Anda di halaman 1dari 23

PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

“SASTRA PUJANGGA BARU 1933”

Dosen : Rusdiyana Magulili S,Pd M,Pd


Mata Kuliah: Bahasa Indonesia

DI SUSUN OLEH KEL III :

1.Windy S.Abdullah (2101043)


2.Kasih A S Wawointana (2101027)
3.Yayu Anggriani Ishak (2101040)
4.Ruhaya Asnawi (1801035)
5.Faraumaina Madihutu (2001048)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MUHAMMADIYAH MANADO
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji kami haturkan kehadirat Allah SWT,Tuhan Yang Maha Esa,karena atas izin dan
karunia-nyalah kami dapat menyusun makalah Perkembangan Bahasa Indonesia yang berjudul
“Sastra pujangga baru”,tanpa ada hambatan yang berarti.Tak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan pembuatan makalah
sederhana ini,terutama kepada Ibu RUSDIYANA MAGULILI S Pd. M.Pd selaku dosen mata
kuliah Bahasa Indonesia .Makalah ini di susun dengan berdasasrkan beberapa sumber yang telah
kami rangkum sedemikian rupa,hingga menjadi suatu kumpulan informasi yang jelas dan
sederhana.
Makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “Bahasa Indonesia”, juga untuk
menambah apresiasi kami terhadap perkemabagan Bahasa Indonesia yang semakin lama makin
berkembang dengan baik.
Dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.Oleh sebab itu,segala tegur sapa demi
penyempurnaan makalah ini sanagat kami nantikan.

Manado, 8 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
PENGANTAR………………………………………………………………………..
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………
BAB 1  PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang Masalah………………………………………
1.2     Rumusan Masalah………………………………………………………
1.3     Tujuan Penelitian……………………………………………………….
BAB I LANDASAN TEORI
                2.1  Sejarah Singkat Tentang Pujangga baru……………………………….
                 2.2  Ciri-ciri Pujangga Baru……………………………………………………….
                 2.3  Sejarah Sastra………………………………………………………….
                 2.4  Sejarah Sastra Indonesia Periode 1933-1942…………………………
BAB II PEMBAHASAN
                 3.1  Peristiwa Sastra Periode 1933-1942……………………………………
                 3.2  Karya Sastra dan Pengarang Periode 1933-1942………………………
                 3.3  Karakteristik Karya Sastra Periode 1933-1942………………………..
                        3.3.1Puisi……………………………………………………………...
                        3.3.2 Prosa Fiksi……………………………………………………….
                        3.3.3 Drama……………………………………………………………
BAB III  KESIMPULAN……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………
                                   
BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
                Pada awal abad kedua puluh, suku-suku asli negara Hindia Belanda – sekarang
Indonesia – mulai merasakan semangat nasional, yang akhirnya dirumuskan dalam Sumpah
Pemuda pada tahun 1928. Kelompok-kelompok ini mendirikan pelbagai partai politik yang
mencerminkan idelogi mereka, termasuk Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional
Indonesia. Majalah-majalah terbitan kelompok pemuda Jong Java dan Jong Sumatranen Bond
mengajukan negara modern yang bebas dari sistem feodalisme tradisional.

      
1.2  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana peristiwa sastra periode 1933 – 1942?
2.    Bagaimana karya sastra dan pengarang periode 1933 – 1942?
3.    Bagaimana karakteristik karya sastra periode 1933 – 1942, dari segi:
1)   Puisi
2)   Prosa Fiksi
3)   Drama
1.3  Tujuan Penelitian
                 Berdasarkan perumusan masalah di atas, kami menetapkan tujuan penelitian sebagai
berikut:
1.  Ingin mengetahui peristiwa sastra pada periode 1933 – 1942.
2.  Ingin mengetahui karya sastra dan pengarang periode 1933 – 1942.
3.  Ingin mengetahui karakteristik karya sastra periode 1933 – 1942, dari segi:
     1)  Puisi
     2)  Prosa Fiksi
     3)  Drama

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1  Sejarah singkat tentang pujangga baru


       Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit
antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara
Jepang berkuasa di Indonesia. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil
karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang
baru dan mengarah kedepan. Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan
baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang
yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah
itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian
terhadap masalah-masalah kesenian.

2.2  Criri-ciri Pujangga Baru


            Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra
yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka
terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis.
Ciri perkembangan puisi pada angkatan pujangga baru adalah
1) Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern,
2) Temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah
yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya,
3) Bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari
bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14 baris,
4) Pengaruh barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ’80 Belanda,
5) Aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan
6) Setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.
Ciri-ciri puisi pada angkatan pujangga baru yaitu :
1) Puisinya berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi,
2) Bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata,
maupun rima,
3) Persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama,
4) Bahasa kiasan utama ialah perbandingan,
5) Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata yang indah,
6) Hubungan antara kalimat jelas dan hampir tidak ada kata-kata yang ambigu,
7) Mengekspresikan perasaan, pelukisan alam yang indah, dan tentram.
Sementa itu menurut Herman J. Waluyo (2010 : 64) mengatakan bahwa ciri-ciri puisi Pujangga
Baru antara lain:
1) Bentuk atau struktur puisinya mengikuti bentuk atu struktur puisi baru seperti sonata,
distichon, tersina, oktaf, dan sebagianya.
2) Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata yang indah-indah, seperti dewangga, nan,
kelam, mentari, nian, kendil, nirmala, beta, pualam, manikam, boneda dan seterusnya.
3) Kiasan yang banyak dipergunakan adalah gaya bahasa perbandingan.
4) Bentuk dan struktur larik-lariknya adalah simetris. Tiap larik biasanya terdiri atas dua
periode. Hal ini pengaruh puisi lama.
5) Gaya ekspresi aliran romantic Nampak dalam pengucapan perasaan, pelukisan alam yang
indah tentram damai, dan keindahan lainnya.
6) Gaya puisinya diafan dan polos, sangat jelas dan lambang-lambangnya yang umum
digunakan.
7) Rima (persajakan) dijadikan sarana kepuitisan.

