Anda di halaman 1dari 15

DAMPAK PESTISIDA ORGANOKLORIN TERHADAP KESEHATAN MANUSIA DAN

LINGKUNGAN SERTA PENANGGUL ANGANNYA

MG Catur Yuantari1

1. Staff Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang

ABSTRAK
Pestisida organoklorin merupakan bahan kimia yang digunakan petani untuk membasmi
hama, namun disamping manfaatnya yang dapat meningkat hasil pertanian pestisida dapat
membahayakan kesehatan dan dapat mencemari lingkungan. Pestisida organoklorin seperti
DDT yang sudah dilarang penggunaannya di Indonesia tetapi dari beberapa hasil penelitian
masih ditemukan. Untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan pestisida, maka perlu
adanya peningkatan pengetahuan dan praktik yang benar dalam menggunakan pestisida di
lahan pertanian. Disamping itu petani hendaknya menggunakan alat pelindung diri pada
waktu menggunakan pestisida serta menerapkan Pengelolaan Hama Terpadu.

Kata kunci: Pestisida, organoklorin

ABSTRACT

Organochlorine pesticides are chemicals that farmers used to eradicate the pest, but in
addition to the benefits that can increase agricultural pesticides can harm health and can
contaminate the environment. Organochlorine pesticides such as DDT that have banned its
use in Indonesia, but from some research results are still found. To avoid negative impacts of
pesticide use, the need to increase knowledge and practices are correct in using pesticides in
agricultural land. Besides, farmers should use personal protective equipment when using
pesticides and implement Integrated Pest Management.

Keyword: Organochlorine , pesticides

A. PENDAHULUAN
1. DEFINISI PESTISIDA
Hasil pertanian di Indonesia semakin meningkat dengan menggunakan pestisida,
Petani menjadi senang dengan melihat hasil tanam yang melimpah serta tidak rusak
diganggu dengan hama dan gulma. Penggunaan pestisida sudah sangat meluas,
berkaitan dengan dampak positifnya, yaitu meningkatnya produksi pertanian dan
menurunnya penyakit-penyakit yang penularannya melalui perantaraan makanan (food-
borne diseases) atau pun vektor (vector-borne diseases). (Weiss et al 2004).
Pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan cida, yang berarti pembunuh,
jadi pestisida adalah substansi kimia digunakan untuk membunuh atau mengendalikan
berbagai hama. Secara luas pestisida diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat
racun, menghambat pertumbuhan/perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan,
kesehatan, pengaruh hormon, penghambat makanan, membuat mandul, sebagai
pengikat, penolak dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT. Sedangkan menurut
The United State Federal Environmental Pestiade Control Act, Pestisida adalah semua
zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas atau mencegah gangguan
serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik
yang dianggap hama kecuali virus, bakteri atau jasad renik yang terdapat pada manusia
dan binatang lainnya. Atau semua zat atau campuran zat yang digunakan sebagai

