada tabel 4 berikut :

Tabel 4. Sebaran Kategori Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Kecamatan


Simpang Tiga

No Kategori Tingkat Ketahanan Pangan Jumlah Rumah %


Tangga
Tahan pangan jika proporsi pengeluaran
1 pangan <60% dan cukup mengkonsumsi - -
energi >80%.
Kurang pangan jika proporsi pengeluaran
2 pangan <60% dan kurang mengkonsumsi 9 45,00
energi ≤80%.
Rentan pangan jika proporsi pengeluaran
3 pangan ≥60% dan cukup mengkonsumsi - -
energi >80%.
Rawan pangan jika proporsi pengeluaran
4 pangan tinggi ≥60% dan tingkat konsumsi 11 55,00
energinya ≤80%.
Jumlah 20 100,00
Kabupaten Aceh Besar
HASIL :

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui tingkat ketahanan pangan rumah


tangga petani responden. Rumah tangga dengan kategori rawan pangan berjumlah
11 rumah tangga dengan sebesar 55,00% dengan proporsi pengeluaran pangan
tinggi (≥ 60%) dan TKE kurang (≤ 80%). Proporsi pengeluran pangan sebesar
63% dan konsumsi energi 62%, ini menunjukkan bahwa proporsi pangsa
pengeluaran tinggi dan tingkat konsumsi energinya kurang. Rumah tangga dengan
kategori rawan pangan ialah rumah tangga dengan pendapatan yang rendah,
sehingga mengeluarkan pendapatannya untuk proporsi yang lebih besar untuk
konsumsi. Untuk kategori kurang pangan pada daerah penelitian ini adalah 9
rumah tangga dengan persentase sebesar 45% dari total responden, dengan
proporsi pengeluaran pangan rendah (<60%) dan TKE kurang (≤80%). Persoalan
terbesar dalam pemenuhan ketahanan pangan rumah tangga wanita tani ialah
pendapatan yang rendah.Pendapatan yang rendah menyebabkan rumah tangga
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga termasuk pangan dan non
pangannya, sehingga rumah tangga tersebut tergolong tidak sejahtera.

2.3 Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi


1. Pengertian Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Sistem Kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) adalah suatu sistem


pendeteksian dan pengelolaan informasi tentang situasi pangan dan gizi
yang berjalan terus menerus. Informasi yang dihasilkan menjadi dasar
perencanaan, penentuan kebijakan, koordinasi program, dan kegiatan
penanggulangan rawan pangan dan gizi. SKPG sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pasal 114 ayat 1
dan 2 (d) dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang
Ketahanan Pangan dan Gizi pasal 75 ayat 1 dan 2 (d) bahwasanya
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem
Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi yang dapat digunakan untuk
pengembangan sistem peringatan dini terhadap masalah Pangan dan
kerawanan Pangan dan Gizi. Untuk fungsi tersebut, SKPG dilakukan
secara bulanan.

Menurut Departemen Kesehatan RI Tahun 1998/1999, sistem


kewapadaan pangan dan gizi (SKPG) merupakan kegiatan yang dinamis
yaitu secara terus menerus mengumpulkan, menganalisis data,
menyebarluaskan informasi, menetapkan langkah-langkah tindakan yang
diperlukan, dan tindakan pencegahan ataupun penanggulangan. Atau
sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) merupakan sistem informasi
yang dapat digunakan sebagai alat bagi pemerintah daerah untuk
mengetahui situasi pangan dan gizi masyarakat.

Apabila dalam keadaan krisis pangan, informasi yang dihasilkan


sangat berguna untuk melakukan penanggulangan masalah kelaparan dan
gizi buruk secara tepat dan cepat. Dalam keadaan normal informasinya
dapat digunakan untuk merumuskan kebijaksanaan, perencanaan program
dan evaluasi perkembangan situasi pangan dan gizi.

Tindakan penanggulangan bisa berupa tindakan jangka pendek dan


bisa juga berupa tindakan jangka panjang. SKPG dirancang sedemikian
rupa sehingga dapat membantu pemda untuk selalu waspada dalam
menghadapi ancaman rawan pangan, kelaparan dan gizi buruk secara dini,
sehingga akibat yang lebih buruk dapat dihindari.

