OLEH :
B. Etiologi
Secara umum, nyeri haid muncul akibat kontraksi disritmik miometrium yang
menampilkan suatu gejala atau lebih, mulai dari nyeri yang ringan sampai berat di
perut bagian bawah, bokong, dan nyeri spasmodik di sisi medial paha. Riset biologi
molekuler terbaru berhasil menemukan kerentanan gen (susceptibility genes), yaitu
memodifikasi hubungan antara merokok pasif (passive smoking) dan nyeri haid
(Anurogo & Wulandari, 2011). Berikut adalah penyebab nyeri haid berdasarkan
klasifikasinya :
a. Penyebab dismenore primer
1) Faktor endokrin
Rendahnya kadar progresteron pada akhir fase corpus luteum. Hormon progresteron
menghambat atau mencegah kontraktilitas uterus sedangkan hormon estrogen
merangsang kontraktilitas uterus. Di sisi lain, endometrium dalam fase sekresi
memproduksi prostaglandin F2 sehingga menyebabkan konstraksi otot – otot polos.
Jika kadar prostaglandin yang berlebihan memasuki peredaran darah maka selain
dismenore dapat juga dijumpai efek lainnya seperti nausea (mual), muntah, diare,
flushing (respons involunter tidak terkontrol) dari sistem darah yang memicu
pelebaran pembuluh kapiler kulit, dapat berupa warna kemerahan atau sensasi panas.
Jelaslah bahwa peningkatkan kadar prostaglandin memegang peranan penting pada
timbulnya dismenore primer (Anurogo & Wulandari, 2011).
2) Faktor organik
Kelainan organik yang dimaksud yaitu seperti retrofleksia uterus (kelainan letak –
arah anatomis Rahim), hipoplasia uterus (perkembangan rahim yang tidak lengkap),
obstruksi kanalis servikal (sumbatan saluran jalan lahir), mioma submukosa
bertangkai (tumor jinak yang terdiri dari jaringan otot), dan polip endometrium
(Anurogo & Wulandari, 2011).
3) Faktor kejiwaan atau psikis
Pada wanita yang secara emosional tidak stabil, apalagi jika tidak mendapat
penerangan yang baik tentang proses haid, maka akan mudah timbul dismenore.
Contoh gangguan psikis yaitu seperti rasa bersalah, ketakutan seksual, takut hamil,
konflik dan masalah jenis kelaminnya, dan imaturitas (belum mencapai kematangan)
(Anurogo & Wulandari, 2011).
4) Faktor konstitusi
Faktor konstitusi yaitu seperti anemia dan penyakit menahun juga dapat
memperngaruhi timbulnya dismenore (Anurogo & Wulandari, 2011).
5) Faktor alergi
Teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya asosiasi antara hipermenorea
dengan urtikaria migrain atau asma bronkele. Smith menduga bahwa sebab alergi
adalah toksin haid (Purwaningsih & Fatmawati, 2010).
b. Penyebab dismenore sekunder
1) Infeksi : nyeri sudah terasa sebelum haid
2) Myoma submucosa, polyp corpus uteri : nyeri bersifat kolik
3) Endometriosis : nyeri disebabkan
4) Retroflexio uteri fixate
5) Stenosis kanalis servikalis
6) Adanya AKDR : tumor ovarium (Aspiani, 2017)
C. Klasifikasi Disminore
Secara klinis, dismenore dibagi menjadi dua, yaitu dismenore primer (esensial,
intrinsik, idiopatik) dan dismenore sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, acquired).
Dua jenis dismenore ini merupakan yang paling banyak ditemui (Anurogo &
Wulandari, 2011).
a) Dismenore primer
Dismenore primer (essensial, instrinsik, idiopatik) tidak terdapat hubungan dengan
kelainan ginekologi. Ini merupakan nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan pada alat
genital yang nyata. Dismenore primer terjadi beberapa waktu setelah menarche
biasanya setelah 12 bulan atau lebih, oleh karena siklus haid pada bulan pertama
setelah menarche umumnya berjenis anovulatoar yang tidak disertai dengan rasa
nyeri. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama – sama dengan
permulaan haid dan berlangsung untuk beberapa jam. Walaupun dalam beberapa
kasus dapat berlangsung beberapa hari. Sifat rasa nyeri adalah kejang berjangkit –
jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar kedaerah pinggang
dan paha. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit
kepala, diare, iritabilitas, dan sebagainya (Purwaningsih & Fatmawati, 2010).
b) Dismenore sekunder
Dismenore sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, acquired) disebabkan oleh kelainan
ginekologik (endometrosis, adenomiosis, dan lain – lain) dan juga karena pemakaian
IUD (Purwaningsih & Fatmawati, 2010). Dismenore sekunder seringkali mulai
muncul pada usia 20 tahun dan lebih jarang ditemukan serta terjadi pada 25% wanita
yang mengalami dismenore. Tipe nyeri hampir sama dengan dismenore primer,
namun lama nyeri dapat melebihi periode menstruasi dan dapat juga terjadi saat tidak
menstruasi (Nugroho & Utama, 2014).