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 1
pengatur

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 2
pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman. Terdapat berbagai jenis pestisida salah
satunya adalah Hidrokarbon Berklor. Kelompok senyawa ini sering sisebut sebagai
organoklorin walaupun penamaannya kurang tepat karena didalamnya termasuk fosfat
organik yang mengandung klor.
2. KLASIFIKASI KIMIAWI PESTISIDA ORGANOKLORIN
Insektisida organoklorin dikelompokkan menjadi tiga golongan berikut:
1. DDT dan analognya, misalnya BHC, dicofol, Klorobenzilat, TDE dan metoxychlor.
2. Senyawa siklodien, misalnya aldrin, dieldrin, endrin, endusulfan dan heptaklor
3. Terpena berklor, misalnya toksafen
Organoklorin Secara kimia tergolong insektisida yang toksisitas relatif rendah akan
tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun ini bersifat mengganggu susunan
syaraf dan larut dalam lemak. Contoh insektisida ini pada tahun 1874 ditemukan DDT
(Dikloro Difenil Tri Kloroetana) oleh Zeidler seorang sarjana kimia dari Jerman. Pada
tahun 1973 diketahui bahwa DDT ini ternyata sangat membahayakan bagi kehidupan
maupun lingkungan, karena meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat
terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan. DDT sangat stabil baik di air, di
tanah, dalam jaringan tanaman dan hewan. DDT merupakan racun non sistemik, racun
kontak dan racun perut serta sangat persisten di lingkungan. LD 50 terhadap tikus 113-118,
mencit 150-300, kelinci 300, anjing 500-700, dan kambing > 1000 mg/kg berat badan
sedangkan NOEL 35 mg/orang/hari (sekitar 0,5 mg/kg berat badan). Karena sifatnya yang
lipofilik, DDT dan senyawa hasil pecahannya cenderung terakumulasi lewat rantai
makanan dalam lemak tubuh dan lingkungan.(Panut, 2008)
Aldrin, dieldrin dan endrin ditemukan pada tahun 1949 dan dikenal dengan julukan
“The Drins” ketiganya termasuk siklodien organoklorin yang tidak banyak atau tidak
digunakan. Dikofol ditemukan pada tahun 1956 merupakan akarisida kontak , non
sistemik dan digunakan untuk mengendalikan tungau dari genus-genus panonychus,
tetranychus dan brevipalpus pada berbagai tanaman.LD50 oral (tikus) sebesar 578 mg/kg
– 595 mg/kg; LD50 dermal > 5.000mg/kg;LC50 inhalasi >5 mg/l udara;NOEL 5 mg/kg/hari;
ADI 0,002 mg/kg bb dan DT50 selama 60-100 hari.
Endosulfan ditemukan pada tahun 1956 bersifat non sistemik serta bertindak sebagai
racun kontak dan racun perut. Efektif mengendalikan serangga dan tungau. LD50 oral
sebesar 70 mg/kg; LD50 dermal > 4000 mg/kg; LC50 inhalasi 0,0345 mg/l udara; NOEL 15
mg/kg diet; ADI 0,006 mg/kb bb.
Gamma HCH ditemukan pada tahun 1942, dengan nama kimianya
hexachlorocyclohexane atau biasa disebut lindan. LD50 oral (tikus) 88-270 mg/kg LD50
dermal 900-1000 mg/kg;LC inhalasi >1,56 mg/l udara ; NOEL (tikus) 25 mg/kg/hari; ADI
0,001 mg/kg/bb. (Panut,2008;Sartono,2002)

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 3
3. SIFAT DAN CARA KERJA ORGANOKLORIN
Pada aplikasinya organoklorin bersifat non sistemik yaitu tidak diserap oleh jaringan
tanaman tetapi hanya menempel pada bagian luar tanaman disebut dengan insektisida
kontak. Disamping itu organoklorin juga sebagai racun kontak, insektisida yang masuk ke
dalam tubuh serangga lewat kulit dan ditranformasikan ke bagian tubuh serangga tempat
insektisida aktif bekerja (susunan saraf). Racun lambung atau racun perut adalah
insektisida yang membunuh serangga sasaran jika termakan serta masuk kedalam organ
pencernaannya. Racun inhalasi merupakan insektisida yang bekerja lewat sistem
pernapasan.Racun pernapasan adalah insektisida yang mematikan serangga karena
mengganggu kerja organ pernapasan (misalnya menghentikan kerja otot yang mengatur
pernapasan)sehingga serangga mati akibat tidak bisa bernapas.(Panut 2008)
4. TOKSIKOLOGI PESTISIDA ORGANOKLORIN
Toksisitas/daya racun adalah sifat bawaan pestisida yang menggambarkan potensi
pestisida untuk menimbulkan kematian langsung pada hewan dan manusia.
Berdasarkan Toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Sangat toksik ,aldrin, endosulfan, dieldrin.
2. Toksik sederhana,Clordane, DDT,lindane, heptaklor.
3. Kurang toksik Benzane hexacloride (BHC).
Bahan pencemar senyawa organoklorin jenis PCBs
Polikhorobiphenil (PCB) adalah suatu senyawa suatu senyawa organoklorin yang
mempunyai sifat racun yang sama dengan peptisida dan mempunyai sifat yang persisten
atau sukar di pecah dialam di alam. Seperti halnya peptisida dan PCB , poliaromatik
hidrokarbon merupakan polusi yang dapat memberikan efek yang negative terhadap suatu
perairan dengan kata lain akan mempengaruhi kualitas air suatu perairan. Ciri-ciri PCBs
sebagai berikut; dapat berbentuk cairan atau padat, tidak berwarna dan kuning muda.
Disamping itu PCBs mudah menguap dan mungkin hadir sebagai uap air di udara dan
tidak diketahui bau maupun rasanya. PCBs yang masuk ke lingkungan adalah dalam
bentuk gabungan komponen individu chlorinated biphenyl, yang dikenal sebagai
congener- congener artinya sama dengan tidak murni.
1). Kategori toksisitas
Label pestisida memuat kata-kata simbol yang tertulis dengan huruf tebal dan besar
yang berfungsi sebagi informasi
a. Kategori I
Kata–kata kuncinya ialah “Berbahaya Racun” dengan simbol tengkorak dengan
gambar tulang bersilang dimuat pada label bagi semua jenis pestisida yang sangat
beracun. Semua jenis pestisida yang tergolong dalam jenis ini mempunyai LD 50
yang aktif dengan kisaran antara 0-50 mg perkg berat badan.
b. Kategori II
Kata-kata kuncinya adalah “Awas Beracun” digunakan untuk senyawa pestisida