2.3  Sejarah Sastra


       Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupalan cabang ilmu sastra yang
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra
Indonesia, sejarah sastra belanda, dan sejarah sastra inggris. Jadi, sejarah sastra meliputi
penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. Hal tersebut senada
dengan Teeuw yang mengatakan bahwa penulis sejarah sastra dalam tegangan antara
perkembangan intrinsik dan perkembangan sosio-budaya-politik dalam masyarakat yang
menghasilkan sastra tersebut. Pembabakan periodisasi sastra Indonesia tidak lepas dari
perkembangan politik. Wellek & warren mengatakan bahwa pada umumnya, periode sejarah
sastra dibagi sesuai dengan perubahan politik.
Sejarah sastra pada dasarnya membicarakan mengenai peristiwa-peristiwa penting yang di
jelaskan secara kronologis sehingga terlihat adanya perkembangan pada bidang sastra.
2.4  Sejarah Sastra Indonesia Periode 1933-1942
1933, armijin pane, amir hamzah , dan sultan takdir alisjahbana berhasil mendirikan majalah
poejangga baroe (1933 – 142 dan 1949 – 1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah
itu berbunyi “majalah kesustraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tapi sejak tahun 1935
berbah menjadi “pemabawa semangat baru dalam kesustraan, seni, kebudayaan, dan soal
masarakat umum”, dan sejak 1936 bunyinya berubah menjadi “pembimbing sangat baru yang
dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
       Majalah pujangga baru mendapat sambutan hangat dari sejumlah orang terpelajar, seperti
Adinegoro, Ali Hasyim, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Mihrdja, H.B Jassin, I Gusti Nyonya Panji
Tisna, Soetan Sjahrir, dan W.J .S. Poewadarminta. Namun di sisi lain, majalah itu tidak di
tanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan dikritik keras oleh para guru yang setia kepada
pemerintahan kolonial belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena
memasukaan bahasa daerah dan bahasa asing.
Majalah itu bertahan hingga pada tahun 1942, kemudian dilarang oleh penguasa militer jepang
karena dianggap kebarat-baratan dan progresif. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka dapat
diterbitkan lagi pada tahun 1949 -1953 di bawah kendali Sutan Takdir Alisjahbana dengan
dukungan tenaga-tenaga baru sepeti Asrul sani, Chairil Anwar, Dodong Djiwapradja, Harijadi S.
Hartowardojo, dan Rivai Apin.
Majalah ini terbit dengan setia, meskipun bukan tanpa kesulitan, berkat pengorbanan dan
keuletan Sutan Takdir Alisjahbana. Oplahnya pernah hanya sekitar 500 eksemplar saja setiap
terbit, dan langganan yang membayar tetap hanya sekitar 150 orang. Kerugian di tanggung oleh
kantong Sutan Takdir Alisjahbana dan Arnijn pane.
       Kelahiran majalah pujangga baru yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam
bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Keberanian menandakan bahwa bangsa
Indonesia bukan bahasa melayu, menimbulkan berbagai reaksi. Sutan Takdir dalam sebuah
esainya dalam tahun pertama (1933) menulis antara lain : “Bahasa Indonesia ialah bahasa
perhubungan yang  berabad-abad tumbuh perlahan-lahan dikalangan penduduk Asia selatan
dan yang setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada pemulaan abad
dua puluh dengan insyaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan”. Sikap ini
menimbulka reaksi dari tokoh bahasa yang erat berpegangan  kepada kemurnian bahsa melau
tinggi seperti H. Agus Salim, Sutan Moh. Zain, S.M Latief, dan lain-lain. Maka terjadinya
polemic tentang bahasa yang tidak hanya dimulut dalam mejalah pujangga baru saja, melaikan
juga meluas dalam surat kabar dalam majalah-majalah yang terbit pada masa itu.
       Polemik  golongan pujangga baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahsa saja,
karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka, tetapi juga
mengenai kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup dan kemasyarakatan. Sutan takdir yang
pro-Barat dan mengatakan bahwa hanya dengan jalan mengeruk ilmu dan roh barat sepuas-
puasnya sejalan kita dapat mengimbangi bangsa Barat. Ia berharap dengan Dr. soetomo, Ki
Hadjar Dewantara, dan lain-lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap
sebagai kepribadian bangsa. Sanusi pane juga turut aktif dalam polemic-polemik itu dan
akhirnya menatakan bahwa baginya manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campur
antara faust (yang dianggap mewkili roh kepribadian barat) dengan arjuna (sebagai wakil roh
kepribadian timur). Sikap ini dinyatakan dalam dramanya yang berujudul manusia baru (1940).
Sebelumnya sanusi pane dikenal sebaai orang yang sangat mempetahankan Timur dalam
menghadapi Sutan Takdir Alisjahbana.
       Tokoh-tokoh yang terlibat dalam polemic itu antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi
Pane, R.M. Ng. Poerbatjaraka, Dr. Soetomo, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar
Dewantara. Sebagai dari polemic mengenai kebudayaan itu kemudian dikumpulkan oleh Achdit
K. Mihadja dan diterbitkan sebagai buku dengan judul polemic kebudayaan (1977)
2.5    Peristiwa Sastra Periode 1933-1942
  Asal mula pujaga  baru sebagai satu fenomena kebudayaan dapat ditelusur kebelakang pada
organisasi-organisasi kebudayaann kaum muda nasionalis daerah-daerah pada awal abad ke-20
di Indonesia. Yang pertama diantara organisasi-organisasi tersebut jong java yang dibentuk
dalam tahun 1915 dibawah pengayoman Budi Utomo, bertujuan menyelenggarakan dan
mengembangkan kesadaran dan pengertian kaum muda terpelajar jawa akan warisan kebudayaan
jawa. Dalam tahun 1917 gerakan ini diikuti oleh jong sumatramen Bond, dengan tujuan yang
sama, tapi juga menyadari adanya perbedaan etnis kedaerahannya; karena itu menyatakan bahwa
tujuannya hendak mengembangkan kesadaran kesatuan identitas diantara orang-orang Sumatra
melalui penggunaan”kesenian, bahasa dan adat” Sumatera. Salah satu jalan guna mencapai
tujuan itu ialah mengembangkan bahasa melayu sebagai bahasa umum yang mempersatukan
orang-orang Sumatera adapun salah satu cara mengembangkan bahasa melayu ialah
menyebarkan kesadaran akan kesusastraan melayu, dan mendorong kaum muda sematera  yang
berpendidikan Belanda agar menulis dalam bahasa melayu sebagai pernyataan identitas bersama
kebudayaan mereka. Dan itulah yang melahirkan apa yang sekarang pada umumnya dianggap
sebagai awal puisi Indonesia modern.
       Baik Jong Java maupun Jong Sumatramen Bond merasakan perlunya kaum muda Indonesia
yang berpendidikan Belanda agar mengenal warisan kebudayaan asli. Memang dalam beberapa
hal mereka sudah terasing dari kebudayaan nenek moyangnya sebagai akibat pendidikan