2. Tujuan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi


Tujuan dari Sistem Kewaspadaan pangan dan gizi SKPG adalah sebagai
berikut :
1. mewaspadai timbulnya ancaman kerawanan pangan, kelaparan dan
gizi buruk dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan dan gizi
penduduk
2. Sebagai dasar untuk mengetahui situasi pangan dan gizi di suatu
daerah.
3. mencegah dan menanggulangi kejadian kelaparan dan gizi buruk.
4. Menganalisis situasi pangan dan gizi
5. Meningkatkan kemampuan petugas dalam menganalisis situasi pangan
dan gizi
6. embangun(menyediakan data dan informasi situasi pangan yang
mempengaruhi status gizi pada skala rumah tangga, wilayah dan
nasional.
7. membangun(menyediakan isyarat dini kemungkinan terjadinya
ganguan ketersediaan pangan yang dapat mengakibatkan kerawanan
pangan dan gizi.
8. Membangun(menyediakan kebijakan penyediaan kecukupan pangan.
9. Membangun ( menyediakan kebijakan tindakan penanggulangan
kerawanan pangan.
10. Menfasilitasi institusi lintas sektoral maupun swasta dalam menyusun
program-program yang mendukung ketahanan pangan.

3. Manfaat Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi


1) Bagi Kepala Daerah
Sebagai dasar menetapkan kebijakan penanggulangan masalah pangan
dan gizi dalam:
a. Menentukan daerah prioritas.
b. Merumuskan tindakan pencegahan terhadap ancaman krisis pangan
dan gizi
c. Mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efesien.
d. Mengkoordinasikan program lintas sector.
2) Bagi Pengelola Program
a. Penetapan lokasi dan sasaran.
b. Menyusun kegiatan terpadu sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
sektor.
c. Proses pemantauan pelaksanaan.
d. Pelaksanaan kerja sama lintas sector.
e. Mengevaluasi pelaksanaan program.
3) Bagi Masyarakat
a. Kemungkinan kejadian krisis pangan di masyarakat dapat di cegah.
b. Ketahanan pangan ditingkat rumah tangga meningkat.
c. Melindungi golongan rawan dari keadaan yang dapat
memperburuk status gizi.

4. Indikator Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Sesuai dengan fungsi dan kegunaanya indicator SKPG


dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok utama yaitu :

1) Indikator untuk pemetaan situasi pangan dan gizi 1 tahun di


Kecamatan, Kota/Kabupaten, provinsi maupun nasional
dengan menggunakan 3 indikator yang digabungkan secara
komposit yaitu :
a. Indikator pertanian, dengan memperhatikan bahwa
potensi pertanian pangan antar wilayah sangat beragam
maka akan didekati dengan beberapa alternative yang
mungkin dan cocok diterapkan pada suatu wilayah
pengamatan.
b. Indikator kesehatan yaitu Prevalensi Kekurangan
Energy Protein (KEP).
c. Indikator sosial yaitu presentase keluarga miskin.
2) Indikator untuk peramalan produksi secara periodik
(bulanan, triwulan, atau tahunan). Khusus untuk kondisi
produksi pertanian yaitu : luas tanam, luas kerusakan, luas
panen dan produktivitas.
3) Indikator untuk pengamatan gejala kerawanan pangan dan
gizi yaitu : kejadian-kejadian yang spesifik lokal (indicator
lokal) yang dapat dipakai untuk mengamati ada atau
tidaknya gejala rawan pangan dan gizi.

5. Langkah-langkah SKPG
1. Mengumpulkan dan menyajikan data pangan dan gizi dari sector
terkait.
2. Menyiapkan analisis hasil kajian data untuk pemetaan, peramalan dan
pemantauan pangan dan gizi.
3. Menyampaikan hasil analisis (informasi pangan dan gizi) pada setiap
kesempatan pertemuan koordinasi.

6. Kewenangan Daerah Dalam Pelaksanaan SKPG


1. SKPG adalah salah satu sistem surveilans yang menjadi kewenangan
pemerintah dan daerah dalam bidang kesehatan dan pertanian (UU No.
22 Tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000).
2. SKGP merupakan kegiatan yang wajib tetap dilaksankan oleh Propinsi
dan Kabupaten/Kota sebagai wilayah administrasi kesehatan (SE
Menteri Kesehatan 27 Juli 2000 No. 1107/Menkes/E/VII/2000).
3. Daerah berwenang menyesuaikan SKPG sesuai keadaan setempat.

2.3 Dietary Diversity Score

Dietary diversity score merupakan salah satu cara sederhana untuk


mengukur keanekaragaman konsumsi pangan pada tingkat individu. DDS adalah
jumlah jenis makanan atau kelompok pangan yang dikonsumsi selama periode
tertentu (Ruel 2003). Keanekaragaman pangan dapat diukur dengan
menjumlahkan makanan atau kelompok pangan yang dikonsumsi selama satu hari
dengan menggunakan data Food Recall (kennedy et al. 2007).

Dietary Diversity Score(DDS) dibedakan menjadi skor keragaman


makanan rumah tangga(HDDS) dan skor keragaman diet individu(IDDS),
termasuk skor keragaman anak (CDDS) dan skor diet wanita (WDDS). HDDS
adalah ukuran proksi dari akses rumah tangga terhadap makanan, atau ukuran
proksi dari tingkat social ekonomi rumah tangga, sedangkan IDDS adalah ukuran
proksi kualitas gizi makanan individu, khususnya kecukupan mikronutrien dari
makanan.