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 4
yang mempunyai kelas toksisitas pertengahan, dengan daya racun LD 50 oral yang
akut mempunyai kisaran antara 50-500 mg per kg berat badan.
c. Kategori III
Kata-kata kuncinya adalah “Hati-Hati” yang termasuk dalam kategori ini ialah
semua pestisida yang daya racunnya rendah dengan LD 50 akut melalui mulut
berkisar antara 500-5000 mg per kg berat badan.(Anshari,2010; Panut 2008,
Priyanto,2007;A.Adiwisastra,1985)
Keracunan DDT tidak saja disebabkan oleh daya toksis DDT itu sendiri tetapi larutan yang
dipakai seperti minyak tanah dapat menyebabkan lebih beratnya tingkat keracunan. Tanda-
tanda keracunan organoklorin: keracunan pada dosis rendah, si penderita merasa pusing-
pusing, mual, sakit kepala, tidak dapat berkonsentrasi secara sempurna. Pada keracunan
dosis yang tinggi dapat kejang-kejang, muntah dan dapat terjadi hambatan pernafasan.
2).Toksisitas terhadap susunan saraf
Organoklorin merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap
perangsangan, iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor, dan kejang-kejang.
Beberapa zat kimia ini menginduksi fasilitasi dan hipereksitasi pada taut sinaps dan taut
neuromuskuler yang mengakibatkan pelucutan berulang pada neuron pusat, neuron
sensorik, dan neuron motorik. Organofosfat dan karbamat menghambat AChE. Biasanya
neurotransmiter ACh dilepaskan pada sinaps itu. Sekali impuls saraf disalurkan, ACh yang
dilepas dihidrolisis oleh AChE menjadi asam asetat dan kolin di tempat itu. Sewaktu
terpajan OP dan karbamat, AChE dihambat sehingga terjadi akumulasi ACh. ACh yang
ditimbun dalam SSP akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang, dll. Dalam
sistem saraf autonom akumulasi ini akan menyebabkan diare, urinasi tanpa sadar,
bronkokonstriksi, miosis, dll. Akumulasinya pada taut neuromuskuler akan mengakibatkan
kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleks, dan paralisis.
Penghambatan AChE yang diinduksi oleh karbamat dapat pulih dengan mudah, sedangkan
pajanan berikutnya terhadap senyawa OP biasanya lebih sulit pulih.
3). Karsinogenisitas
Organofosfat umumnya tidak bersifat karsinogenik, kecuali senyawa yang mengandung
halogen, misalnya tetraklorinvos. Karbamat sendiri juga tidak bersifat karsinogenik. Tetapi
bila ada asam nitrit, karbaril terbukti dapat membentuk nitrosokarbaril yang bersifat
karsinogenik. Organoklorin yang diuji semuanya telah terbukti menginduksi hepatoma pada
mencit.
4). Teratogenisitas dan Efek pada Fungsi Reproduksi
Pada akhir tahun 1960-an, muncul berbagai artikel yang melaporkan berbagai jenis efek
teratogen dan efek reproduksi akibat karbaril pada anjing. Penelitian pada tikus yang diberi
karbaril tidak membuktikan adanya efek pada berbagai fungsi reproduksi dan tidak ada
teratogen. Pestisida lain yang dilaporkan mempunyai efek teratogen ialah fungisida
ditiokarbamat.
5). Efek buruk lain

