Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini kerusakan lingkungan dan polusi sudah sedemikian akut, bahkan terus
bertambah parah. Disimpulkan secara simplistis, bentuk kerusakan dan tingkat
pencemaran pada intinya disebabkan oleh kemajuan pembangunan industri dan
teknologi yang tidak sebanding dengan upaya pelestarian lingkungan. Peranan negar-
negara maju dalam menyumbang pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sangat
besar.

Keseimbangan alam perlu diciptakan untuk menjamin kehidupan berbagai


macam makhluk di bumi ini, apakah itu berupa tumbuh-tumbuhan, hewan atau manusia.
Bila lingkungan alam kehilangan keseimbangan, perputaran siklus akan terputus dan
reaksi alam akan muncul berupa bencana dimana pun. Berdasarkan hal tersebut, jelaslah
bahwa pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
yang antara lain mengemban fungsi pengaturan, pembinaan, perizinan dan pengawasan
dalam pengelolaan lingkungan hidup memegang perana sangat penting.

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan


sumber daya alam, seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang
tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi
ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Dengan kata lain, lingkungan merupakan sumber penghasil dari setiap hal yang
dibutuhkan manusia untuk menujang kebutuhan hidup dan sebagai tempat berkembang
biak daripada makhluk hidup terutama manusia. Olehya, kami akan membahas
mengenai pertanggungjawaban terhadap lingkungan.

1|Page
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini berdasarkan
latar belakang di atas yaitu :

1. Apakah definisi dari tanggungjawab lingkungan ?


2. Apa yang melatar belakangi timbulnya tanggungjawab lingkungan ?
3. Bagaimana bentuk tanggungjawab lingkungan yang bisa dilakukan ?
4. Apa saja contoh dari etika lingkungan hidup ?
5. Apa saja teori yang mendukung etika tersebut ?
6. Bagaimana bentuk akuntansi pertanggungjawaban lingkungan yang berbasis
strategi ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini selain untuk memenuhi tugas matakuliah
Seminar Akuntansi yaitu agar kami selaku mahasiswa mampu untuk memahami dan
menjelaskan mengapa diperlukan pertanggungjawaban lingkungan.

2|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Tanggungjawab Lingkungan


Menurut Walden & Schwartz (1997: 129) tanggung jawab sosial perusahaan
tidak mudah untuk menentukan karena penafsiran yang beragam dari prinsip sosial
perusahaan tanggung jawab dan tanggung jawab akhirnya lingkungan juga. Mereka
mengacu pada Davis (1973) yang mencatat bahwa tanggung jawab sosial "mengacu
pada pertimbangan perusahaan dari, dan respon terhadap isu-isu di luar ekonomi sempit,
teknis, dan hukum persyaratan perusahaan". Ini hanya "mulai di mana hukum berakhir".

Menurut Davis & Blomstrom (1975) definisi tanggung jawab lingkungan


perusahaan yaitu "Kewajiban para pengambil keputusan untuk mengambil tindakan
yang melindungi dan memperbaiki lingkungan secara keseluruhan, bersama dengan
kepentingan mereka sendiri”. Sedangkan definisi tanggung jawab sosial menurut
Anderson (1989) berbunyi sebagai berikut :

"... Tanggung jawab sosial adalah kewajiban dari kedua bisnis dan masyarakat
(stakeholders) untuk mengambil tindakan hukum, moral-etika, dan filantropis yang
tepat yang akan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bisnis
sebagai keseluruhan; semua ini tentu saja harus dicapai dalam ekonomi struktur dan
kemampuan pihak yang terlibat“

Menurut Enderle & Tavis (1998: 1134) yang sekarang diterima secara luas
mengatakan bahwa standar kesehatan lingkungan adalah "keberlanjutan" didefinisikan
oleh Komisi Lingkungan dan Pembangunan Dunia (1987) sebagai "untuk memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri". Mereka menyatakan tanggung jawab perusahaan
dalam bidang lingkungan sebagai komitmen untuk pembangunan berkelanjutan oleh
sumber daya kurang alami yang memakan dan membebani lingkungan dengan limbah.

Dampak lingkungan dari proses manufaktur dan produk, lingkungan regulasi, dan
inisiatif yang dilakukan dalam pengelolaan lingkungan dan teknologi harus

3|Page
dipertimbangkan ketika menentukan strategi perusahaan terhadap lingkungan. Sebagai
salah satu elemen integratif dari strategi perusahaan, pengelolaan lingkungan
mempengaruhi kinerja lingkungan. (Klassen 1995: 1201.)

2.2 Latar Belakang Pertanggungjawaban Lingkungan


Awal keterlibatan perusahaan dalam tanggung jawab lingkungan membuntuti
gerakan lingkungan yang kuat dari tahun 1960-an. Selama, 1960 1950 dan 1970-an,
beberapa peristiwa terjadi sehingga timbul kesadaran masyarakat bahaya pada
lingkungan yang disebabkan oleh manusia. Pada tahun 1954, 23 orang awak kapal
perikanan Jepang, Naga Beruntung terkena dampak radioaktif dari uji bom hidrogen di
Atol Bikini. Pada tahun 1969, sebuah bencana ekologis terjadi di California berupa
tumpahan minyak dari luar negeri seperti yang dipaparkan oleh Channel Santa Barbara,
Barry Commoner memprotes terhadap percobaan nuklir, Rachel Carson dalam bukunya
berjudul Silent Spring, dan Paul R. Ehrlich 's dalam bukunya berjudul The Population
Bomb semua mengungkapkan mengenai kecemasan tentang lingkungan. Akhirnya
masyarakat menjadi lebih sadar akan isu-isu lingkungan, kekhawatiran tentang polusi
udara, polusi air, pembuangan limbah padat, sumber daya energi berkurang, radiasi,
keracunan pestisida (terutama seperti yang dijelaskan pada buku Silent Spring karya
Rachel Carson, 1962), polusi suara, dan lingkungan lainnya masalah terlibat sejumlah
perluasan simpatisan.

Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, beberapa korporasi-korporasi mulai


menanggapi perhatian publik meskipun adaptasi dari kode etik dan "Corporate Social
Responsibility" (CSR) prinsip-prinsip. Seperti bencana lingkungan secara dramatis terus
terjadi - kebakaran polutan di sungai di Cleveland dan Buffalo, anak-anak terkena racun
di Love Canal, Union Carbide di Bhopal kebocoran gas, pembangkit tenaga nuklir di
krisis Chernobyl, dan Exxon Valdez tumpah minyak perusahaan mulai bertanggung
jawab atas dampak lingkungan dari tindakan mereka, sosial, politik dan hukum.

Publik kemarahan atas ini dan bencana lingkungan lainnya pembuat kebijakan
termotivasi untuk kerajinan undang-undang seperti Undang-Undang Perlindungan
Lingkungan pada tahun 1969 dan Amerika Serikat Keselamatan dan Undang-Undang

4|Page
Kesehatan tahun 1970 yang memaksa perusahaan untuk mengangkat isu lingkungan dan
keselamatan pekerja serius dan untuk menginternalisasi biaya apa yang telah
sebelumnya telah dianggap sebagai kekhawatiran eksternal.

Menanggapi tekanan yang meningkat, perusahaan mengembangkan diri


mengatur kode dan kebijakan strategis pengelolaan lingkungan hidup, program
sertifikasi lingkungan, pemantauan diri praktek, serta partisipasi sukarela dalam
pemantauan oleh auditor independen. Selain prinsip-prinsip CSR, gagasan tentang
Triple Bottom Line, Stakeholder Theory, Sistem Manajemen Lingkungan (EMS),
Penilaian Life Cycle (LCA), dan gerakan perusahaan lainnya muncul pada tahun 1990 .
Konsep-konsep ini berusaha untuk mengubah budaya perusahaan dan praktek
manajemen dengan menempatkan kepentingan baru pada lingkungan.

Gerakan ke arah perlindungan lingkungan adalah fenomena perusahaan global.


Memang, dapat dikatakan bahwa Uni Eropa berbasis aktivitas perusahaan di daerah ini
telah jauh lebih jelas daripada di AS. Lebih dari setengah perusahaan yang telah
mencapai ISO-14001 standarisasi yang memerlukan sistem manajemen yang ketat
lingkungan yang akan dipasang di sebuah perusahaan yang terletak di Uni Eropa.
Banyak LSM yang mempromosikan gagasan tanggung jawab lingkungan perusahaan
dapat ditemukan di Eropa juga.

Berbagai faktor memotivasi mengelilingi fokus lingkungan yang telah


mengubah praktik bisnis saat ini. Ekonomi dewasa ini berpola pada ekonomi kapitalis.
Ini berarti suatu sistem ekonomi didasarkan pada kekuatan pasar bebas. Laba tinggi
merupakan tujuan dari aktivitas ekonomi. Franz magnis Suseno ( 1993: 198)
menjelaskan bahwa tujuan produksi adalah laba perusahaan. Hanya laba itulah yang
menjamin bahwa sebuah perusahaan dapat mempertahankan diri dalam alam persaingan
bisnis. Untuk meninngkatkan laba, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin.

Oleh karena itu, ekonomi modern condong untuk mengeksploitasi kekayaan


alam dengan semurah mungkin dengan sekedar mengambil, dengan menggali dan
membongkar apa yang diperlukan tanpa memikirkan akibat bagi alam itu sendiri dan
tanpa usaha untuk memulihkan keadaan semula. Begitu pula asap, berbagai substansi
kimia yang beracun dan segala bentuk sampah lain dibuang dengan semurah mungkin,

5|Page
dibuang ke tempat pembuangan sampah, dialirkan ke dalam air sungai, dihembuskan
melalui cerobong-cerobong ke dalam atmosfer. Mengolah sampai racunnya hilang
sehingga dapat dipergunakan lagi hanya menambah biaya. Jadi, kalau proses produksi
dibiarkan berjalan menurut mekanisme ekonomisnya sendiri, alam dan lingkungan
hidup manusia semakin rusak (Franz Magnis Suseno, 1993: 198), makanya perlu ada
pertanggungjawaban terhadap lingkungan agar semua pihak sadar terhadap lingkungan.