Belanda, karena itu perlu berusaha menyesuaikan persepsi terhadap norma-norma budaya eropa
(“kemoderenan” mereka) dengan ikatan perasaan dan kejiwaan yang mendalam pada identits
yang asli, mempernyawakan yang “modern itu kedalam usaha memperkembangkan warisan
tradisiolan”.
       Perkembangan dalam gerakan politik segera membuat komposisi dan pendangan organisasi
pemuda berubah. Setelah 1924, Dr. Sutomo membentuk Indonesische Studieclub, terdapat hasrat
yang makin meningkat pada semua organisasi yang berorientasi nasionalisme untuk bersatu
dibawah panji-panji “Indonesia” (yang berlawanan dengan “Hindia”). Bagi gerakan-gerakan
pemuda, ini berarti suatu dimensi baru dalam masalah identitas kebudayaan, karena jika
kesetiaan mereka sejakk itu tertuju pada “Indonesia”, tentu masalahnya bukan lagi hanya
terbatas pada warisan kebudayaan “jawa” dan “sumatera” saja. Pada tahun 1926, Kongres
Pemuda Indonesia yang pertama diadakan di Jakarta nebegaskan persatuan semua gerakan
kebudayaan nasionalis pemuda daerah sebagai suara pemuda “Indonesia”. Laporan mengenai
kongres itu menggambarkan adanya kesepakatan pikiran, sehingga membuahkan pendapat
bahwa sudah tiba saatnya bagi masing-masing kelompok menganggap dirinya bukan saja
“pemuda jawa” atau “pemuda sumatera”, tapi juga “pemuda Indonesia”. Dalam salah satu siding
kongres itu, Muhamad Yamin yang dalam tahun 1920 mengatakan bahwa bahasa melayu
merupakan bahasa kesatuan sumatera, menyampaikan ceramah dalam bahasa Belanda mengenai
“Kemungkinan Bahasa dan Sastra Indonesia dimasa depan”. Bahasa yang dipakai sebagai sarana
guna membangkitkan kesadaran orang_orang sumatera itu agaknya dapat berperan pula dalam
membantu perkembangan cita-cita baru kesatuan Indonesia. Bahasa kesatuan dan kesatuan
tradisi kebudayaan yang tampak dalam kesusastraanya memberikan sumbangan penting dalam
mewujudkan cita-cita baru.
2.6    Karya Sastra Dan Pengarang Periode 1933-1942
1.    Sutan Takdir Alisjahbana
       Motor dan pejuang bersemangat gerakan pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana
(lahir di Natal pada tahun 1908). Ia telah sejak tahun 1929 muncul dalam panggung sejarah
sastra Indonesia, yaitu ketika menerbitkan romannya yang berjudul Tak Putus Dirundung
Malang. Roman ini diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti juga roman-romannya yang lain.
Roman kedua yang ditulisnya berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga
berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Anak Perawan Di Sarang
Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu daripada Layar Terkembang dan dimuat
sebagai feuilleton dalam majalah Pandji Poestaka, tetapi diterbitkan sebagai buku lebih
kemudian. Tiga puluh tahun kemudian konon Takdir menulis sebuah roman pula berjudul Grotta
Azzurra (Gua Biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke-60.
Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting. Roman ini jelas bukan roman
sekedar bacaan perintang waktu, melainkan sebuah roman bertendensi. Roman ini biasanya
dianggap sebagai salah satu roman terpenting yang terbit pada tahun tiga puluhan, merupakan
salah satu karya terpenting pula dari para pengarang pujangga baru.
Kecuali sebagai penulis Roman, Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina
bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”. Atas
inisiatif Takdir melalui Poedjangga Baroe-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan
memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947 – 1952). Dalam majalah itu dimuat segala
hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan-tulisannya yang berkenaan
dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa
Indonesia (1957).
Takdir pun juga menulis sajak. Sajak-sajak yang ditulisnya dekat setelah kematian istrinya yang
pertama, diterbitkan sebagai nomor khusus majalah Poejangga Baroe berjudul Tebaran
Mega (1936). Dalam sajak-sajak itu tergambar pergaulan Takdir yang semula hampir tenggelam
dalam kesunyian teosofi Krishnamurti lalu bangkit menjadi pejuang bersemangat yang gembira-
riang. Sajak-sajaknya terang dan jelas, kadang-kadang terasa prosaic. Kecuali yang dimuat
dalam Tebaran Mega masih ada pula beberapa sajaknya yang tersebar dalam berbagai majalah.
Esai-esai tentang sastra sebenarnya banyak juga, antara lain yang dimuat dalam
majalah Poedjangga Baroe, misalnya ‘Puisi Indonesia Zaman Baru’, ‘Kesusasteraan di zaman
Pembangunan Bangsa’ (1938), dan lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bunga rampai Puisi
Lama (1941) dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya
bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing. Sastra lama sebagai pancaran
masyarakat lama dan sastra baru sebagai pancaran masyarakat baru. Perubahan masyarakat itu
menyebabkan perubahan puisi dan sastranya pula.
2.    Armijn Pane
Organisator pujangga baru ialah Armijn Pane, adiknya Sanusi Pane yang tiga tahun lebih muda
(lahir di Muarasipongi pada tahun 1908). Tahun 1923 ia mengunjungi sekolah kedokteran
(STOVIA dan kemudian NIAS) tetapi keinginan hatinya tertumpu pada bahasa dan sastra, maka
ia pindah ke AMS A-1 (sastra Barat) di Solo. Kemudian ia bergerak di surat kabar dan
perguruan kebangsaan. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah,
menerbitkan majalah Poedjangga Baroe.
Armijn terkenal sebagai pengarang roman Belenggu(1940), yang terbit pertama kali dalam
majalah Poedjangga Baroe. Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang pro maupun
yang kontra terhadapnya. Yang pro menyokongnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu
banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan dibelakang dinding-dinding
kesopanan.
Tetapi keributan itu tidak menghalangi jalan roman ini untuk menjadi roman terpenting yang
ditulis para pengarang pujangga baru.sebelum menulis romannya itu, Armijn Pane banyak
menulis cerpen, sajak, esai, dan sandiwara. Cerpennya ‘Barang Tiada Berharga’ dan
sandiwaranya ‘Lukisan Masa’ merupakan prototip buat romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama yang ditulisnya sesudah perang, kemudian dikumpulkan dengan
judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan
judul Jinak-Jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai
nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya yang tersebar,
kemudian dikumpulkan juga dan  dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa
Belanda ,Armijin menulis Kort Overzicht vande modern Indonesische Literatuur (1949).
   Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangannya ia pun
lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh – tokohnya daripada gerak lahirnya.Inilah
terutama yang membedakan Armijn dengan para pengarang sejarahnya. Karena itu maka ia oleh