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 5
Efek khusus karbaril pada ginjal dilaporkan terjadi pada sekelompok sukarelawan manusia
yang diberi karbaril dengan dosis 0,12 mg/kg setiap hari selama 6 minggu. Parakuat
menyebabkan edema paru-paru, perdarahan, dan fibrosis setelah penghirupan atau
termakan, tetapi herbisida yang berkaitan erat, yaitu dikuat, tidak menunjukkan efek tersebut.
Reaksi hipersensitivitas terhadap piretrum telah dilaporkan. Bentuk yang paling umum adalah
dermatitis kontak. Asma juga telah dilaporkan. Organoklorin bersifat hepatotoksik,
menginduksi pembesaran hati dan nekrosis sentrolobuler. Zat ini juga merupakan
penginduksi monooksigenase mikrosom, sehingga dapat mempengaruhi toksisitas zat kimia
lain. Beberapa organofosfat, karbamat, organoklorin, fungisid ditiokarbamat, dan herbisid
mengubah berbagai fungsi imun. Contohnya malation, metilparation, karbaril, DDT, parakuat,
dan dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibodi, mengganggu fagositosis
leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa, timus dan kelenjar limfa.
6). Bioakumulasi dan Biomagnifikasi
Pestisida organoklorin umumnya lebih mampu bertahan di lingkungan dan cenderung
disimpan dalam timbunan lemak. Tetapi bioakumulasi lebih nyata pada beberapa zat kimia
dibanding dengan zat lainnya. Contohnya DDT jauh lebih lama tersimpan dalam lemak tubuh
dibanding metoksiklor. Kemampuannya bertahan dalam lingkungan dapat menimbulkan
masalah ekologis. DDT dan zat kimia yang berkaitan dengan lingkungan meningkatkan
metabolisme estrogen pada burung. Dalam siklus bertelur dan bersarang pada burung
tertentu, gangguan hormon ini berpengaruh buruk pada reproduksi dan kelangsungan hidup
anak burung itu. Biomagnifikasi dapat terjadi akibat bioakumulasi dalam organisme itu saja
atau kemampuannya bertahan di lingkungan. Contohnya DDT bersifat lipofilik dan karenanya
terdapat pada cairan tubuh yang berlemak termasuk susu. Meskipun asupan DDT per hari
pada ibu 0,5 mg/kg, bayi yang disusuinya mungkin mendapat asupan sebesar 11,2 mg/kg.
Pembesaran ini berasal dari fakta bahwa DDT tersimpan dalam tubuh manusia pada tingkat
asupan harian kronik 10-20 kali lipat dan bayi itu pada dasarnya hanya mengkonsumsi susu
saja. Biomagnifikasi bahkan lebih jelas pada hewan karnivora. DDT dan metil merkuri dapat
terakumulasi melalui rangkaian palnkton, ikan kecil, ikan besar, dan burung yang
mengakibatkan pembesaran konsentrasi beberapa ratus kali.(Fadhil,2010;Sri Sutarmi,2007)
5. Aspek Keselamatan Dalam Penggunaan Pestisida Pertanian
Penggunaan pestisida pertanian berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi pengguna,
konsumen, lingkungan serta dampak sosial ekonomi untuk itu harus digunakan secara hati-
hati dengan ditekankan pada penurunan populasi hama, menghentikan serangan penyakit
dan mengendalikan gulma. Penggunaan pestisida pertanian sebaiknya memperhatikan tiga
prinsip yaitu:
a. Digunakan secara legal
Penggunaan pestisida tidak boleh bertentangan dengan peraturan atau perundangan
yang berlaku di Indonesia.
b. Digunakan secara benar