2.3 TUJUAN PENERAPAN AKUNTANSI LINGKUNGAN

Ada beberapa maksud dikembangkannya akuntansi lingkungan: 1). Akuntasi


lingkungan merupakan sebuah alat manajemen lingkungan, 2). Akuntansi lingkungan
sebagai alat komunikasi dengan masyarakat. Sebagai alat manajemen lingkungan,
akuntansi lingkungan digunakan untuk menilai keefektifan kegiatan konservasi
berdasarkan ringkasan dan klasifikasi biaya konservasi lingkungan. Data akuntasi
lingkungan juga digunakan untuk menentukan biaya fasilitas pengelolaan lingkungan,
biaya konservasi lingkungan keseluruhan dan juga investasi yang diperlukan untuk
kegiatan pengelolaan lingkungan. Selain itu akuntasi lingkungan juga digunakan untuk
menilai tingkat keluaran dan capaian tiap tahun untuk menjamin perbaikan kinerja
lingkungan yang harus berlangsung terus menerus.
Akuntansi lingkungan dipertimbangkan karena menjadi perhatian bagi
pemegang saham dengan cara mengurangi biaya yang berhubungan dengan lingkungan
(contohnya : polusi) dan diharapkan dengan pengurangan biaya lingkungan akan
tercipta kualitas lingkungan yang baik, dan juga menjadi pendorong munculnya
akuntansi lingkungan ialah kecenderungan terhadap kesadaran lingkungan. Dalam
literatur, paradigma ini dikenal dengan The Human Exeptionalism Paradigm menuju
The Environment Paradigm.
Paradigma yang pertama mengungkapkan bahwa manusia merupakan makhluk
yang unik di bumi ini yang memiliki kebudayaan dan sadar tidak dibatasi oleh
kepentingan makhluk lain. Sebaliknya, paradigma yang kedua menganggap bahwa
manusia adalah makhluk diantara bermacam-macam makhluk yang mendiami bumi
yang saling memiliki keterkaitan sebab akibat dan dibatasi oleh sifat keterbatasan itu
sendiri, baik ekonomi, social maupun politik. Paradigma yang terakhir inilah yang
menjadi pedoman akuntansi lingkungan.

6|Page
2.4 PERBEDAAN AKUNTANSI KONVENSIONAL DENGAN AKUNTANSI
LINGKUNGAN

Akuntansi konvensional memiliki beberapa karakteristik, yaitu : (1)


Mengidentifikasi entitas akuntansi; (2) Mengaitkan aktivitas ekonomi dari entitas
akuntansi; (3) Mencatat kejadian ekonomi (economic events); (4) Hanya diperuntukkan
secara khusus untuk investor dan lainnya yang berkepentingan dengan entitas akuntansi
(stockholder). Sedangkan karakteristik akuntansi lingkungan adalah: (1)
Mengidentifikasi kejadian ekonomi, sosial dan lingkungan; (2) Entitas akuntansi; (3)
Memperhatikan dampak kejadian ekonomi, sosial, dan lingkungan demi kelangsungan
hidup organisasi perusahaan; (4) Menghasilkan informasi untuk para stakeholder seperti
masyarakat, publik, karyawan atau buruh, generasi akan datang.
Akuntansi konvensional tidak memiliki perhatian terhadap transaksi-transaksi
yang bersifat non reciprocal transactions, tetapi hanya mencatat transaksi secara timbal
balik (reciprocal transactions). Sedangkan akuntansi lingkungan mencatat transaksi
yang bersifat tidak timbal balik, seperti polusi, kerusakan lingkungan atau hal-hal
negatif dari aktivitas perusahaan.Dalam sistem akuntansi lingkungan berorientasi pada
flow yang mendasarkan pada analisis sebab dan akibat secara sistematis khususnya
biaya yang terkait dengan output, seperti emisi, pembuangan sampah dan limbah yang
dijadikan input perusahaan. Namun dalam akuntansi konvensional, biaya-biaya tersebut
diberlakukan sebagai biaya overhead (factory overhead cost) dan dialokasikan secara
terpisah.
Sistem akuntansi lingkungan mengenal adanya potentially hidden costs,
contingent costs dan image and relationship costs, sedangkan sistem akuntansi
konvensional hanya mengenal biaya-biaya yang melekat langsung pada produk.
Potentially hidden costs adalah biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk
memproduksi suatu produk sebelum proses produksi (misal : biaya desain produk),
biaya selama proses produksi (seperti biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung,
biaya overhead) dan backend environment cost (misal : lisensi mutu produk).
Contingent cost adalah biaya yang mungkin timbul dan mungkin tidak terjadi dalam
suatu perusahaan dan dibebankan pada contingent liabilities cost (contoh : biaya
cadangan untuk kompensasi kecelakaan yang mungkin terjadi). Image and relationship
costs adalah biaya yang dipengaruhi oleh persepsi manajemen, pelanggan, tenaga kerja,

7|Page
publik dan lembaga pemerintah tentang kepatuhan terhadap undang-undang lingkungan
dan bersifat subyektif, contoh : pelaporan biaya lingkungan secara sukarela oleh
perusahaan.
Dalam akuntansi lingkungan dipertimbangkan private cost dan societal cost
dalam membuat keputusan, sedangkan dalam akuntansi konvensional tidak
mempertimbangkan kedua biaya tersebut dalam pembuatan keputusan perusahaan.
Private cost merupakan biaya yang terjadi dalam suatu perusahaan yang berpengaruh
langsung terhadap bottom line perusahaan. Societal cost menggambarkan dampak biaya
lingkungan dan sosial dalam suatu entitas dan merupakan biaya eksternal, contohnya
adalah biaya yang dikeluarkan sebagai dampak pencemaran lingkungan. Sedangkan
system akuntansi konvensional, biaya social lingkungan dialokasikan ke biaya overhead
dengan beberapa cara, antara lain dialokasikan ke produk tertentu (spesifik) atau
dikumpulkan menjadi biaya tertentu dan tidak dialokasikan ke produksecara spesifik.
Pengalokasian biaya lingkungan dalam sistem akuntansi yang berbasis lingkungan dapat
menggunakan dua pendekatan, yaitu: mengalokasikan biaya lingkungan secara langsung
ke dalam sistem akuntansi biaya, dan: mengalokasikan secara terpisah dari sistem
akuntansi biaya.

2.5 PENGUKURAN DALAM AKUNTANSI LINGKUNGAN

Usaha dalam melakukan penilaian terhadap eksternalitas ini cukup sulit


dikarenakan oleh :

1. Kebanyakan eksternalitas memang sulit untuk diukur karena adanya mata


rantai sebab akibat yang sangat rumit. Contohnya : “Pencemaran udara bukan
saja diakibatkan oleh volume produksi dan pembuangan sampah industri,
tetapi juga oleh adanya interaksi bermacam-macam variabel yang saling
bereaksi.”
2. Pengukuran environment costs lebih kepada besarnya persepsi dan kesadaran
masyarakat tentang masalah tersebut, apakah masyarakat memberikan nilai
yang tinggi (tangible atau intangible) kepada masalah tersebut.
3. Ada eksternalitas yang bersifat intangible, sehingga pengukuran dalam bentuk
uang tidak tepat.

8|Page
Item social costs yang utama bagi perusahaan adalah sebagai berikut :

1) Merosotnya faktor kemanusiaan dalam produksi


2) Pencemaran udara
3) Pencemaran Air
4) Berkurangnya dan rusaknya sumber-sumber hewani
5) Berkurangnya sumber-sumber energi sebelum waktunya
6) Perubahan teknologi
7) Erosi, berkurangnya kesuburan tanah, dan gundulnya hutan
8) Pengangguran dan kelangkaan sumber daya manusia

Matode-metode pengukuran informasi yang akan dilaporkan dalam Socio


Economic Reporting, antara lain :

1. Menggunakan penelitian dengan menghitung “Opportunity Cost


Approached”.
Misalnya dalam menghitung environment costs dari pembuangan, maka
dihitung berapa kerugian manusia dalam hidupnya, berapa berkurangnya
kekayaan, berapa kerusakan wilayah disekitar lokasi dan lain sebagainya
akibat pembuangan limbah. Total kerugian itulah yang menjadi environment
cost perusahaan.

2. Menggunakan hubungan antara kerugian.


Misalnya, dengan permintaan untuk barang perorangan dalam menghitung
jumlah kerugian masyarakat.
3. Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga.
Misalnya, vonis hakim akibat pengaduan masyarakat akan kerusakan
lingkungan dapat juga dijadikan sebagai dasar perhitungan.

Biaya lingkungan dapat diartikan sebagai biaya yang muncul dalam usaha
untuk mencapai tujuan seperti pengurangan biaya lingkungan yang meningkatkan
pendapatan, meningkatkan kinerja lingkungan yang perlu dipertimbangkan saat ini dan
yang akan datang. Sedangkan biaya lingkungan adalah biaya yang dikeluarkan
perusahaan berhubungan dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dan
perlindungan yang dilakukan. Biaya lingkungan mencakup baik biaya internal

9|Page
(berhubungan dengan pengurangan proses produksi untuk mengurngi dampak
lingkungan) mauoun eksternal (berhubungan dengan perbaikan kerusakan akibat limbah
yang ditimbulkan). Sumber-sumber biaya lingkungan meliputi :

1. Biaya pemeliharaan dan penggantian dampak akibat limbah dan gas buangan
(waste and emission treatment), yaitu biaya yang dikeluarkan untuk
memelihara, memperbaiki, mengganti kerusakan lingkungan yang diakibatkan
oleh limbah perusahaan.
2. Biaya pencegahan dan pengelolaan lingkungan (prevention and environmental
management) adalah biaya yang dikeluarkan untuk mencegah dan mengelola
limbah untuk menghindari kerusakan lingkungan.
3. Biaya pembelian bahan untuk bukan hasil produk (material purchase value of
non-product) merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan yang
bukan hasil produksi dalam rangka pencegahan dan pengurangan dampak
limbah dari bahan baku produksi.
4. Biaya pengolahan untuk produk (processing cost of non-product output) ialah
biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pengolahan bahan yang bukab hasil
produk.
5. Penghematan biaya lingkungan (environmental revenue) merupakan
penghematan biaya atau penambahan penghasilan perusahaan sebagai akibat
dari pengelolaan lingkungan.