Penilaian skor dari DDS didasarkan dari 9 kelompok pangan yang


direkomendasikan oleh FAO dalam Individual Dietary Diversity Score(IDDS)
sebagai berikut :

1. Sereal dan umbi-umbian : contohnya beras/nasi, jagung/tepung jagung,


gandum, sorgum, millet atau biji-bijian lainnya atau makanan yang dibuat
dari jenis pangan ini(misalnya roti, mie, bubur, pasta, atau produk
gandum/biji-bijian lainnya) + makanan local. Kentang, ubi putih, singkong
putih, atau makanan olahannya.
2. Daging hewani (daging terak, ungags, ikan dll) : contohnya daging,
ikan(ikan segar atau kering, kerang, udang dan sejenisnya), daging ungags
(ayam, bebek,burung), hati dan organ hewan lainnya yang dapat
dikonsumsi.
3. Susu dan olahannya : contohnya susu, keju, yogurt, pudding, es krim, krim
lainnya.
4. Telur : contohnya telur ayam, telur bebek, telur puyuh.
5. Kacang-kacangan : kacang, kacang polong(kacang hijau,kacang polong),
kedelai dan olahan kedelai, kacang-kacangan dan biji-bijian.
6. Buah, sayur dan umbi-umbian kaya vitamin A : contohnya sayuran
berdaun hijau gelap (bayam, kangkung, daun singkong, daun katuk, daun
pohpohan, sawi, bayam merah, daun kacang panjang, daun ubi jalar, daun
melinjo). Lainnya : labu, tomat, wortel, dan ubi orange+sayuran local. Jus
dan buah kaya vitamin A (manga, blewah,kesemek).
7. Buah lainnya : buah dan jus kaya vit C (>18 mg vit C per 100 gr): arbei,
jambu biji, jeruk, rambutan, papaya, belimbing, sawo, sirsak. Suah dan jus
lainnya(tidak kaya baik vitamin A atau C) : apel, anggur, semangka,
melon, salak, nangka, duku, pisang, alpukat.
8. Sayuran lainnya : contohnya sayuran dan jus kaya vitamin C : kembang
kol, kol, lobak, melinjo, papaya muda(sayur), sawi putih, kacang panjang.
Sayuran lainnya : labu siam, labu air, toge, terong, buncis, jagung muda,
jamur, gambas.
9. Lemak dan minyak : contohnya mayonnaise, margarin, butter(yang
ditambahkan untuk makanan atau digunakan untuk memasak), minyak
sawit merah).
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan mendefinisikan tentang
pengertian ketahanan pangan yaitu terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik
jumlah maupun mutunya aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sistem Kewaspadaan
pangan dan gizi (SKPG) adalah suatu sistem pendeteksian dan pengelolaan
informasi tentang situasi pangan dan gizi yang berjalan terus menerus. Informasi
yang dihasilkan menjadi dasar perencanaan, penentuan kebijakan, koordinasi
program, dan kegiatan penanggulangan rawan pangan dan gizi. Dietary diversity
score merupakan salah satu cara sederhana untuk mengukur keanekaragaman
konsumsi pangan pada tingkat individu. Dietary Diversity Score(DDS) dibedakan
menjadi skor keragaman makanan rumah tangga(HDDS) dan skor keragaman diet
individu(IDDS), termasuk skor keragaman anak (CDDS) dan skor diet wanita
(WDDS).

Saran
Penulis ucapkan terimakasih terhadap semua pihak yang sudah berpartisipasi
didalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini bisa terselesaikan tepat
pada waktunya. Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam
penyusunan makalah masih banyak terdapat kesalahan serta jauh dari kata
sempurna. Adapun intinya nanti penulis akan segera melakukan perbaikan
susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan
kritik yang bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Dwi Wahyu. 2019. Makalah Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Tahunan.
Probolingga, Jawa Timur
Badan Ketahanan Pangan. 2013. Petunjuk Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan
Pangan dan Gizi. Jakarta
Habit TY, Krawinkel M(2016). Skor Keragaman Diet: Ukuran Kecukupan Gizi
atau Indikator Diet Sehat?. J Nutr Health Sci 3(3):303. Doi: 10.
15744/2393-9060.3.303
Septiani A(2017). Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score(DDS)
dalam Mengestimasi Tingkat Kecukupan Zat Gizi pada Balita Usia 24-59
Bulan di Indonesia. (universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
Diakses dari
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35093/2/ANDI
NI%20SEPTIANI-FKIK.pdf

Anda mungkin juga menyukai