D. Patofisiologi
a) Dismenore primer
Mekanisme terjadinya nyeri pada dismenore primer diterangkan sebagai berikut. Bila
tidak terjadi kehamilan, maka korpus luteum akan mengalami regresi dan hal ini akan
mengakibatkan penurunan kadar progesteron. Penurunan ini akan mengakibatkan
labilisasi membran lisosom, sehingga mudah pecah dan melepaskan enzim fosfolipase
A2. Enzim ini akan menghidrolisis senyawa fosfolipid yang ada di membran sel
endometrium; menghasilkan asam arakhidonat. Adanya asam arakhidonat bersama
dengan kerusakan endometrium akan merangsang kaskade asam arakhidonat yang
akan menghasilkan prostaglandin, antara lain PGE2 dan PGF2 alfa. Wanita dengan
dismenore primer didapatkan adanya peningkatan kadar PGE dan PGF2 alfa di dalam
darahnya, yang akan merangsang miometrium dengan akibat terjadinya peningkatan
kontraksi dan disritmi uterus. Akibatnya akan terjadi penurunan aliran darah ke uterus
dan ini akan mengakibatkan iskemia. Prostaglandin sendiri dan endoperoksid juga
menyebabkan sensitisasi dan selanjutnya menurunkan ambang rasa sakit pada ujung –
ujung saraf aferen nervus pelvicus terhadap rangsang fisik dan kimia (Aspiani, 2017).
b) Dismenore sekunder
Dismenore sekunder dapat terjadi kapan saja setelah haid pertama, tetapi yang paling
sering mucul di usia 20 – 30 tahunan, setelah tahun – tahun normal dengan siklus
tanpa nyeri. Peningkatan prostaglandin dapat berperan pada dismenore sekunder.
Namun, penyakit pelvis yang menyertai haruslah ada. Penyebab yang umum, di
antaranya termasuk endometriosis (kejadian di mana jaringan endometrium berada di
luar rahim, dapat ditandai dengan nyeri haid), adenomyosis (bentuk endometriosis
yang invasive), polip endometrium (tumor jinak di endometrium), chronic pelvic
inflammatory disease (penyakit radang panggul menahun), dan penggunaan peralatan
kontrasepsi atau IU(C)D (intrauterine (contraceptive) device). Hampir semua proses
apapun yang memengaruhi pelvic viscera (bagian organ panggul yang lunak) dapat
mengakibatkan nyeri pelvis siklik (Anurogo & Wulandari, 2011)
E. Manifestasi klinis
1. Dismenore primer
1. Haid pertama berlangsung
2. Nyeri perut bagian bawah
3. Nyeri punggung
4. Nyeri paha
5. Sakit kepala
6. Diare
7. Mual dan muntah
2. Dismenore skunder
1. Terjadi selama siklus pertama haid dan sampai berhari-hari, yang
merupakan indikasi adanya obstruksi kongenital. Dismenorea dimulai
setelah berusia 25 tahun.
2. Terdapat ketidak normalan pelvis kemungkinan adanya endometriosis,
pelvic inflamatory disease, pelvic adhesion ( pelekatan pelvis ),
adenomyosis.
F. Penatalaksanaan
penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi, yaitu :
1. Terapi Farmakologi
Penanganan dismenore yang dialami oleh individu dapat melalui intervensi
farmakologi. Terapi farmakologi, penanganan dismenore meliputi beberapa
upaya. Upaya farmakologi pertama yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan obat analgetik yang berfungsi sebagai penghilang rasa sakit. Obat-
20 obatan paten yang beredar dipasaran antara lain novalgin, ponstan,
acetaminophen dan sebagainya. Upaya farmakologi kedua yang dapat dilakukan
adalah dengan pemberian terapi hormonal. Tujuan terapi hormonal adalah
menekan ovulasi, bersifat sementara untuk membuktikan bahwa gangguan yang
terjadi benar-benar dismenore primer. Tujuan ini dapat dicapai dengan
memberikan salah satu jenis pil kombinasi kontrasepsi.