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 6
Penggunaan pestisida harus memperhatikan syarat-syarat teknis sesuai dengan metode
aplikasi yang digunakan. Pestisida yang digunakan mampu menampilkan efikasi
biologisnya(kemampuan pestisida untuk mengendalikan OPT sasaran) yang optimal.
c. Penggunaan secara Bijak
Pengendalian pestisida harus sesuai dengan tujuan utamanya mengendalikan OPT,
maka penggunaannya harus rasional. (Panut,2008)
Disamping itu petani harus mengetahui pengetahuan dasar dalam menggunakan pestisida
a. Pekerja memahami bahaya kesehatan akibat paparan pestisida
b. Melakukan praktek yang tepat
c. Penggunaan Alat pelindung diri dengan benar
d. Praktik tindakan kebersihan diri
e. Mengetahui gejala awal keracunan
f. Mampu melakukan pertolongan pertama bila keracunan
g. Mempromosikan manajemen hama terpadu.(Pascale R Salamah,2003)
B. PERMASALAHAN
Pestisida organoklorin disamping membantu manusia dalam memberantas hama namun
disisi lain berbahaya bagi semua makhluk yang bukan targetnya bahkan sangat berbahaya
bagi kesehatan manusia dan merusak lingkungan. Untuk itu, bagaimana dampak paparan
pestisida organoklorin pada kesehatan manusia dan lingkungan serta penanggulangannya?
C. METODE PENELITIAN
Analisis data dalam penelitian ini adalah menganalisis hasil penelitian dari beberapa jurnal
mengenai berbagai dampak pestisida organoklorin terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan.
D. HASIL & PEMBAHASAN
Dampak pada kesehatan manusia
Pestisida yang seharusnya digunakan untuk membasmi hama ternyata berdampak pada
pencemaran lingkungan baik itu air, udara maupun tanah. Pestisida organoklorin merupakan
bahan kimia yang masuk dalam kategori Persisten Organic Pollutants (POPs) yang
berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan
karena bahan kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf (baik
sentral ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan
kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada mahluk hidup,
termasuk janin.
Karakteristik POPs yang dapat memberikan efek negatif menurut Gorman & Tynan (Dalam
Warlina, 2009),adalah:
a. Terurai sangat lambat dalam tanah, udara, air dan mahluk hidup serta menetap dalam
lingkungan untuk waktu yang lama
b. Masuk dalam rantai makanan dan dapat terakumulasi pada jaringan lemak, sehingga
sukar larut dalam air

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 7
c. Dapat terbawa jauh melalui udara dan air
Karena karakteristik tersebut, maka sering ditemukan konsentrasi POPs yang sangat
tinggi dalam berbagai spesies pada level yang tinggi dari rantai makanan, seperti pada ikan
paus, burung elang dan mamalia, termasuk manusia. Paparan masuknya pestisida kedalam
tubuh melalui makan sebagai berikut:

Sumber: http://www.dioxins.nl/Difference/related_info_diff/related_IMG/Calux_diff.gif
Gambar . Mekanisme masuknya dioksin ke dalam tubuh

Dari paparan pestisida organoklorin, sebagian metabolit akibat ini akan menjadi toksik dan
sebagian lagi menjadi karsinogen yang aktif. Kanker yang disebabkan dioksin antara lain
dapat berupa kanker paru-paru, kanker hati dan sebagainya, terlebih lagi dapat menyerang
fungsi reproduksi.

Sumber: Otles & Yildis (2003)


Gambar. Pengaruh dioksin terhadap kesehatan (Warlina, 2009)

Dari hasil penelitian terbukti terdapat hubungan antara risiko kanker otak pada anak-anak dan
paparan ayah untuk pestisida selama 2 tahun sebelum kelahiran, khususnya untuk
astrocytoma dan paparan herbisida.Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut:

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 8
Bahwa risiko astrocytoma dikaitkan dengan paparan herbisida terhadap penggunaan hunian
mempunyai faktor risiko sebesar 1,9. Paparan tempat tinggal dan pekerjaan orang tua juga
terdapat hubungan yang signifikan dengan faktor risiko sebesar 1,8 (Youn K.Shim,et al, 2009).
Bahwa secara statistik terdapat hubungan yang signifikan untuk multiple myeloma dengan
lamanya paparan permetrin. (Jennifer A. Rusiecki, 2008). Bahwa risiko PIH(Pregnancy
induced hipertension) dan PE (Preeclampsia) telah meningkat dikalangan wanita yang terpapar
pestisida selama trisemester pertama pada kehamilannya.(Tina M Saldana, 2009)
Penggunaan pestisida tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan,
orang yang sering berhubungan dengan pestisida, secara lambat laun akan mempengaruhi
kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu digunakan,
tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan. Kecelakaan akibat
pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang langsung
melaksanakan penyemprotan. Mereka dapat mengalami pusing-pusing ketika sedang
menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-
gatal dan menjadi luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan
kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan
kerja dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.
Kadang-kadang para petani atau pekerja perkebunan, kurang menyadari daya racun
pestisida, sehingga dalam melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan
segi-segi keselamatan. Pestisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat menyemprot
sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan dari plastik, tanpa baju
lengan panjang, dan tidak mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Juga cara
penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin, sehingga cairan semprot mengenai
tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah tempat pestisida digunakan sebagai tempat minum,
atau dibuang di sembarang tempat. Kecerobohan yang lain, penggunaan dosis aplikasi sering
tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang ditingkatkan hingga
melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak mampu lagi
mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Dari hasil beberapa penelitian menyatakan
bahwa pengetahuan yang baik tentang pestisida belum tentu praktik menggunakannya juga