beberapa orang penelaan sastra Indonesia dianggap sebagai pendahulu angkatan sesudah perang,
paling tidak  dianggap sebagai “missing link” antara para pengarang sebelum dan sesudah
perang.
3.    Amir Hamzah
Dalam lingkungan pujangga baru ada dua orang penyair yang dikenal sebagai penyair religious
(keagamaan). Yang satu Amir Hamzah, Islam. Sedangkan yang satu lagi J.E. Tatengkeng,
Kristen. Sebenarmnya keduanya tidak semata-mata menulis sajak. Keduanya juga menulis prosa,
baik berupa esai, kritik maupun sketsa. Namun mereka lebih terkenal sebagai penyair.
Amir Hamzah (1911 – 1946) ialah seorang keturunan bangsawan Langkat di Sumatera Timur. Ia
pergi sekolah ke Jawa, paling akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, dengan dibiayai oleh
pamannya yang menjadi Sultan Langkat. Di Jawa ia aktif juga dalam kegiatan-kegiatan gerakan
kebangsaan. Ia pun bersama dengan Sutan Takdir dan Armijn Pane mendirikan
majalah Poedjangga Baroe. Tetapi ia kemudian harus meninggalkan semuanya itu karena
mendapat panggilan dari pamannya. Ia harus pulang ke Langkat dan menikah dengan salah
seorang putrid Sultan Langkat. Dengan berat hati ia meninggalkan “tanah Jawa” dan sekolahnya
di Fakultas Hukum yang hampir tamat, dan konon juga seorang gadis yang dicintainya.
Kesemuanya itu menyebabkan ia merasa sunyi dan sepi. Dan dengan indah pengalamannya itu
kemudian dituangkannya dalam bentuk puisi, menjadi sekumpulan sajak berjudul Nyanyi
Sunyi (1937). Sajak-sajaknya yang ditulis lebih dahulu, kemudian dikumpulkan dan diterbitkan
juga dengan judul Buah Rindu (1941). Disamping kedua kumpulan sajaknya itu, Amir Hamzah
menerbitkan pula sekumpulan sajak terjemahan dari para penyair negri-negri tetangga seperti
dari Jepang, India, Arab, Persia, dan lain-lainnya, berjudul Setanggi Timur (1939). Dalam
majalah Poedjangga Baroe tahun 1-11 (1933-1942) ia pun mengumumkan terjemahan lengkap
karya sastra klasik India Bhagavad Gita melalui bahasa Belanda. Karangan-karangan yang
semula tersebar dalam majalah itu kemudian dikumpulkan dalam buku H.B. Jassin, yang
berjudul Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru (1963). Telaah Amir Hamzah tentang
sastra Melayu lama dengan judul Sastra Melayu Lama dengan Tokoh-tokohnya terbit di Medan
tahun 1941.
Di Langkat ia memegang kedudukan sebagai bangsawan, menjadi “hulu negri”. Ketika terjadi
“revolusi sosial” tahun 1946 ia diculik dan dibunuh beserta sejumlah keluarga kesultanan
Langkat lainnya.
4.  J.E. TatengkengSD
       Jan Engelbert Tatengkeng lahir di Sangihe pada tanggal 19 Oktober 1907. Ia adalah seorang
penyair beragama Kristen yang taat. Bahkan ketika anaknya meninggal selagi bayi, ia segera
menganggapnya sebagai kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa dihibur
pula oleh-Nya, seperti dapat kita baca dalam sajaknya ‘Anakku’.
       Sajak itu bersama dengan sejumlah sajak lain diterbitkan menjadi sebuah buku
berjudul Rindu Dendam (1934). Isinya umumnya merupakan sajak-sajak kerindudendaman
penyairnya terhadap Yang Satu, Tuhan Yang Maha Esa. 
       Rindu Dendamialah satu-satunya buku J.E. Tatengkeng yang pernah terbit. Tapi sebenarnya
masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama
dalam majalah Poegjangga Baroe.
5.  Asmara Hadi dan Penyair-Penyair Pujangga Baru
Diantara para penyair yang sajak-sajaknya sering dimuat dalam majalah Poejangga
Baroe, banyak yang sesungguhnya menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk
dibukukan tetapi tidak mereka lakukan. Diantaranya ialah Asmara Hadi yang sering
mempergunakan nama samara H.R, atau Ipih, A.M. Daeng Myala (nama samara A.M. Thahir),
Mozasa (nama samaran Muhammad Zain Saidi), M.R. Dajoh dan lain-lain.
Sajak-sajak Asmara Hadi yang nama sebenarnya Abdul Hadi (lahir di Bengkulu 1914) salah
satunya berjudul Kuingat Padamu (Poedjangga Baroe, 1937).
       A.M. Thahir (lahir di Ujungpandang 1909) yang setiap menulis mempergunakan nama
samara A.M. Dg. Myala kecuali dalam Poedjangga Baroe, sajak-sajaknya juga dimuat
dalam Pandji Poestaka dan lain-lain. Sesudah perang ia masih juga menulis dan ada sajak-
sajaknya yang dimuat dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka seperti
majalah Indonesia. Salah-satu sajaknya yaitu berjudul Buruh (Poedjangga Baroe, 1937).
Moehammad Zain Saidi (lahir di Asahan, bulan Oktober 1913), nama samarannya yaitu Mozasa.
Ia beberapa lamanya hidup menjadi guru di Kisaran, ketika ia mulai menulis sajak. Sajak-
sajaknya banyak melukiskan kegembiraan alam. Seperti dalam sajaknya yang berjudul Di Kaki
Gunung.
A. Rivai (lahir di Bonjol, Sumatera Barat, tanggal 1 Juli 1876) juga kalau menulis selalu
mempergunakan nama samara, yaitu Yogi. Namanya telah muncul sebelum majalah Poedjangga
Baroe terbit, yaitu dalam Sri Poestaka tahun 1930 ketika ia mengumumkan sekumpulan sajak
dengan judul Gubahan. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Puspa Aneka diterbitkannya
sendiri, setahun kemudian, tahun 1931. Tetapi ia biasanya tergolong kepada penyair Poedjangga
Baroe, karena sajak-sajakya pun banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe.
6.  Para Pengarang Wanita
       Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak, apalagi pada masa sebelum
perang. Yang paling terkenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri, keduanya nama
samara Sariamin (lahir di Talu, Sumatera Barat, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan
sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh
Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji
Poestaka.
       Pengarang wanita lain yang juga mengarang roman ialah Hamidah yang konon merupakan
nama samara Fatimah H. Delais (1914 – 1953) yang pernah namanya tercantum sebagai
pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah,
berjudul Kehilangan Mestika (1935).
Adlin Affandi dan Sa’adah Alim (1898 – 1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara,
masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim
disamping itu menulis pula sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman
Penghibur Hati (1941). Ia pun menerjemahkan Angin Timur Angin Barat karangan seorang
pengarang wanita kebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S.
Buck (lahir 1892). Disamping itu ia pun banyak menerjemahkan buku-buku lain.
       Pada saat Jepang datang, muncul pula Maria Amin (dilahirkan di Bengkulu tahun 1920)
yang menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti pada
masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.
2.6    Karakteristik Karya Sastra
Puisi
1.    Puisi Amir Hamzah
               Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap


Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar


Saying berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

       Puisi Amir Hamzah diatas mengisahkan tentang pertemuan dua orang kekasih yang telah
lama terpisah, yaitu antara aku dengan kekasihnya, yaitu Tuhan. Puisi ini banyak menggunakan
bahasa symbol yang berkonotasi positif, seperti kandil, pelita, dan dara. Selain itu banyak juga
digunakan kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu, ganas, cakar, lepas,
nanar, sasar, sunyi.
2.    Puisi J.E. Tatengkeng
               Anakku
Engkau datang menghintai hidup,
Engkau datang menunjukkan muka.
Tetapi sekejap matamu kaututup,
Melihat terang anakanda tak suka.

Mulut kecil tiada kaubuka,


Tangis teriakmu tak diperdengarkan,
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam anakku, kami kautinggalkan

Sedikitpun matamu tak mengerling,


Memandang ibumu sakit berguling,
Air matamu tak bercucuran.
Tinggalkan ibumu ta’ penghiburan.

Kau diam, diam, kekasihku,


Tak kaukatakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kakasihku, anakku, mengapa kian?

Sebagai anak melalui sedikit


Akan rumah kami berdua,
Tak anak tak insaf sakit,
Yang diderita orang-tua.

Tangan kecil lemah bergantung,


Tak diangkat memeluk ibu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.

Selekas anakanda datang,


Selekas anakanda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlentang,
Tinggalkan bapa sakit mengenang.

Selamat datang anakanda kami,


Selamat jalan kekasih hati.