Ada tiga macam biaya lingkungan yang timbul dari dampak pencemaran
terhadap lingkungan yang ditanggung oleh masyarakat :

a) Damage Cost, yaitu biaya akibat dampak langsung dan tak langsung dari
limbah, misalnya meningkatnya berbagai macam penyakit dan terganggunya
reproduksi makhluk hidup.
b) Avoidance Cost, biaya ekonomi dan sosial dalam kaitannya dengan berbagai
upaya untuk menghindari dampak pencemaran yang terjadi. Misalnya biaya
untuk penyaring udara.
c) Abatement Cost, yaitu biaya sumber daya yang digunakan untuk melakukan
penelitian, perencanaan, pengelolaan dan pemantauan pencemaran.

10 | P a g e
2.6 ENVIRONMENTAL MANAGEMENT ACCOUNTING (EMA)

EMA merupakan salah satu bidang disiplin ilmu akuntansi yang aktivitasnya
bertujuan memberikan informasi pada manajemen atas pengelolaan lingkungan dan
dampaknya terhadap biaya produksi. EMA diharapkan akan menjadi salah satu
rangkaian sistem yang bertujuan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan. Sehingga
tercapai model pengukuran kinerja yang seimbang antara ukuran financial profit dengan
kinerja pengelolaan lingkungan.

EMA dirumuskan berdasarkan dua pendekatan yaitu pertama prosedur aliran fisik
atas konsumsi dan pembuangan material dan energi (material flow balance procedure),
kedua prosedur pengukuran nilai atas biaya, penghematan dan pendapatan (monetary
procedure) yang berhubungan dengan kemungkinan dampak lingkungan. Kedua
pendekatan tersebut sebagai dasar dalam mengidentifikasi, mengukur dan
mengalokasikan biaya lingkungan. Bagi manajer hal ini penting sebab selain dapat
dihasilkan harga pokok produksi yang tepat atas lokasi biaya lingkungan, juga sebagai
dasar pengendalian biaya lingkungan dimasa yang akan datang. Sehingga dapat
dihasilkan produk yang ramah lingkungan. Terdapat dua pendekatan dalam
merumuskan EMA, yaitu :

1.1.1.1 Monetary Accounting (berbasis pada monetary procedure) merupakan upaya


mengidentifikasi, mengukur dan mengalokasikan biaya lingkungan berdasarkan
perilaku aliran keuangan dalam biaya tersebut.

1.1.1.2 Physical Accounting (berbasis pada material flow balance procedure) adalah
suatu pendekatan untuk mengidentifikasi berbagai perilaku sumber biaya
lingkungan. Hal ini akan berguna bagi manajemen untuk dasar alokasi biaya
lingkungan yang terjadi.
Dengan pendekatan gabungan ini dapat dihasilkan alokasi biaya produksi yang
tepat sehingga benar-benar mencerminkan harga pokok yang akurat setiap produk.
Selain itu manajemen dapat melakukan pengendalian terhadap aktivitas produksi yang
mengakibatkan munculnya berbagai biaya lingkungan.

EMA merupakan konsep komprehensif untuk mengidentifikasi sumber biaya


dan mengukur biaya lingkungan. Menurutnya limbah menjadi mahal bukan karena

11 | P a g e
biaya pembuangannya, tetapi karena terbuangnya nilai beli bahan. Sehingga limbah
merupakan pertanda inefisiensi produksi. Namun EMA mempunyai kelemahan, yaitu
kurang bakunya definisi atas biaya lingkungan dan tarikan kepentingan dari pihak
manajemen dalam melaporkan biaya lingkungan

2.7 PENERAPAN GREEN ACCOUNTING (AKUNTANSI HIJAU) SEBAGAI


SARANA PENDETEKSI DINI BENCANA LINGKUNGAN

Green accounting muncul sebagai penyediaan informasi pengelolaan lingkungan


untuk membantu manajemen dalam memutuskan harga, mengendalikan overhead dan
pelaporan informasi lingkungan kepada publik. Melalui peran aktif akuntan, diharapkan
akan mampu mendeteksi bencana lingkungan lebih dini melalui pengungkapan laporan
keuangan perusahaan.Saat ini telah berkembang suatu kebutuhan atas adanya suatu
sarana yang dapat memberikan informasi mengenai aspek sosial, lingkungan dan
keuangan secara sekaligus. Sesungguhnya kebutuhan tersebut sudah mulai menjadi
pembahasan yang ramai dalam profesi akuntansi di sekitar tahun 1990-an. Laporan yang
memuat informasi sosial, lingkungan dan keuangan sekaligus disebut ”triple bottom line
reporting” yang di dalamnya sarat muatan diantaranya dengan isu ”akuntansi hijau”.
Jika laporan keuangan dengan kandungan tiga aspek tersebut dapat disediakan oleh
profesi akuntansi maka julukan bahwa ”laporan keuangan” merupakan sumber
informasi utama untuk pengambilan keputusan akan tetap dapat disandangnya. Namun,
jika tidak maka lambat laun para pengguna (users) akan beralih mencari sumber
informasi baru yang lebih komprehensif.

Konsep green accounting sebenarnya sudah mulai berkembang sejak tahun


1970-an di Eropa, diikuti dengan mulai berkembangnya penelitian-penelitian yang
terkait dengan isu green accounting tersebut di tahun 1980-an (Bebbington,1997; Gray,
dkk.,1996). Di negara-negara maju seperti yang ada di Eropa (Roussey,1992), Jepang
(Djogo,2006) perhatian akan isu-isu lingkungan ini berkembang pesat baik secara teori
maupun praktik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peraturan terkait dengan
lingkungan ini.
Cooper menjelaskan istilah green accounting dalam artikelnya sebagai berikut:

12 | P a g e
The introduction of “green accounting”, however well thought out, will, under
the present phallogocentric system of accounting, do nothing to avert today’s
environmental crisis. In fact, it could make matters even worse (Cooper, 1992, p. 36).
Istilah lain yang terkait dengan green accounting adalah environmental accounting
sebagaimana yang ditegaskan oleh Yakhou dan Vernon (2004) yakni penyediaan
informasi pengelolaan lingkungan untuk membantu manajemen dalam memutuskan
harga, mengendalikan overhead dan pelaporan informasi lingkungan kepada publik.
McHugh (2008) menjelaskan kinerja lingkungan ini dengan istilah Sustainability
Accounting. Sementara Lindrianasari (2007) memberi istilah dengan Environmental
Accounting Disclosure. Selain itu, green accounting juga dikaitkan dengan Triple
Bottom Line Reporting (Raar, 2002). Istilah terakhir ini juga dikenal dengan Social and
Environmental Reporting dimana dalam pelaporannya keuangannya, perusahaan
melaporkan kinerja aktivitas operasional perusahaan, kinerja lingkungan, dan kinerja
sosialnya (Markus dan Ralph, 1999). Istilah lain bisa juga dipakai misalnya
Environmental Accounting, Social Responsibility Accounting, dan lain sebagainya
(Sofyan Syafri Harahap, 2002).

Pengungkapan akuntansi lingkungan di negara-negara berkembang memang


masih sangat kurang. Banyak penelitian yang berkembang di area social accounting
disclosure memperlihatkan bahwa pihak perusahaan melaporkan kinerja lingkungannya
masih sangat terbatas. Lindrianasari (2007) menegaskan bahwa salah satu faktor
keterbatasan itu adalah lemahnya sangsi hukum yang berlaku di negara tersebut.
Lindrianasari (2007) menukil penelitian Mobus (2005) yang menemukan bahwa
terdapat hubungan yang negatif antara sangsi hukum pengungkapan lingkungan yang
wajib dengan penyimpangan aturan yang dilakukan oleh perusahaan

Praktik akuntansi lingkungan di Indonesia sampai saat ini belumlah efektif.


Cepatnya tingkat pembangunan di masing-masing daerah dengan adanya otonomi ini
terkadang mengesampingkan aspek lingkungan yang disadari atau tidak pada akhirnya
akan menjadi penyebab utama terjadinya permasalahan lingkungan. Para aktivis
lingkungan di Indonesia menilai kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini
disebabkan oleh ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan regulasi.
Ketidakkonsistenan pemerintah misalnya mengabaikan regulasi mengenai tata ruang.

13 | P a g e
Kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung dijadikan kawasan industri,
pertambangan dan kawasan komersial lain. Otonomi daerah telah mengubah
kewenangan bidang lingkungan menjadi semakin terbatas di tingkat kabupaten/kota.
Tanpa kontrol yang kuat dari pemerintah pusat atau provinsi, potensi kerusakan
lingkungan akan semakin besar.

Pemanasan global menjadi pembahasan banyak negara pada akhir-akhir ini


misalnya. Salah satu sumber penyebabnya tidak lain adanya eksploitasi tak bertanggung
jawab yang dilakukan oleh manusia. Atmosfir bumi yang berfungsi sebagai penyaring
panas sinar matahari menjadi berlubang sebagai akibat dari “efek rumah kaca”. Produk-
produk industri tak ramah lingkungan menghasilkan zat-zat yang mengakibatkan
berlubangnya lapisan ozon yang ada di atmosfir bumi. Akibat lebih lanjut terjadinya
berbagai anomali perubahan iklim. Bahkan disinyalir, hingga akan tenggelamnya
sebagian permukaan daratan di muka bumi karena mencairnya es di kutub. Siapa yang
harus bertanggung jawab? Tentunya manusia di bumi ini. Para tenaga ahli memikirkan
berbagai cara terbaik untuk menanggulangi bencana ini. Pemerintah di berbagai negara
membuat berbagai aturan dalam rangka untuk mencegah agar bencana ini tidak
berlanjut. Lantas bagaimana peran dan kontribusi profesi akuntansi untuk ikut ambil
bagian dalam mencegah kerusakan bumi ini? Green accounting (akuntansi hijau)
jawabannya.