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 9
baik serta

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 10
sangat kurang informasi penggunaan pestisida yang baik dan benar oleh pemerintah.(Pascale
R Salamah, 2003)
Secara tidak sengaja, pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui
mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke
dalam tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan
keracunan kronis. Seseorang yang menderita keracunan kronis, ketahuan setelah selang
waktu yang lama, setelah berbulan atau bertahun. Keracunan kronis akibat pestisida saat ini
paling ditakuti, karena efek racun dapat bersifat karsiogenic (pembentukan jaringan kanker
pada tubuh), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenic
(kelahiran anak cacad dari ibu yang keracunan).
Dampak pada Lingkungan
Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air
sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di
dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.
Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya
hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi
pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida
yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target
aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran.
Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar
di dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi
pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun
konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan lingkungan.
Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi.
Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton.
Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton akan
meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang di dalam air.
Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian
pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan
konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali
dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton zooplankton tersebut dimakan oleh
ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi.
Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil
tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan
menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.
Dari hasil penelitian terdapat bahwa endosulfan terdeteksi pada semua titik (1,2 - 12,9
ppb). Jenis organoklorin lain yang terdeteksi yaitu aldrin dan heptaklor di 12 titik, dieldrin di 9
titik, dan DDT di 10 titik. Endosulfan juga merupakan organoklorin dengan konsentrasi rata-rata
tertinggi (4,246 ppb). Pada musim hujan, jenis organoklorin yang paling banyak ditemukan
pada sampel

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 11
ikan, air dan sedimen secara berurutan adalah endosulfan, DDT, aldrin, dieldrin dan heptaklor.
Sedangkan pada musim kemarau yang paling banyak ditemukan secara berurutan adalah
heptaklor, aldrin, DDT, endosulfan dan dieldrin. Kelima jenis organoklorin ini sama-sama
ditemukan baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini berarti bahwa
kemungkinan besar endosulfan, DDT, aldrin, dieldrin dan heptaklor masih digunakan sebagai
pestisida daerah pertanian DAS Citarum Hulu. Tingkat Pencemaran dan Standar Baku Mutu
Perbandingan tingkat pencemaran organoklorin pada sampel ikan, air dan sedimen ditunjukkan
pada Tabel dibawah ini. Untuk ikan, standar baku mutu yang dipakai adalah Extraneous
Residue Limit (ERL) yang merupakan batas maksimum residu pestisida yang diperbolehkan
yang bersumber dari lingkungan secara langsung/tidak langsung pada suatu komoditi
/makanan. Treshold Effect Level (TEL) digunakan untuk melihat efek buruk pencemaran
organoklorin terhadap sedimen.(Sara,2010)

Penggunaan DDT juga ditemukan disekitar tepian Danau Buyan walaupun kadarnya masih
dibawah ambang yang diperkenankan sekitar 5,02 ppb.(Putra Manuaba,2007). Berdasarkan
hasil pemantauan kadar total pestisida organoklorin yang dilakukan dibeberapa muara sungai
perairan teluk Jakarta kadar pestisida sudah melebihi ambang batas yang diperkenankan
untuk kehidupan biota dengan hasil 51,126 ppb.(Khozanah, 2005). Pada penelitian di sungai
Oven dan King di Australia ternyata ditemukan juga DDE, DDT dan dieldrin pada sampel air
dan sedimennya. (Mc.kenzie smith, 1993)
Pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah yang besar menimbulkan pencemaran
tanah dan air tanah dengan kadar racun yang beraneka ragam. Degradasi tanah pertanian
sudah makin parah dan dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia
lainnya dalam waktu yang cukup lama. Untuk mengembalikan nutrisinya tanah memerlukan
waktu ratusan tahun, sedangkan untuk merusaknya hanya perlu beberapa tahun saja. Hal ini
terlihat dari menurunnya produktivitas karena hilangnya kemampuan untuk memproduksi
nutrisi.
Apabila penyemprotan dilakukan secara berlebihan atau takaran yang dipakai terlalu
banyak, maka yang akan terjadi adalah kerugian. Tanah disekitar tanaman akan terkena
pencemaran pestisida. Akibatnya makhluk-makhluk kecil itu banyak yang ikut terbasmi,