Anak kami Tuhan berikan,


Anak kami Tuhan panggilkan,
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.
       Puisi J.E Tatengkeng diatas mengisahkan tentang seorang ayah yang kehilangan anaknya
yang baru saja lahir. Puisi ini tidak seperti puisi Amir Hamzah. Dari segi kata-kata yang
dipilihnya cukup mudah untuk dipahami. Tetapi J.E Tatengkeng mengangkat objek yang sama
seperti Amir Hamzah, yaitu tentang Tuhan.
Prosa Fiksi
1.    Novel karya Armijn Pane
Sinopsis Belenggu
Dokter Sukartono adalah suami seorang perempuan berparas ayu, pintar, serta lincah yang
bernama Sumartini atau panggilannya Tini. Walaupun mereka telah menikah, sebenarnya
Sukartono dengan Sumartini tidaklah saling mencintai. Mereka berdua menikah dengan alasan
masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini karena kecantian, kecerdasan, serta
kelincahannya. Sedangkan Sumartini menikahi Dokter Sukartono karena hendak melupakan
masa silamnya. Menurutnya dengan menikahi seorang dokter, ia dapat menghapus kenangan
masa lalunya. Karena keduanya tidak saling mencintai, kehidupan rumah tangga mereka tidaklah
harmonis. Mereka tidak saling berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka
hadapi tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suamiistri. Mereka sering
salah paham dan suka bertengakar.Kesalah pahaman dan pertengkaran selalu terjadi dalam
keluarga mereka. Ketidak harmonisan keluarga mereka semakin menjadi karena Dokter
Sukartono sangat mencintai danbertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Dia bekerja
tanpa kenal waktu. Jam berapa saja ada pasien yang membutuhkannya, dia dengan sigap
berusaha membantunya. Perhatian yang seharusnya dicurahkan kepada isterinya diberikan
kepada seluruh pasiennya. Akibatnya, Dokter Sukartono melupakan kehidupan rumah tangganya
sendiri.
Dokter Sukartono sangat dicintai oleh pasiennya. Dia tidak hanya suka menolong kapan pun
pasien yang membutuhkan pertolongan, tetapi ia juga tidak meminta bayaran kepada pasien
yang tidak mampu. Itulah sebabnya, dia dikenal sebagi dokter yang sangat dermawan.
Kesibukan Dokter Sukartono yang tidak kenal waktu tersebut semakin memicu pertengkaran
dalam rumah tangga. Menurut Sumartini, Dokter Sukartono sangat egois. Sumartini merasa telah
disepelekan dan direndahkan karena selalu ditinggalkan suaminya yang selalu sibuk menolong
pasien-pasiennya. Dia merasa dirinya telah dilupakan. Karena Sukartono tidak mampu
memenuhi hak sebagai seorang suami, maka Sumartini sering bertengkar. Hampir setiap hari
mereka bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah dan merasa paling benar. Suatu hari
Dokter Sukartono mendapat panggilan dari seorang wanita yang mengaku dirinya sedang sakit
keras. Wanita itu meminta Dokter Sukartono datang ke hotel tempat dia menginap. Dokter
Sukartono pun datang ke hotel tersebut. Setibanya di hotel, dia merasa terkejut sebab pasien
yang memanggilnya adalah Yah atau Rohayah, wanita yang telah dikenalnya sejak kecil.
Sewaktu masih bersekolah di Sekolah Rakyat, Yah adalah teman sekelasnya.
Pada saat itu Yah sudah menjadi janda. Dia korban kawin paksa. Karena tidak tahan hidup
dengan suami pilihan orang tuanya, dia melarikan diri ke Jakarta dan menjadi wanita panggilan.
Yah sebenarnya secara diam-diam sudah lama mencintai Dokter Sukartono. Dia sering
menghayalkan Dokter Suartono sebagai suaminya. Itulah sebabnya, dia mencari alamat Dokter
Sukartono. Setelah menemukannya, dia menghubungi Dokter Sukartono dengan berpura-pura
sakit. Karena sangat merindukan Dokter Sukartono, pada saat itu juga, Yah menggodanya. Dia
sangat mahir dalam hal merayu laki-laki karena pekerjaan itulah yang dilakukannya selama di
Jakarta. Pada awalnya Dokter Sukartono tidak tergoda akan rayuannya, namun karena Yah
sering meminta dia untuk mengobatinya, lama kelamaan Dokter Sukartono mulai tergoda akan
rayuannya. Yah dapat memberikan banyak kasih sayang yang sangat dibutuhkan oleh Dokter
Sukartono yang selama ini tidak diperoleh dari istrinya. Karena Dokter Sukartono tidak pernah
merasakan ketentraman dan selalu bertengkar dengan istrinya, dia sering mengunjungi Yah. Dia
mulai merasakan hotel tempat Yah menginap sebagai rumahnya yang kedua.
Lama-kelamaan hubungan Yah dengan Tono diketahui oleh Sumartini. Betapa panas hatinya
ketika mengetahui hubungan gelap suaminya dengan wanita bernama Yah. Secara diam-diam
Sumartini pergi ke hotel tempat Yah menginap. Dia berniat hendak memaki Yah sebab telah
mengambil dan dan menggangu suaminya. Akan tetapi, setelah bertatap muka dengan Yah,
perasaan dendamnya menjadi luluh. Kebencian dan nafsu amarahnya tiba-tiba lenyap. Yah yang
sebelumnya dianggap sebagai wanita jalang, ternyata merupakan seorang wanita yang lembut
dan ramah. Tini merasa malu pada Yah. Dia merasa bahwa selama ini dia bersalah pada
suaminya. Dia tidak dapat berlaku seperti Yah yang sangat didambakan oleh suaminya.
Sepulang dari pertemuan dengan Yah, Tini mulai mengintropeksi diri. Dia merasa malu dan
bersalah kepada suaminya. Dia merasa dirinya belum pernah memberi kasih sayang yang tulus
pada suaminya. Selama ini dia selalu kasar pada suaminya. Dia merasa telah gagal menjadi Istri.
Akhirnya, dia memutuskan untuk berpisah dengan Sukartono.
Permintaan tersebut dengan berat hati dipenuhi oleh Dokter Sukartono. Bagaimanapun, dia tidak
mengharapkan terjadinya perceraian. Dokter Sukartono meminta maaf pada istrinya dan berjanji
untuk mengubah sikapnya. Namun, keputusan istrinya sudah bulat. Dokter Sukartono tidak
mampu menahannya dan akhirnya mereka bercerai. Betapa sedih hati Dokter Sukartono akibat
perceraian tersebut. Hatinya bertambah sedih saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan
sepucuk surat yang mengabarkan jika dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan meninggalkan
tanah air selama-lamanya dan pergi ke Calidonia. Dokter Sukartono merasa sedih dalam
kesendiriannya. Sumartini telah pergi ke Surabaya. Dia mengabdi pada sebuah panti asuhan
yatim piatu, sedangkan Yah pergi ke negeri Calidonia.
Tono adalah seorang dokter yang sangat peduli kepada pekerjaannya dan memilih untuk
berpergian tiap hari untuk mengobati pasien-pasiennya meninggalkan rumah sehingga istrinya,
Tini. merasa diabaikan dan membalasnya dengan sikap yang amat tidak acuh terhadap suaminya.
Dan hal ini makin memperunyam masalah dalam rumah tangga itu.
Tono lalu bertemu dengan Yah, perempuan jalang namun sebenarnya hidup seperti itu karena
kepedihan hidupnya. Yah pada awalnya mengaku sebagai Ny. Eni. Yah ternyata teman
sepermainan Tono sewaktu kecil, dan memendam perasaan cinta terhadap Tono sehingga Yah
pun berusaha memikat hati Tono.dan ternyata Yah adalah seorang penyanyi yang di kagumi oleh
Tomo yaitu Siti Hayati,
Namun akhir kisah cinta segitiga ini pun berakhir pedih. Tidak ada seorang pun mendapatkan
Tono. Karena dua wanita yang mencintainya itu memutuskan untuk mengikhlaskan Tono kepada
satu sama lain.
Belenggu menceritakan tentang perjalanan rumah tangga seorang dokter, yaitu Tono dengan
seorang perempuan bernama Tini. Dalam novel ini Armijn menggunakan tanda ellipsis (…)
untuk mencerminkan konflik batin tokoh masing-masing.
2.    Novel karya Sutan Takdir Alisjahbana
Sinopsis
                                       Layar Terkembang
Tuti dan Maria adalah kakak beradik, anak dari Raden Wiriatmadja mantan Wedana daerah
Banten. Sementara itu ibu mereka telah meninggal. Meskipun mereka adik-kakak, mereka
memiliki watak yang sangat berbeda. Tuti si sulung adalah seorang gadis yang pendiam, tegap,
kukuh pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi wanita.
Sementara Maria adalah gadis yang periang, lincah, dan mudah kagum.
Diceritakan pada hari Minggu Tuti dan Maria pergi ke akuarium di pasar ikan. Di tempat itu
mereka bertemu dengan seorang pemuda yang tinggi badannya dan berkulit bersih, berpakaian
putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam. Mereka bertemu ketika hendak
mengambil sepeda dan meninggalkan pasar, pada saat itu pula mereka berbincang-bincang dan
berkenalan. Nama pemuda itu adalah Yusuf, dia adalah seorang mahasiswa sekolah tinggi
kedokteran. Sementara Maria adalah murid H.B.S Corpentier Alting Stichting dan Tuti adalah
seorang guru di sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Mereka berbincang samapai di depan rumah Tuti
dan Maria.
       Yusuf adalah putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan. Semenjak pertemuan
itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis yang ia temui di akuarium., terutama Maria.
Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kali bertemu, bahkan dia berharap untuk bisa
bertemu lagi dengannya. Tidak disangka oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu lagi di depan
hotel Des Indes. Semenjak pertemuan  keduanya itu, Yusuf mulai sering menjemput Maria untuk
berangkat sekolah serta dia juga sudah mulai berani berkunjung ke rumah Maria. Sementara itu
Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak bukan lagi hubungan persahabatan
biasa.
Tuti sendiri terus disibukan oleh kegiatan-kegiatan nya dalam kongres Putri Sedar yang diadakan
di Jakarta, dia sempat berpidato yang isinya membicarakan tentang emansipasi wanita. Tuti
dikenal sebagai seorang pendekar yang pandai meimilih kata, dapat membuat setiap orang yang
mendengarnya tertarik dan terhanyut.
Sesudah ujian doctoral pertama dan kedua berturut-turut selesai, Yusuf pulang ke rumah orang
tuanya di Martapura, Sumatra Selatan. Selama  berlibur Yusuf dan Maria saling mengirim surat,
dalam surat tersebut Maria mengatakan kalau dia dan Tuti telah pindah ke Bandung. Kegiatan
surat menyurat tersebut membuat Yusuf semakin merindukan Maria. Sehingga pada akhirnya
Yusuf memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan ke Bandung untuk mengunjungi Maria.
Kedatangan Yusuf disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Setelah itu Yusuf mengajak Maria
berjalan-jalan ke air terjun Dago, tetapi Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya. Di tempat
itu Yusuf menyatakan perasaan cintanya kepada Maria.
                     “Maria, Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?”
“Lama benar engkau menyuruh saya menanti katamu…”
Setelah kejadian itu, kelakuan Maria berubah. Percakapannya selalu tentang Yusuf saja,
ingatannya sering tidak menentu, dan sering melamun. Sehingga Rukamah sering
mengganggunya. Sementara hari-hari Maria penuh kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih
banya membaca buku. Sebenarnya pikiran Tuti terganggu oleh keinginannya untuk merasakan
kemesraan cinta. Melihat kemesraan Maria dan Yusuf, Tuti pun ingin mengalaminya. Tetapi
Tuti juga memiliki ke khawatiran terhadap  hubungan Maria dan Yusuf. Kemudian Tuti
menasehati Maria agar jangan sampai diperbudak oleh cinta. Nasihat tulus Tuti justru memicu
pertengkaran diantara mereka dan memberikan pukulan keras terhadap Tuti.
Karena hal itu, Tuti sama sekali tidak berbicara dengan Maria, juga dia merasa sendiri dan sepi
dalam kehidupannya.
Ketika Maria mendadak terkena penyakit malaria dan TBC, Tuti pun kembali memperhatikan
Maria, Tuti menjaganya dengan sabar. Pada saat itu juga adik Supomo datang atas perintah
Supomo untuk meminta jawaban pernyataan cintanya kepada Tuti. Sebenarnya Tuti sudah ingin
memiliki seorang kekasih, tetapi Supomo dipandangnya bukan pria idaman yang diinginkan
Tuti. Maka dengan segera Tuti menulis surat penolakan.
Sementara itu, keadaan Maria semakin hari makin bertambah parah. Kemudian ayahnya, Tuti,
dan Yusuf memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Dokter yang merawatnya
menyarankanagar Maria dibawa ke rumah sakit khusus penderita penyakit TBC wanita di Pacet,
Sindanglaya Jawa Barat. Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun
keadaannya tidak juga mengalami perubahan, yang terjadi adalah kondisi Maria semakin lemah.
       Pada suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya,
disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri
yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam, ternyata juga mampu membimbing
masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar
telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada
masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi,
sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun,
pengabdian itu dapat dilakukan.
Semakin hari hubungan Yusuf dan tuti semakin akrab, sementara itu kondisi kesehatan Maria
justru semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun sudah tidak dapat berbuat lebih
banyak lagi. Pada saat kritis Maria mengatakan sesuatu sebelum ia menginggal.
       “Badan saya tidak kuat lagi, entah apa sebabnya. Tak lama lagi saya hidup di dunia ini.
Lain-lain rasanya… alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, kalau
kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam
beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-
lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain.” Demikianlah
pesan terakhir almarhum Maria.
       Setelah beberapa lama kemudian, sesuai dengan pesan terakhir Maria, Yusuf dan Tuti
menikah dan bahagia selama-lamanya.