Akuntansi merupakan wacana yang dipengaruhi dan mempengaruhi


lingkungannya. Akuntansi tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang juga
terus berkembang. Eksistensinya tidak bebas nilai terhadap perkembangan masa.
Metode-metode pembukuan yang dikenalkan oleh Luca Pacioli pada waktu itu
dipandang sudah mencukupi dan memadai lantaran mampu memecahkan masalah
pelaporan dan pembukuan bisnis yang diperlukan pada masa tersebut, namun ketika
kompleksitas bisnis semakin tinggi, diperlukan metode-metode pengukuran, pengakuan
dan pelaporan yang lebih advanced (Utomo, 2001). Alhasil, akuntansi terus
berkembang menyesuaikan kebutuhan zamannya.
Manakala gerakan peduli lingkungan (green movement) melanda dunia,
akuntansi berbenah diri agar siap menginternalisasi berbagai eksternalitas yang muncul
sebagai konsekuensi proses industri, sehingga lahir istilah green accounting atau

14 | P a g e
akuntansi lingkungan (environmental accounting). Demikian pula waktu sebagian
industri mulai menunjukkan wajah sosialnya (capitalism with human face), yang
ditunjukkan dengan perhatian pada employees dan aktivitas-aktivitas community
development, serta perhatian pada stakeholders lain, akuntansi mengakomodasi
perubahan tersebut dengan memunculkan wacana akuntansi sosial (social responsibilty
accounting). Sejak memahami akuntansi sebagai bagian dari fungsi service baik sosial,
budaya, ekonomi bahkan politik, maka banyak faktor mempengaruhi akuntansi itu
sendiri. Belkoui dan Ronald (1991) menjelaskan bahwa budaya merupakan faktor utama
yang mempengaruhi perkembangan struktur bisnis dan lingkungan social, yang pada
akhirnya akan mempengaruhi akuntansi.
Konsekuensi dari wacana akuntansi sosial dan lingkungan ini pada akhirnya
memunculkan konsep Socio Economic Environmental Accounting (SEEC) yang
sebenarnya merupakan penjelasan singkat pengertian Triple Bottom Line (Wiedmann
dan Manfred, 2006) dimana pelaporan akuntansi ke publik tidak saja mencakup kinerja
ekonomi tetapi juga kinerja lingkungan dan sosialnya. Triple-Bottom-Line (TBL)
accounting is a wide-spread concept for firms wishing to realise broader societal and
environmental objectives in addition to increasing shareholder value. TBL accounts
routinely cover social, economic and environmental indicators and enable decision-
makers to quantify trade-offs between different facets of sustainability (Wiedmann dan
Manfred, 2006, page 2).
SEEC ini merupakan perluasan wacana dari Corporate Social Responsibility. Jadi
tidak sekedar mengelola permasalahan-permasalahan sosial seperti sumber daya
manusia baik internal maupun eksternal seperti masyarakat, masalah sosial lain seperti
beasiswa pendidikan, kepedulian sosial lainnya tetapi juga mengelola permasalahan
lingkungan dan penyebab kerusakannya. Itulah sebabnya, dalam SEEC dikenal istilah
TBL, karena tidak saja melaporkan kinerja ekonomi dan sosial tetapi juga konservasi
lingkungan oleh perusahaan harus diungkapkan.
Akuntansi lingkungan kerap kali dikelompokkan dalam wacana akuntansi
sosial. Hal ini terjadi karena kedua diskursus tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu
menginternalisasi eksternalitas (lingkungan sosial dan lingkungan ekologis), baik positif
maupun negatif, ke dalam laporan keuangan perusahaan. Serupa dengan akuntansi
sosial, akuntansi lingkungan juga menemui kesulitan dalam pengukuran nilai cost and

15 | P a g e
benefit eksternalitas yang muncul dari proses industri. Bukan hal yang mudah untuk
mengukur kerugian yang diterima masyarakat sekitar dan lingkungan ekologis yang
ditimbulkan polusi udara, limbah cair, kebocoran tabung amoniak, kebocoran tabung
nuklir atau eksternalitas lain. Pelaporan baik kinerja sosial maupun kinerja lingkungan
ini tidak didapati dalam laporan keuangan yang konvensional, dimana dalam laporan
keuangan yang konvensional hanya dijumpai laporan kinerja ekonomi saja
Di tahun 1990, sebuah polling pendapat di Amerika Serikat (Bragdon dan
Donovan, 1990) dan beberapa negara (Choi, 1999) melaporkan bahwa kebanyakan
orang merasa bahwa wacana lingkungan merupakan hal yang penting dan persyaratan
dan standar untuk itu janganlah dipersulit, serta pengembangan lingkungan yang
berkelanjutan haruslah terus ditingkatkan dengan tentu saja mempertimbangkan kos-nya
(Bragdon dan Donovan, 1990). Hasil dari polling pendapat ini menyarankan bahwa
stakeholders fokus dalam hal perusahaan bertanggungjawab terhadap permasalahan
lingkungan hidup. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk
mengkomunikasikan perhatian mereka terhadap permasalahan lingkungan hidup ini,
meliputi surat kabar, publikasi bisnis, televisi dan atau radio, serta laporan keuangan
tahunan (Gamble, dkk., 1995).
Saat ini tidak ada standar yang baku mengenai item-item pengungkapan
lingkungan. Namun, beberapa institusi telah mengeluarkan rekomendasi pengungkapan
lingkungan, antara lain Dewan Ekonomi dan Sosial - Perserikatan Bangsa-Bangsa
(ECOSOC-PBB), Ernst and Ernst, Institute of Chartered Accountant in England and
Wales (ICAEW) dan Global Reporting Initiative (GRI). Motivasi yang
melatarbelakangi perusahaan untuk melaporkan permasalahan lingkungan lebih
didominasi oleh faktor kesukarelaan (Ball, 2005; Choi, 1999), kapitalisasi atau
pembiayaan dari permasalahan lingkungan serta adanya kewajiban bersyarat yang diatur
dalam standard akuntansi seperti FASB (Gamble, dkk., 1995), adanya teori keagenan
(Watts dan Zimmerman’s. 1978), teori legitimasi dan teori ekonomi politik (Gray, dkk.,
1995).

16 | P a g e
2.8 Peran Akuntan Dalam Mendeteksi bencana lingkungan melalui penerapan
green accounting (akuntansi hijau)

green Accounting secara substansi keberadaan adalah dalam rangka memperkuat


kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan
stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasioal, maupun global. Di dalam
pengimplementasiaannya, diharapkan agar unsur-unsur perusahaan, pemerintah dan
masyarakat saling berinteraksi dan mendukung, supaya CSR dapat diwujudkan secara
komprehensif, sehingga dalam pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan
pertanggungjawabannya dapat dilaksanakan bersama.

Pada bulan September tahun 2004, International Organization for


Standardization atau ISO), sebagai induk organisasi standardisasi internasional berhasil
menghasilkan panduan dan standardisasi untuk tanggung jawab sosial, yang diberi nama
ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO 26000 menjadi standar
pedoman untuk penerapan CSR. ISO 26000 mengartikan CSR sebagai tanggung jawab
suatu organisasi yang atas dampak dari keputusan dan aktivitanya terhadap masyarakat
dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis. Namun demikian,
pengaturan CSR di dalam peraturan perundangan-undangan Indonesia tersebut masih
menciptakan kontroversi dan kritikan. Kalangan pebisnis CSR dipandang sebagai suatu
kegiatan sukarela, sehingga tidak diperlukan pengaturan di dalam peraturan perundang-
undangan. Menurut Ketua Umum Kadin, Mohammad S. Hidayat, CSR adalah kegiatan
di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-
undangan formal, sehingga jika diatur akan bertentangan dengan prinsip kerelaan dan
akan memberikan beban baru kepada dunia usaha. Di lain pihak, Ketua Panitia Khusus
UU PT, Akil Mochtar menjelaskan bahwa kewajiban CSR terpaksa dilakukan karena
banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia lepas dari tanggung
jawabnya dalam mengelola lingkungan. Selain itu kewajiban CSR sudah diterapakan
pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang mewajibkan BUMN untuk
memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban
ini diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengang
BUMN.

17 | P a g e
Pada kenyataannya, memang dapat kita lihat berbagai kasus pencemaran atau
kerusakaan lingkungan yang diakibatkan karena aktivitas perusahaan kurang
bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya dan konflik antara
perusahaan dengan masyrakat di sekitarnya, karena kurang memperhatikan keadaan
masyarakat tersebut. Beberapa kasus tersebut diantaranya adalah: kasus lumpur Lapindo
di Porong, pencemaran lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, konflik antara
masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan
Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun. Berdasarkan atas munculnya berbagai
aktivitas perusahaan yang tidak bertanggung jawab, sehingga mengakibatkan kerusakan
lingkungan hidup dan terjadinya konflik dengan masyarakat sekitarnya, maka disinilah
peran akuntan untuk berpartisipasi aktif mencegah terjadinya bencana dan kerusakan
lingkungan.
Akuntansi sebagai disiplin ilmu dan profesi, aktivitasnya terkait dengan
penyediaan informasi dalam rangka pengambilan keputusan ekonomi. Informasi apa
yang disediakan? Hal ini tergantung pada kebutuhan para penggunanya. Pengambilan
keputusan ekonomi dalam arti sempit cukup hanya melihat kinerja keuangan suatu
entitas. Jika entitas menghasilkan laba besar, maka kondisi ini dijadikan tolak ukur oleh
para pengguna informasi untuk mengambil keputusan ekonomi. Calon investor
menanamkan modalnya, para kreditor memberikan pinjamannya dan sebagainya.
Apakah pemikiran seperti di atas masih relevan untuk saat ini? Tentu tidak cukup.
Simpulan baik atau buruknya kinerja suatu entitas tidak cukup hanya melihat dari
besarnya laba yang dihasilkan oleh entitas. Tidaklah baik entitas yang berlaba besar
namun operasinya merusak lingkungan atau tak mempedulikan aspek sosial di
sekitarnya. Sehingga, saat ini telah berkembang suatu kebutuhan atas adanya suatu
sarana yang dapat memberikan informasi mengenai aspek sosial, lingkungan dan
keuangan secara sekaligus. Sesungguhnya kebutuhan tersebut sudah mulai menjadi
pembahasan yang ramai dalam profesi akuntansi di sekitar tahun 1990-an. Laporan yang
memuat informasi sosial, lingkungan dan keuangan sekaligus disebut ”triple bottom line
reporting” yang di dalamnya sarat muatan diantaranya dengan isu ”akuntansi hijau”.
Jika laporan keuangan dengan kandungan tiga aspek tersebut dapat disediakan
oleh profesi akuntansi maka julukan bahwa ”laporan keuangan” merupakan sumber
informasi utama untuk pengambilan keputusan akan tetap dapat disandangnya. Namun,

18 | P a g e
jika tidak maka lambat laun para pengguna (users) akan beralih mencari sumber
informasi baru yang lebih komprehensif. Siapkah profesi akuntan untuk mengantisipasi
perkembangan kebutuhan informasi para stakeholder-nya? Bukanlah hal yang mudah
untuk menyajikan laporan tersebut. Sehingga hal ini, disatu sisi merupakan peluang,
namun di sisi lain merupakan ancaman bagi profesi akuntansi.