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 12
sehingga kesuburan tanah menjadi rusak karenanya. Bukan tidak mungkin tragedi
kegersangan dan kekeringan terjadi.
Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan
kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan
pada dosis yang rendah sekalipun. Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini, seperti
konsentrasi DDT pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur, meningkatnya tingkat
Kematian anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut.(Warlison, 2009)
Penanggulangan
Selain itu perlunya adanya sosialisasi tentang peningkatan pengetahuan dan praktik dalam
menggunakan pestisda yang baik dan benar, karena dari hasil penelitian bahwa orang yang
menggunakan pestisida atau terpapar pestisida berarti lebih baik pengetahuan dibandingkan
yang tidak terpapar ternyata dalam praktiknya di lahan pertanian kurang baik.( Pascale R.
Salameh, 2004). Pengetahuan yang harus diketahui oleh petani antara lain memahami bahaya
kesehatan akibat paparan pestisida, melakukan praktek yang tepat, menggunakan alat
pelindung yang benar, Praktik tindakan kebersihan diri, mengetahui gejala awal keracunan
mampu melakukan pertolongan pertama bila keracunan.
Salah satu usaha untuk mengurangi kandungan pestisida organoklorin dalam tubuh adalah
bagi ibu yang menyusui dengan menyusui bayi dari hari ke hari adanya penurunan, hal ini
telah dibuktikan adanya penurunan β-HCH 0,095-0,066 mg / kg, pp-DDE dari 1,807 ke 1,423
mg / kg dan pp-DDT 0,528-0,405 mg / kg, pada tingkat karakteristik untuk masing-masing
senyawa.( S.
M. Waliszewski,2009; Bulgaz, 1994).
Disamping itu pengelolaan lahan pertanian sekarang ini mulai dengan menerapkan
pengelolaan hama terpadu (PHT) untuk mengurangi dampak negatif dari pemakaian pestisida.
KESIMPULAN
1. Penggunaan pestisida organoklorin yang sudah dilarang penggunaannya ternyata masih
banyak digunakan baik di luar negeri maupun di Indonesia.
2. Pestisida organoklorin yang dipergunakan mempunyai berbagai dampak baik pada
kesehatan manusia yang dapat menyebabkan kanker, hipertensi dan juga keracunan.
Penggunaan pestisida juga berdampak pada pencemaran lingkungan baik di air, udara
dan tanah sehingga menyebabkan bioakumulasi dan biomagnifikasi.
3. Pengelolaan pestisida secara benar dan bijak serta peningkatan pengetahuan dan
praktik dalam penggunaan pestisida merupakan upaya untuk menghindari dampak
negatif dari bahaya penggunaan pestisida.

DAFTAR PUSTAKA

Anshari Agus Framana,dkk Pencemaran organoklorin, Fakultas Teknik


Lingkungan, Universitas Lambung mangkurat,2010.

Mc.Kenzie, D.Tiller, D.allen; Organochlorine Pesticide Residues in Water and Sediments from the Oven and
King Rivers, North East Victoria, Autralia Arch. Environ. Contam Toxicol 26, 483-490, October 1994.

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 13
Fadil Hayat, Toksikologi Pestisida , Fadhil Hayat's Blog
http://fadhilhayat.wordpress.com/2010/12/06/toksikologi-pestisida. Diakses pada tanggal 10 Maret 2011

Herawaty, Ahmad Nadhira, Kajian Penggunaan Pestisida Oleh Petani Pemakai serta Informasi Dari Berbagai
Stakeholder Terkait Dikabupaten karo Sumatra Utara.
http://lppm.ut.ac.id/jmst/jurnal_2009.2/persistent_organic_pollutants_dan_konvensi_stockholm.pdf
B. Putra Manuaba, Cemaran Pestisida klor organik dalam air Danau buyan Buleleng Bali, Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Udayana,Bukit Jimbaran, JURNAL KIMIA 1 (1), JULI 2007: 39-46 ISSN 1907-9850
Jennifer A. Rusiecki,1 Rahulkumar Patel,1 Stella Koutros,2 Laura Beane-Freeman,Ola Landgren,Matthew R.
Bonner, Joseph Coble,Jay Lubin,Aaron Blair,Jane A. Hoppin,4 and Michael C.R. Alavanja, Cancer
Incidence among Pesticide Applicators Exposed to Permethrin in the Agricultural Health Study,
Environmental Health Perspectives, volume 117, number 4, April 2009
Kardinan A, Pestisida Ramuan Nabati dan Aplikasi, PT. Penebar swadaya, Jakarta, 2000.