       Didalam novel tersebut STA menggambarkan kehidupan wanita di masa lalu, masa
sekarang dan masa yang akan datang atau bisa gender disebut sebagai Wanita Modern seperti
Takdir menggambarakan pada karakter Tuti. Di dalam cerita ini ada dua karakter wanita utama;
Tuti dan Maria. Tuti adalah seorang yang berbakat pintar/ cerdas, seorang wanita yang kuat,
pekerja keras, mandiri dan dia juga sebagai seorang pemimpin organisasi Putri Sedar yang
menuntut kesamaan hak. Maria adalah karakter yang lemah, mudah sedih, bergantung kepada
orang lain, wanita yang kolot. 
       Dari kedua novel diatas, dapat ditemukan bahwa Armijn Pane dan STA memiliki perbedaan
dalam pengangkatan tema. Armijn lebih kepada kehidupan masyarakat sehari-hari, sementara
STA lebih kepada emansipasi wanita.
3.   Drama
Sinopsis drama Ken Arok dan Ken Dedes
Ken Arok adalah seorang pemimpin rampok yang ditakuti oleh rakyat kediri. Ken Arok dan
kelompoknya sering merampok penduduk atau siapa saja yang berada di Kediri. Kelompok ini
terkenal sangat kejam bahkan tidak segan-segan membunuh orang yang dirampoknya. Hasil
rampok dibagi-bagikan pada anak buahnya dan digunakan untuk bersenang-senang dan berjudi.
Sebagai raja Kediri, Kertajaya tidak bisa tinggal diam. Ia sudah berkali-kali mengirim
prajuritnya untuk menangkap Ken Arok dan kelompoknya. Akan tetapi usahanya gagal, karena
kelompok Ken Arok sangat tangguh. Sebagai jalan keluarnya, akhirnya Kertajaya mengutus para
pendeta untuk menemui Ken Arok berharap semoga para pendeta berhasil membujuknya
kembali ke jalan yang benar.
Sebelum para pendeta yang diutus pergi menemui Ken Arok, terlebih dahulu merekan singgah di
Tumapel. Tumapel ini berada di bawah kekuasaan Kediri. Mereka menemui Akuwu Tumapel
yaitu Tunggul Ametung untuk membicarakan masalah tersebut. Tunggul Ametung mendukung
usul rajanya. Para pendeta yang diutus pun pergi menemui Ken Arok di hutan karena memang
tempat Ken Arok adalah di sana. Ken Arok mau menerima usul dari pendeta akan tetapi dengan
satu syarat dirinya harus dijadikan pengawal Akuwu Tumapel.
Singkat cerita Ken Arok telah menjadi pengawal Tumapel beserta kelompoknya. Di balik semua
itu rupanya Ken Arok punya rencana lain yaitu membunuh Tunggul Ametung karena Ken Arok
ingin menguasai daerah tersebut sekaligus ingin memiliki Ken Dedes, istri Tunggul Ametung
yang memang sangat cantik. Dengan menghalalkan segala cara akhirnya Ken Arok berhasil
menyingkirkan Akuwu Tumapel bahkan Empu Gandring seorang pandai keris pun menjadi
korbannya karena Empu Gandring belum menyelesaikan keris pesanannya.
Tak lama kemudian Ken Arok dapat menguasai Tumapel dan dia menjadi raja sekaligus
memperistri Ken Dedes walaupun secara paksa. Nama Tumapel diganti dengan Singasari. Berita
tentang kematian Tunggul Ametung telah sampai ke Kediri. Kini yang menjadi raja ialah Ken
Arok dan Ken Arok ingin menguasai Kediri. Menurut salah satu pendeta, Kertajaya tidak pernah
takut pada siapa pun kecuali pada Betara guru. Hal ini dimanfaatkan oleh Ken Arok. Ken Arok
meminta pendeta lohgawe untuk mengangkatnya menjadi Betara Guru. Ken Arok berencana
akan menyerang kediri. Berita tersebut telah didengar oleh Kertajaya. Apalagi setelah tahu yang
akan menyerang wilayahnya adalah Betara Guru, maka tanpa diduga Kertajaya menghunuskan
kerisnya pada dirinya sendiri.
Delapan belas tahun berlalu, Kerajaan Singasari meluas. Banyak tempat judi, mabuk-mabukan
dan berpoya-poya. Sementara Ken Dedes tidak bisa berbuat apa-apa. Ken Dedes memiliki putera
empat, putera pertama adalah Anusapati, anak dari Tunggul Ametung, kemudian anak dari Ken
Arok tiga orang yaitu Wong Ateleng, Panji Saprang, dan Agnibaya. Anusapati kini sudah remaja
dan berada bersama kakeknya di Panawijen untuk menuntut ilmu. Anusapati mengetahui kalau
dirinya bukan anak kandung Ken Arok dan Anusapati pun telah tahu bahwa ayah kandungnya
Tunggul Ametung yang telah dibunuh oleh Ken Arok.
Semasa Pemerintahan Ken Arok, banyak rakyat menderita. Anusapati tak dapat membiarkan itu.
Anusapati bersama orang-orang yang tertindas berontak dan berencana akan membunuh Ken
Arok. Dan siang harinya ketika pesta sedang berlangsung di Keraton Singasari, tanpa diduga
Anusapati telah berhasil membunuh Ken Arok dengan bantuan orang desa. Akhirnya Anusapati
naik tahta. Dia mengganti Ken Arok menjadi raja Singasari.
Drama ini lebih banyak menampilkan latar kerajaan. Ceritanya sendiri seputar kerajaan
walaupun walaupun diselingi latar hutan belantara sebagai tempat Ken Arok sebelum menjadi
raja. Latar yang diambil adalah kerajaan Jawa maka otomatis budaya yang ditampilkan adalah
budaya Jawa dengan mengangkat kesenian Jawa pula seperti seni gamelan yang mendukung
suasana kerajaan.
Bahasa yang digunakan ialah bahasa percakapan sehari-hari. Tidak menggunakan bahasa
melayu. Setiap tokoh memiliki ciri khas bahasanya seperti untuk tokoh Ken Arok memiliki
contoh bahasa pertentangan karena cenderung sebagai tokoh antagonis dan berwatak
pembangkang. Berbeda dengan tokoh pendeta lohgawe, yang menggunakan bahasa penegasan
karena tokoh tersebut merupakan tokoh yang berpikiran dan berpandangan serius dan mungkin
sekali penuh idealis.