2.9 Peran Akuntan Manajemen dan Pelaporan Ramah Lingkungan

Penyempurnaan kandungan informasi dalam laporan keuangan yang ada saat ini
dapat dilakukan antara lain melalui pengaturan dalam akuntansi manajemen dan
akuntansi keuangan. Akuntan manajemen dapat memulainya dengan meningkatkan
perannya. Professional Accountants in Business (PAIB) Committee IFAC, Agustus
2006 menerbitkan tulisan yang berjudul “Why Sustainability Counts for Professional
Accountants in Business”. Tulisan tersebut mendorong agar akuntan manajemen
profesional dapat mengambil peran untuk memberikan pemahaman, melakukan
tindakan dan mencapai efisiensi entitas melalui praktik usaha yang ramah lingkungan.
Peran tersebut dapat dilakukan oleh akuntan manajemen dalam berbagai organisasi dan
berbagai posisi jabatanya dalam organisasi tersebut. Tiga di antara banyak peran yang
dapat dilakukan terkait dengan peningkatan kualitas informasi lingkungan dan sosial
perusahaan. Pertama, mengembangkan kebijakan yang terkait dengan masalah
sustainability. Selanjutnya, menerapkan dan memantau dan mengelola risiko yang
terkait dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Kedua, mengidentifikasi secara sukarela
aspek lingkungan dan sosial yang sesuai dengan usaha atau operasi perusahaan dengan
sistem informasi manajemen yang ada. Ketiga, mempertahankan dan memperluas
pengetahuan dari peraturan perundang-undangan, pajak dan subsidi yang dapat
diterapkan dunia usaha termasuk ketentuan yang terkait dengan kewajiban penyediaan
informasi lingkungan dan sosial perusahaan yang relevan. Selain itu, International
Federation of Accountants (IFAC) juga telah menerbitkan Guide book for
Environmental Management Accounting (EMA). Akuntansi manajemen lingkungan
merupakan pengelolaan kinerja lingkungan dan ekonomi melalui pengembangan dan
penerapan praktik dan sistem akuntansi terkait lingkungan yang tepat. Selain itu, United
Nations Expert Working Group on EMA mendefinisikan “akuntansi manajemen
lingkungan” adalah seluruh kegiatan dalam rangka mengidentifikasi, mengumpulkan,

19 | P a g e
menganalisis dan menggunakan dua informasi utama untuk pengambilan keputusan
internal. Informasi pertama mengenai informasi fisik atas penggunaan, aliran dan tujuan
akhir dari energi, air dan bahan baku (termasuk limbah). Sedangkan informasi kedua
mengenai informasi moneter atas lingkungan, terkait dengan biaya, laba dan
penghematan.
Akuntansi manajemen lingkungan mengembangkan biaya-biaya yang harus
ditanggung perusahaan sebagai upaya untuk mengendalikan dan mencegah limbah dan
polusi yang dapat merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Misalnya, biaya-biaya
yang terjadi untuk mencegah dihasilkannya limbah atau polusi; biaya pengendalian dan
daur ulang limbah yang dihasilkan; dan biaya untuk memulihkan wilayah yang terkena
polusi. Jenis biaya-biaya ini sering disebut sebagai environmental protection
expenditures (EPEs). Meskipun demikian biaya-biaya terkait dengan EMA bukanlah
hanya EPE, tetapi termasuk di dalamnya seluruh biaya yang secara efektif dikeluarkan
untuk mengelola kinerja lingkungan.
Akuntansi bahan fisik (physical material accounting) ditujukan untuk
menyediakan informasi fisik penggunaan bahan dan produk fisik yang dihasikan.
Pasokan bahan baku adalah energi, air atau bahan baku lainnya ke dalam entitas.
Keluarannya adalah produk, limbah atau bahan lainnya yang ditinggalkan entitas. Ada
keluaran yang bukan produk keluaran yang diistilahkan sebagai non-produk keluaran.
Entitas yang menggunakan energi dan bahan baku tetapi entitas tersebut bukan industri
manufaktur yang menghasilkan produk fisik, seperti transportasi dan sektor jasa lainnya,
semua energi, air dan bahan baku lainnya yang digunakan, seringkali, akan
meninggalkan non-produk keluaran.

Tabel 9-1 Informasi Fisik atas Penggunaan Bahan dan Produk Keluaran

Bahan Masukan Produk Keluaran Non-produk Keluaran


Bahan Baku dan Produk Utama (termasuk Limbah padat
Pendukung kemasan)
Bahan Kemasan Produk Sampingan Limbah berbahaya
(termasuk kemasan)
Bahan Jadi Limbah cair

20 | P a g e
Bahan Operasi Polusi udara
Air
Energi

Akuntansi moneter (monetary accounting) ditujukan untuk memberikan informasi


dampak moneter atas penggunaan bahan dan produk keluaran yang dihasilkan dalam
proses produksi atau pemberian jasa yang dilakukan entitas. Biaya-biaya yang terjadi
dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis biaya.

1.1.1.3 Biaya bahan dari produk keluaran.


Biaya-biaya tersebut termasukbiaya perolehan dari sumber daya alam seperti air dan
bahan baku lain yang diubah menjadi produk, produk sampingan dan kemasan.

1.1.1.4 Biaya bahan dari nonproduk keluaran.


Biaya-biaya tersebut termasuk biaya perolehan (dan kadangkala biaya pemrosesan)
energi, air dan bahan lain untuk menjadi non-produk keluaran (limbah dan polusi).

1.1.1.5 Biaya pengendalian limbah dan polusi.


Biaya-biaya tersebut termasuk untuk penanganan, pendauran dan pembuangan limbah
dan polusi; biaya pemulihan dan kompensasi terkait kerusakan lingkungan; dan biaya
dalam rangka analisis dampak lain lingkungan.

1.1.1.6 Biaya pencegahan dan pengelolaan lingkungan lainnya.


Biaya-biaya tersebut termasuk biaya kegiatan pengelolaan pencegahan lingkungan
seperti perencanaan dan sistem lingkungan, pengukuran lingkungan, komunikasi
lingkungan dan kegiatan lain yang relevan.

1.1.1.7 Biaya riset dan pengembangan.


Biaya-biaya tersebut termasuk biaya-biaya riset dan pengembangan terkait proyek
lingkungan.

21 | P a g e
1.1.1.8 Less tangible costs.
Biaya-biaya tersebut termasuk biaya-biaya, baik internal dan eksternal, terkait isu less
tangible. Misalnya, termasuk kewajiban, regulasi di masa depan, produktivitas, citra
perusahaan, hubungan dengan para stakeholder dan eksternalitas.

2.10 Faktor-Faktor yang Dipertimbangkan Dapat Membantu Mendeteksi


bencana lingkungan melalui penerapan green accounting (akuntansi hijau).

Akuntansi Keuangan dan Pelaporan Aspek Lingkungan

Penyajian informasi dalam laporan keuangan dapat dilakukan dengan cara


memberikan tambahan informasi melalui pengungkapan (disclosure) atau dalam data
kuantitatif pada komponen laporan keuangan (neraca, laporan laba rugi dan laporan arus
kas). Penyajian informasi lingkungan melalui ”pengungkapan” dapat dilakukan dengan
membuat ikhtisar kegiatan perusahaan terkait dengan upaya-upaya untuk melestarikan
lingkungan, hasil penilaian pihak independen terkait dengan kepatuhan entitas terhadap
kelestarian lingkungan.
Cara pengungkapan lainnya dengan melampirkan secara terinci laporan analisis
dampak lingkungan dalam laporan keuangan. Pengungkapan seperti ini dimungkinkan
dalam PSAK 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan. PSAK 1 paragraf 9 menyatakan,
”Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti mengenai lingkungan
hidup dan laporan nilai tambah, khususnya bagi industri dimana faktor-faktor
lingkungan hidup memegang peranan penting ...”.
Berikutnya, informasi tanggung jawab atas lingkungan juga dapat disajikan
dalam laporan keuangan inti. Misalnya, peralatan yang disediakan dalam rangka untuk
menetralisasi pencemaran lingkungan dapat disajikan sebagai aset tetap. PSAK 16
(revisi 2007) tentang Aset Tetap paragraf 11 menyatakan, ”Aset tetap dapat diperoleh
untuk alasan keamanan atau lingkungan. Perolehan aset tetap semacam itu, di mana
tidak secara langsung meningkatkan manfaat ekonomik masa depan dari suatu aset tetap
yang ada, mungkin diperlukan bagi entitas untuk memperoleh manfaat ekonomik masa
depan dari aset yang lain.” Contoh lainnya, biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
untuk mencegah, mengantisipasi dan memulihkan lingkungan dari pencemaran dapat

22 | P a g e
diakui sebagai beban dalam laporan laba rugi. Biaya-biaya yang telah terjadi dapat
segera diakui dalam laporan laba rugi sebagai beban terkait pemeliharaan lingkungan.
Selain itu, PSAK 57 tentang Kewajiban Diestimasi, Kewajiban Kontinjensi dan Aset
Kontinjensi, juga memungkinkan untuk mengakui beban sebelum dikeluarkannya biaya,
dalam rangka memenuhi ketentuan hukum atau aspek konstruktif lainnya.
Ketentuan akuntansi yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan yang ada
saat ini sudah memberikan pengaturan yang relatif jelas mengenai cara menyajikan
informasi kepedulian lingkungan dalam laporan keuangan. Tinggal kini bagaimana
penyusun laporan keuangan dan
manajemen entitas memiliki keinginan untuk melaporkan informasi tersebut dalam
laporan keuangan. Sebab, pengakuan beban terkait dengan lingkungan dalam laporan
laba rugi seringkali menimbulkan kekhawatiran manajemen. Mereka khawatir jika biaya
tersebut dikeluarkan akan berdampak pada membesarnya harga pokok pembuatan
produknya. Akibatnya harga jual produk akan menjadi lebih tinggi sehingga daya saing
perusahaan ditinjau dari penetapan harga jual produk tak dapat bersaing di pasaran.
Investasi Lingkungan dan Citra Perusahaan