Khozanah Munawir, Pemantauan Kadar Pestisida Organoklorin dibeberapa muara Sungai di Perairan Teluk
Jakarta, Oseanologidan Limnologi di Indonesia 2005 - No. 37 : 15 – 25, ISSN 0125 – 9830.

Lina Warlina, Persistent Organic Pollutans(POPS) dan Konvensi Stockholm, Jurnal Matematika, Sains, dan
Teknologi, Volume 10, Nomor 2, September 2009, 102-111, Diakses

Panut Djojosumarto, Pestisida & Aplikasinya; Penerbit PT.Agromedia Pustaka, Jakarta, 2008

Pascale R. Salameh,a,_ Isabelle Baldi,b Patrick Brochard,b and Bernadette Abi Saleha, Pesticides in
Lebanon: a knowledge, attitude, and practice study, Environmental Research 94 (2004) 1–6

Pesticide Action Network Asia and the Pacific. Awas, Pestisida Bebahaya bagi Kesehatan. Yayasan Duta
Awam, 1999

Prameswari, Adistya. Pencemaran Petisida, Dampak dan Upaya Pencegahannya.


http://dizzproperty.blogspot.com/207/05/pencemaran-pestisida-dampak-dan-upaya.html

S Burgaz, B.L.Afkham, A.E Karakaya; Organoclorine Pesticide Contaminants in Human Adipose Tissue
Collected in Tebriz (Iran),Bull Environ. Contam Toxicol 1995 54:546-553 Springer Verlag New York inc,
1995.

S. M. Waliszewski , G. Melo-Santiesteban , R. Villalobos-Pietrini, O.Carvajal; Breast Milk Excretion Kinetic of


β-HCH, pp-DDE and pp-DDT, Bull Environ Contam Toxicol (2009) 83:869–873, DOI 10.1007/s00128-
009- 9796-3

Sara Yulia Paramita, Katharina Oginawati, Pengaruh Perubahan Musiam Terhadap Residu Insektisida
Organoklorin Pada Ikan, Air, dan Sedimen di DAS Citarum Hulu Segmen Cisanti Sampai Nanjung, Jawa
Barat; ITB

Sudarmo, Pestisida , kanisius, Yogyakarta, 1991


Sutikno, S, Dasar-Dasar Pestisida dan Dampak Penggunaannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992

Tina M. Saldana,1,2 Olga Basso,2 Donna D. Baird,2 Jane A. Hoppin,2 Clarice R. Weinberg,3 Aaron Blair,4
Michael C.R. Alavanja,4 and Dale P. Sandler, Pesticide Exposure and Hypertensive Disorders During
Pregnancy, Environmental Health Perspectives • volume 117 | number 9 | September 2009
Warlison Girsang, Dampak negatif Penggunaan Pestisida, Fakultas Pertanian USI P.Siantar
http://usitani.wordpress.com/2009/02/26/dampak-negatif-penggunaan-pestisida. diakses pada tanggal 10
Maret 2011.

Weis B, Amler S, and Amler RW. Pesticides. Pediatrics 113:1030-1036 2004.


Youn K. Shim, Steven P. Mlynarek, and Edwin van Wijngaarden3, Parental Exposure to Pesticides and
Childhood Brain Cancer: U.S. Atlantic Coast Childhood Brain Cancer Study, Environmental Health
Perspectives,volume 117 | number 6 | June 2009

Priyanto, Toksisitas,Obat, Zat kimia dan terapi antidotum, Leskonfi, Jabar, 2007

Sri Sutarmi, Sari Neurologi, Pustaka Cendikia Press, Yogyakarta, 2007

A.Adiwisastra, Keracunan, Sumber Bahaya serta Penanggulangannya, Penerbit Angkasa, Bandung, 1985

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 14
Sartono, Racun & Keracunan, Widya Medika, Jakarta, 2002

Prosiding Seminar Nasional


“ Per an Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011 15

Anda mungkin juga menyukai