BAB 1V
PENUTUP
KESIMPULAN
         Peristiwa sastra periode 1933-1942 yaitu tentang lahirnya majalah pujangga baru, dan
adanya polemikdiantara kaum muda dan kaum tua. Polemik  golongan pujangga baru dengan
kaum tua itu tidak hanya mengenai bahsa saja, karena gerakan pujangga baru bukanlah hanya
gerakan bahasa dan sastra belaka, tetapi juga mengenai kebudayaan, pendidikan, pandangan
hidup dan kemasyarakatan. Sutan takdir yang pro-Barat dan mengatakan bahwa hanya dengan
jalan mengeruk ilmu dan roh barat sepuas-puasnya sejalan kita dapat mengimbangi bangsa
Barat. Ia berharap dengan Dr. soetomo, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain yang hendak
F..DFFR,,Rmempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai kepribadian bangsa. Sanusi
pane juga turut aktif dalam polemic-polemik itu dan akhirnya menatakan bahwa baginya
manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campur antara faust (yang dianggap mewkili roh
kepribadian barat) dengan arjuna (sebagai wakil roh kepribadian timur). Sikap ini dinyatakan
dalam dramanya yang berujudul manusia baru (1940). Sebelumnya sanusi pane dikenal sebaai
orang yang sangat mempetahankan Timur dalam menghadapi Sutan Takdir Alisjahbana.
2.  Karya sastra dan pengarang periode 1933-1942, yaitu:
a.    Sutan Takdir Allisjahbana, karya-karyanya:
a)    Dian yang tak kunjung padam (1932)
b)   Layar terkembang (1936)
c)    Anak perawan di sarang penyamun (1941).
b.    Armijn Pane, karya-karyanya:
a)    Belenggu (1940)
b)   Jiwa berjiwa (1939).
c.    Amir Hamzah, karya-karyanya:
a)    Nyanyi Sunyi (1937)
b)   Buah rindu (1941)
c)    Setanggi timur (1939)
d.   J.E. Tatengkeng, karya-karyanya:
a)    Rindu dendam (1934)
3.        Karakteristik karya sastra periode 1933-1942, yaitu:
a.       Puisi
Dari puisi karya Amir Hamzah dan J.E Tatengkeng, dapat disimpulkan bahwa keduanya
memiliki persamaan dalam memilih tema. Yaitu tentang Tuhan. Tetapi puisi Amir Hamzah lebih
bertemakan kepada kepasrahan seorang hamba terhadap Tuhannya, sementara dari puisi J.E
Tatengkeng lebih bertemakan tentang seorang Ayah yang mengikhlaskan anaknya diambil lagi
oleh Tuhan.
b.  Prosa Fiksi
Dari novel Belenggu (Armijn Pane) dan Layar terkembang (STA) terdapat perbedaan mengenai
pemilihan tema. Tema yang diambil oleh Armijn yaitu lebih kepada kehidupan masyarakat
sehari-hari. Sementara STA memilih tema tentang emansipasi wanita.
c.   Drama
Drama Ken Arok dan Ken Dedes berceritakan tentang kerajaan di Jawa. Sehingga latar dan
bahasa yang digunakan dalam naskah drama tersebut tidak terlepas dari unsur jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Sutan Takdir. (1999). Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.
Foulcher, Keith. (1991). Pujangga Baru. Jakarta: Girimukti Pusaka.
Hamzah, Amir. (2008). Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.
Jaelani, Asep Jejen. (2013). Sejarah Sastra Indonesia. Kuningan: PBSI FKIP UNIKU.
Pane, Armijin. (2010). Belenggu, Jakarta : Dian Rakyat
Pradopo, Rachmat djoko. (2011). Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Rosidi, Ajip. (2000). Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Putra Abardin.
Sugiantomas, Aan. (2011). Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra Indonesia. Kuningan: PBSI
FKIP UNIKU.
Sugiantomas, Aan. (2012). Kajian Prosa Fiksi dan Drama. Kuningan: PBSI FKIP  Kuningan:
PBSI FKIP UNIKU.

Anda mungkin juga menyukai