Investasi untuk menjadi entitas ramah lingkungan perlu biaya besar. Hal ini yang
sering menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk nekad melaksanakan operasinya
tanpa mempedulikan dampak lingkungan yang diakibatkannya. Misalnya, perusahaan
dengan tanpa memasang peralatan penetral limbah dari produk-produk kimia akan
mengeluarkan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang
memasang alat penetral limbah. Harga produk perusahaan tersebut lebih murah dengan
kualitas sama. Pelanggan akan memilih produk yang harganya murah dan berkualitas
jika dibanding produk yang sama dengan harga lebih mahal. Untuk sementara
waktu, kondisi seperti ini memang memiliki kesan lebih menguntungkan. Namun, jika
ditinjau secara makro sebetulnya kerugian yang besar telah terjadi. Kerugian
masyarakat akibat pencemaran yang terjadi karena produk menghasilkan limbah yang
mencemarkan lingkungan tidak diperhitungkan. Padahal dari usaha perusahaan yang tak
ramah lingkungan masyarakat menanggung kerugian yang lebih besar dari keuntungan
yang diraup oleh perusahaan tersebut. Sehingga, saat ini padangan masyarakat pun telah
berubah. Produk ramah lingkungan sudah mulai banyak dipilih oleh para pelanggan.
Keputusan pelanggan untuk membeli produk tidak hanya semata didasarkan hanya pada

23 | P a g e
murahnya harga produk tetapi informasi non-finansial juga menjadi penentu. Produk
dengan label ramah lingkungan, misalnya akan dipilih untuk dibeli. Investasi
yang besar dalam upaya untuk ramah lingkungan, dengan berubahnya pola pikir
pelanggan, dengan sendirinya akan ditutup dari hasil penjualan produk dan bahkan akan
meningkatkan keuntungan perusahaan. Banyak perusahaan besar di dunia (seperti
Microsoft, IBM, HSBC, Anglo American dan Roche) menggunakan sustainability
sebagai inti dari strategi usahanya.
Sustainable Development Manager, Paul Monaghan, mengatakan bahwa Co-op
Bank telah mendapatkan kelebihan keuntungan sebesar 40 juta poundsterling dari
manfaat etik dan ekologi yang dilaporkannya dalam sustinability reporting. Baxter
International, perusahaan Amerika yang bergerak di bidang kesehatan, menganalisis
bahwa biaya kepatuhan lingkungan dan program lainnya mendatangkan penghematan.
Baxter menghemat sebesar 69 juta dollar untuk biaya lingkungan yang dikeluarkan
sebesar 22 juta dollar. Produk ramah lingkungan semakin digemari oleh masyarakat.
Masyarakat tidak semata hanya mempertimbangkan harga murah untuk memutuskan
membeli produk. Ramah lingkungan mulai banyak digunakan oleh perusahaan besar
sebagai strategi pengembangan usahanya. Label perusahaan ramah lingkungan mulai
kini dan di masa depan menjadi pilihan.
Profesi akuntansi pada dasarnya telah siap untuk menghadapi perubahan
kebutuhan informasi para stakeholder-nya. Informasi sosial, lingkungan dan keuangan
(triple bottom line) memungkinkan untuk dikemas dalam sebuah laporan keuangan yang
komprehensif karena akuntansi manajemen dan akuntansi keuangan telah menyediakan
fasilitas untuk menginformasikan hal tersebut.
Namun ironisnya, mengapa pemanasan global mulai terjadi. Logikanya jika
akuntansi efektif menjadi sarana informasi, antisipasi atas akan terjadinya pemanasan
global sudah dapat diperoleh sedini mungkin. Sehingga bencana ini sudah dapat
diantisipasi sebelumnya. Masih banyakkah pihak-pihak yang tega merusak alam demi
keuntungan sementara usahanya? Ternyata peran akuntansi saja tidak cukup untuk
menyadarkan mereka. Bersatu bersama-sama dari berbagai pihak pemerintah,
pengusaha, para ahli lingkungan, para profesional, pengusaha dan berbagai pihak
lainnya untuk mencegah terjadinya bencana yang akan menimpa bumi ini.

24 | P a g e
2.11 Bentuk Pertanggungjawaban Lingkungan
Kualitas lingkungan adalah kebaikan publik, dimana setiap orang menikmatinya
tanpa peduli siapa yang membayar untuknya. Jika suatu produk yang dihasilkan suatu
perusahaan tentunya membawa dampak negatif tehadap lingkungan (pencemaran
lingkungan) seperti, polusi udara, tanah dan air. Dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Polusi Udara

Beberapa proses produksi menimbulkan polusi udara yang sangat berbahaya


bagi lingkungan masyarakat karena bisa menimbulkan penyakit dan saluran pernapasan.
Contohnya seperti, polusi kendaraan, produksi bahan bakar dan baja. Suatu perusahaan
tentunya mempunyai tujuan untuk menghasilkan suatu produknya  yang baik dengan
begitu mereka berusaha agar yang dihasilkan tidak membahayakan lingkungan, contoh
pada perusahaan otomotif dan baja telah mengurangi polusi udara dengan mengubah
proses produksinya sehingga lebih sedikit karbon dioksida yang dilepaskan ke udara.

Peranan pemerintah dalam mencegah polusi udara. Pemerintah juga terlibat


dalam memberlakukan pedoman tertentu yang mengharuskan perusahaan untuk
membatasi jumlah karbon dioksida yang ditimbulkan olehproses produksi. Pada tahun
1970, Environmental Protection Agency(EPA), diciptakan untuk mengembangkan dan
memberlakukan standar polusi.

 Polusi Tanah

Tanah telah terpolusi oleh limbah yang beracun yang dihasilkan dari beberapa
proses produksi. Akibatnya tanah akan rusak tidak subur dan akan berdampak buruk
bagi pertanian. Dengan begitu perusahaan harus mempunyai suatu strategi yang
mengarah pada pencegahan terhadap polusi tanah. Misalkan, perusahaan merevisi
produksi dan pengemasan guna mengurangi jumlah limbah. Perusahaan juga harus
menyimpan limbah beracunnya ditempat yang khusus untuk limbah beracun dan
perusahaan juga bias mendaur ulang membatasi penggunaan bahan baku yang pada
akhirnya akan menjadi limbah padat. Ada banyak perusahaan yang memiliki program
lingkungan yang didesain untuk mengurangi kerusakan lingkuperngan. Contoh,

25 | P a g e
perusahaan Homestake Mining Company mengakui bahwa operasi penambangannnya
merusak tanah, sehingga perusahaan tersebut mengelurkan uang untuk meminimalkan
dampak terhadap lingkungan.

 Polusi Air / Pencemaran Air

Pencemaran air mengacu pada perubahan fisik, biologi, kimia dan kondisi badan
air yang akan mengganggu keseimbangan ekosistem.Seperti jenis polusi, hasil polusi air
bila jumlah besar limbah yang berasal dari berbagai sumber polutan tidak dapat lagi
ditampung oleh ekosistem alam.

Sebenarnya ada alasan tertentu yang berada di belakang apa yang menyebabkan
pencemaran air. Namun, penting untuk membiasakan diri dengan dua kategori utama
pencemaran air, polusi beberapa datang langsung dari lokasi tertentu seseorang. Jenis
polusi disebut pencemaran sumber titik seperti pipa air tercemar limbah yang mengalir
ke sungai dan lahan pertanian. Sementara itu, polusi sumber non-titik adalah polusi
yang berasal dari daerah-daerah besar seperti bensin dan kotoran lain dari jalan raya
yang masuk ke danau dan sungai. Salah satu penyebab utama pencemaran air yang telah
menyebabkan masalah kesehatan lingkungan yang serius dan merupakan polutan yang
berasal dari bahan kimia dan proses industri. Ketika pabrik-pabrik dan produsen
menuangkan bahan kimia dan limbah ternak langsung ke sungai dan sungai, air menjadi
beracun dan tingkat oksigen yang habis menyebabkan banyak organisme air mati.
Limbah ini termasuk pelarut dan zat-zat beracun. Sebagian besar limbah tidak
biodegradable. tanaman Power, pabrik kertas, kilang, pabrik-pabrik mobil membuang
sampah ke sungai. Jadi suatu perusahaan sangat berperan penting dalam menengani
masalah tersebut dengan melakukan penilitian dan strategi untuk mencegah terjadinya
polusi air. Jadi pad prinsipnya perusahaan harus melakukan ada dua cara untuk
menanggulangi pencemaran, yaitu penanggulangan non-teknis dan secara teknis.
Penanggulangan secara non-teknis yaitu usaha untuk mengurangi pencemaran
lingkungan dengan cara menciptakan peraturan perundang-undangan yang dapat
merencanakan,mengatur dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan
teknologi sehingga tidak terjadi pencemaran. Peraturan perundangan ini hendaknya
dapat memberikan gambaran secara jelas tentang kegiatan industri yang akan
dilaksanakan, misalnya AMDAL, pengaturan dan pengawasan kegiatan, serta

26 | P a g e
menanamkan perilaku disiplin. Sedangkan penanggulangan secara teknis bersumber
kepada industri terhadap perlakuan buangannya, misalnya dengan mengubah proses,
mengelola limbah atau menambah alat bantu yang dapat mengurangi pencemaran.

2.12 Etika Lingkungan Hidup


Krisis ekologi dewasa ini telah meluas dan sangat berpengaruh pada pandangan
kosmologis yang menimbulkan eksploitasi terhadap lingkungan. Relevansi pemikiran
untuk memberikan landasan filosofis yang lebih mahal dan cocok semakin diperlukan.
Semuanya ini terfokus pada manusia, sebagai peletak dasar dari semua permasalahan
ini, serta mencari kedudukannya dalam seluruh keserasian alam yang menjadi
lingkungan hidupnya. Olehnya, suatu etika yang mampu memberi penjelasan dan
pertanggungjawaban rasional tentang nilai-nilai, asas dan norma-norma moril bagi sikap
dan perilaku manusia terhadap alam lingkungan ini akan sulit didapatkan tanpa
melibatkan manusia.