2. Terapi Non Farmakologi
Selain terapi farmakologi, upaya untuk menangani dismenore adalah terapi non
farmakologi. Terapi nonfarmakologi merupakan terapi alternatifkomplementer
yang dapat dilakukan sebagai upaya menangani dismenore tanpa menggunakan
obat-obatan kimia. Tujuan dari terapi non farmakologi adalah ntuk
meminimalisir efek dari zat kimia yang terkandung dalam obat. Penanganan
nyeri secara nonfarmakologi terdiri dari:
a. Terapi es dan panas
Terapi es dan terapi panas adalah dua terapi yang berbeda. Terapi es dan
terapi panas dapat dilakukan menggunakan air hangat atau es batu yang
dimasukkan ke dalam wadah kemudian dikompreskan pada bagian yang
terasa nyeri. Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat
sensitifitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan
menghambat proses inflamasi. Terapi panas mempunyai keuntungan
meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut
menurunkan nyeri dengan memprcepat penyembuhan.
b. Penjelasan dan Nasehat
Penjelasan dan nasehat merupakan upaya penambahan wawasan untuk
penderita dismenore. Memberikan edukasi kepada klien merupakan 21
tugas seorang perawat. Menurut Judha (2012:54-55) pemberian edukasi
mengenai dismenore, meliputi apa saja yang dapat menyebabkan
bertambahnya nyeri, teknik apa saja yang dapat dilakukan untuk
mengurangi rasa nyeri. Selain itu dapat dilakukan dengan cara berdiskusi
mengenai pola makan yang benar dan makanan yang sehat, istirahat yang
cukup, serta menentukan olahraga yang sesuai.
c. Pengobatan Herbal
Pengobatan herbal tergolong pengobatan yang paling diminati oleh
masyarakat. Disamping biaya yang murah, pengobatan herbal bisa
dilakukan dengan mudah. Menurut Anurogo (2011:85-96) pengobatan
herbal dapat dilakukan dengan membuat minuman dari tumbuhtumbuhan
seperti kayu manis (mengandung asam sinemik untuk meredakan nyeri),
kedelai (mengandung phytoestrogens untuk menyeimbangkan hormon),
cengkeh, ketumbar, kunyit, bubuk pala, jahe.
d. Relaksasi
Sama seperti pengobatan herbal, saat ini relaksasi merupakan cara yang
banyak dipilih untuk digunakan. Relaksasi cukup mudah untuk dilakukan
kapan saja dan dimana saja. Relaksasi merupakan teknik pengendoran atau
pelepasan ketegangan. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas
abdomen dengan frekuensi lambat, berirama, teknik relaksasi nafas dalam
(contoh: bernafas dalam-dalam dan pelan). Berbagai cara untuk relaksasi
diantaranya adalah dengan meditasi, yoga, mendengarkan musik, dan
hipnotherapy. Relaksasi juga dapat dilakukan untuk mengontrol sistem
saraf (Anurogo, 2011:111).
H. Komplikasi
Dismenore primer bukanlah persoalan yang mengancam nyawa penderitanya.
Dismenore apabila dibiarkan, maka akan menimbulkan terganggunya aktivitas
seharihari. Menurut Martini, Mulyati, & Fratidhina (2014:135-140) dismenore primer
dapat menimbulkan beberapa gejala seperti : Nyeri pada perut bagian bawah,
mual,muntah, diare, cemas, depresi, pusing dan nyeri kepala, letihlesu, bahkan sampai
pingsan. Meskipun dismenore primer tidak mengancam nyawa tetapi bukan berarti
dibiarkan begitu saja. Dismenore primer yang dibiarkan tanpa penanganan akan
menimbulkan gejala yang merugikan bagi penderitanya. Dismenore primer tanpa
penanganan dapat menyebabkan : Depresi, Infertilitas, gangguan fungsi seksual ,
penurunan kualitas hidup akibat tidak bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya,
dapat memicu kenaikan angka kematian (Titilayo et al. 2009). Dismenore primer akan
menurunkan kualitas hidup penderitanya dan akan sangat merugikan penderita
dismenore tersebut apabila dibiarkan.
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut ( Mityani,2010) yang dapat dilakukan pada klien
dismenore adalah
1. Tes laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap
- Urinalisis
2. Tes diagnostik tambahan
- Laparoskopi : penyikapan atas adanya endomeriosi atau kelainan pelvis
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.poltekkesdenpasar.ac.id/4546/3/BAB%20II%20Tinjauan
%20Pustaka.pdf , https://eprints.umm.ac.id/42067/3/jiptummpp-gdl-maghfeyraf-49058-
3-babii.pdf