Masalah ekologi tidak cukup dihadapi dengam mengembangkan etika


lingkungan hidup. Kalau sudah menyangkut kesejahteraan umum masyarakat,
pemikiran etis saja tidak akan berdaya tanpa didukung oleh aturan-aturan hukum yang
akan dapat menjamin pelaksanaan dan menindak pelanggarannya. Untuk itu perlu
diketahui berbagai teori yang membangun pemikiran tentang etika lingkungan hidup.
Johan galtung mengetengahkan tiga teori etika di bawah ini serta menawarkan teori
etika yang dapat dijadikan sebagai alternatif dengan kelebihannya (J. Sudriyanto, 1992:
13).

1. Etika Egosentris

Etika egosentris adalah etika yang berdasarkan ego (diri). Fokus etika ini adalah
suatu keharusan utuk melakukan tindakan yang baik bagi diri. Kebaikan
individu adalah kebaikan masyarakat yang merupakan klaim yang dianggap sah.
Orientasi etika egosentris didasarkan pada filsafat individualisme dengan
pandangan bahwa individu merupakan atom sosial yang berdiri sendiri (J.
Sudriyanto, 1992: 13).

27 | P a g e
Menurut Sony Karaf (1990: 31), etika egosentris mempercayai bahwa tindakan
setiap orang pada dasarnya bertujuan mengejar kepentingannya sendiri dan demi
keuntungan dna kemajuan pribadi.

Dengan demikian manusia merupakan pelaku rasional dalam mengusahakan


hidup dengan memanfaatkan alam yang berdasarkan pada kenyataan pandangan
yang mekanistik. Teori sosial leberal merupakan penopang utama pandangan
atomisme tersebut. Lima point pokok sebagai ajaran dalam atomisme, yakni:

a. Pengetahuan mekanistik mengasumsikan bahwa segala sesuatu terdiri dari


bagian-bagian yang terpisah. Jika atom-atom merupakan komponen dari
alam, maka manusia sebagai atom merupakan komponen riil dari
masyarakat.

b. Keseluruhan meruapakn hasil penjumlahan dari bagian-bagian. Jika


demikian, maka masyarakat pada hakikatnya merupakan penjumlahan dari
individu-individu sebagai pelaku yang rasional.

c. Pandangan mekanistik menerima asumsi bahwa sebab yang datang dari luar
berlaku dalam bagian-bagian internal. Oleh karena itu, hukum dan aturan-
aturan yang datang dari penguasa-penguasa sebagai bagian eksternal akan
dipertimbangkan oleh masyarakat secara positif.

d. Perubahan keseluruhan terjadi karena perubahan pada bagian-bagian, sama


halnya dengan masyarakat yang perubahan bangunannya dipengaruhi oleh
individu-individu yang hidup disitu.

e. Pandangan ilmiah yang mekanistik demikian akan berimplikasi pada sifat


dualistik. Ada yang utama dan ada hal yang tidak utama seperti dalam
korporate. Artinya secara teoritis etika egosentris menempatkan individu
manusia sebagai bagian paling pokok dalam membangun lingkungan sosial.
(J. Sudriyanto, 1992: 13)

2. Etika homosentris

28 | P a g e
Etika homosentris bertolak belakang dengan etika egosentris dalam arti jika
egosentris lebih menekankan pada individu, maka etika homosentrisme lebih
menitikberatkan pada masyarakat. Model-model yang dijadikan dasarnya adalah
kepentingan sosial dengan memperhatikan hubungan antara pelaku dengan
lingkungan yang mampu melindungi sebagian besar hajat masyarakat. Sony
Keraf (1990: 34) mensinyalir adanya kesamaan antara etika egosentrisme, etika
homosentrime, dan etika utilitarianissme. Ketiganya sama-sama mendasarkan
diri pada tujuan. Penilaian baik buruk suatu tindakan tergantung pada tujuannya
dan akibat dari tindakan itu, inilah inti dari utulitarianisme.

Tujuan dan akibat tiindakan pada etika egosintrisme dialamatkan pada tujuan
dan manfaat pribadi individu. Tujuan dan akibat tindakan pada etika
homosentrisme diukur dengan sejauh mana tujuan dan akibat baik bagi sebanyak
mungkin masyarakat yang dapat dicapai. Akan tetapi homosentrisme lebih dekat
dengan utulitarinisme bahkan keduanya dapat dijadikan sebagai etika universal.
Asumsi yang digunakan oleh etika homosentrisme adalah sifat organis mekanis
dari alam. Setiap bagian merupakan bagian-bagian organ dari bagian lainnya.
Jika salah satu bagian hilang maka keseluruhan akan kurang bahkan tidak
berguna. Antarbagian dari suatu keseluruhan memiliki hubungan yang tidak
terpisahkan dan bersifat saling mempengaruhi. Sayangnya, menurut J.
Sudriyanto (1990: 16) dengan pandangan demikian sumber-sumber kekayaan
alam dikuras terus menerus dengan dalih demi kepentingan kemajuan
masyarakat.

3. Etika ekosentrisme

Etika ekosentrisme merupakan aliran etika yang ideal sebagai pendekatan dalam
mengatasi krisis ekologi dewasa ini. Hal ini disebabkan karena etika ekosentris
lebih berpihak pada lingkungan secara keseluruhan, baik biotic maupun abiotik.
Hal terpenting dalam pelestarian lingkungan menurut etika ekosentris adalah
tetap bertahannya segala yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen
ekosistem yang sehat. Benda-benda kosmis memiliki tanggung jawab moralnya
sendiri seperti halnya manusia. Oleh karena itu, diperkirakan memiliki haknya
sendiri juuga. Karena pandangan yang demikian, etika ini sering kali disebut

29 | P a g e
juga deep ecology (J. Sudriyanto, 1992:243). Deep ecology juga disebut etika
bumi. Bumi dianggap memperluas ikatan-ikatan komunitas secara kolektif yang
terdiri atas manusia, tanah, air, tanaman, binatang. Bumi mengubah peran homo
sapiens manusia menjadi bagian susunan warga dirinya. Sifat holistik ini
menjadikan adanya rasa hormat terhadap bagian yang lain. Etika ekosentris
mempercayai bahwa segala sesuatu selalu dalam hubungan dengan yang lain, di
samping keseluruhan bukanlah sekedar penjumlahan. Jika bagian berubah,
keseluruhan akan berubah pula. Tidak ada bagian dalam sesuatu ekosistem yang
dapat diubah tanpa mengubah bagian yang lain dan keseluruhan.

2.13 Teori Etika


Sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditetukan oleh bagaimana
pandangan seseorang terhadap sesutu itu. Hal itu berlakku untuk banyak hal, termasuk
mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Manusia memiliki
pandangan tertentu terhadap alam, dimana pandagan itu telah menjadi landasan bagi
tindakan dan perilaku manusia terhadap alam. Pandangan tersebut dibahas dalam tiga
teori etika utama yang dikenal shallow environmental ethics, intermediate
environmental ethics, and deep environmental ethics. Ketiga teori ini juga disebut
dengan antroposentisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.

ANTROPOSENTISME

Berdasarkan kata antropos = manusia, adalah suatu pandangan yang


menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisikan
pemikiran bahwa segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus
dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Karena pusat pemikiran adalah
manusia, maka kebijakan alam harus diharapkan untuk mengabdi pada kepentingan
manusia. Alam dilihat hanya sebagai objek , alat dan saran bagi pemenuhan kebutuhan
dan kepentingan manusia. Dengan demikian alam dilihat tidak memliki nilai dalam
dirinya sendiri. Alam dipandang dan diberlakukannya sebagai alat bagi pencapaian
tujuan manusia.

30 | P a g e
Ditiduh salah satu penyebab bagi terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan
inilah yang menyebabkan manusia berani melakukan tindakan eksploitatif terhadap
alam, dengan menguras demi kepentingannya walau banyak kritik yang dilontarkan,
namun sebenarnya argumen yang ada di dalamnya sebagi landasan yang kuat bagi
pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan
hidup yang lebih baik, maka demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban
memelihara dan melestarikannya.

BIOSENTRIS

Biosentris adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang


mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan
demikian, biosentris menolak teori antroposentris yang menyatakan hanya manusialah
yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Teori biosentris berpandangan bahwa
makhluk hidup bukan hanya manusia. Ada banyak hal dan jenis makhluk yang memiliki
kehidupan. Pandangan biosentris mendasarkan, entah pada manusia atau pada makhluk
hidup lainnya karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini
adalah kehidupan, maka secara moral berlaku prinsip bahwa kehidupan di muka bumi
ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan.
Oleh karena itu, kehidupan setiap makhluk hidup pantas dipertimbangkan secara serius
dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan untung rugi
bagi kehidupan manusia.

Biosentris menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan


bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesies
lain di muka bumi. Beiosentris melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan
nilai dalam dirinya sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang
terkandung dalamnya. Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan
kehidupan yang ada di bumi, dan bukan merupakan pusat dari alam semesta, maka
secara biologis manusia tidak ada bedanya dengan makhluk lainnya.

EKOSENTRIS

Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa secara ekologis, baik


makhluk hidup maupun benda-benda abiotik saling terkait satu sama lain. Air di sungai,

31 | P a g e
termasuk abiotik, sangat menentukan bagi kehidupan yang ada di dalamnya. Udara,
walaupun tidak termasuk makhluk hidup, namau sangat menentukan bagi kelangsungan
seluruh makhluk hidup. Jadi ekosentris selain sejalan dengan beiosentrisme – dimana
keduanya sama-sama menetang pandangan antroposentrisme – juga mencakup
komunitas yang lebih luas, yakni komunitas ekologis seluruhnya. Jadi ekosentrisme
menurut tanggung jawab moral yang sama untuk seluruh realitas biologis.

Ekosentrisme disebut juga deep environmental ethics, perhatian teori ini bukan
hanya berpusat pada manusia melainkan pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan
dalam upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat dari
dunia moral. Deep ecology memusatkan perhatian kepada semua makhluk hidup di
bumi, bukan hanya demi kepentingan jangka pendek, melainkan demi kepentingan
seluruh komunitas ekologi.

Deep ecology menganut prinsip biospheric egolitarian-sm, yaitu pengakuan


bahwa seluruh organisme dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari
suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Ini
menyangkut suatu pengakuan bahwa hak untuk hidup dan berkembang untuk semua
makhluk (baik hayati maupun non hayati) adalah sebuah hak universal yang tidak bisa
diabaikan. Sikap deep ecology terhadap lingkugan sangat jelas, yaitu tidak hanya
memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi kesehatan manusia, tetapi juga
pada kehidupan secara keseluruhan. Alam harus dipandang juga dari segi nilai dan
fungsi budaya, sosial, spiritual, medis, dan biologis.

Pembicaraan tentang etika lingkungan sangat diperlukan mengingat kerusakan


lingkungan hidup dan pola pendekatan yang membahayakan masa depan lingkungan
dan manusia itu sendiri. Demikian juga sikap manusia terhadap lingkungan terkait
dengan persoalan ekonomi, cenerung menggunakan pendekatan demi keuntungan
pribadi atau kelompok dan jangka pendek dalam kehidupan. Oleh karena itu, perlulah
diketahui juga tanggung jawab terhadap lingkungan dalam hal keutuhan biosfir dan
generasi yang akan datang. Semboyan etika lingkungan adalah membangu yang tidak
merusak ekosistem. Johan Galtung menawarkan pendekatan alternatif yakni etika
ekosentris tentu dengan mempertimbangkan kelebihannya. Etika ekosentris diyakininya
sebagai pendekatan yang palinng baik dalam mengatasi krisis lingkungan dewasa ini.

32 | P a g e
Hak ini disebabkan karena etika ekosentris lebih berpihak pada lingkungan secara
holistik. Cara demikian akan menjaga tetap bertahannya segala yang hidup dan yang
tidak hidup sebagai bagian yang saling terkait dan saling menguntungkan.

Akan tetapi, pandangan Johan Galtung mengembalikan hubungan yang tidak


jelas antara subjek dan objek, antara aku dan engkau, yang berlaku dalam masyarakat.
Artinya alam diperlukan seperti manusia, tidak ada jarak anatara keduanya, sehingga
membuka kembali ruang untuk praktik-praktik kebatinan lama, menyembah pohon,
batu, dan sejenisnya. Oleh karena itu, teori ekosentris dengan segala kelebihannya
kiranya masih perlu mempertimbangkan homosentris agar tidak mengaburkan konsep
hak, sebab pelestarian lingkungan bukan berarti manusia menghormati hak makhluk
lain untuk eksis, melainkan lebih kepada kewajiban dan tanggung jawab manusia demi
kelestarian dirinya dan generasinya sebagai ciptaan Tuhan yang menjadi pimpinana dan
pemeliharaan di muka bumi.

2.14 Akuntansi Pertanggungjawaban Lingkungan


Tujuan keseluruhan dari perbaikan kinerja lingkungan mengusulkan bahwa
kinerja perbaikan berkelenjutan untuk pengendalian lingkungan adalah yang paling
sesuai. Dalam kenyataanya, sebuah perspektif lingkungan kemungkinan adalah
perspektif kelima dari kerangka kerja Balanceed Scorecard.

Akuntansi pertanggungjawaban berdasarkan aktivitas menampilkan suatu


perubahan signifikan bagaimana tanggung jawab ditempatkan, diukur, dan dievaluasi.
Sistem berdasarkan aktivitas menambah perspektif proses pada perspektif keuangan dari
sistem akuntansi pertanggungjawaban berdasarkan fungsional secara efektif. Jadi,
akuntansi pertanggungjawaban berubah dari sistem satu dimensi kesistem dua dimensi,
dan dari sistem pengendalian ke sistem manajemen pembelajaran.

Sistem manajemen lingkungan berbasis strategi (strategic-based environmental


management system) menyediakan kerangka kerja operasional untuk memperbaiki
kinerja lingkungan. Sebagai contohnya, perspektif lingkungan perlu dihubungkan
dengan perspektif proses untuk memperbaiki kinerja lingkungan. Pengetahuan
mengenai akar penyebab dari aktivitas lingkungan merupakan dasar untuk setiap

33 | P a g e
perubahan desain proses yang dibutuhksn untuk memperbaiki kinerja lingkungan. Jadi,
kerangka kerja balanced scorecard menyediakan tujuan dan ukuran terpadu untuk
mencapai keseluruhan tujuan dari perbaikan kinerja lingkungan.

Jika paradigm ekoefisiensi diterima, maka perspektif lingkungan dapat diterima


sebagai perspektif tambahan dalam Balanced Scorecard karena perbaikan kinerja
lingkungan dapat menjadi sumber dari keunggulan bersaing. Sistem manajemen
berbasis strategi menyediakan kerangka kerja operasional untuk memperbaiki kinerja
lingkungan.

Perspektif lingkungan memiliki lima tujuan utama, yaitu:

1. Meminimalkan penggunaan bahan baku atau bahan yang masih asli;


2. Meminimalkan penggunaan bahan berbahaya;
3. Meminimalkan kebutuhan energi untuk produksi dan penggunaan produk;
4. Meminimalkan pelepasan limbah padat, cair, dan gas; dan
5. Memaksimalkan peluang untuk daur ulang.

Ada dua tema lingkungan yang terkait dengan bahan baku dan energi yaitu :

1. Tidak ada lagi energi atau bahan baku yang digunakan melebihi dari yang
dibutuhkan.
2. Harus dicari sarana untuk menghilangkan penggunaan bahan baku atau energi
yang merusak lingkungan (isu zat yang berbahaya).

Ukuran kinerja harus mencerminkan kedua tema ini. Jadi, ukuran-ukuran yang
memungkinkan adalah berapa jumlah kuantitas total dan perunit dari berbagai bahan
baku dan energi (misalnya, berat bahan kimia beracun yang digunakan), ukuran
produktivitas (output/bahan baku, output energi), dan biaya bahan (energi) berbahaya
yang dinyatakan sebagai persentase total biaya bahan baku.

Tujuan inti keempat dapat direalisasikan dalam salah satu dari dua cara berikut :

1. Mengunakan tekhnologi dan metode untuk mencegah pelepasan residu, ketika


diproduksi.

34 | P a g e
2. Menghindari produksi residu dengan mengidentifikasi penyebab dasar dan
mendesain ulang produk dan proses untuk menghilangkan penyebab-
penyebabnya.

Dari kedua metode tersebut, metode yang kedua lebih disukai. Metode pertama mirip
dengan pemerolehan kualitas produk melalui pemeriksaan dan pengerjaan ulang
(memeriksa kualitas).

Tujuan kelima menekankan konservasi sumber daya yang tidak dapat diperbarui
melalui penggunaan kembali. Daur ulang mengurangi permintaan untuk ekstraksi
tambahan bahan baku. Daur ulang juga mengurangi degradasi lingkungan dengan
mengurangi pembuangan sampah oleh pemakai akhir. Ukurannya mencakup berat
bahan baku yang di daur ulang, jumlah bahan baku yang berbeda-beda (semakin sedikit,
semakin banyak untuk daur ulang), persentase unit yang dibuat ulang, dan energi yang
diproduksi dari pembakaran.

35 | P a g e
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Alam yang indah dan lestari merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup
manusia dan segala lapisan kehidupan yang ada di dalamnya. Untuk menjamin
kelangsungan hidup manusia, diharapkan agar tetap memiliki kehidupan dan lingkungan
dalam suasana yang menyenangkan. Banyak hal yang dilakukan untuk menjamin
kelangsungan hidup alam semesta, setidaknya kita harus merubah sikap dalam
memandang dan memperlakukan alam sebagai hal bukan sebagai sumber kekayaan
yang siap dieksploitasi, kapan dan dimana saja.

Walaupun alam tidak memiliki keinginan dan kemampuan aktif-eksploitatif


terhadap manusia, perlahan tapi pasti, apa yang terjadi pada alam, langsung atau tidak
langsung, akan mempengaruhi bagi kehidupan manusia. Lingkungan yang indah dan
lestari akan membawa pengaruh positif bagi kesehatan dan bahkan keselamatan
manusia. Begitupun sebaliknya, lingkungan yang rusak dan terancam punah, akan
membawa pengaruh buruk bagi kehidupan manusia.

36 | P a g e
3.2 Saran
Merupakan pandangan yang keliru apabila mempertentangkan “hidup selaras
dengan alam” dan “menaklukannya”. Manusia dapat saja menggunakan alam ini demi
kegunaan bagi dirinya sambil tetap memperhatikan terpeliharanya kelestarian
lingkungan hidup. Keselarasan yang betul serta keseimbangan yang sehat antar
kebutuhan manusia dan pelestarian lingkungan menuntut juga penaklukan alam oleh
kemampuan teknik manusia.

Oleh karena itu, dua sikap berikut harus ditolak :

1. Memandang dan memperlakukan alam sejauh berguna bagi manusia dan


meguasainya sejauh dimungkinkan oleh kemampuan teknologi
2. Faham ‘mistisisime alam’ sejauh faham itu menganggap bahwa dunia ini harus
diterima begitu saja dan tidak boleh diapa-apakan oleh manusia.

37 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Permatasari Yuli (17 Oktober 2012). Makalah Seminar Pertanggungjawaban


Lingkungan. Diakses pada tanggal 28 April 2017 dari
https://www.scribd.com/doc/110302593/Makalah-Seminar-
Pertanggungjawaban-Lingkungan

Mardana Moto (07 Juni 2011). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan – Corporate
Social Responsibility CSR. Diakses pada tanggal 28 April 2017 dari
http://notcupz.blogspot.co.id/2011/06/tanggung-jawab-sosial-perusahaan.html

Amaliah Rizky (04 Desember 2014). Manajemen Biaya Lingkungan. Diakses pada
tanggal 28 April 2017 dari http://irmajhe.blogspot.co.id/2014/12/manajemen-
biaya-lingkungan.html

Sully (17 November 2010). Manajemen Lingkungan. Diakses pada tanggal 28 April
2017 dari http://sullyhouse.blogspot.co.id/2010/11/manajemen-lingkungan.html

38 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai